Pov Adi
"DITTAAA!" Aku meneriaki wanita yang selama tiga bulan ini mengisi lubuk hatiku.
Wanita itu hanya menoleh sambil tertawa terbahak-bahak. Dia terus saja berjalan tanpa melihat ke belakang lagi.
Padahal, kalau dia lihat ke belakang, itu berarti kita jodoh. Sama seperti sinetron yang sering aku lihat di ponsel.
Tapi sayangnya, sampai tubuhnya menghilang di ujung jalan, Dita tetap terus saja berjalan dengan langkah penuh keyakinan.
"SIAL!" Aku mengumpat, karena wajahku sudah penuh dengan kotoran sapi.
Semua ini, gara-gara Dita!
"Huueekk!"
Akhirnya aku memuntahkan isi perutku karena bau dari tai sapi itu. Dasar sapi nggak ada akhlak! Membuang kotoranpun, bukan pada tempatnya.
Aku memungut uang yang dilemparkan oleh Dita. Lumayan, dilebihkan lima belas ribu. Bisa lah untuk beli bakso.
"Adi! Cepat kau masuk! Cuci itu wajahmu!" sungut Ibu sambil memencet hidungnya karena aku sudah berada di dekatnya.
"Iya, iya, Bu!" jawabku seraya melewatinya.
"Heh, dari belakanh sana! Jorok banget sih kamu!" omel Ibu seraya menjauh dari jangkauanku.
Duuhh, baunya ini. Membuatku ingin muntah lagi. Aku menuruti perintah Ibu. Berjalan dari samping, lalu masuk ke kamar mandi dari pintu dapur.
Dengan cepat, aku langsung menyiram wajahku dengan air mengalir Kemudian aku memakai sabun pencuci wajah punya Ibu, agar wajahku juga kinclong. Dan Dita merasa menyesal karena sudah memilih meninggalkanku.
Setelah kurasa sudah bersih. Aku keluar dari kamar mandi Ibu, dan hendak pulang ke rumah.
"Mau ke mana kamu?" tanya Ibu saat kami berpapasan di halaman rumah ibu.
"Mau, pulang. Mau mandi dan ganti baju, Bu. Ini bau banget," jawabku seraya mencium kerah bajuku.
Emmm, wangi .... Wangi, wangi kecut gitu deh. Jangan ditiru! Adegan ini, hanya dilakukan oleh profesional.
"Oh, ya, sudah. Seminggu lagi, gajian kan?" tanya Ibu sambil menaikkan alisnya.
Kalau sudah menyangkut uang. Indra penciuman Ibu langsung berfungsi dengan benar.
"Hmmm," jawabku malas.
"Jangan lupa, uang bulanan Ibu dilebihin sedikit, ya? " tawarnya seraya tersenyum.
"Bu, kebutuhan Adi dan anak-anak, banyak. Jatah untuk Ibu, ditunda dulu, ya! Ini semua juga gara-gara Ibu." Aku mengerucutkan bibir, teringat kejadian siang tadi.
"Tidak bisa! Jatah bulanan Ibu, tidak bisa ditunda. Ibu sudah janji akan membeli tas keluaran terbaru dengan harga tiga ratus ribu, itu loh," ucapnya tidak terima.
"Baik lah. Tapi tidak bisa lebih. Aku cuma bisa ngasih seperti biasanya saja."
"Loh, nggak bisa gitu dong! Ibu mau perawatan di salon Murni. Lihat ini, wajah Ibu sudah kusam." Ibu menunjuk wajahnya yang masih berkilau seperti gorengan yang sudah dingin.
Aku tidak tau standar kusam seorang wanita itu, yang bagaimana. Menurutku, wajah Ibu tidaklah kusam.
"Bu, tolong, lah. Adi benar-benar lagi butuh ini," ucapku memohon.
"Ahhh, baiklah! Emang susah diandalkan kamu itu!" sungutnya, meninggalkanku yang masih berdiri di halaman.
Merajuk lagi. Duhh, susahnya punya surga tukang merajuk.
Aku berjalan dengan gontai menuju sepeda motor. Ahh, malang sekali nasibku. Jodoh tidak dapat, Ibu pun jadi merajuk.
Aku menstater sepeda motor dan melajukannya, menjauh dari rumah Ibu.
Hanya butuh waktu dua menit, untuk sampai di rumahku.
Rumah yang dibangun oleh Wilda dari hasil menghematnya.
Wilda adalah mantan istri pertamaku, yang kurang bersyukur karena sudah punya suami sepertiku. Dia memilih pergi membawa anak hungsuku yang saat itu masih berusia enam bulan.
Sampai detik ini, aku tidak pernah menghubunginya. Pantang bagiku menghubungi wanita yang sudah dengan tega meninggalkanku hanya gara-gara uang belanjanya kupotong untuk keperluan Ibu yang ingin nyalon.
Akh! Jika ingat wanita itu, hatiku rasanya sakit.
Setelah bercerai secara resmi setahun lalu, dia sudah berani memposting foto bersama lelaki di sosial medianya.
Aku memang tidak berteman dengan Wilda. Tapi, aku terkadang penasaran dan membuat akun palsu untuk mengikutinya agar bisa melihat kesehariannya, tanpa dia tau, jika itu aku.
Setelah melihat kesehariannya, aku bukannya bahagia. Yang ada aku uring-uringan melihat dia sangat amat bahagia bersama pasangan barunya.
Foto liburan ke luar kota, bahkan luar Negri, selalu dia pamerkan. Dia sudah terlihat menjadi wanita sukses sekarang.
Tapi sayangnya, dia melupakan ketiga buah hatinya yang ikut bersamaku. Dia tidak pernah mengirim uang sama sekali untuk ketiga anakku ini.
Seharusnya, karena anak yang bersamaku adalah anak kami bersama, maka dia juga harus mengeluarkan dana dong, untuk membesarkan ketiganya. Jangan hanya mau senang-senang bersama pasangan barunya itu saja.
Seharusnya dia berpikir, jika aku di sini sedang kesulitan biaya, karena harus membesarkan tiga anak. Tanpa diminta, seharusnya dia sudah mengirimkan uangnya.
Huuffttt. Lelah rasanya.
"Mas itu anak kamu, diambil! Aku sudah capek menjaganya!" keluh Raina, adik perempuanku.
Raina sudah berkeluarga. Jadi aku sering menitipkan anak di rumahnya. Sebagai imbalannya, setiap bulan aku memberikan uang lima ratus ribu sebagai upah momong.
"Kenapa nggak kamu antar saja?" tanyaku jengkel.
Padahal, rencananya aku mau beristirahat sejenak. Tapi gagal karena Rania memintaku untuk mengambil anak-anak. Jika ada anak-anak di rumah, aku tidak bisa beristirahat. Karena mereka selalu saja bertengkar berebut mainan.
"Aku nggak bisa bawa semuanya sekalian. Apalagi, Si Rafli tidur!" sungutnya marah.
Hmmm. Menyusahkan saja.
"Ya, udah. Kamu pulang lah. Ini aku susul," ucapku seraya berdiri.
Raina berbalik dan berjalan pulang ke rumahnya.
Aku berjalan mengekorinya sambil melihat-lihat status W******p dari teman+temanku.
Ah, saat aku sedang menggeser-geser layar, tak sengaja mataku tertuju pada status yang baru saja diunggah oleh Dita.
'Alhamdulillah. Terhindar dari malapetaka, marabahaya, dan musibah!'
Begitu lah isi statusnya. Kurang aj*r! Dia pasti sedang menyindirku. "Awas saja kau, Dita!" geramku seraya meremas ponsel.
"Heh, bocah! Aku belum menikah. Kenpa kamu bilang sudah banyak anak? Tadi, kan, sudah Paman belikan jajan. Kenapa sekarang nggak bisa kerja sama?" tanya Pandu kesal."Kalau kakek-kakek, kan, anaknya sudah banyak. Buktinya aja, kakek Bapak anaknya, juga udah banyak," jelas Dara dengan sangat polos. Kakek Bapak adalah sebutan untuk Bapakku. Dia selalu memanggilnya dengan kakek Bapak karena terlalu banyak kakeknya. Untuk membedakan, dia selalu punya cara sendiri untuk memanggilnya. "Huuhhh. Susah memang ngejelaskan sama bocah ingusan begini!" Pandu mengacak-acak rambutnya sampai berantakan. Frustasi sekali dia gara-gara tak jadi berkenalan dengan Afifah. Hmmm, dasar lelaki! Lihat yang kinclong sedikit, aja. Langsung hijau matanya. "Kek, lihat tuh rambutnya, kayak singa bangun tidur!" Dara menunjuk kepala Pandu dan membuat lelaki itu menatap Dara dengan tajam. Kenapa sekarang ada tom and jerry di sini. Dara adalah penggantiku yang suka adu mulut dengan pandu. Hahahaha Ternyata memang
"Nggak bisa, Dit! Aku nggak mau dipanggil kakek. Aku masih muda, masih perjaka ting-ting pula. Dengar ya, anak-anak. Kalian harus panggil saya Paman Pandu. Nanti, Paman kasih uang untuk beli jajan." Pandu merayu kedua anakku yang masih berdiri sambil bersedekap tangan di teras. "Anda mau nyuap kami? Nggak ingat dosa, tah? Maaf, ya, Kek. Aku tidak mau makan uang haram," ucap Dara tegas. Gadisku satu ini. Apa yang diajarkan oleh gurunya, selalu meresap di otaknya. Dia akan selalu menerapkan apa yang menurut gurunya baik. Dia selalu patuh bahkan kadang mempraktikkan apa saja yang sudah diajarkan gurunya. "Ini bukan uang haram sayang. Ini uang halal. Yakin deh sama Paman," ucap Pandu meyakinkan Dara."Suap itu hukumnya haram. Jadi itu uang haram. Lagian, udah cocok kok di panggil Kakek, tuh rambutnya sudah banyak yang putih!" Dara menahan tawanya. Ia menunjuk ke arah kepala Pandu. Lelaki dengan postur tinggi tegap itu langsung memegangi kepalanya. Ingin kacahan, tapi tak. ada kaca. "
Pov Dita"Apaan sih, kamu bekap-bekap mulutku!" gerutu Pandu setelah berhasil melepaskan tanganku dari mulutnya. Aku sengaja membekap mulutnya agar dia tidak menjawab pertanyaan Mas Adi. Biarkan saja dia semakin kebakaran mendengar jawabanku yang mengatakan jika Pandu adalah kekasihku. Aku tau dia sangat marah padaku saat melihat aku berboncengan dengan laki-laki, makanya dia sampai berani mengataiku gatal.Dia juga pasti masih merasa cemburu melihatku jalan dengan lelaki lain, sampai-sampai dia kehilangan fokus dan nyebur ke parit. Untung saja bukan sungai. Kalau sungai, kurasa sudah hilang dia terbawa arus. Mas Adi belum tau jika aku memiliki Paman yang usianya masih sangat muda. Aku belum mengenalkan padanya semua anggota saudaraku. Yang dia tau hanyalah Bapak dan Ibu."Elah! Cuma gitu doang marah!" Aku memutar bola mata malas seraya nersedekap. Pandu sudah menaiki sepeda motornya sementara aku masih setia berdiri di sampingnya. "Kamu pikir, nggak engap tu tangan juga menutup
Pov Adi"Dasar, gatal!" teriakku pada Dita yang sedang dibonceng oleh seorang laki-laki. Dasar, murahan sekali dia! Baru saja lepas dariku, sudah dapat pengganti.Ternyata, dia menolakku karena sudah mendapatkan penggangiku. Awas, saja kau Dita! Tunggu karma untukmu! 'GRRUUSSAAKK!'Karena terlalu fokus melihat Dita bersama kekasihnya, aku sampai masuk parit seperti ini. Air di dalam parit lumayan dalam. Jika diukur, mungkin air tersebut sedalam betisborang dewasa. "Bangs*t!" Makiku, saat kaki ini terasa terjepit sepeda motor. Ini semua gara-gara Dita. Untuk apa coba dia bertemu denganku di jalan ini? Pasti dia sengaja melewati jalan ini karena ingin membuatku cemburu. Dia ingin memamerkan kekasih barunya itu. Aku kembali menoleh ke belakang untuk melihat Dita. Ternyata dia berhenti, dan terlihat sedang berdebat dengan lelaki itu. Huh, malas sekali melihat mereka berdua. Aku membuang muka, dan tak lagi peduli dengan mereka berdua. Aku mencoba berdiri tapi, gagal dikarenakan posis
"Iya, Paman. Dita tau. Makanya Dita tidak mau asal-asalan memilih pasangan lagi. Takutnya malah menjanda dua kali. Biarpun status Dita janda, Dita harus selektif memilih pasangan. Biarlah lama prosesnya. Yang terpenting, Dita tidak akan menjadi janda lagi." Aku mengucapkan isi hatiku yang sudah lama terpendam. Aku tidak mau terus menerus dipaksa menikah oleh Paman. Apalagi pilihan paman tidaklah sesuai dengan keinginanku. Paman membuang napas kasar. Aku tau dia sedikit kecewa denganku. Tapi aku harus bagaimana? Aku benar-benar tidak bisa menerima pilihanhya, yang menurutku tidak sesuai dengan pilihanku. Aku benar-benar tidak mau mendapatkan suami yang hanya bermalas-malasan, dan hanya mau menerimaku saja. Aku inginnya dia juga bisa menerima anakku, dan dia juga rajin bekerja.Mungkin bagi sebagian orang, keinginanku ini terlalu berlebihan. Mengingat statusku sebagai janda. Tapi, menurutku, saat kita sudah menjadi janda, maka kita harus pintar-pintar memilih pasangan. Jangan sembar
Pandu tertawa setelah Luki pergi. Dia sampai memegangi perutnya. "Ada yang lucu?" tanyaku sewot."Ahm. Nggak ada," jawabnya seraya menahan tawanya. "Senang sekali ya, kamu melihatku menyedihkan begini!" sungutku. "Siapa yang senang? Jangan su'udzon, kamu itu!" sahutnya seraya tersenyum. Senyum yang membuatku semakin jengkel. Sudah bertahun-tahun tidak bertemu, dia masih saja menjengkelkan."Hiish!" Aku menyandarkan tubuhku ke sandaran sofa. "Jangan marah-marah, nanti cepat tua!" Pandu menatapku sambil mengulum senyum. "Memang sudah tua. Puas kamu!""Kamu itu, sama Pamannya kok galak banget. Kuwalat nanti kamu sama orang tua!"Awas saja. Tunggu pembalasan dariku. Aku tau, dia sangat suka melihatku terlihat menyedihkan begini. Dia itu, suka banget menggangguku dari dulu. Bahkan dia pernah berpura-pura menjadi Abang yang galak saat ada teman lelakiku yang datang ke rumah ingin PDKT. Dia akan memarahi lelaki itu habis-habisan. Ceramah panjang lebar juga ia lontarkan. Yang katanya