Share

5. Menuruti Gengsi

Gunawan dan para pekerja lainnya serentak menoleh ke sumber suara. Meninggalkan kenikmatan makan siang demi menuruti rasa penasaran dalam hati.

Belum hilang rasa penasaran mereka, tiba-tiba pak Adi datang dan menegur mereka semua.

"Jangan usil jadi orang. Ayo kembali kerja lagi! Kerja! Kerja!" Pria itu bertepuk tangan untuk menyuruh para pekerjanya kembali bekerja.

Mereka semua akhirnya membubarkan diri. Mereka kembali bekerja hingga tak terasa waktu pulang telah tiba. Gunawan dan yang lainnya bersiap-siap untuk pulang ke rumah masing-masing.

"Kamu pulang naik apa, Gun?" tanya pak Adi.

"Naik sepeda, Pak," jawab Gunawan.

"Sepeda? Sepeda ini?" Pak Adi bertanya sembari menunjuk sebuah sepeda onthel yang dipegang Gunawan.

Gunawan mengangguk. "Iya, Pak. Sebenarnya sepeda ini milik almarhum mertua saya. Sayang kalau nggak dipakai. Jadi, saya perbaiki sedikit supaya bisa dipakai kerja," jawab Gunawan.

Pak Adi manggut-manggut mendengar jawaban Gunawan. Pria itu kemudian menepuk pundak pekerja barunya itu.

"Semangat ya. Pekerjaan ini memang berat. Tapi, kalau kamu semangat dan pantang menyerah, saya yakin kamu pasti bisa sukses," ucapnya memberi semangat.

Gunawan tersenyum mendemgar ucapan semangat dari mandornya itu. Setelah berbincang sedikit, Gunawan pamit undur diri. Dia lantas mengayuh sepedanya dan pulang ke rumah.

Sementara itu, Anggun tampak sedang berbincang-bincang dengan ibunya. Dia tampak serius sekali saat berbicara.

"Terus aku harus gimana, Bu?" tanya Anggun. Wajahnya tampak kusut dan kebingungan.

"Saran ibu, sebaiknya kamu minta uang saja sama Gunawan. Yah walaupun ibu nggak yakin dia bakalan ngasih. Tapi apa salahnya dicoba," saran bu Ika.

Anggun hanya mengangguk saja. Dalam hati dia ingin membenarkan ucapan sang ibu. Tapi di sisi lain dia merasa tak tega saat melihat wajah sang suami.

"Assalamu'alaikum," ucap seseorang dari luar.

Mendengar ada yang mengucapkan salam, Anggun bergegas bangkit dan berjalan menuju pintu depan.

"Wa'alaikumsalam!" jawabnya ketus.

Gunawan tersenyum saat melihat sang istri menyambut kedatangannya walau dengan wajah yang masam. Dia tetap mensyukuri hal itu.

"Bagi duit dong!" Anggun mengadahkan tangannya pada Gunawan.

"Biarkan aku masuk dulu, Dek. Baru kamu bicara," ucap Gunawan.

"Alah! Enggak usah banyak omong deh. Buruan bagi duit. Aku mau beli HP baru seperti punya Lina." Anggun berkata ketus sambil mengibaskan sebelah tangannya.

Gunawan hanya menggeleng saja. Dia tak lantas memberikan uang pada sang istri. Dia justru masuk ke dalam dan berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum.

"Kamu dengar nggak sih aku ngomong?" ujar Anggun.

Gunawan masih diam saja. Tangannya meraih ceret dan menuangkan air ke dalam gelas yang ia pegang.

"Cepetan dong! Aku mau beli HP baru," ucap Anggun.

Gunawan masih tak merespon ucapan sang istri. Dia menghabiskan air minumnya dan berjalan menuju kamar mandi.

"Heh! Punya kuping nggak sih? Anggun lagi ngomong sama kamu. Dia minta uang buat beli barang yang dia mau. Kok malah dicuekin!" Bu Ika ikut berbicara pada Gunawan.

Gunawan berhenti dan menoleh. "Aku dengar kok. Tapi apa begitu caranya minta uang?" ujar Gunawan.

"Terus mau cara bagaimana? Hah! Mau cara menye-menye? Atau cara yang bernada manja?" sahut bu Ika.

Gunawan menghela napas panjang. "Kamu minta uang buat beli gadget baru? Emangnya gadget kamu udah nggak bisa dipakai lagi? Udah rusak?" tanya Gunawan.

"Ya enggak. Tapi kan itu udah jadul banget. Aku gengsi lah sama-sama temen-temenku. Masa iya istri kepala pengawas HP-nya jadul," jawab Anggun.

"Hidup itu jangan nuruti gengsi. Lagian aku sekarang sudah bukan kepala pengawas lagi. Kamu kan udah tahu kalau aku dipecat!" sahut Gunawan.

"Aku sekarang cuman kuli bangunan. Gajiku juga nggak sebesar dulu. Cukup untuk makan saja aku sudah bersyukur," lanjutnya.

Setelah berkata demikian, Gunawan segera berlalu dari tempat itu. Dia tak peduli pada teriakan kesal yang keluar dari mulut istri dan juga mertuanya.

****************

Waktu terasa begitu cepat berlalu. Tak terasa sudah hampir satu bulan Gunawan bekerja sebagai kuli bangunan. Selama itu pula dia menahan sakitnya hinaan dan cacian yang dilontarkan oleh istri dan ibu mertuanya.

Seperti pagi ini, Gunawan kembali harus menerima hinaan dan cacian kala dia tak memberikan sejumlah uang pada Anggun.

"Buat apa sih, Dek uang sebanyak itu?" tanya Gunawan.

"Ya buat belanja lah. Mau buat apa lagi?" sahut Anggun dengan ketus.

"Kemarin kan udah aku kasih uangnya. Masa sekarang udah habis sih?" tanya Gunawan lagi.

Anggun berdecak kesal saat mendengar pertanyaan sang suami.

"Uang segitu mana cukup sih buat aku jajan? Uang segitu tuh cuman cukup buat beli roti sama kopi doang," jawab Anggun.

Gunawan menggeleng-gelengkan kepalanya. Bibirnya menggumamkan istighfar. Semoga yang maha Kuasa mengampuni dosanya dan memberinya kesabaran seluas samudera.

"Maaf, Dek. Aku nggak punya uang sebanyak itu. Lagipula aku cuman pekerja kasar di proyek. Bukan mandor atau kontraktornya," ucap Gunawan.

Anggun melotot tajam. Tangannya yang sejak tadi terlipat kini turun dan terkepal erat.

"Emang benar ya kata ibu. Kamu itu suami nggak guna. Dasar lelaki nggak peka. Enggak ngerti kemauan istri!" ketusnya.

Setelah berkata demikian, Anggun segera berlalu dari sana dan masuk ke dalam kamarnya. Dia membanting pintu dengan keras hingga membuat bu Ika berlari keluar.

"Kamu apakan anakku sampai dia marah seperti itu?" semprot bu Ika.

Gunawan tak menjawab pertanyaan ibu mertuanya. Dia meraih topinya dan segera keluar dari rumah itu.

"Dasar menantu nggak ada akhlak!" sungut perempuan beralis celurit itu.

Sepeninggal Gunawan, bu Ika segera masuk ke dalam. Dia berdiri di depan kamar Anggun sembari mengetuk pintu.

"Nggun, ibu mau bicara. Bisa keluar sebentar?" ujar bu Ika.

Tak ada jawaban dari dalam kamar. Perempuan itu tak menyerah. Dia mencoba lagi dan lagi. Hingga akhirnya Anggun mau membuka pintu kamarnya.

"Ada apa, Bu?" tanya Anggun.

Bu Ika tersenyum. "Kamu nggak ada acara kan siang ini?" Alih-alih menjawab pertanyaan sang anak, bu Ika justru menanyakan agenda Anggun hari ini.

Anggun menggeleng. "Kenapa, Bu? Tumben banget nanyanya kayak gitu?"

Bu Ika lagi-lagi mengulas senyum. "Nanti siang kamu ikut ibu ya!" ajak bu Ika.

"Ke mana?" Anggun bertanua dengan dahi berkerut.

"Udah pokoknya kamu ikur saja. Nanti juga kamu bakalan tahu sendiri," ucap bu Ika.

Anggun hanya mengangguk saja. Dia tak lagi bertanya walaupun rasa penasaran memenuhi hatinya.

Sementara itu, Gunawan tampak tak fokus saat bekerja. Berulang kali dia salah mengambil barang dan berulang kali pula dia terkena teguran dari rekannya.

"Fokus dong, Gun! Jangan ngelamun aja," tegur salah seorang rekannya.

"Iya, Gun. Kalau ada pak Adi, kamu bisa kena marah kalau kayak gitu," sambung yang lain.

Gunawan menghela napas panjang. Dia lantas mengangguk tanpa bersuara sedikitpun. Kemudian dia kembali melanjutkan pekerjaannya hingga waktu pulang tiba.

Gunawan kembali mengayuh sepeda tuanya. Menyusuri jalanan yang biasa dia lewati. Hingga tanpa terasa sepeda tua itu memasuki pekarangan rumahnya. Dia lantas meletakkan sepeda itu di samping rumah.

"Assalam—"

Ucapannya terhenti kala cuping telinganya mendengar suara seseorang tengah bersenda gurau di dalam rumah. Gunawan mencoba melihat ke dalam rumah melalui celah pintu. Gunawan tak percaya dengan apa yang dia lihat.

"Enggak mungkin! Aku pasti salah lihat!" batinnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status