FAZER LOGINAku duduk di sofa ruang istirahat anak koas sambil bermain ponsel. Jarum jam sudah menunjuk pukul lima sore, tapi Mas Pandu masih berada di ruang operasi."Binar, kamu nggak pulang duluan?" tanya Dita yang duduk di sampingku."Nggak. Aku mau pulang bareng Mas Pandu. Kebetulan aku mau nginep di rumah Mama." Aku meregangkan badan yang mulai pegal."Wah, pulang ke rumah mama? Kangen ya?""Iya, kangen banget. Aku mau minta dimasakin makanan kesukaanku. Udah lama nggak makan masakan Mama." Aku tersenyum membayangkan soto ayam buatan Mama yang super enak.Tadi pagi aku sudah minta izin ke Mama Maya sebelum berangkat ke rumah sakit. Beliau langsung setuju dan bahkan bilang, "Kamu ini menantu Mama, tapi juga tetap anak kandung mama kamu. Pulang aja, nggak usah izin segala. Rumah mama ya rumah kamu juga."Hatiku langsung menghangat mendengar kata-kata Mama mertuaku.Tapi masalahnya, aku nggak bisa menghubungi Om Kais dari tadi.Akhirnya aku hubungi menghubungi Rayhan."Halo, Mas Rayhan?""Iya,
"Alhamdulillah, visit terakhir selesai!" ucap Dita, teman satu tim koas, sambil meregangkan badannya.Aku duduk di kursi sambil mengelus perut yang mulai terlihat membuncit. Hari ini aku di stase jantung bareng Mas Pandu sebagai dokter pembimbing. Untung saja timku baik-baik semua. Nggak ada yang julid atau nyinyir kayak timnya Safa."Binar, untuk makan siang—kita tunggu kiriman dari Pak Kais, kan?" Reza, cowok satu-satunya di tim kami, nyengir lebar.Aku tertawa. "Iya, Om Kais bilang tadi pagi mau kirim makanan buat kita semua.""Asik! Makan enak dan gratis lagi!" seru Lina, teman lainnya.Nggak lama kemudian, pintu terbuka. Pak satpam masuk membawa kotak-kotak makan siang dengan logo restoran mewah."Pesanan untuk Mbak Binar dan tim?""Iya, Pak!" Aku mengangkat tangan.Pak satpam meletakkan enam kotak di meja. "Ini dari Pak Direktur. Selamat menikmati."Setelah Pak satpam pergi, kami langsung membuka kotak makanannya."WOOOW!" Semua kompak teriak.Di dalamnya ada nasi putih, ayam ba
Aku turun ke restoran hotel dengan riasan sudah sempurna. Makeup artist tadi bilang aku cantik banget, tapi jujur aku nggak terlalu percaya diri. Apalagi setelah lihat cermin—wajahku makin bulat dan jerawatnya nambah jadi lima!"Sayang!" Om Kais melambai dari meja di pojok. Di sampingnya ada Mama dan Papa yang sudah duduk sambil menikmati kopi pagi.Aku berjalan menghampiri mereka, tapi langkahku agak berat. Dress bridesmaid warna dusty pink yang aku pakai terasa sedikit sesak di bagian perut."Selamat pagi semua," sapaku sambil duduk di samping Om Kais."Pagi, Adek. Wah, cantik sekali Bumil hari ini," puji Papa sambil tersenyum hangat."Ah, Papa bisa aja. Aku lagi jelek nih. Badan makin bulat, jerawat nambah jadi lima!" Aku cemberut sambil menyentuh pipi."Biasa itu, Dek. Hormon kehamilan. Nanti setelah dedek bayi lahir, kita ke klinik buat perawatan. Mama jamin balik seperti semula,” ujar Mama."Beneran, Ma?""Iya. Mama dulu juga begitu waktu hamil Mas Pandu dan Adek. Jerawatan, bad
"AAAAHHH! AKU GUGUP BANGET!" Safa berteriak sambil melompat-lompat di atas kasur seperti anak kecil.Aku yang sedang duduk di sofa sambil membuka bungkus keripik kentang ketiga malam ini cuma bisa geleng-geleng kepala. "Sa, udah jam sepuluh. Besok pagi kamu harus bangun pagi buat makeup. Tidur sana.""Nggak bisa tidur, Bee! Aku gugup banget!" Safa turun dari kasur, berlari ke arahku. "Besok aku jadi istri Mas Rayyan! Istri! Kamu bayangin nggak sih?""Iya iya, aku bayangin." Aku melahap keripik sambil tersenyum geli. "Tapi kalo kamu nggak tidur sekarang, besok mata kamu bengkak.""Binar bener. Kamu harus tidur, Safa." Mbak Nindi—bridesmaid ketiga—sedang duduk di depan cermin dengan masker wajah menempel di wajahnya. "Besok kamu harus tampil cantik."Safa menghela napas dramatis lalu menjatuhkan dirinya di sofa sebelahku. "Kalian nggak ngerasain sih gimana rasanya besok mau nikah. Jantung aku kayak mau copot!""Aku juga pernah kok," ucapku sambil meraih bungkus coklat. Safa menatapku d
Aku melangkah masuk ke lobby Rumah Sakit Arfamed sambil membawa paper bag berisi bekal makan siang untuk Om Kais. AC ruangan langsung menyambut, mendinginkan kulitku yang sedikit gerah karena panas terik di luar.Pandanganku menyapu sekeliling. Rumah sakit ini megah banget. Minggu depan aku akan mulai koas di sini. Deg-degan campur excited.Aku mengelus perutku yang masih rata sambil tersenyum. “Dedek, ini tempat Mommy bakal kerja nanti. Keren, kan?”Beberapa perawat yang lewat menatapku sambil tersenyum. Aku balas senyum canggung. Jangan-jangan mereka dengar aku ngomong sendiri.Aku melangkah masuk ke lift, menuju lantai tempat ruang administrasi dan ruang direktur berada—lantai di mana Om Kais biasa berkantor.Pintu lift terbuka. Aku baru melangkah keluar saat seseorang memanggilku."Binar?"Aku menoleh. Mas Pandu! Dia berjalan ke arahku dengan jas dokter putihnya, juga membawa paper bag."Mas Pandu!" Aku tersenyum lebar."Antar makan siang buat Mas Kais?" Tanyanya."Iya, Mas. Dia l
Aku mengelus perutku yang masih rata sambil tersenyum sendiri. Rasanya masih sulit dipercaya, ada kehidupan kecil yang sedang tumbuh di dalam sana. Dua bulan—dedek bayi baru berusia dua bulan.Terdengar suara langkah sepatu mendekat. Om Kais muncul dengan wajah lelah, namun tetap terlihat tampan. Kemeja kerjanya sedikit kusut, dasinya sudah dilonggarkan. Saat mata kami bertemu, dia langsung tersenyum."Sayang, Mas Pandu bilang kamu mulai koas minggu depan?" tanyanya sambil melepas dasi.Aku mengangguk penuh semangat. “Iya, Bunny. Lagipula di rumah sakit kamu, jadi aman kok.”Om duduk di sampingku, alisnya mengerut—tanda dia sedang khawatir. "Tapi kondisi kamu sekarang beda, Sayang. Kamu lagi hamil. Koas itu kan capek, jam kerjanya panjang, berdiri lama—"Aku memutar bola mata. “Bunny, aku baru hamil dua bulan. Aku masih kuat, kok. Lagipula Mama yang jadi pembimbingku—dia pasti jagain aku. Ada Mas Pandu, dan ada kamu juga.”Mama Maya datang ke ruang keluarga, membawa segelas susu dan







