Beranda / Romansa / Handsome CEO / six; cold water

Share

six; cold water

Penulis: Nrshfms
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-08 19:35:29

Alvis menutup pintu ruangannya, lalu menatap Nadiar yang sedang sibuk dengan komputer didepannya. Melihatnya, membuat Alvis mendengus pelan. "Saya ada pertemuan siang ini."

Nadiar mendongak, lalu mengangguk. "Ya, bos. Di kafe dekat kantor ini."

"Iya."

Lalu hening. Keduanya saling menatap. Dan Alvis menunggu. Menunggu reaksi Nadiar selanjutnya. Namun, Nadiar tetap duduk dan menatap Alvis datar, lalu mengedip. Terus melakukan hal tersebut, dan Alvis terus menatap Nadiar.

"Bos?"

"Hm?"

"Bos ngapain masih di sini?" tanya Nadiar dengan alis yang bertautan.

"Kamu sendiri, ngapain masih duduk?"

"Saya kan kerja, bos."

"Kamu gak akan menemani saya?"

"Hah?" Alis Nadiar bertaut dalam. Tangannya terangkat lalu menggaruk tengkuknya pelan. "Harus, ya, bos?"

Alvis mendelik sebal. "Ya kamu pikir saja. Gunanya kamu apa?" tanyanya dingin.

Nadiar terlihat menelan ludahnya, lalu membereskan barangnya, kemudian berdiri dengan cepat. "Ayo, bos!"

Alvis meresponnya dengan berjalan terlebih dahulu, sedangkan Nadiar mengikutinya dari belakang.

***

Alvis berdiri dari duduknya, dan klien didepannya langsung berdiri dan membungkuk cepat pada Alvis.

"Terima kasih, Pak! Terima kasih!"

"Ya."

Disampingnya, Nadiar memutar bola mata dengan sebal karena kedinginan Alvis. Padahal, matahari menyorot terik siang ini. Tapi, Alvis masih saja tidak mengurangi kadar kedinginannya. Klien Alvis yang satu ini adalah seorang pemilik kafe yang meminta investasi dari perusahaannya Alvis. Pemilik kafe itu tentu saja berterima kasih karena Alvis sudah menandatangai kontrak yang dibuat.

Klien di depan Alvis tersenyum lebar, lalu mengangguk sopan. "Terima kasih atas kerjasamanya, Pak," ucap klien itu lagi dengan senyum lebar, dan di balas dehaman pelan dari Alvis. "Mari, saya antar keluar."

Alvis kembali berdeham, lalu mulai melangkahkan kakinya keluar dari meja. Matanya melirik pada Nadiar yang sedang meminum milk shakenya dengan cepat. "Ayo."

Nadiar menoleh sejenak, lalu meneruskan minumnya hingga tandas. Setelah itu, Nadiar berdiri dan merapikan penampilannya. Sebuah cengiran memenuhi pipinya saat berucap, "Maaf, bos. Kalo minumnya gak abis, ntar mubazir. Hehe."

Alvis hanya melirik Nadiar sekilas, lalu kembali melangkahkan kakinya keluar kafe. Di belakangnya, Nadiar menggerutu panjang lebar atas kejudesan Alvis.

Alvis itu, sebenarnya dingin, cerewet, atau judes, sih? Kenapa sifatnya cepat sekali berubah? Nadiar jadi sebal. Alvis sepertinya orang yang moodyan. Dan hal itu, merugikan kenyamanan Nadiar di kantor. Bisa-bisanya Nadiar punya bos seperti Alvis. Cih.

"Kalau begitu, saya permisi dulu." Alvis kembali bersuara.

Karena sibuk menggerutu dalam hati, Nadiar tidak sadar jika mereka sudah berada di depan mobil. Alvis sendiri sekarang bersifat sopan saat kliennya kembali membungkuk sopan.

"Sekali lagi, terima kasih, Pak!"

Alvis lagi-lagi hanya bergumam menjawabnya, membuat Nadiar gedek sendiri.

Si klien laki-laki itu membukakan pintu Alvis, dan kembali membungkuk. "Terima kasih, Pak. Sekali lagi."

"Sama-sama!"

Balasan itu bukan dari Alvis, melainkan dari Nadiar yang tersenyum lebar pada klien Alvis.

Alvis hanya diam, dan menatap datar pada Nadiar yang masih tetap pada cengirannya. Alvis mendengus melihatnya. Ia kemudian kembali menatap pada kliennya yang malah tersenyum pada Nadiar. "Ya," balas Alvis, membuat klien itu kembali menatap Alvis. "Kamu boleh pergi sekarang."

Sekali lagi, klien Alvis membungkuk sopan lalu pergi dari hadapan keduanya. Alvis kemudian menekan remot kunci mobil miliknya. "Ayo masuk."

Nadiar mengangguk semangat, lalu berjalan mengelilingi mobil Alvis dan membuka kursi samping pengemudi. Nadiar duduk di kursi bersamaan dengan Alvis yang juga baru akan duduk di kursi. Setelahnya, mereka lalu pergi dari kafe tersebut menggunakan mobil. Di dalam mobil, Nadiar melamun kembali, melanjutkan lamunannya tentang Alvis.

Penasaran, Nadiar lalu menatap Alvis yang sedang fokus menyetir. "Bos."

"Hm?"

"Bos kok gitu banget, sih, sama orang?"

Alvis melirik sekilas pada Nadiar, lalu kembali menatap ke depan. "Huh?"

"Iyaa, bos itu dingin banget kalo bukan tentang kerjaan."

"Intinya."

Nadiar mendengus. Jika berbicara dengan Alvis yang sifatnya berubah-ubah, Nadiar harus menggunakan otak. Masa Nadiar berucap se-kalimat, Alvis malah berucap se-kata saja? Nadiar jadi harus menerjemahkan dalam otaknya. "Yaa gitu," ucapnya kemudian. "Harusnya, orang bilang makasih itu jawab!"

"Udah."

"Udah dari mananya?!" pekik Nadiar sebal. "Masa cuma hem-hem doang? Kosakata bos dikit banget, ih! Padahal, bos kan CEO. Kalo di ajak debat gimana? Masa pas mereka ngajak debat, bos cuma hem-hem trus ngasih se-kata doang. Gitu? Sumpah! Itu debat ter-gak-lucu yang pernah saya bayangin!"

"Salah?"

"Ya salah, lah!" seru Nadiar kencang. Terlalu terbawa emosi sampai Nadiar meloncat di kursinya. "Bos ini dikit-dikit cerewet. Kebanyakannya dingin. Sekalinya cerewet, malah bikin murka umat."

"Hm."

Mulut Nadiar menganga lebar mendapat respon dari Alvis. Gila, benar saja jika debat, Alvis hanya menjawab, "Hem," saja. Dan hal itu, membuat Nadiar mendengus kencang. "Bos ih! Kalo saya ntar bilang sorry, gimana?"

"Hm."

"Kalo saya bilang thank's, responnya gimana?"

"Hm."

"Kalo please atau help me?"

"Hm."

"Kalo I love you?"

Seketika, mobil Alvis terhenti. Memang, sih, karena kaget. Tapi, karena lagi lampu merah juga. Makanya Alvis mengerem langsung. Alvis lalu menoleh ke sampingnya di mana di sana ada Nadiar yang nyengir lebar pada Alvis. Respon Alvis hanya mengangkat sebelah alis, lalu mendengus sinis. "Gak butuh."

Nadiar menggerutu karenanya. Ia lalu bersidekap, dan menatap ke depan di mana di trotoar sana ada banyak orang yang lewat. Saat mata Nadiar menemukan dua sejoli yang sedang berangkulan, Nadiar menjerit. "Gila!"

Alvis menoleh pada Nadiar dengan malas, masih mengira jika Nadiar hanya tebak-tebak respon. Namun, Nadiar hanya menatap ke depan dengan wajahnya yang shock. Alis Alvis bertautan melihatnya. "Kenapa?"

"Itu! Itu! Itu!" Nadiar berseru sambil menunjuk ke depan dengan panik. "Mereka, gay!"

Alvis menatap horror pada Nadiar yang sekarang malah tertawa kencang sambil memukul dashboard mobil. "Gay?"

"Iya!" jawab Nadiar semangat sambil menangguk cepat. "Tadinya, mereka keliatan kaya cuma temenan gitu. Tapi, pas saya liat-liat, ternyata cowok yang satunya malah meluk pinggang si cowok, trus turun, trus malah remas-remas pantat gitu!" Nadiar kembali tertawa sesaat setelah mengucapkan kalimatnya.

Alvis menatap horror ke jalanan, lalu bergidik ngeri. "Gila. Untung saya gak liat. Dengernya aja jijik."

Tawa Nadiar terhenti. Ia menatap pada Alvis dengan tatapan tajamnya.

Alvis yang merasa di tatap tajam seperti itu malah menatap heran pada Nadiar. "Apa?"

"Ooohh, bos gitu, ya? Bakal nge-respon panjang kalo ada yang homoan."

Alvis melotot horror, lalu kembali bergidik ngeri. Nadiar tertawa kencang, sedangkan Alvis menjalankan mobilnya masih dengan bergidik.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Handsome CEO   thirty four; bad things

    Langit sudah gelap saat mobil yang Nadiar tumpangi kini berhenti di depan rumah milik Nadiar. Sisa tawa akibat celotehan Nadiar yang direspon menyebalkan oleh Alvis pun, perlahan terhenti. Nadiar tersenyum lebar pada Alvis. "Bye honey, sampai ketemu di kantor!"Baru saja tangan Nadiar menyentuh gagang pintu mobil, suara Alvis yang berseru, "Tunggu!" membuat Nadiar membatalkan niatnya dan menoleh pada Alvis."Kenapa?" tanya Nadiar dengan alis yang terangkat sebelah.Alvis melepaskan sabuk pengamannya, lalu tersenyum miring pada Nadiar. Dan sial, ketampanan Alvis berlipat-lipat! "Aku yang bukain pintunya," ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata.BUNUH GUE!! Nadiar tidak bisa merespon kelakuan Alvis sedikitpun. Ia hanya diam saat Alvis keluar dan mengelilingi mobil. Sifat Alvis yang amat sangat jarang Nadiar lihat kini seketika membuat darah Nadiar berdesir. Dan harus Nadiar akui. Untu

  • Handsome CEO   thirty three; always be my baby

    Mulut Nadiar menganga lebar, sedangkan matanya mengedip cepat. Apa tadi? Apakah Alvis baru saja ..., menembak Nadiar? Be my baby, katanya? Nadiar melotot pada Alvis. "Bos ..., tadi, Bos nembak saya?"Alvis tersenyum, lalu menjauhkan wajahnya dari wajah Nadiar. Ia mengangguk mantap. "Ya, saya ingin kamu jadi pacar saya. Kenapa? Kamu menolak?"Nadiar tertawa hambar. "Saya bego kalo saya nolak Bos. Tapi ...," jeda, Nadiar mengubah raut wajahnya menjadi ekspresi tidak mengerti. "Kayaknya, Bos yang bego deh, mau-maunya sama saya. Kenapa? Terpukau sama teori penjahat berhak bahagia, ya? Wah, kalo emang itu penyebabnya, saya udah ngomong kayak gitu di depan Justin Bibier.""Kamu meledek saya?"Nadiar menggeleng cepat sambil menggoyakan tangannya di depan tubuh. "Bukan! Bukan gitu, Bos! Tapi, aneh aja. Kok, Bos bisa-bisanya nembak saya? Kalo saya yang suka Bos rasanya gak aneh. Tapi, saya gak nyangka

  • Handsome CEO   thirty two; versace on the floor

    "Bos, kita sebenernya, mau kemana, sih?"Pertanyaan itu membuat Alvis melirik sejenak ke arah Nadiar yang tengah duduk di kursi samping pengemudi. Matanya berkedip heran, dan bibirnya mengerut akibat penasaran. Ya, setelah mereka menghabiskan makanan dan saling bertukar sapaan selamat tinggal pada Devan-Dizi, Alvis dan Nadiar langsung pergi ke tempat yang ingin dikunjungi oleh Alvis. Dan disinilah mereka. Dalam perjalanan menggunakan mobil untuk sampai ke pantai."Bos, kok perasaan, gak nyampe-nyampe, ya?" Nadiar kembali bertanya, namun, belum juga Alvis menjawab, Nadiar kembali membuka suara. "Bos, saya pengen dengerin lagu lewat radio mobil ini, boleh? Biar gak terlalu sepi, hehe.""Hm," balas Alvis sambil mengangguk pelan. Alvis melihat Nadiar yang mengaduk tasnya, lalu mengeluarkan ponsel dan kabel data.Nadiar langsung menghubungkan radio mobil dan ponselnya dengan menggunakan kabel data. "Mobil Bos bagus

  • Handsome CEO   thirty one; stitches

    "Mana coba mulutnya? Sini ..., am nyam, nyam, nyam. Enak?"Lelaki itu menelan makanannya, lalu nyengir lebar. "Enak!"Mereka tertawa lalu kembali melanjutkan makan.Alvis dan Nadiar kompak menggeleng melihat kelakuan mereka. Sesuai keputusan, Alvis dan Nadiar meluangkan waktu mereka untuk makan sebentar. Namun ternyata, walaupun mereka mengajak Alvis dan Nadiar makan bersama, dunia seolah milik mereka berdua. Sedari tadi, mereka saling suap, lalu saling menghapus remah di bibir pasangannya tanpa mempedulikan orang lain yang menjadi obat nyamuk keduanya.Nadiar menghela napas panjang. "Plis, deh, Dizi, gue yang banyak mantan aja gak pernah, tuh, yang namanya suap-suapan di depan lo."Dizi seolah tersentak. Matanya melotot, sedangkan mulutnya terbuka lebar. "Ya ampyun, gue lupa ada lo di sini! Omaygat! Maaf, ya, sayang."Nadiar ha

  • Handsome CEO   thirty; that's what i like

    Baga$kara : sayangBaga$kara : kita putus aja yaBaga$kara : aku gak tahan pacaran sama kamu 😿🙏😘😘Nadiar GP : serah lu, nyetNadiar GP : waktu putus aja lu manggil aku-kamuNadiar GP : waktu masih pacaran, lu sering banget nistain gueBaga$kara : dihBaga$kara : lu emang nista, kaliBaga$kara : jadi, kita putus nih, yang?😘😘😘Nadiar GP : itu tolong panggilan dan emotnya di kondisikanNadiar GP : yaiyalah, kita putusNadiar GP : mana tahan gue pacaran ama loNadiar GP : ini adalah awal menuju kebahagiaanNadiar GP : BUAHAHAHAHHABaga$kara : kamu emang mantan teranjingBaga$kara : mantan ternista

  • Handsome CEO   twenty nine; sorry

    Basah, dan berat. Nadiar merasa tidak mampu membuka matanya. Ia merasa dirinya sudah bangun dari tidur, namun matanya sulit untuk di buka. Perlahan, Nadiar membuka kelopak matanya sedikit, lalu kembali menutup matanya saat cahaya menyerobot masuk memenuhi penglihatannya. Sekali lagi, Nadiar berusaha membuka matanya saat ada panggilan dari sana sini. Nadiar penasaran, suara siapa dan berapa banyak orang yang memanggilnya. Mengapa terdengar banyak? Ada berapa kira-kira?Mata Nadiar akhirnya sepenuhnya terbuka. Awalnya, penglihatan Nadiar buram, namun setelah berkedip beberapa kali dan melihat siluet yang menutupi cahaya, pandangan Nadiar menjadi jelas dan ia dapat melihat wajah khawatir Bundanya yang berlinang air mata."Nadiar! Syukurlah ..." ucap sang Bunda, lalu memeluk Nadiar dengan erat, hingga Nadiar merasa tubuh bagian atasnya sedikit terangkat. Bunda lalu melepaskan pelukannya, kemudian mengelus pipi Nadiar penuh haru. "Kamu tidak apa-

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status