"Tolong ambilkan aku handuk, dan siapkan gantinya," pinta Shaka setengah berbisik. Rasanya jantung Tsabi seperti berhenti berdetak dan mau lompat dari tempatnya, bulu kuduknya merinding semua saat sapuan hangat napas suaminya menyerbu pipi. Tsabi bahkan hanya mampu mengangguk tanpa kata.
Pria itu menarik diri memberi jarak, beranjak tanpa dosa. Masuk ke kamar mandi begitu saja."Huh ... astaghfirullah ...," ucap Tsabi langsung beristighfar begitu punggung suaminya menghilang dibalik pintu. Merasa begitu lega sejenak."Handuk? Di mana handuk?" Tsabi masuk ke ruang ganti. Mencari-cari kain yang diminta suami misteriusnya itu. Jelas kesulitan mengingat dia belum tahu betul letak barang-barang di rumah ini. Ia pun membuka satu persatu lemari yang memungkinkan kain itu ada di sana."Di mana sih!" Tsabi menggerutu kesal terus mencari. Ia menemukan setumpukan handuk bersih yang tertata rapih. Langsung menarik satu dari lipatan. Membawanya keluar, dan setelahnya bingung cara memberikan pada suaminya yang masih di dalam."Aku taruh sini aja kali ya," gumam perempuan itu bingung hendak mengetuk pintunya. Namun, dari mana pria itu tahu kalau Tsabi hanya diam tanpa mengabarkan. Baru saja kepikiran, pintu itu sudah terbuka dengan wajah Shaka menyembul dibaliknya."Handukku mana?" pinta Shaka mengulurkan tangannya. Langsung melilitkan di pinggangnya. Keluar begitu saja dengan tubuh bertelanjang dada. Pemandangan yang begitu awam untuk seorang Tsabi sebenarnya. Dia yang malu langsung menolehkan wajahnya."Pakaian gantiku mana? Bukankah tadi aku sudah meminta tolong padamu untuk menyiapkan?" kata pria itu tidak menemukan di atas ranjang. Biasanya ada seseorang yang bertugas mengurusi semua keperluan Shaka, tetapi mulai detik ini, dia memberhentikannya sebab sudah ada istrinya di sana."Belum Mas, akan aku siapkan," jawab Tsabi melesat ke ruang ganti."Jangan berlarian Tsabi, kamu sedang hamil," tegur Shaka membuat Tsabi kembali tersadar sebab musabab dirinya terjebak dalam pernikahan misterius ini. Dia bahkan sampai lupa kalau dirinya hamil. Tsabi juga masih begitu penasaran dan akan menanyakan semua ini pada pria yang kini menjadi suaminya.Shaka sampai mengekor ke ruang ganti karena istrinya lama sekali. Pria itu langsung masuk tanpa permisi."Mas!" Tsabi menjerit saat Shaka melepas handuknya hendak memakai celana. Perempuan itu segera berbalik dengan grogi.Shaka nampaknya tidak begitu peduli, dia tetap tenang memakai pakaiannya begitu saja."Biasakan dirimu mulai saat ini Tsabi, bukankah kita suami istri?" kata pria itu lalu keluar dari ruang ganti. Tsabi baru berani membalikkan tubuhnya."Ya Allah ... Ya Rabb ... kenapa aku kagetan sekali. Tenang Tsabi, tenang, dia suamimu," gumam Tsabi mensugesti dirinya dengan pikiran yang baik.Perempuan itu keluar dengan pakaian semula dengan hijabnya. Menatap kebingungan saat melihat Shaka sudah menguasai ranjang."Apa kamu ingin tidur dengan pakaian seperti itu?" tanya Shaka tanpa mengalihkan tatapannya dari layar macbook di tangannya."Ya," jawab Tsabi lebih baik. Rasanya dia tidak nyaman sekali di ruangan itu, lebih kepada takut setelah melihat tatapannya yang dingin."Ganti!" titah pria itu menatap dari ujung kepala sampai kaki."Tapi—" Tsabi bimbang. Antara perintah suami dan naluri hati. Apakah pria itu akan meminta haknya di malam pertamanya."Oh tidak, tidak! Aku sedang hamil, pria itu tidak bisa menyentuhku sampai benar-benar ketahuan kalau ini benar-benar anaknya," batin Tsabi menggeleng resah."Haruskah aku yang menggantikan pakaianmu?" kata pria itu memindai tatapannya dari layar macbook. Menepikannya di nakas lalu turun dari ranjang."Aku bisa sendiri," jawab Tsabi hampir berjalan cepat. Sebelum ultimatum suaminya cukup nyaring terdengar."Jalan yang benar!" tegur Shaka langsung menormalkan langkah Tsabi. Pria itu tidak berniat melakukan seperti yang dikatakan. Beranjak karena butuh mengambil ponselnya di meja sofa.Begitu sampai di ruang ganti, Tsabi kembali bingung saat tidak menemukan koper miliknya yang dia bawa tadi. Mungkin sudah disinggahi pelayan di sini. Tsabi kembali keluar mencari-cari koper miliknya."Mau ke mana?" tanya Shaka yang kini sudah pindah di sofa. Duduk mendominasi."Koperku sepertinya masih ketinggalan di luar. Biar aku lihat dulu," ujar Tsabi dengan perasaan kurang nyaman."Semua pakaianmu sudah tertata rapih di lemari paling ujung. Termasuk yang ada di dalamnya, setiap hari kamu harus memakai dengan pakaian dan warna yang berbeda. Berlaku saat hendak tidur," ucap Shaka tak ada kompromi.Tsabi tidak membawa pakaian banyak. Dia akan mengambilnya nanti pikirnya gampang. Namun, sepertinya keluar dari rumah ini tidak cukup mudah baginya. Ada banyak orang-orang yang terlihat berjaga di luar.Perempuan itu kembali ke ruang ganti untuk yang kesekian kalinya. Menuju lemari paling ujung seperti petunjuk suaminya. Matanya hampir melompat tak percaya melihat sederetan gaun malam yang berjejer dengan model sexy, semacam lingerie yang sering digunakan para istri untuk menjamu suaminya di atas ranjang impian."Hah! Nggak ada yang lain apa? Yang benar saja," gumam Tsabi menggerutu sambil memilih yang paling pas. Karena semuanya sexy, Tsabi memilih piyama yang dibawa sendiri. Terserah apa tanggapan suaminya nanti, yang jelas dia tidak mau memakai pakaian yang berjejer rapi di sana yang sudah pasti mengundang syahwat kaum lelaki.Perempuan itu keluar tanpa melepas hijabnya. Shaka yang melihat Tsabi dengan pakaian tertutup, hanya menatap sekilas lalu membiarkan saja tanpa protes."Ada yang ingin kamu katakan sebelum tidur?" tanya Shaka memberikan ruang untuk istrinya bertanya."Ya ... kenapa aku bisa hamil. Dan kenapa Anda mau bertanggung jawab, bukankah kita tidak kenal?" tanya Tsabi masih sangat penasaran."Karena kamu mengandung anakku. Sudah sangat jelas, bukan. Sekarang giliran aku yang mengatakan banyak hal padamu."Jawaban macam apa ini, sangat tidak memuaskan. Bukan penjelasan seperti itu yang Tsabi minta. Namun, sebab dirinya hamil. Tsabi benar-benar masih belum paham dengan apa yang terjadi."Hamil itu karena suatu proses bertemunya embrio dengan sel sperma pria, sangat tidak mungkin aku hamil bila tanpa sebab," tandas Tsabi jelas ingin mengerti."Kamu sudah menjawabnya, akan ada hari di mana kamu tahu semuanya. Sekarang biarkan aku sekarang yang mengatakan untukmu.""Aku punya banyak aturan di rumah ini, dan kamu harus menjalankannya. Mulai sekarang kamu harus terbiasa dengan semua keperluanku di rumah ini. Termasuk menyiapkan pakaian setelah mandi. Tidak boleh keluar rumah tanpa seizinku, dan jangan menyentuh barang apa pun milikku yang tidak perlu tanpa perintah dariku. Ini adalah kamar kita, tidak boleh ada orang yang masuk selain hanya untuk membersihkannya.""Tapi aku punya pekerjaan di pesantren Mas, bolehkah aku tetap mengajar anak-anak di Madrasah?" pinta Tsabi yang serasa berat meninggalkan tempat untuk menimba ilmu anak-anak."Jam berapa? Kamu harus di rumah sebelum aku pulang kerja?" tanya Shaka menatap serius."Pagi sampai siang, terus sore juga. Nanti aku akan pulang ke rumah setelah sore selesai mengajar.""Aku hanya mengizinkan pagi sampai siang aja. Itu pun untuk saat ini. Tugasmu tidak lebih utama selain mengurusi suamimu dan juga menjaga kehamilanmu," jelas Shaka langsung membuat keputusannya sendiri.Tsabi tidak bisa menyela, memang seharusnya dia mematuhi itu baik menikah dengan Shaka atau pria mana pun. Selama suaminya dalam kebaikan, Tsabi wajib mematuhinya."Pembahasan kali ini cukup, tempati ranjangmu ini sudah malam!" kata pria itu beranjak.Kenapa perintah Shaka terdengar cukup menakutkan, bukankah suami istri hal yang wajar tidur satu ranjang. Tsabi menatap tempat tidur dengan perasaan bimbang. Sementara Shaka sudah menempati tempat itu lebih dulu. Menatap datar setengah berbaring menyenderkan punggungnya di papan headboard. "Kamu mau berdiri di situ sampai kapan?" tanya pria itu sembari menyambar macbook di nakas. Sibuk dengan sendirinya. Tsabi tidak menjawab, tetapi berjalan mendekat dengan perasaan deg degan. Berharap malam ini tidak ada adegan yang menyebabkan guncangan ranjang. Pikirannya sudah nethink duluan mengingat ini malam pertama mereka. Bukan tidak mungkin pria yang tengah serius dengan gawainya itu tiba-tiba meminta haknya sebagai pasangan halalnya. Pelan gadis itu duduk, mengangkat kedua kakinya menempati ranjang, lalu menarik selimut dengan tubuh mulai merebah. Sekelebat bayangan manis tentang mantan calon imam yang gagal di meja akad. Seharusnya dia kini tengah berbahagia andai saja menikah dengan ma
Tsabi langsung ke kamar mandi, mencari baju kotor Shaka yang baru saja dilepas. Gadis itu benar-benar penasaran apa yang baru saja terjadi. Memungutnya kembali dari ranjang kotor, lalu menelitinya dengan seksama. "Mana sih, kok nggak ada. Jelas sekali tadi pria itu seperti ada darah. Apakah Shaka sudah menguceknya?" gumam Tsabi bertanya-tanya dengan rasa penasaran akut. Ia benar-benar tidak paham, jenis pria seperti apa yang menikahinya. Apa pekerjaannya, apa profesinya dan kenapa terkesan begitu tertutup. Perempuan itu memikirkan hal pagi tadi sampai membawanya di meja makan. Masih begitu sulit dipahami. Semuanya serba mendadak dan sangat misterius. Kehamilan dirinya saja ia masih setengah percaya. Sepertinya Tsabi harus memeriksa langsung ke rumah sakit agar benar-benar yakin. Benarkah di dalam perutnya ada janin? Janin siapa? "Tsabi! Kosongkan piringmu, dan pastikan kamu memenuhi semua nutrisi untuk kandunganmu!" kata pria itu menatap sembari menikmati kunyahan di mulutnya. Merek
"Tapi aku tidak yakin kalau ini anakmu, sampai sekarang saja aku tidak mengerti kenapa aku bisa hamil," terang Tsabi dengan pendapatnya. Dia jelas menolak ajakan Shaka walaupun itu suaminya sendiri. "Apa perlu kita melakukan USG, lalu test DNA?" ucap Shaka gemas. Dia tidak suka hubungan yang memaksa, terlibat hubungan karena memang sudah terlanjur ada ikatan. Cinta, Shaka bahkan hampir tak punya cinta di sepanjang hidupnya. Hatinya dikuasai ambisi dengan segala hidup dan problematika yang ada. "Iya, aku butuh bukti yang real untuk menyakinkan semuanya," jawab Tsabi lugas. "Baik, bagaimana kalau hasilnya sesuai apa yang aku ucapkan?" kata pria itu yakin. Seyakin sikapnya yang begitu tiba-tiba datang mengacaukan acara pentingnya. Sungguh Tsabi tidak akan pernah lupa dengan kejadian yang membuat hidupnya rumit begini. "Aku akan menunaikan kewajibanku setelah aku benar-benar yakin dan memang janin ini anakmu. Ambillah hakmu hari itu juga," ucap Tsabi membuat pernyataan. Biar bagaimanap
Tsabi memanjatkan banyak doa di atas sajadahnya. Selepas subuh, ia tidak langsung beranjak, mengadukan banyak hal pada Tuhan-nya yang mengatur seluruh alam dan isinya. Lebih kepada berserah diri dan mencoba menerima takdir atas dirinya. Tiba-tiba perempuan itu merasa perutnya begitu sakit. Ia meringis tertahan sembari mendesis lara. Melihat mimik wajah istrinya yang tak biasa, Shaka yang nampak anteng memperhatikan dengan seksama langsung turun dari pembaringan. "Kenapa? Perutmu sakit?" tanya pria itu menghampiri dengan raut panik. Tsabi hanya mengangguk tanpa kata. Merasakan perutnya sakit, nyeri dan seperti kencang. "Sakit Mas," desis Tsabi memejam. Tanpa banyak bertanya, Shaka langsung menggendongnya keluar. Pria itu berteriak menggegerkan orang-orang agar segera menyiapkan mobil untuk membawanya ke rumah sakit. Wajah pria itu terlihat sangat panik. Tentu saja takut terjadi apa-apa dengan calon anaknya. Orang Shaka langsung menyiapkan mobil dan membukakan untuk Tuan-nya. "Ke
"Astaghfirullah .... " Tsabi berjingkat resah mendapati Shaka sudah di depan pintu belakang. Bukankah pria itu sudah berangkat ke kantor beberapa menit yang lalu. Raganya memang sudah melaju dari tempat itu, tetapi semua kawasan itu dalam genggaman Shaka. Pria berperawakan tegap itu bisa dengan muda memantau aktivitas Tsabi dari layar ponselnya yang terhubung dengan CCTV rumah. Jadi, sudah pasti pergerakan Tsabi terbaca secara jelas. Pria itu menatap penuh selidik, mata elangnya membisukan bibir Tsabi yang tetiba susah untuk menjawab. "Susah ya nurut apa kata suamimu. Bukankah agamamu mengajarkan itu, harusnya kamu patuhi apa yang sudah kupesankan tadi," kata Shaka dingin. "A-aku hanya ingin keluar sebentar. Aku mendadak ingin es krim, sepertinya calon anak kita mulai nyidam," jawab Tsabi cukup beralasan. Walaupun kadang ia sendiri merasa lupa kalau tengah hamil. "Biar nanti aku belikan sepuas yang kamu mau, masuk, dan kembali ke kamarmu!" titah Shaka serius. "Tapi aku maunya se
Shaka menghampiri meja dengan wajah datar. Membuat Tsabi bertanya-tanya dalam hati. Pria itu bahkan tak melanjutkan makan es krim di depannya. Sibuk dengan gawai di tangannya. Menyebalkan sekali memang. "Sudah?" tanya pria itu melihat Tsabi menghentikan suapannya. "Punya Mas masih banyak, nggak dihabisin?" sahut perempuan itu kembali menyuap ke mulutnya. "Buat kamu saja," jawab Shaka sedingi es di depannya. Sabar, itu yang harus dilakukan agar tetap waras membersamai suaminya yang kaku. Pria itu terus menatap jam di tangannya, seakan menghitung berapa waktu yang tersisa bersamanya. Membuat Tsabi paham akan ketidaknyamanan suaminya. "Mas ada acara lain? Kalau sibuk, tinggalkan aku sendiri. Biar aku pulang dengan taksi," kata Tsabi tak ingin merepotkan. Shaka tidak menjawab, hanya menatap dengan tatapan tanpa ekspresi. Membuat Tsabi serba salah sendiri. Seharusnya kalau repot tidak usah sok mengantar begini. Jadi akan membuatnya tidak nyaman. Tidak mendapat respon dari Shaka membua
Tsabi memejam merasai kulit tangan pria itu menempel lehernya. Serasa ada aliran listrik ribuan volt menyengat tubuhnya kala pria itu berbisik dengan seduktif."Apa kamu tidak berniat melepas hijabnya malam ini Tsabi? Bukankah ini halal aku lihat," kata pria itu membuat kulit Tsabi meremang seketika. Perempuan itu tiba-tiba panas dingin dalam radius tanpa jarak. Jantungnya berdetak tak beraturan. Dengan gerakan cepat Shaka memutar tubuh istrinya hingga keduanya saling berhadapan. Mengunci tatapan satu sama lain. Tangannya menopang pinggang dan mendekapnya posesif. "Diam berarti iya," kata Shaka membuat keputusannya sendiri? "Kamu berhutang penjelasan padaku, istrimu halal jika anak ini benar anakmu," jawab Tsabi memberanikan diri menatap matanya. Sungguh ia tidak ingin menjadi istri pembangkang andai semua urusannya diperjelas. Hidupnya menjadi rumit kala Shaka tak kunjung jujur padanya. Shaka seperti tuli malam itu. Sedikit mendorong tubuh Tsabi hingga terjerembab ke ranjang. De
Setelah menyelesaikan serangkaian pemeriksaan untuk test DNA, pasutri itu harus menunggu kurang lebih sekitar dua minggu baru akan keluar hasilnya. Baik Tsabi ataupun Shaka tentu merasa tidak sabar. Tsabi ingin cepat tahu hasilnya, sementara Shaka ingin cepat membuktikan kalau apa yang dikatakannya selama ini benar. Semakin itu, tentu saja karena pria itu yang lebih tahu kronologinya dibalik skandal kehamilan istrinya. "Aku ingin meminta kamar yang berbeda selama kita menunggu hasilnya," pinta Tsabi mendadak tidak nyaman sekali satu ranjang dengan suaminya. "Kenapa? Bukankah kita sudah terbiasa satu ranjang, bahkan satu selimut yang sama," kata Shaka dingin. Walaupun Tsabi memberi jarak dan batasan di antara keduanya. "Ini hanya sebuah permintaan, tidak sulit bukan, toh kita juga akan menjaga jarak satu sama lain," kata perempuan itu benar adanya. Shaka bahkan jarang sekali menempati ranjangnya di jam yang benar. Pria itu selalu pulang larut, bahkan dini hari yang entah melakukan p