Sinar matahari menembus tirai tipis, menebarkan semburat hangat ke seluruh ruangan. Aroma nasi goreng dan wangi kopi hitam menguar lembut dari dapur. Nadira sibuk di meja makan, menatap dua piring dengan potongan telur mata sapi di atasnya. Ia menoleh sekilas ke arah ruang tamu, tempat Aryan yang masih mengenakan kemeja rapi sedang melipat lengan bajunya.“Mas, sini dulu. Sarapannya keburu dingin,” panggil Nadira sambil tersenyum kecil.Aryan menatap istrinya lalu melangkah mendekat. Tatapan matanya lembut, nyaris seperti tak ingin berpaling dari sosok perempuan di hadapannya. “Wah, aroma masakan istri Mas ini luar biasa. Kayaknya kantor bisa nunggu sebentar.”Nadira tertawa pelan. “Jangan lebay, Mas. Lagian ini cuman nasi goreng biasa. Sini, biar aku bantu benerin lengan baju dan ikatin dasinya biar rapi.”Nadira berdiri di depan Aryan dan segera menata pakaian suaminya itu. Senyum keduanya sering kali terlihat semenjak semalam. Bahkan Nadira dibuat terkejut ketika suaminya malah men
Suara mesin mobil terdengar halus membelah keheningan malam. Lampu jalan berderet seperti garis cahaya yang memantul di kaca depan. Nadira menatap kosong ke luar jendela, pikirannya masih melayang pada kejadian di rumah tadi. Hatinya lega karena Aryan akhirnya mau membelanya di depan sang mertua, tapi ada juga perasaan bersalah yang menekan dadanya pelan.Di sisi lain, Aryan menyetir dengan tatapan lurus. Tak ada kata yang terucap sejak mereka meninggalkan halaman rumah itu. Hanya sesekali suara napas yang terdengar pelan di antara keduanya. Udara di dalam mobil seakan penuh dengan hal-hal yang belum diucapkan.Beberapa menit berlalu, sebelum akhirnya Aryan menghela napas kecil, lalu membuka suara. “Nad, nggak usah dipikirin lagi, ya. Tadi udah lihat sendiri kan kalau Mas bisa bujuk Ibu buat izinin kita pulang. Sekarang kita fokus saja dengan rumah tangga ini. Jangan sampai renggang lagi, ya,” ujarnya tanpa menoleh, tapi suaranya terdengar hangat.Kalimat itu sederhana, tapi bagi Nadi
“Menenangkan diri atau justru mencari kebebasan karena sudah bosan jadi istrimu dan menantuku, hah?!” suara Mala meninggi karena emosi yang sudah sampai ke ubun-ubun.Nadira hanya diam. Jemarinya yang tergenggam di tangan Aryan sedikit bergetar. Tapi sebelum ia sempat menjawab, Aryan sudah melangkah setengah maju, berdiri lebih dekat pada ibunya.“Bukan gitu, Bu. Kalau bukan karena Ibu sendiri yang membuatnya tak betah di rumah ini dan memintanya mengganti uang yang aku kirimkan ke keluarganya di desa, Nadira takkan mungkin mencari kerja lalu pergi dari rumah ini. Nadira pergi karena dia lelah terus salah di mata ibu, bukan karena dia mau meninggalkan Aryan.”Seketika, raut wajah Mala berubah. Guratan marahnya kini bercampur dengan rasa tersinggung. “Kamu menyalahkan Ibu sekarang, Aryan?”“Aryan nggak bermaksud menyalahkan siapa pun. Tapi, Aryan hanya ingin Ibu juga tahu kenyataannya kalau Nadira nggak melakukan hal buruk. Ia tinggal dengan teman sekantornya, seorang perempuan juga. B
Beberapa detik kemudian, Aryan berdehem kecil, seolah ingin memulai obrolan ringan. “Ngomong-ngomong, jadi kamu beneran putusin buat kerja di sana, Nad?”Pertanyaan sederhana itu membuat Nadira menoleh, lalu tersenyum kecil. “Iya, Mas. Awalnya aku kira nggak akan bisa menyesuaikan diri, tapi ternyata tempatnya nggak se-menakutkan itu. Aku juga memiliki teman baru, namanya Paula. Mas udah pernah ketemu dia kemarin itu. Paula itu orang yang menyenangkan, dan dia juga sangat baik ke aku.”Aryan ikut tersenyum tipis, sedikit lega karena nada suara istrinya terdengar hangat. “Mas ikut senang mendengarnya. Mas juga sempat nggak nyangka kamu tiba-tiba aja sudah keterima kerja di perusahaan besar itu.”“Nadira memang sudah memikirkannya sebelum memutuskan kembali terjun ke dunia kerja. Nadira ingin segera melunasi hutang yang Ibu minta. Dan juga, Nadira rasa memang harus punya dana cadangan untuk membantu keluargaku di desa maupun kebutuhan mendadak kita, Mas. Makanya Nadira coba masukkan lam
Aryan akhirnya mengangkat wajah, memandangi Nadira dengan sorot mata yang sulit diartikan. “Apa kamu sungguh nggak ada niatan buat bercerai? Soalnya, bahkan ibuku di rumah terus saja bilang padaku kalau kamu ini ada tanda-tanda sudah bosan dan seperti ingin pisah dariku, makanya kamu pergi dari rumah ibu dan milih tinggal dengan temanmu,” tanyanya dengan suara lirih.Nadira menatapnya dalam-dalam, lalu menggeleng mantap. “Tentu aja nggak, Mas. Aku cuman mau kita nenangin diri aja. Lagipula aku kebetulan juga sibuk di tempat kerja dan mau fokus biar bisa jadi karyawan tetap. Dan setelah itu, aku mau kita baikan, makanya aku ajak ketemu.”Kata-kata itu membuat udara di sekitar mereka seolah mengendur. Ketegangan perlahan luruh, berganti keheningan yang tak lagi menekan, melainkan menenangkan. Aryan menatap wajah istrinya begitu lama.Nadira tak jauh berbeda. Ia menatap suaminya yang masih terdiam. Hatinya sedikit bergetar melihat sorot mata Aryan yang tampak masih khawatir. Tetapi, ia j
Sore menjelang ketika Nadira dan Paula melangkah keluar dari gedung kantor. Cahaya matahari yang mulai condong ke barat memantul lembut di permukaan kaca tinggi, menciptakan bayangan panjang di halaman parkir. Angin sore berembus pelan, membawa aroma hujan yang entah datang dari mana.“Aku masih mau kamu nginep di rumahku malam ini. Kita bisa pesan makanan enak, nonton film, atau ngobrol sampai tidur. Sekalian ngerayain kelulusan kita jadi karyawan tetap,” rengek Paula sambil memeluk tas di dada.Nadira tersenyum kecil, menoleh pada sahabatnya itu. “Aku sih juga mau, sebenarnya. Tapi kali ini aku mau langsung pulang ke rumah.”Paula langsung mencebik. “Kenapa sih? Aku kan senang kalau ada kamu. Rumahku jadi nggak sepi.”“Justru itu, aku takut malah merepotkan kamu terus. Baju gantiku selalu pinjam punyamu terus, aku ngrasa nggak enak,” balas Nadira lembut.Paula menghela napas panjang, menatapnya penuh keluhan yang setengah bercanda. “Kalau cuman baju mah gampang. Aku punya banyak, ti