Home / Rumah Tangga / Harap Restu Seorang Menantu / Bab 2~Mengendalikan Kecemburuan~

Share

Bab 2~Mengendalikan Kecemburuan~

Author: Giana
last update Last Updated: 2025-08-13 17:57:55

Pagi itu, Nadira terbangun dengan mata bengkak dan kepala berat. Tidur tidak lelap, pikirannya terus dihantui adegan di taman malam tadi. Meski Aryan sudah menjelaskan, bayangan pelukan itu terus mengganggu benaknya seperti rekaman yang tak henti diputar ulang.

Ia berjalan ke dapur dengan langkah malas, membuat secangkir susu cokelat seperti biasanya. Ia membawa mug nya menuju teras depan untuk duduk menenangkan pikiran. Hari ini ia ada jadwal dengan Aryan untuk fitting baju pernikahan, jadi keduanya memutuskan ambil cuti kerja.

Udara masih segar dengan sisa-sisa embun yang belum sepenuhnya menguap. Nadira memejamkan mata sejenak, membiarkan ketenangan menyusup ke dalam benaknya. Aroma tanah basah dan kicauan burung jadi hiburan kecil yang ia nikmati di tengah hati yang masih kacau.

Namun kedamaian itu seketika terusik oleh suara mesin mobil yang berhenti di pelataran rumahnya. Nadira membuka mata, menoleh pelan ke arah gerbang. Sebuah mobil hitam yang amat ia kenali—mobil Aryan.

Senyum pelan muncul di sudut bibirnya. Meski pikirannya masih dibayangi rasa tak nyaman, kehadiran Aryan selalu memberi efek menenangkan. Ia segera meletakkan mug di meja kecil samping kursi dan bersiap berdiri untuk menyambutnya.

Namun senyum itu seketika memudar.

Pintu penumpang sebelah kiri terbuka. Sosok perempuan berambut lurus sepunggung turun dari dalam mobil. Erlina.

Hati Nadira seperti tersiram air es. Ia membeku di tempat, tak jadi berdiri. Tatapannya terpaku pada sosok Aryan dan Erlina yang kini bersisian melangkah mendekatinya.

Nadira menelan ludah. Ada denyut pelan yang menyakitkan di dadanya. Ia belum siap. Setelah semalam, ia belum siap bertatap muka lagi dengan perempuan yang entah bagaimana bisa membuatnya merasa kalah.

Langkah Aryan lebih dulu mendekatinya. Wajahnya menyiratkan senyum hangat saat melihat Nadira duduk di teras. Namun berbeda dengan senyum yang biasa ia berikan. Kali ini senyum itu tampak ragu, seolah Aryan menyadari bahwa kehadiran Erlina di sini mungkin bukan keputusan terbaik.

“Sayang ...” sapanya sembut.

Nadira hanya menatap tanpa menjawab. Tatapannya perlahan bergeser ke belakang Aryan. Tepatnya, ke arah Erlina yang kini berdiri beberapa meter dari mereka.

“Kenapa dia ikut?” suara Nadira akhirnya terdengar, rendah dan berat.

Aryan menarik napas panjang sebelum menjawab. “Ibu memintaku membawanya sekalian. Siapa tahu, dia bisa dapat info lowongan kerja.”

“Apakah harus dia ikut kita? Memangnya tidak bisa pergi nyari sendiri? Banyak info loker kalau dia mau usaha, kok. Kenapa jadi kamu yang harus ngurusin dia?”

Aryan membisu sembari menggigit bibir bawahnya. Matanya menatap Nadira, lalu melirik cepat ke arah Erlina, seolah mencari cara agar semua ini tidak meledak jadi masalah besar.

“Ibu yang menyuruhku. Aku udah bilang berulang kali kalau hari ini ada jadwal penting sama kamu untuk persiapan pernikahan kita. Tapi ibu gak mau tahu dan terus maksa. Katanya, sekalian aja bawa Erlina, siapa tahu di jalan ketemu info kerja atau bisa tanya-tanya,” kata Aryan akhirnya. Suaranya pelan nyaris seperti bisikan.

Ia mengusap tengkuknya, gelisah. “Aku juga bingung, Nad. Aku nggak enak nolak ibu. Kamu tahu sendiri, kalau ibuku udah ngomong, bakal susah banget buat dibantah.”

Nadira tersenyum, tapi bukan senyum yang menenangkan. Senyum itu getir, lebih menyerupai tawa miris yang terdengar menyakitkan.

“Hebat ya kamu. Anak yang berbakti dan penurut sekali,” gumamnya sambil mengangguk pelan. “Sampai-sampai kamu lebih takut mengecewakan ibumu daripada menyakiti perasaan tunanganmu sendiri.”

Aryan langsung melangkah mendekat, panik. “Nad, bukan begitu maksudku. Aku nggak—”

“Apa ibumu nggak menganggapku sebagai calon menantunya, Aryan?” potong Nadira pelan, tapi tajam. Matanya kini menatap lurus, tak berkedip. “Kurasa, ibumu memang tidak pernah benar-benar merestui kita. Iya, kan? Apa aku salah?”

Sejenak hening. Erlina yang berdiri di belakang hanya bisa menunduk, pura-pura tidak mendengar. Aryan sendiri tampak kaget. Matanya membesar, kemudian dengan cepat ia menggeleng.

“Enggak! Enggak, Nadira! Jangan berpikir kayak gitu, tolong.” Aryan langsung meraih tubuh Nadira ke dalam pelukannya. “Denger aku. Ibu tahu betapa besar cintaku ke kamu. Dia tahu kamu yang aku pilih untuk jadi istri. Dia tahu itu, Nad.”

Napasnya memburu, mencoba meyakinkan. “Kalau dia kelihatan keras, ya itu karena dia terlalu khawatir sama Erlina yang nggak punya siapa-siapa di sini. Ibuku bukannya tidak menyukaimu, bukan pula tidak setuju sama pernikahan kita. Sama sekali bukan begitu.”

Pelukannya mengerat, seolah takut kehilangan. Tapi bagi Nadira, semua itu terasa mengambang. Penjelasan Aryan memang masuk akal, tapi rasa sesak itu tetap bersarang di hatinya. Sesak yang tak bisa ia tolak. Perasaan menjadi asing di dalam hidup seseorang yang katanya mencintainya.

Ia jadi ragu, apakah keputusan untuk tetap melanjutkan pernikahan ini sudah benar. Rasanya, ia ingin mundur. Ia tentu saja tak mau menjadi menantu yang tak diinginkan oleh ibunya Aryan.

“Apa sebaiknya kita tunda dulu pernikahannya? Kita bisa menunggu sampai Erlina dapat pekerjaan dan tinggal sendiri di kontrakan. Atau kita bisa antar Erlina pulang ke kampung halamannya dengan uang tabungan pernikahan kita. Kita bisa nabung lagi dan melanjutkan pernikahan jika dananya cukup. Aku tak masalah, Aryan.” Suara Nadira melemah seiring dengan ucapannya yang ia sendiri saja merasa tak yakin untuk mengatakannya.

Aryan menggeleng keras, masih mendekap Nadira yang mulai terisak di pelukannya. Ini sama sekali tidak dia harapkan dari Nadira.

“Kenapa kamu malah kasih usulan begitu? Segitu nggak percayanya kamu ke aku? Pernikahan ini udah kita susun dari dulu, dan butuh waktu tahunan bagi kita untuk menabung untuk hal ini. Kenapa kamu malah mau tunda, Nad? Aku nggak setuju. Aku pokoknya nggak mau kalau ditunda.”

Meski Aryan menolak keras usulannya, Nadira tak berhenti di situ. Ia kembali mengutarakan pemikirannya yang tiba-tiba saja terasa lebih meyakinkan, daripada membuat hatinya makin patah jika diteruskan.

“Aku merasa ... ini salah. Aku jauh lebih baik menundanya, daripada menyesal. Aku nggak mau menjalani rumah tangga yang terlalu terburu-buru dan hanya akan melelahkan ketika dijalani. Aku menikah untuk bahagia, bukan terluka.”

Meski dengan suara yang hampir tercekat dan diiringi isakan lirih, Nadira masih kembali buka suara. “Kalau aku tanya, siapa yang bakal kamu bela ketika aku dan ibumu bersitegang? Emangnya kamu bisa jawab dengan yakin kalau lebih pilih aku, sebagai istrimu? Enggak, kan?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Harap Restu Seorang Menantu   Bab 6~Pecahan Kaca~

    Suara gelas pecah terdengar membuyarkan suasana malam. Gelas yang terlepas dari genggaman Nadira hancur berkeping-keping di lantai, membuat Aryan dan Erlina serentak menoleh.“Nadira!” seru Aryan refleks. Ia segera bangkit, wajahnya panik, lalu bergegas menghampiri istrinya.Aryan buru-buru meraih lengan Nadira, menariknya agar menjauh dari beling kaca yang berserakan. “Astaga, kamu kenapa? Apa kacanya mengenaimu?” tanyanya cemas. Kedua tangannya sibuk menyapu pergelangan, lengan, hingga jemari Nadira, memastikan tidak ada goresan sedikit pun.Tapi Nadira hanya bergeming. Matanya kosong, tatapannya jauh, seolah suara Aryan tidak benar-benar sampai kepadanya.“Sayang?” Aryan menunduk, mencoba menangkap sorot mata istrinya. Tetapi yang ia temukan hanyalah kebekuan. Seperti ada tembok tinggi yang baru saja berdiri di antara mereka.“Aku baik-baik saja,” jawab Nadira akhirnya, suaranya lirih, nyaris tanpa emosi.Aryan menghela napas lega, meski kebingungan masih tampak jelas di wajahnya.

  • Harap Restu Seorang Menantu   Bab 5~Merasa Terasing~

    Aryan yang memperhatikan dari ruang tamu segera menghampiri Nadira. “Sayang, keluar sebentar, yuk,” ajaknya sambil menyentuh pelan punggung istrinya.Nadira mengerutkan dahi. “Ke mana?”“Jalan-jalan sebentar. Anginnya enak, lumayan buat santai setelah perjalanan.”Tanpa memberi waktu Nadira membantah, Aryan menggandengnya keluar lewat pintu samping. Begitu udara malam menyapa kulit, langkah Nadira terasa lebih ringan, tapi hatinya masih menyisakan ganjalan.Aryan tersenyum kecil, mencoba menenangkan. “Jangan dipikirin, ya. Ibu mungkin belum terbiasa sama kamu, jadi mohon maklum dulu. Lagi pula, bisa jadi ibu bersikap begitu karena emang nggak mau bikin kamu capek, kita habis dari perjalanan lumayan jauh.”Nadira menatapnya lama. “Aku ngrasa ibu emang nggak mau dekat denganku. Aku lihat sendiri giliran sama Erlina terlihat sangat akrab, padahal dia cuma kerabat jauh. Sedangkan sama aku yang jelas-jelas istrimu, ibumu terlihat dingin.”Aryan terdiam sejenak, seperti menimbang jawabannya

  • Harap Restu Seorang Menantu   Bab 4~Ikrar yang Diresmikan~

    Seminggu berlalu tanpa terasa. Persiapan yang penuh ketegangan itu kini terbayar lunas dengan hari yang ditunggu-tunggu, yaitu hari sakral yang menyatukan Aryan dan Nadira dalam ikatan suci.Gaun putih sederhana yang membalut tubuh Nadira memantulkan cahaya lembut. Di hadapan penghulu, dengan tatapan mantap, Aryan mengucapkan ijab kabul yang hanya sekali ucap langsung dinyatakan sah. Tepuk tangan dan ucapan selamat mengalir dari para tamu. Nadira menunduk haru, sementara tangan Aryan menggenggamnya erat, seolah berjanji akan menjaga genggaman itu selamanya.Keluarga Nadira yang datang dari desa tampak begitu terharu. Ayahnya berkali-kali mengusap mata, ibunya tersenyum penuh syukur, dan adik lelakinya yang masih duduk di bangku sekolah tak berhenti memotret dengan ponselnya.“Akhirnya, kamu menemukan bahagiamu sendiri, Nak,” bisik sang ibu sambil memeluknya erat.“Terima kasih karena sudah menjagaku selama ini, Ibu,” balas Nadira membalas pelukannya tak kalah erat.*****Tiga hari set

  • Harap Restu Seorang Menantu   Bab 3~Keretakan yang Tersusun Kembali~

    Aryan menarik napas pelan. Ia tahu, apapun yang keluar dari mulutnya saat ini tidak akan cukup untuk memadamkan bara api di hati Nadira. Maka ia memilih langkah lain.Perlahan, ia melepaskan pelukannya. Nadira menunduk, menyeka sisa air mata yang menggantung di pipinya. Aryan menoleh ke belakang, tepat ke arah Erlina yang sejak tadi berdiri membisu seperti patung. Matanya kosong, wajahnya pucat, dan jelas terlihat bahwa ia merasa tidak nyaman berada di tengah pertengkaran itu.“Erlina,” panggil Aryan, tenang namun tegas.Gadis itu mendongak cepat. “Iya?”“Kamu tunggu di mobil, ya. Aku ingin bicara dengan Nadira cukup lama. Kalau bosen di mobil, kamu juga bisa jalan-jalan sekitar kompeks sini, nanti kalau kita udah beres pasti aku telepon.”Ragu sesaat, Erlina akhirnya mengangguk. Ia melangkah mundur dengan pelan, kembali masuk ke dalam mobil seperti yang diperintahkan. Pintu tertutup rapat, menyisakan hanya Aryan dan Nadira di teras yang sepi.Tanpa berkata apa-apa, Aryan menggandeng

  • Harap Restu Seorang Menantu   Bab 2~Mengendalikan Kecemburuan~

    Pagi itu, Nadira terbangun dengan mata bengkak dan kepala berat. Tidur tidak lelap, pikirannya terus dihantui adegan di taman malam tadi. Meski Aryan sudah menjelaskan, bayangan pelukan itu terus mengganggu benaknya seperti rekaman yang tak henti diputar ulang.Ia berjalan ke dapur dengan langkah malas, membuat secangkir susu cokelat seperti biasanya. Ia membawa mug nya menuju teras depan untuk duduk menenangkan pikiran. Hari ini ia ada jadwal dengan Aryan untuk fitting baju pernikahan, jadi keduanya memutuskan ambil cuti kerja.Udara masih segar dengan sisa-sisa embun yang belum sepenuhnya menguap. Nadira memejamkan mata sejenak, membiarkan ketenangan menyusup ke dalam benaknya. Aroma tanah basah dan kicauan burung jadi hiburan kecil yang ia nikmati di tengah hati yang masih kacau.Namun kedamaian itu seketika terusik oleh suara mesin mobil yang berhenti di pelataran rumahnya. Nadira membuka mata, menoleh pelan ke arah gerbang. Sebuah mobil hitam yang amat ia kenali—mobil Aryan.Seny

  • Harap Restu Seorang Menantu   Bab 1~Keraguan~

    Nadira berdiri terpaku di pinggir trotoar, matanya membelalak tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Jantungnya berdegup kencang, seakan ingin melompat keluar dari dada. Ia menggelengkan kepala berulang kali, mencoba menolak kenyataan yang terpampang jelas di hadapannya.Tidak mungkin.Itu bukan Aryan.Itu bukanlah lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya dalam hitungan hari.“Aryan nggak mungkin berselingkuh dariku. Kita sebentar lagi akan menikah, kan. Kita sudah menyiapkan semuanya dengan sempurna,” gumamnya lirih dengan suara tercekat, nyaris tak terdengar oleh dirinya sendiri.Air mata menggenang. Nadira menyeka pipinya yang basah, lalu berlari menyeberangi jalan tanpa memperhatikan keadaan sekitar. Kendaraan yang melintas membunyikan klakson dengan meraung-raung, namun tak dihiraukannya. Pandangannya hanya tertuju pada satu hal—lelaki yang sedang memeluk wanita lain di bangku taman kota.Sesampainya di depan Aryan, tanpa pikir panjang, Nadira langsung melayangkan tampara

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status