Tama menatap Erwin dengan tatapan tak percaya. "Ha?" Dia menggeleng, berusaha mencerna informasi itu.
"Hanahaki," Aldo mengulangi, mencondongkan tubuhnya ke depan. "Bunga yang kau keluarkan bersama batuk, itu adalah gejala Hanahaki." Mata Tama terbelalak. Dia mengeluarkan bunga? Sekilas bayangan sebelum pingsan mengingatkannya. Dia juga ingat akan sakitnya ketika bunga yang entah darimana itu mencekik tenggorokannya. Hanahaki. Dia tahu legenda itu, penyakit di mana seseorang batuk kelopak bunga karena cinta yang tak terbalas. Tapi... "Itu takhayul, sialan." Tama menepis penjelasan Aldo dengan gerakan tangannya yang ingin memukulnya, namun Aldo mundur sedikit, menghindar dengan cekatan. "Tadinya kami pikir juga begitu." Aldo mendesah, melirik Erwin untuk mencari dukungan. "Namun ternyata ada 0,05 persen dari populasi manusia yang benar-benar mengidap penyakit tersebut," lanjutnya yang segera di-iya-kan oleh Erwin. Ruangan menjadi hening. Tama menatap kedua temannya dengan ekspresi tak percaya. Dia kesulitan mencerna kata-kata Aldo, karena rasanya seperti mendengar sesuatu yang mustahil. Dia perlahan-lahan duduk lebih tegak, berusaha mengabaikan rasa lelah yang menyelimuti tubuhnya. Erwin berdeham lalu berkata, "Penyakit ini hanya muncul ketika seseorang menyimpan cinta yang tak terbalas begitu lama hingga tumbuh menjadi sesuatu yang nyata di dalam tubuh. Jika kau mengatakan siapa orangnya, aku dan Aldo sepakat untuk membantumu membuatnya membalas perasaanmu." Tama masih terdiam, kepalanya berdenyut karena kebingungan. Dia mengusap wajahnya. "Kalau begitu, itu lebih tidak masuk akal lagi." Suaranya mulai terdengar frustrasi. "Karena aku tidak sedang menyukai siapa pun," ujarnya. Aldo dan Erwin saling bertukar pandang, raut wajah mereka sama-sama bingung. “Itu aneh,” gumam Aldo. Erwin kembali menatap Tama lekat-lekat. “Hanahaki tidak pernah salah. Itu hanya tumbuh dari perasaan yang murni dan dalam, yang dimiliki inangnya.” "Tama sayang!" Felisha muncul dari balik pintu dan melangkah dengan tergesa-gesa. "Bagaimana keadaanmu?" Erwin memutar bola matanya. "Dia sekarat karena cinta bertepuk sebelah tangan." Sekarang giliran Tama yang memutar bola mata. "Apa maksudnya?" tanya Felisha seraya menyingkirkan Aldo dari kursi yang disediakan di samping ranjang rumah sakit. "Maksudnya, paru-paruku berubah fungsi menjadi ladang dan menumbuhkan bunga! Betapa indahnya hidupku" Tama mengatakannya dengan sarkas. "Aku tidak ingin mendengar lelucon sekarang! Dan tidak ada bunga di ladang!" Balas Felisha dengan cemberut. "Dia menderita hanahaki." Aldo duduk di tempat kaki Tama berada. "Dia mengeluarkan bunga dari mulutnya." "Hanahaki? Aku pernah membacanya di cerita roman." Felisha bergumam, lalu kembali menghadap Tama. Matanya berkaca-kaca dan lengkungan bibirnya turun ke bawah. "Oh sayang, kasihan sekali kau akan mati muda." "Apa maksudmu aku akan mati muda? Aku masih sehat dan kuat." Tama memprotes, tidak terima dengan perkataan teman kecilnya yang dangkal. "Tapi di novel—" "Felisha itu hanya novel!" Tama memotong dengan kesal. "Benar juga." Gadis itu menyedot kembali ingusnya. "Jadi apakah kau bisa sembuh?" "Dokter bilang, Tama akan sembuh kalau cintanya terbalas. Masalahnya kita tidak tau siapa orang yang tidak beruntung itu, dan si brengsek ini, sama sekali tidak membantu dan terus menyangkal dengan mengatakan dia tidak sedang menyukai siapapun." Aldo menjelaskan dengan senyum namun matanya menatap Tama dengan tajam. "Oh, itu bodoh sekali." Perkataan Felisha disetujui oleh dua kepala di ruangan itu. Tama menggeram, "Aku tidak! Kalau kalian lupa, aku benci cinta!" Erwin tampak ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Kalau memang benar begitu... bagaimana dengan Raisa?" Pertanyaan itu membuat Tama menaikkan sebelah alisnya. "Ada apa dengan Raisa? Oh iya," dia menatap sekeliling, seolah baru menyadari seseorang hilang. "Di mana anak itu?" "Dia harus pulang," jawab Erwin sambil melirik ke arah pintu. "Tidak lama sebelum kau bangun. Dia sudah menunggumu cukup lama." Tama mendesah, melemparkan pandangan kosong ke arah pintu. "Dia harus kerja. Tapi tunggu, kenapa kalian malah membahas Raisa?" "Karena kau jelas menyukainya!" Aldo menatapnya dengan penuh keyakinan. "Kau selalu ada untuk dia, kau menyelamatkannya dari Brian, kau bahkan lebih perhatian padanya dibanding orang lain!" "Dibanding aku, sahabatmu dari kecil!" Felisha menimpali. Tama mengabaikan Felisha, untuk menatap Aldo seperti dia baru saja menumbuhkan kepala keduanya. "Apa?! Tidak, tentu saja tidak. Aku tidak punya perasaan seperti itu terhadap Raisa." Tama memijit keningnya. Erwin mengerutkan kening, tidak yakin. "Tapi kau selalu memperhatikannya. Semua orang bisa melihatnya. Kau bahkan marah ketika Raisa berada dalam masalah." Tama mendesah, kini benar-benar lelah dengan pembicaraan ini. "Ya, karena kami berteman. Teman saling peduli satu sama lain, itu wajar. Aku menyelamatkan Raisa dari Brian karena aku tidak suka melihat orang diperlakukan tidak adil, bukan karena aku punya perasaan padanya. Itu yang seharusnya dilakukan oleh siapa saja." Dia menatap semua orang, berharap mereka bisa memahami sudut pandangnya. "Sudah sewajarnya sebagai manusia untuk saling menolong, kan?" Felisha menyentuh bahunya, menambahkan sedikit tekanan pada pernyataannya. "Tidak. Kau jelas bukan tipe manusia yang seperti itu. Jangan berujar omong kosong tentang hubungan pertemanan, karena kau bahkan tidak pernah memperlakukan kami dengan cara yang sama seperti kau memperlakukan Raisa." Tama merasakan detak jantungnya semakin cepat, dia memilih untuk diam sebentar sebelum mendengus geli. "Itu tidak mungkin." "Mengaku saja, kau memang menyukainya!" "Aku tidak menyukainya!" Tama hampir berteriak, suara seraknya menggema di ruang rawatnya. Aldo mengerang, “Sialan! Ini terlalu membuat frustrasi,” umpatnya, sambil mengacak rambutnya sendiri dengan gerakan putus asa. Dia merasa seperti berhadapan dengan dinding tebal yang tak bisa ditembus, dan rasanya semakin menyebalkan. Setelahnya, Aldo menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. "Kalau begitu... ini mustahil. Hanahaki hanya terjadi karena cinta tak terbalas, tapi kau tidak menyukai siapa pun? Bagaimana mungkin kau bisa mengidap penyakit ini?" "Itu dia masalahnya." Tama tiba-tiba terbatuk lagi, dan rasa sakit menjalar di tenggorokannya. Terkejut, dia merasakan satu kelopak bunga yang tersangkut di langit-langit mulutnya. Dengan cepat, dia mengeluarkan kelopak bunga tersebut untuk di bungkus tisu yang diulurkan Felisha. Kelopak bunga berwarna merah muda. "Aku benar-benar tidak tahu. Aku bahkan tidak punya perasaan pada siapa pun saat ini. Jadi kenapa aku mengeluarkan bunga?" Tama menatap kosong kelopak bunga tersebut sebelum membuangnya ke tempat sampah.Felisha melangkah maju. "Tama, kau sudah tau efek sampingnya?" Nada bicaranya lebih seperti pernyataan. Dia terdiam sejenak mencerna sesuatu. "Kau sudah tau tentang itu, dan kau masih akan melakukan operasi ini?" suaranya bergetar, jarinya terangkat untuk mencengkeram kedua bahu Tama dengan begitu kuat. Tama mengalihkan pandangan. Dia enggan menatap siapapun di ruangan itu. Mata kelamnya hanya tertuju pada dinding rumah sakit yang putih dan bisu. "Itu tidak akan berguna untukku," katanya datar tanpa adanya emosi sedikitpun yang ditunjukkan. Felisha tersentak. "Tidak ada manusia yang tidak membutuhkan cinta," bisiknya lirih. “Ada.” Kali ini Tama menoleh. Tatapannya tajam. “Aku.” Dia melanjutkan dengan nada getir. “Aku bahkan membencinya. Dan aku masih tidak percaya aku berada di sini dan melakukan operasi sebentar lagi, hanya karena 'cinta' yang tidak aku punya dari awal." "Omong kosong." Felisha tert
Kamar rawat inap terasa dingin oleh AC, dindingnya putih bersih tanpa ornamen, terlalu sunyi sampai rasanya menakutkan. Tama berbaring setengah duduk, selang infus menempel di punggung tangannya. Pandangannya kosong menatap jendela, meski yang terlihat hanya gedung rumah sakit lain di seberang.Pintu kamar diketuk pelan. Felisha muncul lebih dulu, membawa kantong plastik, lalu disusul Erwin dengan cengiran lebarnya.“Hei,” Felisha menyapa, matanya tidak bisa menyembunyikan rasa khawatir. “Kau kelihatan pucat sekali.”Tama hanya mengangkat bahu. “Tentu, aku pasien,” katanya dengan santai.Erwin menarik kursi, kemudian duduk di samping ranjang rumah sakit. “Kapan jadwal operasimu?” tanyanya.Tama menoleh, memperhatikan kedua sahabatnya bergantian. "Lima jam lagi."Erwin hanya mengangguk tanpa menambahkan sepatah kata pun. Sementara itu, Felisha meletakkan kantong kresek yang dibawanya di atas nakas. Pandangannya kemudian tertuju pada kelopak-kelopak bunga yang tercecer di pojok meja. Se
Tama merasa tidak sehat.Belum dua puluh menit, namun sudah terengah-engah ketika mengikuti porsi latihan biasa. Tama yakin dia sedang dalam kondisi paling menyedihkan sepanjang hidupnya, dan dia mungkin takkan pernah pulih dari kondisi terkutuk yang mengerikan ini. Seandainya parasit di organ pernafasannya tidak pernah ada...Sekarang Tama menyebutnya sebagai parasit. Sebutan paling tepat untuk sesuatu yang hidup menempel dan merugikan inangnya."Istirahatlah, kau terlihat pucat." Pak Burhan menyarankan. Tama menurut. Dia menepi sambil terbatuk-batuk. Menyembunyikan kelopak bunga di tangannya."Yang lain berlari keliling lapangan sepuluh putaran!" seru Pak Burhan, disambut keluhan dan protes dari anak-anak lainnya. Aldo mengerutkan kening ketika menoleh ke arah Tama, lalu akhirnya ikut berlari menyusul teman-temannya."Kau akan dicap pilih kasih oleh mereka." Tama menutup botol minumnya yang tersisa setengah.Pak Burhan hanya mengangkat bahu, tampak acuh. “Itu risiko menjadi guru yan
“Apa maksudmu mengatakan itu?” Tama memekik, berdiri dari duduknya dan memberikan tatapan tajam pada Felisha. “Jangan membuatnya salah paham.”Felisha balas menatap, namun tatapannya sedikit goyah dan getir.Keadaan menjadi tegang. Erwin mendekati Felisha sedangkan Aldo menjaga Tama agar tidak lepas kendali.Di tengah keadaan yang tidak nyaman ini, Raisa mencoba keluar dari kebingungan. “Eh, adakah yang mau menjelaskan sesuatu padaku?”Bel masuk berbunyi dan guru pelajaran pertama sudah di depan pintu. Mereka memutuskan untuk berhenti dan kembali ke bangku masing-masing mengabaikan tatapan beberapa teman sekelas mereka yang mulai penasaran.Namun bukan berarti Tama bisa menghindar selamanya. Tepat saat bel istirahat berbunyi, mereka memutuskan untuk menyeret Tama dan melanjutkan pembicaraan tadi di tempat sepi dan tidak mencolok, seperti di sudut ruang bagian belakang perpustakaan.Tama menyadari bahwa ada tambahan orang dan dia curiga seiring berjalannya waktu seluruh sekolah akan ta
Rumor menyebar lebih cepat daripada angin.Tama setuju dengan pepatah tersebut.Tidak tau dimulai dari siapa, namun rumor tentang ia yang telah ditolak seorang gadis dan mendapat kutukan dari dewa cinta dengan batuk berbunga telah menyebar ke seluruh penjuru sekolah.Rumornya tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak benar.Tama tidak pernah mengerti orang-orang yang gemar mencampuri urusan orang lain. Tidak bisa dipungkiri, kalau Tama merupakan idola sekolah dan banyak yang menaruh atensi padanya, tak heran rumor sekecil apapun akan langsung membesar dengan hitungan detik."Tama!"Merasa dipanggil namanya, ia menoleh. Seorang gadis berjalan ke arahnya, dia melambaikan tangan pada Tama. Laki-laki itu menunggu sampai gadis tersebut lebih dekat untuk menyapanya kembali, "Raisa.""Bagaimana keadaanmu?""Seperti yang terlihat, aku baik.""Rumor tidak berbicara begitu."Tama terkekeh, “Rumor hanyalah rumor.” Ia menyelipkan kedua tangannya ke saku celana, memilih berdiri tenang di tengah ta
Tama menatap tajam pria paruh baya yang setengah rambutnya sudah memutih. Sama sekali mengabaikan teguran kakaknya yang berada disampingnya."Berapa kali aku harus mengatakannya? Aku tidak menyukai, mencintai, atau merayu siapa pun. Sepanjang hidupku, aku tidak pernah mempunyai perasaan seperti itu."Setelah mendengar dari dokter secara langsung tentang kondisi kesehatannya, Tama masih tidak mau percaya. Itu tidak masuk akal.Serius, Hanahaki? Dari segala jenis penyakit lainnya?Apakah dia sedang bermimpi sekarang?Sang dokter menghela napas. Wajahnya masih tenang, sudah terbiasa menghadapi pasien keras kepala seperti Tama. "Bahkan jika kau menyimpan perasaan pada seorang pria—”"Tidak siapa pun, berarti termasuk seorang pria," sahut Tama, menekankan setiap kata.Tama selalu punya sifat pemarah. Pada dasarnya, itu sifat utamanya. Bukan berarti dia bangga akan hal itu, tapi keadaan saat ini benar-benar menguras emosinya.Wanita di sebelah Tama mengusap punggungnya perlahan. Sejujurnya