Pagi itu, Nadira terbangun dengan mata bengkak dan kepala berat. Tidur tidak lelap, pikirannya terus dihantui adegan di taman malam tadi. Meski Aryan sudah menjelaskan, bayangan pelukan itu terus mengganggu benaknya seperti rekaman yang tak henti diputar ulang.
Ia berjalan ke dapur dengan langkah malas, membuat secangkir susu cokelat seperti biasanya. Ia membawa mug nya menuju teras depan untuk duduk menenangkan pikiran. Hari ini ia ada jadwal dengan Aryan untuk fitting baju pernikahan, jadi keduanya memutuskan ambil cuti kerja.
Udara masih segar dengan sisa-sisa embun yang belum sepenuhnya menguap. Nadira memejamkan mata sejenak, membiarkan ketenangan menyusup ke dalam benaknya. Aroma tanah basah dan kicauan burung jadi hiburan kecil yang ia nikmati di tengah hati yang masih kacau.
Namun kedamaian itu seketika terusik oleh suara mesin mobil yang berhenti di pelataran rumahnya. Nadira membuka mata, menoleh pelan ke arah gerbang. Sebuah mobil hitam yang amat ia kenali—mobil Aryan.
Senyum pelan muncul di sudut bibirnya. Meski pikirannya masih dibayangi rasa tak nyaman, kehadiran Aryan selalu memberi efek menenangkan. Ia segera meletakkan mug di meja kecil samping kursi dan bersiap berdiri untuk menyambutnya.
Namun senyum itu seketika memudar.
Pintu penumpang sebelah kiri terbuka. Sosok perempuan berambut lurus sepunggung turun dari dalam mobil. Erlina.
Hati Nadira seperti tersiram air es. Ia membeku di tempat, tak jadi berdiri. Tatapannya terpaku pada sosok Aryan dan Erlina yang kini bersisian melangkah mendekatinya.
Nadira menelan ludah. Ada denyut pelan yang menyakitkan di dadanya. Ia belum siap. Setelah semalam, ia belum siap bertatap muka lagi dengan perempuan yang entah bagaimana bisa membuatnya merasa kalah.
Langkah Aryan lebih dulu mendekatinya. Wajahnya menyiratkan senyum hangat saat melihat Nadira duduk di teras. Namun berbeda dengan senyum yang biasa ia berikan. Kali ini senyum itu tampak ragu, seolah Aryan menyadari bahwa kehadiran Erlina di sini mungkin bukan keputusan terbaik.
“Sayang ...” sapanya sembut.
Nadira hanya menatap tanpa menjawab. Tatapannya perlahan bergeser ke belakang Aryan. Tepatnya, ke arah Erlina yang kini berdiri beberapa meter dari mereka.
“Kenapa dia ikut?” suara Nadira akhirnya terdengar, rendah dan berat.
Aryan menarik napas panjang sebelum menjawab. “Ibu memintaku membawanya sekalian. Siapa tahu, dia bisa dapat info lowongan kerja.”
“Apakah harus dia ikut kita? Memangnya tidak bisa pergi nyari sendiri? Banyak info loker kalau dia mau usaha, kok. Kenapa jadi kamu yang harus ngurusin dia?”
Aryan membisu sembari menggigit bibir bawahnya. Matanya menatap Nadira, lalu melirik cepat ke arah Erlina, seolah mencari cara agar semua ini tidak meledak jadi masalah besar.
“Ibu yang menyuruhku. Aku udah bilang berulang kali kalau hari ini ada jadwal penting sama kamu untuk persiapan pernikahan kita. Tapi ibu gak mau tahu dan terus maksa. Katanya, sekalian aja bawa Erlina, siapa tahu di jalan ketemu info kerja atau bisa tanya-tanya,” kata Aryan akhirnya. Suaranya pelan nyaris seperti bisikan.
Ia mengusap tengkuknya, gelisah. “Aku juga bingung, Nad. Aku nggak enak nolak ibu. Kamu tahu sendiri, kalau ibuku udah ngomong, bakal susah banget buat dibantah.”
Nadira tersenyum, tapi bukan senyum yang menenangkan. Senyum itu getir, lebih menyerupai tawa miris yang terdengar menyakitkan.
“Hebat ya kamu. Anak yang berbakti dan penurut sekali,” gumamnya sambil mengangguk pelan. “Sampai-sampai kamu lebih takut mengecewakan ibumu daripada menyakiti perasaan tunanganmu sendiri.”
Aryan langsung melangkah mendekat, panik. “Nad, bukan begitu maksudku. Aku nggak—”
“Apa ibumu nggak menganggapku sebagai calon menantunya, Aryan?” potong Nadira pelan, tapi tajam. Matanya kini menatap lurus, tak berkedip. “Kurasa, ibumu memang tidak pernah benar-benar merestui kita. Iya, kan? Apa aku salah?”
Sejenak hening. Erlina yang berdiri di belakang hanya bisa menunduk, pura-pura tidak mendengar. Aryan sendiri tampak kaget. Matanya membesar, kemudian dengan cepat ia menggeleng.
“Enggak! Enggak, Nadira! Jangan berpikir kayak gitu, tolong.” Aryan langsung meraih tubuh Nadira ke dalam pelukannya. “Denger aku. Ibu tahu betapa besar cintaku ke kamu. Dia tahu kamu yang aku pilih untuk jadi istri. Dia tahu itu, Nad.”
Napasnya memburu, mencoba meyakinkan. “Kalau dia kelihatan keras, ya itu karena dia terlalu khawatir sama Erlina yang nggak punya siapa-siapa di sini. Ibuku bukannya tidak menyukaimu, bukan pula tidak setuju sama pernikahan kita. Sama sekali bukan begitu.”
Pelukannya mengerat, seolah takut kehilangan. Tapi bagi Nadira, semua itu terasa mengambang. Penjelasan Aryan memang masuk akal, tapi rasa sesak itu tetap bersarang di hatinya. Sesak yang tak bisa ia tolak. Perasaan menjadi asing di dalam hidup seseorang yang katanya mencintainya.
Ia jadi ragu, apakah keputusan untuk tetap melanjutkan pernikahan ini sudah benar. Rasanya, ia ingin mundur. Ia tentu saja tak mau menjadi menantu yang tak diinginkan oleh ibunya Aryan.
“Apa sebaiknya kita tunda dulu pernikahannya? Kita bisa menunggu sampai Erlina dapat pekerjaan dan tinggal sendiri di kontrakan. Atau kita bisa antar Erlina pulang ke kampung halamannya dengan uang tabungan pernikahan kita. Kita bisa nabung lagi dan melanjutkan pernikahan jika dananya cukup. Aku tak masalah, Aryan.” Suara Nadira melemah seiring dengan ucapannya yang ia sendiri saja merasa tak yakin untuk mengatakannya.
Aryan menggeleng keras, masih mendekap Nadira yang mulai terisak di pelukannya. Ini sama sekali tidak dia harapkan dari Nadira.
“Kenapa kamu malah kasih usulan begitu? Segitu nggak percayanya kamu ke aku? Pernikahan ini udah kita susun dari dulu, dan butuh waktu tahunan bagi kita untuk menabung untuk hal ini. Kenapa kamu malah mau tunda, Nad? Aku nggak setuju. Aku pokoknya nggak mau kalau ditunda.”
Meski Aryan menolak keras usulannya, Nadira tak berhenti di situ. Ia kembali mengutarakan pemikirannya yang tiba-tiba saja terasa lebih meyakinkan, daripada membuat hatinya makin patah jika diteruskan.
“Aku merasa ... ini salah. Aku jauh lebih baik menundanya, daripada menyesal. Aku nggak mau menjalani rumah tangga yang terlalu terburu-buru dan hanya akan melelahkan ketika dijalani. Aku menikah untuk bahagia, bukan terluka.”
Meski dengan suara yang hampir tercekat dan diiringi isakan lirih, Nadira masih kembali buka suara. “Kalau aku tanya, siapa yang bakal kamu bela ketika aku dan ibumu bersitegang? Emangnya kamu bisa jawab dengan yakin kalau lebih pilih aku, sebagai istrimu? Enggak, kan?”
Pagi harinya, cahaya matahari menembus tirai tipis kamar. Nadira terbangun lebih dulu, tubuhnya terasa sedikit pegal namun segar. Ia bangkit perlahan, menyalakan ponsel yang sejak malam diisi dayanya.Layar baru saja menyala dan langsung dipenuhi deretan notifikasi. Puluhan panggilan tak terjawab dari Aryan, disusul beberapa pesan yang tak sempat ia baca. Dada Nadira terasa bergemuruh, campuran antara senang karena suaminya kelimpungan mencarinya, namun juga bingung harus bersikap bagaimana.Belum sempat ia membuka satu pun pesan itu, suara langkah terdengar dari arah dapur. Paula muncul sambil menenteng dua gelas teh hangat. “Akhirnya hidup juga tuh ponselmu,” ujarnya sembari duduk di sebelah Nadira.“Iya, nih. Eh, ternyata dari semalam Mas Aryan nelpon berkali-kali dan juga spam pesan padaku,” gumam Nadira pelan, jemarinya masih ragu menyentuh layar.Paula menatapnya sesaat sebelum menaruh gelas di meja. “Kalau kamu nggak siap ngomong sekarang, kirim pesan aja dulu. Bilang ponselmu
Nadira menahan napas cukup lama sebelum berbalik dan berlari kecil menjauh dari rumah Paula. Suara langkahnya berpacu dengan detak jantung yang berisik di dada. Ia tak peduli lagi dengan dinginnya udara malam yang menusuk kulit. Pikirannya hanya satu, yaitu menjauh sebelum Aryan menyadari keberadaannya.Begitu mencapai jalan besar, matanya menatap liar ke segala arah, mencari tanda-tanda motor Paula. Rasa panik yang sejak tadi ia tekan, kini hampir meledak. Untung saja, dari kejauhan ia melihat cahaya lampu motor yang familiar tengah melaju cepat ke arah gerbang kompleks.“Paula!” serunya berteriak keras sambil melambaikan tangan agar Paula mendengarnya.Motor itu segera berhenti. Paula yang mengenakan jaket krem menurunkan kaca helmnya, terlihat terkejut sekaligus bingung. “Nad, ngapain kamu di sini? Bukannya harusnya udah di rumah duluan?”Nadira menghampiri, napasnya masih tersengal. “Paula, tolong kita jangan ke rumahmu dulu. Putar balik saja,” katanya cepat sambil menggenggam len
Nadira berdiri di tepi jalan sambil menatap layar ponselnya yang menunjukkan waktu hampir pukul 6 malam. Angin sore yang mulai menusuk membuat tubuhnya menggigil pelan. Dari kejauhan, suara kendaraan lewat hanya sesekali terdengar, tapi tak satu pun di antaranya adalah bus yang ditunggunya sejak dua puluh menit lalu.Ia menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mencari tanda-tanda kalau bus jurusan tempat tinggalnya Paula akan segera datang, tapi nihil. Waktu terus berjalan dan rasa gelisah mulai mengusik dadanya.“Sepertinya aku salah perhitungan,” gumamnya pelan sambil menggigit bibir bawah.Tangan kirinya meremas tali tas yang disampirkan di bahu, sementara tangan kanan menggenggam ponsel yang mulai menipis baterainya. Tak ada orang lain di sana, hanya dirinya dan suara jangkrik yang samar-samar terdengar dari balik semak.Beberapa kali ia mencoba melambaikan tangan ketika melihat lampu kendaraan mendekat, tapi ternyata itu bukan bus melainkan mobil pribadi yang melintas cepat tanpa mempe
Cahaya pagi menyusup lembut lewat celah tirai. Udara dingin dari luar membuat Nadira menggeliat pelan, matanya terbuka separuh, menatap langit-langit kamar yang asing tapi terasa menenangkan. Di sampingnya, Paula sudah terbangun lebih dulu. Gadis itu duduk di tepi ranjang sambil merapikan rambutnya yang berantakan, sesekali melirik ke arah Nadira dengan senyum lembut.“Pagi, Nad. Gimana tidurmu? Nyenyak apa nggak?” sapa Paula ringan.Nadira mengerjap beberapa kali, lalu mengangguk kecil. “Lumayan,” jawabnya pelan. Suaranya serak karena terlalu banyak menangis semalam. Ia sempat mengusap matanya dengan punggung tangan, mencoba menyembunyikan bengkak di kelopak mata yang masih terlihat jelas.Paula berdiri dan berjalan ke meja kecil di sudut kamar, mengambil dua cangkir teh hangat yang sudah ia siapkan tadi. “Nih, minum dulu. Habis itu buruan mandi, lalu kita berangkat ke kantor, ya. Kamu harus optimis kalau hari ini akan berjalan baik.”Nadira menerima cangkir itu dengan hati-hati. Uap
Aryan menghembuskan napas kasar sambil merenggangkan dasinya. “Maaf, Nad ... aku terbawa emosi. Habis kamu duluan yang bikin aku panas, karena ucapanmu itu terlalu memojokkan Ibu. Aku tentu tak suka ada orang lain yang bicara buruk soal beliau,” ujarnya berat, menatap wajah istrinya yang tampak terluka.Nadira membeku. Matanya masih membulat lebar, menatap Aryan tak percaya.“Oh, jadi aku orang lain yang menjelekkan ibumu? Berarti istrimu ini masih terhitung sebagai orang lain di keluargamu, Mas? Begitu, ya?” suara Nadira bergetar, tapi nadanya tegas.Sekejap wajah Aryan pucat. Ia menggeleng cepat, matanya panik. “Bukan, bukan begitu maksudku, Nad. Aku cuman—”“Sudahlah, Mas. Aku sudah cukup mendengar omongan menyakitkan darimu malam ini.” Nadira memotong ucapan suaminya dengan dingin. Lalu ia berdiri, menarik napas panjang untuk menahan air mata yang sudah mendesak di pelupuk.Nadira sedikit melangkah menjauh dan tatapannya tertuju lurus ke arah pintu. Tangannya sempat terangkat, mem
Suara tawa Paula perlahan mereda ketika ia dan Nadira akhirnya sampai di depan rumah sederhana itu. Di depan gerbang, sebuah mobil hitam sudah terparkir rapi.Aryan.Pria itu tampak berdiri menyender di kap mobil, kedua tangannya terlipat di dada, wajahnya sulit ditebak antara lega atau justru resah. Begitu melihat motor Paula mendekat, Aryan buru-buru menegakkan tubuhnya, sorot matanya langsung terarah pada Nadira yang duduk di jok belakang.Nadira terperangah, nyaris kehilangan kata. Jantungnya berdebar tak karuan, perasaan gugup tiba-tiba menyergap. Ia bahkan belum bersiap untuk menghadapi suaminya malam ini.“Mas Aryan ...” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Paula yang ikut menangkap situasi itu seketika paham. Tanpa banyak basa-basi, ia segera turun dari motor dan berusaha mencairkan suasana. “Masuk dulu saja, ya. Jangan ngobrol di depan gerbang, nanti malah jadi tontonan tetangga.”Paula lekas membuka pintu gerbang rumahnya, lalu menoleh sekilas kepada Nadira dan Aryan. Senyu