Di sebuah ruang tamu mewah, Rani duduk dengan anggun, memperhatikan Niko, suaminya, dan Yuli, asisten rumah tangganya yang setia. Di samping mereka, Lina, ibu Niko, menatap menantunya dengan penuh perhatian, tak menyangka bahwa pertemuan keluarga hari itu akan membawa perubahan besar dalam hidup mereka semua.
"Yuli," suara Rani terdengar tenang namun tegas, "aku ingin kau mempertimbangkan sesuatu yang penting. Aku ingin kau menikah dengan Niko."
Suara Rani yang mengalun lembut seolah terdengar seperti sebuah pernyataan biasa, tetapi kata-kata yang diucapkannya menusuk keheningan ruangan, membuat semuanya terdiam.
Niko, yang semula duduk santai di samping istrinya, langsung terperanjat. Matanya terbelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Rani... apa maksudmu? Ini nggak masuk akal," ucapnya dengan nada protes, merasakan detak jantungnya yang tiba-tiba berdegup kencang.
Di sisi lain, Yuli merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk. Wajahnya pucat, dan tangannya mulai gemetar. Ia tak berani menatap Rani, hanya bisa menunduk penuh kebingungan. Bagaimana mungkin majikannya meminta hal seperti itu?
Sementara itu, Lina, ibu Niko, yang sudah mulai lanjut usia, memandang Rani dengan tatapan bingung dan kecewa. Lina sudah lama mengenal Rani sebagai wanita yang ambisius dan penuh percaya diri, namun ia tidak menyangka putrinya akan sejauh ini. Ia merasa ada sesuatu yang salah dengan permintaan Rani.
"Rani," ujar Lina perlahan, mencoba menjaga ketenangannya, "apa yang kau pikirkan? Meminta Yuli menikahi Niko? Itu bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh."
Rani menarik napas panjang sebelum menjawab, seolah berusaha menenangkan suasana. "Aku tahu ini mengejutkan untuk kalian semua, tapi ini adalah keputusan yang sudah kupikirkan matang-matang," ucap Rani mantap. "Aku nggak mau punya anak sendiri. Aku tahu betapa Mas Niko menginginkan seorang anak, tapi aku nggak bisa mengambil risiko merusak bentuk tubuhku dan kehilangan karierku. Dengan cara ini, Mas Niko bisa memiliki keturunan tanpa aku harus melewati proses kehamilan."
Mendengar penjelasan Rani, Niko hanya bisa memandangnya dengan ekspresi tak percaya. Bagaimana mungkin istrinya, wanita yang selama ini ia cintai dan hormati, bisa begitu dingin dalam mengambil keputusan hidup mereka?
"Rani...," gumam Niko dengan suara parau, "aku ingin menjadi ayah, iya. Tapi bukan dengan cara ini. Kau adalah istriku, dan aku menginginkan keluarga bersama-sama denganmu, bukan orang lain."
Rani tak goyah, ekspresinya tetap datar. "Aku tahu, Mas. Tapi inilah satu-satunya cara agar kita berdua bisa mendapatkan apa yang kita inginkan tanpa mengorbankan apapun. Yuli sudah seperti keluarga bagi kita, dia adalah orang yang bisa kita percayai."
Yuli hanya bisa menelan ludah, merasa terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan. Hatinya bergemuruh dengan seribu pertanyaan dan ketidakpastian. Apakah ia benar-benar bisa melakukan ini?
Lina, yang tidak dapat menahan emosinya lagi, akhirnya bersuara, "Rani, ibu nggak bisa percaya kau akan melakukan ini pada Niko. Pernikahan adalah sesuatu yang suci, bukan sekadar kesepakatan untuk memenuhi keinginan satu pihak."
Namun, Rani tetap teguh dengan pendiriannya. "Aku hanya meminta Yuli untuk memikirkannya. Jika dia setuju, kita bisa merencanakannya dengan matang. Ini adalah solusi terbaik bagi kita semua."
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Yuli merasa dirinya semakin kecil, terperangkap dalam dilema yang besar, sementara Niko hanya bisa menatap istrinya dengan kekecewaan yang mendalam. Keputusan ini akan mengubah hidup mereka semua, dan hari itu menjadi titik awal dari konflik yang tak terelakkan.
Melihat kegelisahan yang jelas terpancar di wajah Yuli, Rani menyadari bahwa permintaannya sangat mengejutkan dan hampir tidak masuk akal. Namun, ia tidak berniat mundur. Dengan suara yang lebih lembut, Rani mencoba meredakan ketegangan."Yuli," Rani memanggilnya dengan nada penuh keyakinan, "aku tahu ini bukan permintaan yang biasa, dan aku paham betapa beratnya keputusan ini untukmu. Tapi dengarkan aku dulu. Jika kau bersedia menerima tawaranku, aku akan memastikan hidupmu lebih dari sekadar aman. Aku akan memberimu sejumlah uang—uang yang cukup untuk mengubah kehidupanmu, memberimu kenyamanan yang tak pernah kau bayangkan sebelumnya."
Yuli menelan ludah. Tawaran ini terdengar seperti mimpi, tetapi ada sesuatu yang terasa tidak benar. Di balik janji besar itu, terselip rasa tidak nyaman yang terus membayanginya.
“ Mbak Rani, aku … aku nggak pernah berpikir tentang hal seperti ini," jawab Yuli, suaranya bergetar. "Aku tak tahu apakah ini sesuatu yang bisa kuterima, meskipun kau menjanjikan uang sebesar apa pun. Aku bekerja untukmu bukan demi uang sebanyak itu... aku hanya ingin menjalani hidupku dengan tenang."
Lina, yang mendengar penawaran Rani, semakin tak percaya. "Rani, kau bahkan berani menjanjikan uang kepada Yuli untuk hal seperti ini? Apa kau pikir ini sekadar transaksi biasa?"
Rani menoleh kepada ibu mertuanya, wajahnya masih dingin. "Bu, aku hanya ingin semua pihak mendapatkan apa yang mereka inginkan tanpa merugikan siapapun. Yuli akan memiliki masa depan yang lebih baik, Niko bisa memiliki anak, dan aku tetap bisa menjaga karierku. Ini adalah solusi terbaik."
Niko tidak bisa menahan kemarahannya lagi. "Rani, apakah kau mendengar dirimu sendiri? Apa kau pikir uang bisa membeli perasaan dan kehormatan seseorang begitu saja? Bagaimana mungkin kau bisa menyederhanakan semuanya seperti ini?"
Namun, Rani tak bergeming. Ia melihat Yuli dengan tatapan tajam yang penuh harapan. "Pikirkan baik-baik, Yuli. Aku tak memaksamu untuk memutuskan sekarang. Tapi jika kau setuju, semua ini akan menjadi keuntungan besar bagimu. Aku tahu kau punya impian dan kebutuhan yang mungkin belum terpenuhi. Dan aku bisa membantumu meraih semua itu."
Yuli hanya bisa terdiam, merasakan dirinya terperangkap di antara janji uang yang begitu besar dan moralitas yang selama ini ia pegang. Di satu sisi, hidupnya bisa berubah total dengan tawaran Rani. Tapi di sisi lain, ia tak yakin apakah dirinya bisa menjalani pilihan itu dengan tenang.
Keheningan kembali menyelimuti mereka semua, sementara Yuli merasa dirinya berada di persimpangan yang kelam dan sulit.
Setelah mendengar semua itu, Yuli merasa dadanya begitu sesak. Ia tak sanggup lagi berada di ruangan itu, di antara harapan Rani yang dingin dan ekspresi penuh kekecewaan dari Niko dan Lina. Tanpa berkata apa-apa, Yuli berdiri perlahan, lalu membungkukkan sedikit badannya sebagai tanda pamit, dan berjalan keluar dari ruang tamu.Ia melewati lorong panjang menuju paviliun kecil di belakang rumah utama, tempat di mana kamarnya berada. Ruangan itu selama ini menjadi tempatnya berlindung dan mencari ketenangan setelah seharian melayani majikannya. Namun, hari ini ruangan itu terasa berbeda. Kepalanya penuh dengan pikiran yang bercampur aduk—ketidakpercayaan, ketakutan, bahkan godaan sesaat dari tawaran uang yang dijanjikan Rani.
Begitu sampai di kamarnya, Yuli menutup pintu dan membiarkan dirinya terjatuh di atas tempat tidur. Ia menatap langit-langit, mencoba mengendalikan perasaannya yang kalut.
"Kenapa aku? Kenapa hidupku tiba-tiba berubah menjadi seperti ini?" batinnya bertanya, merasa terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan.
Pikiran tentang uang yang dijanjikan Rani mengusik ketenangannya. Dengan uang itu, ia bisa membantu keluarganya yang berada di kampung, memberikan kehidupan yang lebih baik untuk adik-adiknya, bahkan mungkin memulai usaha kecil untuk masa depannya. Namun, di balik tawaran menggiurkan itu, ada harga yang harus ia bayar—kehormatannya, ketenangan jiwanya, dan perasaan batinnya.
Yuli menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ini bukan keputusan yang bisa diambil dengan cepat. Ia tahu, apapun keputusannya nanti, hidupnya tak akan pernah sama.
Di luar, suasana paviliun terasa sunyi. Namun, hati Yuli terasa riuh dengan pergulatan batin yang tiada akhir.
"Yuli! Yuli," panggil Niko sambil mengetuk pintu."Ria! Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang. Nak." Yuli langsung mengambil Ria dari gendongan sang suami."Yuli. Aku minta maaf karena sudah meninggalkanmu dan memisahkanmu dari Ria," ucap Niko dengan wajah ragu."Aku sudah memaafkanmu, terima kasih kamu sudah mau mengembalikan Ria." Yuli hanya memandang Niko dengan datar."Kalau begitu apa masih ada kesempatan untuk kita kembali bersama?" tanya Niko dengan penuh harap.Sambil tersenyum. "Aku memang sudah memaafkanmu, tapi untuk kembali padamu … maaf, aku tidak bisa."
"Mbak Rani! Cepat kembalikan putriku," teriak Yuli. "Mas Niko cepat keluar, jangan jadi pria pengecut yang hanya bisa bersembunyi di belakang kekayaan istrimu."Berkali-kali Yuli berteriak di depan rumah artis terkenal itu. Apa yang dilakukan Yuli tentu menyorot perhatian dari beberapa orang yang ada disekitar rumah itu. Tidak berapa lama beberapa orang mendekatinya sambil membawa sebuah kamera di tangannya."Kalau boleh tahu, apa yang anda lakukan disini? Kenapa anda berteriak di depan rumah Rani." Seorang pria bertubuh jakung bertanya sambil menyodorkan sebuah mikrofon."Sepertinya mereka adalah seorang Wartawan. Aku bisa menggunakan cara ini untuk mendapatkan putriku kembali," batin Yuli yang terlihat terkejut.
"Mas, apa hari ini kamu akan pergi untuk mencari pekerjaan?" tanya Yuli sambil menggendong Ria."Sepertinya begitu, karena kalau aku tidak segera mendapatkan pekerjaan bagaimana kita bisa membayar sewa rumah ini." Niko terlihat menyisir rambutnya yang basah.Sambil duduk di tempat tidur. "Mas, kemarin Bu Tejo ke rumah. Dan dia bilang saat ini lapak sayurnya membutuhkan tukang untuk mengangkut sayuran ke truk, bagaimana kalau kamu menerima tawaran Bu Tejo.""Maksudmu bekerja sebagai kuli panggul?" jawab Niko yang langsung menoleh ke arah sang istri."Untuk sementara, kalau kamu sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik kamu bisa berhenti," jelas Yuli sambil memegang tangan sang suami.
"Ibu. Ibu mau kemana?" tanya Yuli yang baru saja keluar dari dapur."Ibu, Ibu. Eh ingat ya, sampai kapanpun aku tidak akan mengakuimu sebagai menantu! Jadi jangan pernah memanggilku dengan sebutan Ibu. Lagi pula kemana pun aku pergi itu bukan urusanmu!" bentak Lina sambil melebarkan matanya."Maaf, Bu. Eh maksud saya, Nyonya. Mas Niko hanya berpesan untuk menjaga Nyonya sampai dia kembali," jawab Yuli dengan gugup."Kamu pikir aku anak kecil yang harus diawasi 24 jam! Sudah lebih baik kau urusi saja dirimu, aku bisa menjaga diriku sendiri." Lina memandang Yuli dengan penuh kebencian.Sambil berjalan ke arah Yuli dan Lina. "Katanya bukan anak kecil, tapi kelakuan masih seperti bayi! Eh, Nyonya
Beberapa saat perempuan paruh baya itu terlihat berpikir. Hingga akhirnya dia menerima ajakan sang putra. Dengan ragu dia mulai berjalan ke rumah yang ada di pojokan jalan."Mari. Bu, silahkan diminum tehnya."Yuli meletakkan secangkir diatas meja.Lina yang begitu sangat membenci Yuli justru memalingkan wajahnya saat melihat kehadiran menantu keduanya. Terlihat jelas jika dalam hati Lina masih belum bisa menerima kenyataan jika kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang sempit. Sementara itu Niko terlihat menggelengkan kepalanya saat melihat tingkah sang ibu."Diminum dulu, Bu. Kasihan Yuli sudah capek membuatkan teh itu untuk Ibu!" perintah Niko dengan lembut."Ibu tidak akan minum teh itu,
Yuli yang merasa sangat mengenal suara itu langsung menoleh ke arah suara. Ia terlihat terkejut saat melihat Rani sudah berdiri di antara para warga. Wajah bintang terkenal itu terlihat begitu sedih."Mbak Rani!" ucap Yuli yang terlihat terkejut."Kenapa? Apa kamu terkejut melihat kehadiranku disini, kamu pikir aku akan diam saja saat kamu merebut suamiku!" bentak Rani sambil menatap Yuli dengan tajam."Tapi. Mbak! Bukankah Mbak Rani sendiri yang memintaku untuk menjadi istri kedua Mas Niko." Yuli terlihat berdiri dari tempat duduknya.Mendengar ucapan Yuli beberapa orang yang ada di tempat itu terlihat kebingungan. Mereka terlihat bingung antara siapa yang benar dan salah. Ucapan Yuli ataukah si b
Malam ini Niko dan Rani sedang menikmati malam berdua di dalam kamar. Suasana yang biasa terasa dingin, kini terlihat mulai mencair. Rani yang malam itu terlihat begitu cantik dengan lingerie merahnya langsung berbaring di sebelah Niko.Sambil memeluk tangan sang suami. "Sayang, selama ini aku selalu memintamu untuk tidak menyentuhku. Bagaimana kalau malam ini kita nikmati malam indah kita.""Sepertinya tidak bisa, karena malam ini aku harus bersiap-siap untuk ke Surabaya besok pagi," jawab Niko sambil melepaskan tangan sang istri."Apa tidak bisa kamu mempersiapkannya besok pagi, lagi pula selama ini kita sudah jarang bersama." Rani terlihat memandang Niko dengan kesal."Tidak bisa, Sayang.
"Milik siapa ini. Mas?" tanya Rani sambil memperlihatkan sebuah lipstik yang ada di tangannya."Lipstik itu! Bagaimana bisa benda itu jatuh di koperku," batin Niko yang terlihat terkejut."Kenapa kamu diam. Aku tanya sekali lagi, lipstik siapa ini?" tanya Rani sambil berjalan ke arah sang suami."I-itu lipstik untukmu, aku sengaja membelinya saat pulang tadi." Niko terlihat gugup."Untukku, tapi kenapa kamu terlihat gugup saat aku menanyakan hal itu. Apa jangan-jangan kamu …."Sambil memegang tangan Rani. "Sudah jangan berpikiran macam-macam, aku gugup karena aku heran bagaimana bisa kamu menemukan barang itu dengan muda
"Kenapa makanan belum ada di meja makan," ucap Rani yang baru saja sampai di meja makan.Sejak kepergian Yuli beberapa minggu yang lalu Lina menggantikan semua tugas rumah tangga. Namun, kali ini ada yang berbeda. Lina yang biasanya sudah menyiapkan sarapan sejak pagi kini belum terlihat sama sekali."Ibu. Ibu!" teriak Rani sambil terus melihat ke arah meja yang ada di depannya."Iya. Nak! Ada apa?" jawab Lina sambil terlihat berlari ke arah sang menantu."Ada apa? Ibu tidak melihat jika di meja ini tidak ada makanan! Apa Ibu lupa jika hari ini aku ada kegiatan pagi," bentak Rani sambil bertolak pinggang."Maafkan Ibu. Nak, har