Handa sudah tiba di Stasiun Gambir, pandangan Handa menyapu seisi stasiun sejak keluar dari Kereta Api Argo Bromo Anggrek. Hingga pandangannya berhenti pada seorang lelaki paruh baya yang berbadan kurus, tetapi kulit bersih dan pakaiannya yang rapi membuatnya masih terlihat tampan, dia adalah Gunadi ayah kandung Handa.
Ayah dan anak itu saling melempar senyum, lalu Handa dan Gunadi berjalan perlahan saling mendekat untuk memangkas jarak di antara mereka, tapi tak lama kemudian karena rasa rindu yang sangat mendalam membuat Handa kehilangan kesabaran dan segera berlari menghambur ke pelukan Gunadi sang ayah.
"Papa." Erat Handa memeluk Gunadi sambil memejamkan matanya.
Ayah dan anak itu saling berpelukan melepas rindu, rasa hangat dari pelukan seorang ayah yang sudah lama tidak dirasakan oleh Handa. Pelukan hangat yang membuat ia berpikir, tidak mungkin pria ini tidak menyanyanginya, tidak mungkin pria ini membuangnya, tidak mungkin pria ini tidak berjuang untuknya. Tetapi apa yang dirasakan Handa selama ini adalah sebaliknya, pria yang dipeluknya dengan sadar mengantarkannya dan menitipkannya di rumah saudara tuanya, pria ini bahkan sudah lama mengabaikan dirinya dan tidak pernah menghubunginya, dan baru menghubunginya lagi saat mengabarkan bahwa sang kakak akan menikah.
"Papa sayang Handa, papa selalu sayang Handa." Lirih suara Gunadi sambil mengelus pelan punggung Handa.
Bagaikan template yang sudah terprogram dengan baik, kata-kata itu selalu Handa dengar dari mulut sang ayah di saat mereka baru saja bertemu atau akan berpisah. Handa hanya mengangguk pelan sambil melepaskan pelukan. Handa memandangi wajah paruh baya di depannya. Tampak kesedihan yang mendalam tersirat di wajahnya yang tirus. Bahkan cekungan di sekitar bola mata, seakan mempertegas adanya beban berat yang dipikulnya.
"Papa, Handa juga sayang papa," balas Handa, dan tak terasa bulir bening mulai menetes dari mata Handa.
Gunadi tersenyum sambil menyeka bulir bening yang menetes perlahan dari mata Handa dengan kedua ibu jarinya, gaya bahasa Handa yang ia rasa masih seperti putri kecilnya yang dulu, seakan mengembalikan ingatan masa lalu saat-saat bahagia bersama Handa kecil.
"Pulang?" Gunadi mengulurkan tangannya mengajak Handa segera pulang ke rumah mereka.
Handa meraih tangan Gunadi sambil tersenyum, lalu mereka berjalan bergandengan tangan meninggalkan Stasiun Gambir.
"Kalau nggak langsung pulang, Papa mau ajak Handa kemana?" tanya Handa dengan nada manja pada papanya.
"Handa maunya kemana?" Gunadi balik bertanya pada Handa.
"Pulang dulu aja deh pa, mau istirahat."
"Kalau besok mau kemana?" Gunadi kembali bertanya.
"Ancol Pa, eh Taman Mini aja Pa ... kalau Ragunan gimana Pa?" Handa tampak kebingungan memilih tempat yang akan dia kunjungi selama di Jakarta.
"Monas saja ya? Yang irit." Gunadi melirik Handa sambil tersenyum.
"Ah ... keluar dari sini juga lihat Monas, Pa," jawab Handa kesal, yang hanya dibalas dengan usapan di kepala sambil tersenyum.
***
Sebuah mobil sedang memasuki pekarangan dengan bangunan rumah dua lantai. Bukan rumah mewah, rumah keluarga kelas menengah yang mungkin sudah masuk golongan atas. Tampak di garasi sudah ada mobil lain yang terparkir di sana.
"Tak banyak yang berubah dengan rumah ini." Komentar Handa saat melihat keadaan rumah yang sudah lama ia tinggalkan.
"Sudah berapa lama kau tak pulang?" Gunadi memarkirkan mobil, lalu mematikan mesin saat mobil sudah berhenti di tempat yang tepat.
"Sekitar lima atau enam tahun, terakhir saat lulus SMA." Handa mengikuti Gunadi keluar dari mobil.
Saat itu Handa pulang karena ingin melanjutkan kuliah di Jakarta. Tetapi keinginannya harus kandas karena adanya masalah keluarga yang tak kunjung usai. Gunawan akhirnya menjemputnya untuk kembali ke Semarang, dan akhirnya Handa melanjutkan kuliahnya di sana. Handa pun fokus pada kuliahnya, karena ternyata setelah dia kembali ke Semarang orang tuanya tak pernah mengirim uang kuliah atau pun uang jajan untuknya. Handa bekerja banting tulang untuk membiayai kuliahnya sendiri. Meskipun Gunawan sering menawarkan bantuan, tetapi Handa tidak ingin terus-terusan merepotkan pakdhenya tersebut. Karena selama tinggal di rumah Gunawan, Handa sudah mendapat makan dan tempat tinggal gratis.
"Bagaimana dengan kuliahmu?" Tanya Gunadi sambil berjalan menuju pintu.
"Skripsi," jawab Handa singkat.
"Maafkan papa." Gunadi mengusap-usap pucuk kepala Handa dan mencium keningnya, lalu membukakan pintu untuk Handa.
Handa mengikuti langkah kaki Gunadi memasuki rumah. Rumah dimana ia menghabiskan masa kecilnya, rumah dimana dia tumbuh dan pernah merasakan bahagia bersama kedua orang tua dan kakaknya. Hingga suatu saat sebuah peristiwa yang tidak ia ketahui penyebabnya dia harus meninggalkan rumah tersebut, dan bahkan ia pun harus segera meninggalkan rumah tersebut di saat masa liburannya belum habis. Tidak kerasan? Bukan itu penyebabnya, keributan besar di keluarganya selalu terjadi saat dia berada di sana, membuatnya memilih segera mengakhiri masa liburan dan kembali ke Semarang. Dalam hitungannya, paling lama dia akan berada di rumah tersebut satu minggu lamanya, dalam hatinya berdoa semoga kedatangannya kali ini tidak terjadi masalah dan semua rencana berjalan lancar.
Senyum Handa merekah saat ia melihat wanita paruh baya yang masih terlihat cantik mesk usianya tak muda lagi, melangkahkan kaki keluar dari dapur. Marini, sang ibu yang juga sangat ia rindukan segera berhambur memeluk Handa. Gunadi meneteskan air mata melihat anak dan istrinya berpelukan, sebuah pandangan yang sulit diartikan, pandangan penuh kebahagian dan rasa bersalah bercampur menjadi satu, lalu ia mengelus kepala kedua wanita di depannya dan ikut larut dalam pelukan.
Sedangkan di lantai dua, seorang gadis cantik yang terlihat sudah dewasa keluar dari salah satu kamar. Dialah Hanindya Maheswari Gunadi, kakak Handa yang akan segera menikah untuk melapas masa lajangnya. Ia manatap nyalang ke arah tiga orang di lantai bawah, tangannya menggenggam erat handgrip railling lantai dua dan rahangannya mengeras. Dia mendengus kasar lalu menuruni tangga dan berhenti dipertengahan tangga.
"Sudah tiba?" Tanyanya singkat, membuat tiga orang di lantai bawah saling melepas pelukan.
"Mbak Hanin." Lirih Handa memanggil nama tersebut, kemudian ia melangkah menuju Hanin yang masih berdiri di tangga.
"Selamat Mbak, semoga besok acaranya berjalan lancar, penikahannya langgeng dan Mbak Hanin bahagia selalu." Handa berusaha sebaik mungkin di depan Hanin, dengan mengucapkan doa-doa terbaik berharap Hanin bisa menerima kedatangannya kali ini.
"Tapi aku tidak menggundangmu, aku juga tidak butuh doa darimu, jadi buat apa kau harus ada di sini?" tanya Hanin dengan ketus.
Handa segera menghentikan langkahnya, memandang Hanin. Penolakan dan kebencian Hanin seolah sudah mendarah daging. Tetapi sampai saat ini Handa tidak mengetahui penyebabnya, dan anehnya hal itu membuat sang ayah seakan tidak berdaya dan harus menitipkan Handa di Semarang.
Sebenarnya berat bagi Handa untuk melanjutkan langkahnya, timbuk rasa ingin berbalik dan segera kembali ke Semarang walaupun seluruh tubuhnya terasa sangat lelah. Tetapi hatinya jauh lebih lelah menghadapi penolakan sang kakak, karena penolakan itu akan terus teringat meskipun disaat mereka tidak bersama.
"Sebaiknya kamu segera angkat kaki darai rumah ini, karena kehadiranmu tidak pernah diharapkan."
"HANIN!" Teriak Gunadi dan Marini hampir bersamaan.
Handa ditemani Satria, Dharma, Gunawan dan juga Lasmi berdiri di depan sebuah pusara. Sungguh Handa tidak pernah menduga jika ternyata dia adalah anak dari Arumi, adik bungsu Lasmi yang pernah dititipkan di rumah Gunadi untuk menuntut ilmu di Jakarta.Saat itu Gunadi dan Marini membawa pulang jasad Arumi yang katanya mengalami kecelakaan saat pulang kuliah. Gunadi menyimpan rapat rahasia itu, bahkan Marini pun baru mengetahuinya bersamaan dengan Handa. Kala itu Marini yang melihat gelagat mencurigakan antara Gunadi dan Arumi, langsung meminta kepada Arumi untuk segera mencari kost. Tetapi, keadaan itu justru menjadi peluang bagi Gunadi dan Arumi untuk bisa bersama tanpa sepengetahuan Marini.Hingga saat Gunadi memberitahukan jika Arumi meninggal karena kecelakaan, Marini justru dihinggapi rasa bersalah karena tidak mampu menjaga Arumi yang dititipkan kepadanya. Mulai saat itulah ada perang dingin antara Marini dan Lasmi yang membuat Marini enggan untuk bersilaturahim ke Semarang.“Bag
Setelah kepulangan Harris dan Lisa dari perjalanan umrah, Handa tampak lebih tenang menantikan hari persalinan yang sudah dijadwalkan dari pihak rumah sakit. Dan kini tampak kesibukan di rumah keluarga Argawinata yang akan membawa Handa ke rumah sakit untuk menjalani proses persalinan.Karena memang sudah dijadwalkan sebelumnya, sehingga tidak menunggu Handa merasakan kontraksi. Bahkan untuk menuju ke mobil Handa masih bisa berjalan dengan biasa. Meskipun terjebak macet di beberapa titik jalan raya, tetapi tidak ada kepanikan pada Handa maupun Satria, karena jadwal operasi masih esok hari.Setelah bertaruh nyawa di meja operasi, akhirnya Handa melahirkan bayi perempuan yang cantik. Ketegangan selama beberapa hari terakhir kini berganti dengan rasa lega saat dokter menyataka jika ibu dan bayi dalam keadaan sehat.Dengan senyum lebar Satria menghampiri Harris dan Lisa yang sudah menunggunya sejak Handa masuk ruang operasi. Pelukan hangat sudah menyambut Satria, pria yang kini telah mend
“Mungkin memang saya harus meminum air bekas cuci kaki mama,” ucap Handa dengan sendu setelah mendengar penjelasan dari dokter.“Apa tidak ada jalan lain?” tanya Satria kepada dokter yang menangani Handa. Digenggamnya tangan Handa dengan erat berharap istrinya bisa lebih tenang dalam menghadapi proses persalinan yang semakin dekat.Tentu Satria tidak akan membiarkan Handa meminum air bekas cuci kaki Marini. Sampai saat ini Satria belum bisa mempercayai ibu mertuanya tersebut, dia tidak ingin mengambil risiko jika Marini sudah memberi sesuatu di kakinya yang bisa membahayakan Handa dan juga anak mereka. Jika yang disebut mama adalah Lisa, Satria yakin sang mama pasti akan menolak permintaan Handa.“Bu Handa memiliki panggul yang kecil, akan sangat berisiko jika dipaksakan melahirkan secara normal.”Penjelasan dari dokter yang baru saja mereka dengar sepertinya membuat Handa menjadi down. Karena selama ini Handa ingin melahirkan secara normal, menikmati setiap proses untuk menjadi seora
“Syukurlah!” ucap Nadia yang karena kehamilannya terlihat kesulitan memeluk Handa.“Ini karena doa Mbak Dia juga … terima kasih atas doanya,” balas Handa dengan senyum lebar yang menggambarkan kebahagiaan.Nadia tersenyum tersipu malu, dia masih ingat saat mengucapkan kata-kata tersebut dalam keadaan tersulut emosi mendengar niat Satria yang mengadopsi anak sulungnya. tetapi apa pun itu Nadia tetap bahagia karena Tuhan mengabulkan doanya, bukan hanya bahagia untuk pasangan Handa dan Satria yang akhirnya akan memiliki anak, tetapi juga bahagia karena dia tidak perlu takut lagi Satria akan mengadopsi Rio.“Nanti kita bisa senam hamil bersama,” ajak Nadia sungguh-sungguh, karena senang akan memiliki teman di tempat tersebut.Handa yang belum mengetahui seluk beluk tentang kehamilan pun mengalihkan pandangan pada Lisa, seolah bertanya dan meminta persetujuan. Anggukan dan senyum hangat yang diberikan oleh ibu mertuanya adalah jawaban yang membuat Handa yakin untuk menerima ajakan dari Nad
“Han!” Dengan perlahan Satria semakin mendekat ke arah brankar tempat Handa berada. “Bisa diulang? Aku takut salah dengar.” “Ya, Mas! Apa yang telah lama kita tunggu akhirnya datang juga. Aku hamil, Mas!” Handa pun tidak bisa menahan air mata bahagianya. Satria segera memeluk erat tubuh istrinya untuk mengungkapkan rasa bahagianya. Penantian panjang itu akhirnya berakhir bahagia, kala Tuhan telah berkehendak memberikan karunianya pada Handa dan Satria. “Terima kasih, terima kasih atas pengorbananmu yang bersedia mengalah untuk selalu di bawah ….” Tiba-tiba terdengar suara Hanin yang sedang berdehem. Wanita yang sedang mengandung bayi kembar itu merasa tidak nyaman mendengar kata-kata Satria. Handa dan Satria pun kembali tersadar jika saat ini mereka tidak sedang berdua. Ada Hanin yang masih bersama mereka. “Aku keluar dulu, ya!” Tidak bisa dipungkiri, rasa canggung itu masih ada kala Hanin harus berdekatan dengan Satria. Selain itu Hanin ingin memberi kesempatan kepada adik dan i
“Mas Dharma nggak ikut? Mbak Hanin kan sedang hamil, apa tidak khawatir?” cecar Handa kepada Hanin. “Apalagi Mbak Hanin kan hamil kembar?”“Hamil nggak harus membuat kita jadi manja. Mas Dharma banyak kerjaan di sana, anaknya sudah mau lima, Han! Harus kerja lebih keras lagi. Sebelum ke sini, periksa ke dokter dulu, dan katanya aman untuk perjalanan jauh, ya sudah,” jawab Hanin dengan santai.Sejak Hanin menikah dengan Dharma, hubungan Handa dengan kakaknya itu semakin lama semakin membaik. Tidak ada lagi amarah di hati Hanin saat bertemu dengan adiknya, bahkan sekarang mereka bisa berbincang dengan begitu akrab seolah sudah melupakan masa lalu yang kelam. Dharma benar-benar mampu meluluhkan hati Hanin yang keras karena kebencian yang tertanam sejak kecil.“Han!” Hanin terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Ada rasa takut jika apa yang akan dia katakan berakibat terjadi sebuah kesalahpahaman.“Ada apa, Mbak?” tanya Handa yang justru terlihat semakin penasaran.“Dandan ya! Biar ng