"Oktaf ...."Raga dan Oktaf terperanjat begitu mendengar panggilan Melody. Keduanya bangkit dari posisi berbaring hanya beralaskan karpet setelah terjaga hampir semalaman."Y-ya? Kenapa, Mel?" Raga lebih cepat mengambil langkah, dia duduk di tepi ranjang menatap sang istri yang masih mencoba mengumpulkan nyawa."Kak Raga kenapa belum pulang?" tanyanya begitu sadar sepenuhnya."Aku nggak akan pulang sebelum kamu ikut." Bersikeras Raga mencoba menyakinkan Melody."Ya, bener. Dia nggak boleh pulang sebelum lu ikut," serobot Oktaf. Lelaki gondrong itu bangkit setelah sebelumnya memijit pelipis berkali-kali.Melody mengerutkan kening menatap Oktaf yang kini memihak, sebenarnya apa yang terjadi saat ia tak sadarkan diri?"Kok, kamu jadi belain dia, sih?" protesnya."Ng, itu, anu ...." Oktaf menggaruk rambut yang tak gatal. Setelah melihat kondisi Melody semalam, dia tak yakin bisa menanganinya sendiri. Jadi, kehadiran Raga di sini sebenarnya cukup membantu. Bahkan hanya dalam waktu semalam
"Oke."Harmoni akhirnya mengambil keputusan besar setelah melewati perdebatan panjang dengan kekasih gelap putranya yang kini menduduki takhta Melody. Dalam beberapa situasi dia merasa terpojok dengan argumentasi Fiona."Saya akan menentukan bagaimana hubungan kamu dan Raga ke depannya, tapi ... setelah memastikan keadaan Melody."Karena suatu alasan mau tak mau Harmoni mulai menerima keberadaan Fiona. "Terima kasih." Fiona tersenyum penuh kemenangan, sampai suara dering ponsel Harmoni, menginterupsi mereka. Wanita berkursi roda yang sadar posisi itu langsung pergi."Ya, Hendrix?"" .... ""Ng, Raga dan Melody ...." Harmoni tampak kebingungan." .... ""Apa?"Entah kenapa wajahnya langsung memucat saat dia mendengar satu nama yang sampai saat inu masih menyisakan trauma untuk dia dan keluarganya.***"Haaah ... tadi seru banget, ya?" Melody mengempaskan diri di sofa setelah meletakkan beberapa totebag belanjaannya. "Jadi, nggak sabar buat besok.""Udah cukup, Mel. Nggak ada lagi bes
"Oke." Oktaf berusaha mengerti, lalu memilih mengubah topik. "Kalau tentang Lyric, saudara kembar Melody, apa yang lu tahu? Bukannya lu kenal mereka dari masih zigot?"Raga tertegun, dia letakkan ponsel yang semula digenggam. Seolah banyak hal yang dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk kembali menggali memori masa lalu yang seolah tak ingin dia kenang lagi."Setahu gue Lyric anak yang cerdas, sangat cerdas. Kita pernah satu sekolah saat masuk sekolah menengah.""Kok, bisa? Bukannya kalian beda lima tahun?""Gue pernah dua kali tinggal kelas, dan dia lompat dua kelas.""Oh, sorry." Sekali lagi Oktaf merasa tak enak karena pertanyaannya yang kadang tak dipikir."Nggak apa-apa. Dulu gue emang bisa dibilang anak yang tertinggal, karena sulit beradaptasi. Satu-satunya teman yang gue punya cuma adik gue sendiri, Kala. Mungkin itu yang jadi alasan kenapa Lyric ngerasa kita nggak setara dan pengaruhin Melody saat keluarga kita ngadain banyak pertemuan bersama. Lu bisa bayangin, gue yang li
"Asyuuu ... boleh gue cekek bini lu sekali ini?" Oktaf berbisik pada Raga begitu mereka duduk di salah satu meja kafe, bersama Jazz dan Harpa yang Melody undang secara resmi.Bahkan sebelum kedatangan mereka bertiga, perang dingin sudah terjadi antara kedua pasangan itu setelah pertengkaran mereka terakhir kali."Diem, gue juga nggak ngerti. Kenapa mesti ada si Jazz, sih?" Raga balas berbisik yang mengundang kernyitan di dahi mulus Jazz yang kebetulan duduk berhadapan dengan mereka."Aduh, panas banget, ya hari ini. Padahal ruangannya ber-AC." Melody mengipasi wajah sembari menatap satu per satu pasang mata yang tengah mengelilinginya.Tak ada yang menghiraukan Melody. Keempat orang itu seolah masih sibuk saling menatap satu sama lain."Interupsi!" Melody memukuli gelas dan sendok hingga menimbulkan bunyi berdenting. Akhirnya mereka semua memusatkan pandangan pada perempuan yang merencanakan pertemuan 'gila' ini. "Kayaknya Bang Jazz sama Kak Harpa lagi ada masalah, ya? Apa karena pert
"Bawa Melody ke kamarnya untuk membersihkan diri!" titah Luisa pada dua pelayan wanita yang menyambut.Wanita tua yang identik dengan warna hitam dan rambut yang dicepol rapi itu berbalik menatap satu-satunya putra yang dia punya, begitu dua pelayan membawa Melody pergi."Harmoni." Ada jeda setelah Luisa menyebut nama ibu kandung Raga itu. "Awalnya kupikir dia wanita terhormat, aku menyukainya karena dia cerdas dengan latar belakang yang jelas, bahkan kupikir tak ada yang lebih baik daripada dia untuk menjadi istrimu saat itu. Tapi, setelah mengetahui apa yang terjadi, ternyata dia tak lebih dari Jalang tak tahu diri. Justru sekarang baru aku sadari, Nada masih jauh lebih baik daripada semua wanita yang pernah dekat denganmu." Luisa menekankan tiap kata yang dia ucapkan dengan logat Bahasa Indonesia yang kurang sempurna, tetapi jelas intinya. 'Wanita-wanita' yang dimaksudnya, termasuk Clara yang saat ini sah sebagai istri kedua dari anaknya."Jujur aku menyesal tak pernah memperlakuka
"Sebenarnya apa yang terjadi, Ma? Kenapa Nenek Lampir itu tiba-tiba balik dan mengusik pernikahan Raga sama Melody?!" tuntut Raga sesaat setelah dia dan Harmoni tiba di rumahnya.Langkah wanita paruh baya berambut cepak itu terhenti, tanpa berbalik menatap sang putra, dia menjawab. "Akhirnya hal yang mama takutkan terjadi. Sejak awal kalian emang nggak seharusnya bersama. Kita udah tamat, Raga!""Tamat gimana maksud Mama? Kayak film? Kayak Novel? Atau Ftv? Tolong jelasin biar Raga bisa ngerti!"Harmoni memejamkan mata sejenak, lalu berbalik agar langsung bersitatap dengan sang putra yang sepertinya butuh jawaban pasti akan apa yang sebenarnya terjadi."Ceraikan, Melody! Bukannya hal itu yang kamu mau agar nggak ada lagi rasa terbebani? Ini kesempatanmu, Nak. Ikhlaskan dia untuk menjalani hidupnya sendiri, perempuan itu bukan seseorang yang bisa dengan mudah kamu tangani."Raga terdiam sesaat, detik berikutnya dia tergelak. Tawa yang seolah penuh ironi, tawa yang menjadi ungkapan rasa
Harmoni Vitaloka adalah gadis biasa yang berasal dari keluarga sederhana di desa. Sebagai anak satu-satunya dia terpaksa jadi tumpuan keluarga dan harus berusaha keras untuk mengejar mimpinya tanpa ketergantungan dengan orang tua.Keterbatasan biaya tak menyurutkan keinginan Harmoni untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Berkat kerja keras itulah ia berhasil mendapatkan beasiswa dan sekolah di universitas bergengsi di pusat kota, Jakarta.Sebagai mahasiswa yang merantau di kota, bisa dibilang dia cukup mudah beradaptasi dan tak kesulitan mendapatkan teman. Kecantikan dan kecerdasannya menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang di sekelilingnya. Tak terkecuali bagi Hendrix Alejandro dan Reffrain Purnama. Keduanya sama-sama anak orang kaya yang kebetulan menempuh pendidikan yang sama dengan jurusan yang sama pula. Yaitu management bisnis.Seiring berjalannya waktu pertemanan erat terjalin di antara mereka bertiga. Sering menghabiskan waktu untuk mengerjakan tugas bersama, bis
Enam bulan setelahnya ...."Aku nggak yakin, Reff. Aku nggak bisa!" Harmoni hanya bisa menangis saat Reffrain menjambak kuat rambutnya saat lelaki itu mengatakan tentang rencana yang sudah dia susun berbulan-bulan.Di sebuah apartemen kecil di pinggiran kini mereka tinggal. Bergantung pada sisa uang tabungan dan aset-aset yang masih bisa diselamatkan."Di sana kamu nggak akan bertindak sendirian, Moni Sialan! Kamu akan ditemani orang suruhanku. Tugasmu hanya menculik mereka dari ibunya, biar aku yang mengerjakan sisanya!" Kasar dan penuh ancaman Reffrain menjelaskan. Tak ada lagi cinta dan kasih sayang sejak Kala terbukti bukan anaknya. Tak jarang Reffrain bahkan melakukan kekerasan, terang-terangan mengaku meniduri wanita lain, lalu menjadikan Harmoni sebagai pelampiasan yang dia perlakukan tak ubahnya pelacur di luaran. "Anggap saja semua ini untuk membayar perselingkuhanmu dan si brengsek Hendrix. Setelah itu aku anggap semuanya impas."Harmoni menghela napas panjang, sesaat suaran