Kenapa perintah Shaka terdengar cukup menakutkan, bukankah suami istri hal yang wajar tidur satu ranjang. Tsabi menatap tempat tidur dengan perasaan bimbang. Sementara Shaka sudah menempati tempat itu lebih dulu. Menatap datar setengah berbaring menyenderkan punggungnya di papan headboard.
"Kamu mau berdiri di situ sampai kapan?" tanya pria itu sembari menyambar macbook di nakas. Sibuk dengan sendirinya.Tsabi tidak menjawab, tetapi berjalan mendekat dengan perasaan deg degan. Berharap malam ini tidak ada adegan yang menyebabkan guncangan ranjang. Pikirannya sudah nethink duluan mengingat ini malam pertama mereka. Bukan tidak mungkin pria yang tengah serius dengan gawainya itu tiba-tiba meminta haknya sebagai pasangan halalnya.Pelan gadis itu duduk, mengangkat kedua kakinya menempati ranjang, lalu menarik selimut dengan tubuh mulai merebah. Sekelebat bayangan manis tentang mantan calon imam yang gagal di meja akad. Seharusnya dia kini tengah berbahagia andai saja menikah dengan mantan ta'arufnya. Tiba-tiba hatinya merasa sesak mendapati kenyataan kalau kini pria itu bukanlah jodohnya, melainkan jodoh adiknya. Takdir seperti tengah mempermainkan dirinya. Dan kini Tsabi malah terdampar di kamar pengantin dengan pria asing, dingin, dan sangat misterius. Bagaimana cara memulai hubungan baik itu saja Tsabi ragu."Astaghfirullah ... ampuni aku ya Rabb ... kenapa aku harus memikirkan pria lain di atas ranjang pengantin. Bukankah saat ini pasti mereka tengah berbahagia. Setidaknya melewati malam manis tanpa ketakutan begini," batin Tsabi sendu. Dibuat kecewa dengan keadaan yang ia pun kini tak tahu ada di pijakan yang tepat atau akan terhempas dengan kenyataan."Ubah posisi tidurmu, aku tidak suka," kata Shaka tiba-tiba, terdengar cukup jelas jadi sangat tidak memungkinkan Tsabi pura-pura tertidur.Tsabi pikir pria itu sudah lelap karena tak ada suaranya dari tadi. Ternyata malah belum dan kini memintanya untuk merubah posisi. Apakah posisi tidur juga ada aturannya.Tsabi menghela napas kasar, berbalik dan cukup kaget mendapati Shaka tepat di depannya. Susah payah perempuan itu menelan salivanya, tercekat sejenak mendapati Shaka begitu dekat."Besok jantung kamu harus diperiksa, sudah berapa kali hari ini menjerit," kata pria itu serius.Tsabi bangkit dari pembaringan karena tiba-tiba merasa mual. Efek kaget membuatnya sangat tidak nyaman. Shaka yang belum tidur ikut bangkit dari ranjang."Kenapa?" tanya pria itu melihat istrinya hendak beranjak.Tsabi tidak menjawab, langsung melesat ke kamar mandi. Perutnya mendadak eneg, perasaannya tak nyaman sama sekali."Besok aku antar ke rumah sakit. Aku harus memastikan calon anak kita sehat," kata Shaka di ujung pintu. Menyusulnya mendengar istrinya mual-mual.Tsabi membasuh bibirnya lalu beranjak dari kamar mandi, kembali ke ranjang dengan kepala agak kliyengan. Berusaha terlihat baik-baik saja karena mendadak tidak suka dikhawatirkan pria di depannya. Lebih tepatnya didekte sedemikian banyak aturan tanpa melibatkan perasaannya suka atau tidak."Perut kamu mual?" tanya Shaka tak bisa abai. Apalagi itu mengenai buah hatinya yang sudah lama pria itu inginkan.Tsabi hanya menganggukkan kepalanya, berharap cepat terlelap agar segera melewati malam ini tanpa banyak drama. Melihat mata Tsabi yang terpejam, Shaka tak lagi banyak bicara, menarik selimut untuk menutupi tubuh Tsabi hingga terasa nyaman. Perbuatan kecil tetapi mampu membuat si penghuni kamar sejenak merasa nyaman. Hingga bertemu pagi, netra itu terbuka merasa asing. Baru teringat kalau itu bukan kamarnya, melainkan kamar suami yang baru saja ditempati sejak semalam.Perempuan itu mengedarkan pandangan sembari bangkit dari pembaringan. Jam di dinding kamar baru menunjuk di angka tiga lebih dini hari. Ranjang bagian Shaka sudah kosong, pria itu sudah bangun sedari tadi kah? Ke mana sepagi ini.Penasaran, membuat Tsabi keluar kamar, mencari sosok misterius yang kini telah menjadi suaminya. Perempuan itu clingukan hendak mengambil jalan yang mana. Rumah ini terasa begitu luas, sedang Tsabi belum paham benar tatanan setiap ruangan.Langkah perempuan itu mengikuti instingnya ke kanan, sialnya Tsabi benar-benar tersesat karena kini tidak tahu ke mana arah keluar. Semua ruangan mendadak buntu dan sekilas terlihat sama."Ya Tuhan ... jalan ke kamar mana sih? Rumah kok gede banget," gumam perempuan itu menggerutu di sepanjang jalan. Hanya ada lampu dari ruangan lain yang menyebabkan jalan tengah dengan pencahayaan meremang."Aaa!" Tsabi kaget berbalik menabrak seseorang yang sudah berdiri di belakangnya tanpa aba-aba."Mau ke mana malam-malam berkeliaran di sini?" tanya Shaka dingin. Suara beratnya hampir membuat perempuan itu jantungan."Eh, astaghfirullah ...," ucap perempuan itu beristighfar banyak-banyak. Menetralkan detak jantungnya yang hampir melompat dari tempatnya."M-mau ke dapur, ambil minum. Aku haus," ucap Tsabi beralasan.Seketika Shaka menautkan kedua alisnya, bukankah di kamar ada air putih. Kenapa istrinya sampai keluar kamar."Bukankah di kamar ada air putih," jelas pria itu penuh selidik."Mmm ... aku sepertinya lupa," kata Tsabi beranjak."Mau ke mana?" Sura berat Shaka kembali menghentikan langkah Tsabi."Balik ke kamar, ada kan katanya. Aku tidak harus capek ke dapur. Rumahmu sungguh terlalu besar." Tsabi hampir kembali melangkah dengan percaya diri menyamarkan kegugupannya saat mulut pria itu kembali berseru."Kamu salah jalan," ucap pria itu dengan tenang."Hah!" ujarnya kembali berbalik lalu mengekor suaminya yang berjalan menuju kamarnya.Tsabi kembali berjalan dengan batin menggerutu. Sepertinya kata Shaka benar, dia besok harus periksa jantung karena mendadak kagetan.Sampai di kamarnya Tsabi tak lantas membuat perempuan itu kembali ke ranjang. Sebentar lagi subuh jadi ia hendak mengambil wudhu. Namun, pergerakan perempuan itu terhenti saat menatap siluet pundak suaminya seperti berdarah. Tidak begitu jelas tetapi cukup membuat Tsabi penasaran."Aku tidak salah lihat kan? Apa pundak pria itu terluka?" batin Tsabi bertanya-tanya. Mendadak ia gelisah menantinya dari kamar mandi."Mas!" tanya Tsabi tak beranjak dari tempat semula. Ia merasa perlu tahu sebenarnya suaminya dari mana."Kenapa?" jawab pria itu tenang. Menatap istrinya yang seperti tengah memperhatikan dirinya dengan begitu intens.Tsabi hanya penasaran, benarkah pundak suaminya terluka? Tadi benar-benar nampak seperti darah."Dari mana?" tanya Tsabi merasakan ada yang tidak beres pada suaminya."Apa perlu aku jawab. Rambutku basah, tubuhku segar, tentu saja habis mandi. Haruskah aku membuat laporan dalam setiap kegiatanku."Tsabi melongo mendengar jawaban tendensius dari pria berstatus suaminya itu. Bisakah orang di depannya menjawab sesuai pertanyaan yang benar."Tadi kulihat pundakmu ada darahnya? Kamu terluka?" tanya perempuan itu benar-benar penasaran. Dia tidak mungkin salah lihat."Aku baik-baik saja, jangan terlalu banyak berprasangka. Sebaiknya kamu kembali tidur masih terlalu pagi," ucap Shaka dingin. Berjalan ke ranjangnya langsung merebah begitu saja.Tsabi yang memang tidak berniat untuk tidur lagi langsung ke kamar mandi. Ia berniat memeriksa pakaian kotor suaminya."Tapi apa Mas?" Tsabi yang penasaran langsung mencicipinya. Tidak ada masalah, rasanya juga cukup enak. Namun, ia sedikit eneg ketika mendapati isian bawang bombainya."Hehehe. Seharusnya kamu bikin lebih banyak lagi. Aku suka, kalau ukurannya kecil gini kurang sayang.""Ish ... bikin worry saja. Habisin semuanya Mas, aku kenyang.""Kapan kamu makan?" Sedari bangun Shaka belum melihat istrinya mengisi perutnya."Lihatin kamu udah kenyang. Aku belum lapar, udah minum susu tadi," jawab Tsabi benar adanya."Sini aku suapin," ujar pria itu membagi sisa gigitannya.Sebenarnya Tsabi agak mual dengan bawang bombay, tetapi isian itu kurang menarik tanpa umbi satu itu.Tsabi baru mengunyah beberapa suapan, tetapi dia merasa semakin eneg. Wanita itu langsung beranjak dari kursi seraya menutup mulutnya.Shaka yang melihat itu langsung berdiri menyusul. Paling tidak bisa melihat istrinya dalam kesusahan."Sayang, maaf, kamu beneran mual?" ucap pria itu iba. Kasihan sekali melihat Tsabi yang menda
"Kamu juga capek kan Mas, kenapa mijitin?" tanya wanita itu sembari menyender di kepala ranjang. "Lelahku hilang saat melihat senyum kamu sayang," ujar Shaka jujur. Sedamai itu ketika menatap wajahnya yang teduh. Selalu menenangkan. "Bisa aja kamu Mas," jawab Tsabi tersenyum. Ditemani gini saja sudah mengembalikan moodnya. Apalagi dipijitin begini, sungguh Mas Shaka suami yang romantis dan pengertian. Perlahan netra itu mulai berat. Seiring sentuhan lembut yang mendamaikan. Tsabi terlelap begitu saja. Melihat itu, Shaka baru menyudahi pijitanya, dia membenahi posisi tidur istrinya agar lebih nyaman. Sebenarnya ada hasrat rindu yang menggebu, apalagi memang pria itu sudah beberapa hari tak berkunjung. Namun, nampaknya waktu dan keadaan kurang memberikan kesempatan. Tsabi juga terlihat lelah akibat aktivitas seharian di luar. Shaka akan menundanya besok sampai waktu memungkinkan. Agar keduanya sama-sama nyaman. Terutama Tsabi yang saat ini tengah hamil muda. Kadang moodian. Shaka h
"Nggak jadi aja ya, perasaan aku nggak enak," kata Shaka yang sebenarnya takut kalau nanti istrinya bakalan sakit hati lagi. "Kenapa, kalau dia nggak mau ketemu sama aku, mungkin mau dijengukin kamu. Kita bisa bawakan makanan kesukaan Angel dan mukena. Aku yakin dia mau berubah. Kita tidak boleh memusuhinya Mas.""Kenapa sih kamu jadi orang baik banget. Dia udah jahat banget loh sama kamu, sama keluarga kita. Wajar kan kalau pada akhirnya aku nggak respect.""Sangat wajar, itu namanya naluriah. Ketika seseorang disakiti terus membalas. Aku cuma mau kasih ini Mas, mana tahu dia bisa terketuk hatinya untuk melakukan kebaikan.""Oke, nanti aku antar," ucap Shaka pada akhirnya. Mereka benar-benar mengunjungi Angel yang saat ini dalam tahanan. Akibat perbuatannya, Angel harus menerima sanksi berat. Mendapatkan kurungan yang tak sebentar. Karena mencoba melakukan penganiayaan dan juga pembunuhan."Ngapain kalian ke sini? Puas lihat aku di sini seperti ini," sentak Angel menatap sinis pasu
Sepekan telah berlalu, tapi kesedihan nampaknya masih membekas di hati Shaka. Suasana hatinya beberapa hari ini sedang tidak baik-baik saja. Beruntung Tsabi adalah istri yang begitu perhatian dan pengertian. Wanita itu sangat sabar menemani suaminya yang dalam suasana duka.Hari ini pria itu sudah mulai beraktivitas kembali seperti biasanya. Toko dan bengkelnya juga sudah mulai dibuka kembali. Setelah sepekan tutup total karena dalam suasana berkabung. Ibunya memang belum meninggalkan banyak kenangan manis dengannya. Namun, sebagai seorang anak pasti sangat kehilangan ditinggalkan orang yang telah melahirkannya untuk selamanya. "Mas, ini ganti kamu hari ini," ujar Tsabi menyiapkan pakaian ganti suaminya. Walaupun beraktivitas di samping rumahnya, tentu Tsabi tak pernah lupa mengurusi pakaian suaminya juga untuk kesehariannya. Santai, tapi bersih dan tertata. "Makasih sayang," jawab Shaka memakainya begitu saja di depan istrinya. Sudah tidak tabu lagi. Bahkan menjadi pemandangan men
Tepat pukul lima sore hari Nyonya Jesy menghembuskan napasnya yang terakhir. Shaka sangat terpukul dengan kepergian ibunya. Pria itu tersedu sembari membacakan ayat-ayat suci di dekat ibunya. Tsabi mengusap lembut punggung Shaka setelah menyelesaikan surat yasin menutup doa ibu mertuanya. "Yang ikhlas Mas, biar mommy tenang," ucap Tsabi menguatkan. Dia tahu ini berat, hanya doa terbaik untuk almarhum mommy yang sekarang bisa ia lakukan. Wanita itu langsung menghubungi keluarganya. Ummi Shali, Ustadz Aka, dan Khalif serta beberapa orang abdi dalem langsung bertolak ke rumah sakit. Tentu saja untuk mengurus kepulangan dan juga pemakamannya. Beberapa orang lainnya nampak sudah bersiap menunggu jenazah pulang ke rumah duka. Suasana mengharu biru saat jenazah itu tiba dan hendak disholatkan. Ustadz Aka sendiri yang mengimaminya. Berhubung waktu belum terlalu malam, almarhum langsung dikuburkan malam itu juga. Tepatnya setelah sholat maghrib. Semuanya seakan berjalan begitu cepat. Padah
"Tsabi, apa yang terjadi sayang?" Ummi Shali dan suaminya langsung bertolak ke rumah menantunya begitu mendapatkan kabar dari Shaka. "Zayba jatuh Ummi, dia sepertinya sangat kaget," jelas Tsabi mengingat bocah kecil itu terlepas dari troli. Salah satu karyawan toko yang menggendongnya dan langsung mengamankan bayi itu. "Astaghfirullah ... Mas, cucuku gimana ini. Kita bawa ke tukang pijat.""Kenapa bisa sampai seteledor itu menjaga anak kecil. Bukankah kamu di rumah?""Tsabi tidak enak badan abi, tadi habis periksa. Aku nitip ke mommy, tapi malah ada musibah begini.""Kamu sakit?" tanya Ummi Shali menatap dengan serius. "Sakit, tapi sebenarnya—" Tsabi terdiam, agak ragu berkata jujur saat ini. Namun, bukankah kabar baik itu harus berbagi. "Sebenarnya apa?" tanya Abi Aka giliran yang menatapnya. "Zayba mau punya adik, Ummi," kata Tsabi malu dan ragu membagi kabar bahagia tersebut. "Kamu hamil lagi?" tanya Ummi cukup kaget. Baby Zayba belum genap satu tahun sudah mau punya bayi. Ba