Akan ada saatnya manusia selalu mengintropeksi dan mulai memperbaiki apa yang salah. Nadiar itu manusia biasa, yang tidak luput dari dosa dan banyak kekurangan. Maka dari itu, setelah hari di mana ia membuat Alvis marah, Nadiar mulai mencari-cari kesalahannya dan apa saja yang membuatnya ceroboh.
Ternyata, sepatu pentofel ber-hak tinggilah yang membuatnya agak limbung ketika menyajikan kopi pada Alvis saat tragedi itu. Karena hal itu, dengan flat shoes yang melekat di kakinya, bibir Nadiar tidak berhenti menggunjingkan senyum. Beberapa karyawan yang tersadar akan tinggi Nadiar yang berkurang itu menoleh, lalu menatap ke bawah, di mana sepatu flat shoes itu bertengger manis di kakinya.
Nadiar merasa dirinya baik-baik saja. Maka, saat beberapa orang menatapnya takjub, Nadiar hanya tersenyum manis dan mengibaskan rambut dengan gaya anggun. Sampai di ruangannya, Nadiar yang baru saja akan duduk di kursinya, mengurungkan niat saat Alvis
Olahraga yang Alvis jalani ternyata bukan olahraga yang berlatar tempat di gym atau lapangan golf. Olahraga yang di jalani Alvis benar-benar olahraga yang berbeda. Yaitu, memanah dan juga menembak. Jika seperti ini, namanya bukan olahraga. Tetapi latihan.Nadiar benar-benar tidak mengerti. Nadiar kira, olahraga Alvis itu elite. Semacam golf, billiard, atau bowling. Namun ini berbeda. Nadiar bahkan tidak terbayang jika memanah dan menembak adalah suatu bidang olahraga. Jadi, yang dilakukan Nadiar saat sampai di ruangan memanah adalah melongo, lalu menatap Alvis dengan mata membelalak kaget. "Bos ..."Seperti biasa, Alvis hanya menoleh sekilas, lalu bertanya menggunakan kata, "Hm?""Olahraga Bos, memanah? Saya kirain golf.""Bukan," jawab Alvis, tanpa menoleh pada Nadiar dan hanya menatap datar pada latihan memanah di depannya.Nadiar mengerjapkan matanya, lalu menatap aneh pada Alvis. "Semenjak kapan
Besok absen dulu ya~ HCnya gaada stok.Nadiar menggigit bibir bawahnya dengan gugup saat lelaki di depannya menatap intens kepada Nadiar, dan tidak berkedip sedetik saja. Seolah, lelaki di hadapan Nadiar kini memang menginginkan Nadiar ketakutan dan terintimidasi.Mereka berdua duduk di kursi salah satu warung pinggiran yang berada di depan gedung olahraga memanah dan menembak itu. Setelah meminta izin pada Alvis dan menjelaskan siapa itu Calvin, Alvis terlihat mengerti namun sesaat sebelumnya terdapat kilatan heran di mata Alvis. Nadiar mengabaikannya karena anggukan kepala Alvis lebih penting di banding kilatan heran Alvis.Lelaki di depannya, adalah Calvin, salah satu dari ke-4 pacar Nadiar. Calvin itu seumuran dengan Nadiar, namun benar-benar kekanakan karena sifatnya yang cemburuan dan posesif tapi cuek. Hmm, bagaimana ya cara menjelaskannya? Bisa di bilang, Calvin itu agak masa bodo pad
Ngeh, gak, sih, kalo setiap judul di chapter HC pada judul lagu semua?"AYAH!! BUNDA!! BANG ALDEN!! KABAR GEMBIRA UNTUK KITA SEMUA!! BUKAN TENTANG KULIT MANGGIS, TAPI TENTANG HAPE NADIAR YANG DI KASIH GRATIS SAMA CEO NADIAR YANG BAIK HATI DAN TIDAK SOMBONG ITU!!"Nadiar langsung berteriak heboh dan mencari-cari ketiga anggota keluarga di rumahnya. Namun, Nadiar tidak menemukan siapapun di ruang makan rumahnya. Nadiar mengerenyit heran, lalu mencari-cari tiga anggota keluarga di rumahnya. Nadiar menemukan 3 anggota keluarga disana ternyata sedang berkumpul mengelilingi satu objek di tengah-tengah, yang entah apa itu Nadiar pun tidak tahu. Nadiar lalu menghampiri mereka. "Bun, Yah, Bang, lagi ngapain?"Ketiga orang di sana mengangkat wajah, lalu tersenyum pada Nadiar."Sayang, kamu sudah pulang?" tanya sang Ayah dengan senyum cerah, yang terlihat kilatan jahil di matanya.Nadiar
Banyak pertanyaan yang bersarang di kepala Alvis. Benar-benar banyak. Sangat banyak. Alvis menghela napas panjang, benar-benar tidak menyangka bahwa Nadiar bisa memenuhi pikirannya seperti ini. Alvis benar-benar sama sekali tidak memikirkan Irene dan kesedihan Alvis. Benar-benar penuh dengan pikiran tentang Nadiar. Nadiar. Dan Nadiar.Alvis menggeram kencang, lalu memukul meja kerjanya, menumpahkan kefrustasiannya akibat memikirkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di kepalanya. Matanya lalu menatap Nadiar di balik jendela ruangannya. Perempuan itu terlihat sesekali menguap lebar, kemudian kembali berkutat dengan komputer di tempatnya. Alvis mendengus keras. Tak lama, ia melihat Nadiar seolah tersentak langsung berdiri, lalu berbicara dengan seseorang. Nadiar terlihat mengambil gagang telfon, dan tahu-tahu saja, telfon milik Alvis berdering.Alvis mengangkat gagang telfonnya, lalu menyimpannya di telinga. "Halo?""Bos, a
Banyak pertanyaan yang bersarang di kepala Alvis. Benar-benar banyak. Sangat banyak. Alvis menghela napas panjang, benar-benar tidak menyangka bahwa Nadiar bisa memenuhi pikirannya seperti ini. Alvis benar-benar sama sekali tidak memikirkan Irene dan kesedihan Alvis. Benar-benar penuh dengan pikiran tentang Nadiar. Nadiar. Dan Nadiar.Alvis menggeram kencang, lalu memukul meja kerjanya, menumpahkan kefrustasiannya akibat memikirkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di kepalanya. Matanya lalu menatap Nadiar di balik jendela ruangannya. Perempuan itu terlihat sesekali menguap lebar, kemudian kembali berkutat dengan komputer di tempatnya. Alvis mendengus keras. Tak lama, ia melihat Nadiar seolah tersentak langsung berdiri, lalu berbicara dengan seseorang. Nadiar terlihat mengambil gagang telfon, dan tahu-tahu saja, telfon milik Alvis berdering.Alvis mengangkat gagang telfonnya, lalu menyimpannya di telinga. "Halo?""Bos, a
Pekikan cempreng di luar ruangan, membuat lamunan Alvis tentang Nadiar terhenti. Mata Alvis melihat di balik kaca ketika mengetahui bahwa itu adalah teriakan riang dari Nadiar yang sedang memeluk perempuan, lalu cipika cipiki. Setelah itu, Nadiar melihat ke arah samping perempuan itu, lalu tersenyum lebar dengan mata melotot. Nadiar kembali memekik, lalu memeluk perempuan itu lagi. Kali ini, terlihat lebih erat dan lebih lama.Alvis menelan ludahnya saat jantungnya berdetak kencang sesaat, lalu kembali normal. Hal itu di karenakan Alvis yang mengingat pelukan Nadiar pada tempo hari. Pintu ruangan Alvis lalu di ketuk, membuat Alvis dan detektif swasta itu mengalihkan pandangannya ke pintu. Tanpa Alvis perintah, pintu itu terbuka, dan menampilkan wajah sahabat Alvis dari celahnya.Devan tersenyum lebar. "Yo, Vis!""Devan?" Alvis membalas sapaan Devan sambil melotot, membuat nama yang di panggil itu tertawa lalu masuk ke dalam k
Nadiar sedang tiduran di sofa sambil memainkan ponselnya saat tiba-tiba layar ponselnya berubah dengan tampilan panggilan dari nomor yang tidak di kenalnya. Nadiar buru-buru mengangkat panggilan tersebut. "Halo? Dengan Nadiar disini. Ini siapa ya?""Hai sayang!"Nadiar terduduk di sofa dengan ekspresi kaget. "Dito!"Terdengar kekehan di sebrang sana. "Kamu kemana aja, sih? Aku hubungin kamu udah lama, tau. Untung aja Dizi ngasih tau aku nomor kamu yang baru. Dia udah ceritain semuanya."Nadiar cemberut, walaupun sebenarnya tidak berguna juga karena Dito takkan melihatnya. "Aku kangen kamu juga, tau ..., ah, untung tadi aku ketemu Dizi di kantor dan ngasih tau nomor baru aku. Maaf ya, aku lagi gak buka-buka sosmed sekarang."Dito terkekeh lagi. "Gak papa, kok. Tapi, aku bener-bener pengen liat muka kamu. Kita kan LDR.""Oh iya! Disana malam, siang, sore
Alden memarikirkan mobilnya di depan rumah kediaman keluarga Inandra, saat ternyata tidak ada satpam yang sigap dan biasanya langsung membuka pagar untuk kendaraan masuk. Mereka lalu keluar dari mobil dengan tangan Alden yang menggenggam erat tangan Nadiar. Alden berjalan perlahan ke arah pagar, dan ternyata pagar tersebut tidak tertutup. Alden menggeram karena keteledoran satpam rumah tersebut.Alden berjalan masuk dengan tangannya yang semakin erat mengenggam tangan Nadiar. Dapat Alden rasakan tangan Nadiar panas dingin dan embusan napas Nadiar yang juga terasa bergerak cepat akibat takut. Alden menelan ludah, lalu menghampiri pos satpam. Dan Alden terlonjak saat kepala satpam tersebut tepat berada di satu jengkal ujung sepatunya."ABANG!" Nadiar memekik, lalu langsung menutup mulutnya saat Alden menatap Nadiar dengan mata tajamnya.Mereka kembali meneruskan langkah saat melihat perut satpam itu bergerak dan menunjukan bahw