"Tumben ada tamu," tanyaku. Biasanya Mama tak akan mengizinkan orang bertamu pukul delapan.
"Oh itu. Mama Memang mengundangnya datang ke sini biasanya kalau malam minggu dia akan datang ke sini menemani Bayu bermain."Setiap malam minggu datang ke sini? Apa dia ngapelin Mama," candaku kepada wanita yang selalu menerimaku apa adanya."Ya, bukan malam minggu saja. Kadang-kadang baru dua hari kesini sudah datang lagi lihat aja tuh mainan banyak seperti itu dari dia." Tunjuk mama ke arah tumpukan mainan."Dia itu siapa?" Mengernyit heran."Aduh, Intan masa kamu lupa. Sebentar Mama bukakan pintu dulu. Kasihan dia menunggu." Beranjak dari duduknya. Melewati mas Ilham dan Bayu.Mama membukakan pintu, seorang pemuda dengan senyum manis mencium tangan Mama takzim. Aku terperangah dengan sosoknya. Apa yang dia lakukan di rumahku.Kenapa dia selalu ada di hadapanku. Apa lelaki itu mengikuti langkah kakiku. Baru saja bertemu tadi soHari pernikahan Om David tiba, saat yang paling aku nantikan adalah hari ini. Hari untuk bersenang-senang. Rasanya tak sabar untuk sampai di tempat tersebut. Semua posisi sudah siap. Semoga kejadian ini akan membuat Om David jera. Aku berdiri di antara kumpulan para tamu undangan dengan memakai masker agar mereka tak mengenaliku.Para tamu undangan sudah memenuhi gedung ini. Sepertinya akan menjadi tempat bersejarah yang tak terlupakan bagi kedua mempelai pengantin. Akad nikah pun segera di mulai. Kuambil ponselku dalam tas. Merekam kejadian yang akan terjadi selama proses ijab qobul mereka.Mengambil gambar dengan jarak aman agar om David atau siapapun tak melihatku. "Saya nikahkan Amira bin Sutoyo dengan mas kawin seperangkat alat salat di bayar ...."Satu ... dua ... tiga ...Duar!Aku tertawa dibalik masker. Kado yang kuletakkan dekat mereka meledek. Isi di dalamnya berhamburan mengenai mereka.Memang tak bahaya atau menyakiti orang lain. Tapi, isi di dalam kado itu sangatlah m
"Tunggu! Kalian tak malu melawan wanita?" sindirku menatap rendah.Mereka bertiga berhenti dan saling pandang."Ha ... ha ... memangnya kamu mau melawan berapa?"Kupanggil teman-temanku yang bersembunyi di balik tembok. Cheri, Sherly dan aku berdiri berhadapan dengan mereka."Ternyata, kalian komplotan.""Kenapa, elu takut?" sindir Cheri. Ia hanya mengenakan celana pendek dan sepatu kat."Ngelawan wanita, kecil. Bagaikan upil." Merendahkan kaum wanita. Ia tak tahu siapa kami sebenarnya."Kita buktikan dulu sebelum elu rendahin wanita!" Sherly terlihat geram."Kita bawa aja mereka ke Bos," ucap salah satu dari mereka."Coba saja kalau berani!" Aku menyeringai. Saat ini yang aku tunggu. Kapan lagi seperti ini.Mereka menghampiri kami. Pria bertopi merah tersenyum mengoda." Lebih baik kita ke ranjang saja," ucapnya merayuku dengan mengedipkan mata."Menjijikkan!"Ia hendak menyentuh kepalaku dengan lengan kanan. Aku menarik dan memutar ke belakang tubuhnya dengan gesit. Menjambak rambut
Suara ponselku berdering di tas kecil dalam mobil. Menerima panggilan dari mama."Halo, ada apa Ma?" tanyaku."Bayu ... Bayu ...," ucapnya dengan suara terputus-putus."Bayu kenapa Ma?" tanyaku panik."Hilang!""Astaga, Bayu! Cheri, Bayu hilang," ucapku dengan mimik khawatir."Tenang saja. Kita cari dia."Cheri memutar balikkan mobil dengan lincah." Apa Bayu pakai jam yang aku berikan waktu itu?""Entahlah aku tak tahu. Tapi, Bayu selalu pakai kalung yang kau berikan lagi waktu itu," jelasnya. Aku sengaja meminta dua macam jenis. Bisa saja Bayu melepaskan salah satunya."Bagus. Sekarang lacak keberadaannya. Adel, kamu cari sekarang." Cheri memandang jalan ke depan."Oke!"Adel mulai mengotak-atik ipad milik Cheri."Dapat, Bayu berada di Ancol. Tepatnya adalah Dufan.""Dufan! Dengan siapa dia ke sana. Kenapa mama tak tahu.""Bisa saja penculik mengecoh Bayu. Penculik zaman sekarang pintar dan licik. Permen sudah diberikan o
Pov Om David"Kurang ajar! Siapa yang telah melakukan ini. Aku gagal menikah karena kotoran itu meledak. Kurang ajar!"Aku terus berteriak dan memaki mereka yang telah melakukan semua ini. Anak buahku tak tahu siapa mereka.Mereka hanya bilang kalau semuanya perempuan dan satu laki-laki. Tak satupun mereka mengenalinya.Wajah mereka teras asing. Aku tak percaya dengan ucapan anak buahku yang bodoh.Geram sekali rasanya. Biaya pernikahan yang berlangsung sangat mahal belum lagi mahar untuk calon istriku.Perusahaan sedang kacau balau malah ada kejadian seperti ini. Kulempar semua barang-barang di rumah. Menghajar semua anak buahku yang tak becus. Mereka semua berdiri di depanku."Hari ini juga kalian saya pecat!" teriakku memaki mereka. Aku tak butuh mereka. Percuma hanya buang-buang uang saja. Lebih baik aku hadapi sendiri mereka."Cepat kalian semua pergi!" usirku mendorong tubuh mereka keluar ruangan kerjaku."Tuan, bagaimana dengan gaji ka
POV DAVID Seperti biasa aku akan ke kantor, kali ini rumah sangat sepi tak ada yang melayani. Suara Adel yang manja kepadaku telah sirna. Istri yang penurut ternyata membohongiku selama ini.Bertahun-tahun hidup dengannya aku bahagia. Tapi, hatiku sakit telah dibodohi oleh kepolosan istriku.Wanita itu tak pernah memberontak atau melawanku. Sikapnya lembut dan selalu patuh ternyata hanya kedok.Kalau bukan Rita yang memberitahukan hal itu. Aku tak akan pernah tahu. Ternyata, Adel bukan anakku.Hati ini kecewa namun juga merindukan kebersamaan mereka. Memilih menikahi gadis tersegel agar rasa dendam ini terbalas.Suara notifikasi masuk melalui aplikasi hijau. Segera kubuka tiga video yang terkirim dari salah satu rekan kerjaku.Aku membulatkan mata tak percaya. Semua kebusukanku di perusahaan, rumah tangga dan pernikahanku yang gagal terekam begitu rapi.Apa-apaan ini mengapa mereka melakukan ini. Siapa yang telah mengedit videoku. Di salah satu
POV DAVID Hari ini sial sekali, aku harus menghadapi mereka semua. Mentang-mentang memiliki kekuasaan seenaknya menginjak harga diri. Kalau saja aku tak seperti ini sudah aku habisi mereka hingga sampai titik terendah.Apa yang harus aku lakukan agar tuduhan itu bisa berbalik arah. Aku tak memiliki korban sebagai kambing hitam. Argh! Sungguh sial kepala rasanya pening.Ponselku terus berdering membuat kepala semakin pening. Lebih baik mematikannya saja agar tak menganggu.Menyadarkan punggung di kursi kebanggaanku. Kursi yang membuat orang tunduk akan kekuasaan seseorang. Jabatan tinggi, harta berlimpah, perusaahan ternama semua orang pasti tak berani berkutik. Itu dulu, kini mereka balik menyerangku dengan kelemahan dan kesalahan yang telah aku perbuat. Mereka menyerangku dari segala arah agar aku hancur dan bangkrut. Mungkin Vivi atau Rita bisa membantuku. Mereka yang memberi ide agar aku menikah lagi. Segera melajukan mobilku menuju rumah mereka.
Suara ketukan pintu terdengar di luar. Aku sedang berada di depan televisi menikmati film action kesukaanku.Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Siapa tamu datang menganggu istirahat orang.Melangkahkan kaki menuju pintu. Bel rumah memang sedang rusak. Belum sempat memperbaikinya."Mas Ilham!"Wajah suamiku tepatnya calon mantan suamiku kusut dan memelas. Kulitnya lebih hitam dan tak terawat. Pakaiannya kusut seperti tak pernah diseterika. Malang sekali nasibmu Mas.Wajahnya menunduk ragu mengatakan sesuatu. Kupersilahkan duduk di teras rumah."Ada apa, Mas? Bayu sudah tertidur sejak tadi. Aku gak mungkin membangunkannya."Mas Ilham mendongakkan kepala dan tatapannya berkaca-kaca."A-aku ke sini bukan mau bertemu Bayu melainkan kamu.""Ada apa? Jangan bilang kamu rindu dan ingin rujuk padamu. Itu tak mungkin. Hubungan kita sudah berakhir.""Aku tahu aku tak layak menjadi suamimu. Aku sadar kalau kesalahanku padamu membuat dirimu sakit
Bayi perempuan dalam dekapan tertidur dalam timanganku. Wajahnya begitu sejuk dan mendamaikan jiwa. Hidungnya mancung kulitnya putih bersih. Cantik sekali bayi ini. Aku memang membenci Rita yang telah menghancurkan rumah tanggaku tapi bukan berarti bayi tanpa dosa menjadi pelampiasan kebencian dalam hati. Aku tak seburuk itu."Hasil DNA itu sudah keluar," cetus mas Ilham beberapa saat kemudian. Aku meletakkan bayi mungil yang bernama Nisa di box bayi perawatan setelah memastikan terlelap. Mengecup pipi gembulnya dua kali, gemas sekali. "Hasilnya sudah keluar. Cepat sekali." Aku menoleh kepadanya. Mengulangi perkataan calon mantan suami. Tangannya mengenggam sebuah amplop apa itu hasil DNA. "Iya dan hasilnya kalau bayi ini ...." Mas Ilham menarik napas dalam dan menghembuskannya. Terasa berat seperti ada batu yang menimpa. "Nisa adalah anakku," ungkapnya dengan lirih. "Maafkan aku Intan." Suaranya bergetar tersirat penyesalan menatap penuh gundah. "Untuk