Share

5. Menuruti Gengsi

Penulis: Ayu Anggita
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-07 09:00:47

Gunawan dan para pekerja lainnya serentak menoleh ke sumber suara. Meninggalkan kenikmatan makan siang demi menuruti rasa penasaran dalam hati.

Belum hilang rasa penasaran mereka, tiba-tiba pak Adi datang dan menegur mereka semua.

"Jangan usil jadi orang. Ayo kembali kerja lagi! Kerja! Kerja!" Pria itu bertepuk tangan untuk menyuruh para pekerjanya kembali bekerja.

Mereka semua akhirnya membubarkan diri. Mereka kembali bekerja hingga tak terasa waktu pulang telah tiba. Gunawan dan yang lainnya bersiap-siap untuk pulang ke rumah masing-masing.

"Kamu pulang naik apa, Gun?" tanya pak Adi.

"Naik sepeda, Pak," jawab Gunawan.

"Sepeda? Sepeda ini?" Pak Adi bertanya sembari menunjuk sebuah sepeda onthel yang dipegang Gunawan.

Gunawan mengangguk. "Iya, Pak. Sebenarnya sepeda ini milik almarhum mertua saya. Sayang kalau nggak dipakai. Jadi, saya perbaiki sedikit supaya bisa dipakai kerja," jawab Gunawan.

Pak Adi manggut-manggut mendengar jawaban Gunawan. Pria itu kemudian menepuk pundak pekerja barunya itu.

"Semangat ya. Pekerjaan ini memang berat. Tapi, kalau kamu semangat dan pantang menyerah, saya yakin kamu pasti bisa sukses," ucapnya memberi semangat.

Gunawan tersenyum mendemgar ucapan semangat dari mandornya itu. Setelah berbincang sedikit, Gunawan pamit undur diri. Dia lantas mengayuh sepedanya dan pulang ke rumah.

Sementara itu, Anggun tampak sedang berbincang-bincang dengan ibunya. Dia tampak serius sekali saat berbicara.

"Terus aku harus gimana, Bu?" tanya Anggun. Wajahnya tampak kusut dan kebingungan.

"Saran ibu, sebaiknya kamu minta uang saja sama Gunawan. Yah walaupun ibu nggak yakin dia bakalan ngasih. Tapi apa salahnya dicoba," saran bu Ika.

Anggun hanya mengangguk saja. Dalam hati dia ingin membenarkan ucapan sang ibu. Tapi di sisi lain dia merasa tak tega saat melihat wajah sang suami.

"Assalamu'alaikum," ucap seseorang dari luar.

Mendengar ada yang mengucapkan salam, Anggun bergegas bangkit dan berjalan menuju pintu depan.

"Wa'alaikumsalam!" jawabnya ketus.

Gunawan tersenyum saat melihat sang istri menyambut kedatangannya walau dengan wajah yang masam. Dia tetap mensyukuri hal itu.

"Bagi duit dong!" Anggun mengadahkan tangannya pada Gunawan.

"Biarkan aku masuk dulu, Dek. Baru kamu bicara," ucap Gunawan.

"Alah! Enggak usah banyak omong deh. Buruan bagi duit. Aku mau beli HP baru seperti punya Lina." Anggun berkata ketus sambil mengibaskan sebelah tangannya.

Gunawan hanya menggeleng saja. Dia tak lantas memberikan uang pada sang istri. Dia justru masuk ke dalam dan berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum.

"Kamu dengar nggak sih aku ngomong?" ujar Anggun.

Gunawan masih diam saja. Tangannya meraih ceret dan menuangkan air ke dalam gelas yang ia pegang.

"Cepetan dong! Aku mau beli HP baru," ucap Anggun.

Gunawan masih tak merespon ucapan sang istri. Dia menghabiskan air minumnya dan berjalan menuju kamar mandi.

"Heh! Punya kuping nggak sih? Anggun lagi ngomong sama kamu. Dia minta uang buat beli barang yang dia mau. Kok malah dicuekin!" Bu Ika ikut berbicara pada Gunawan.

Gunawan berhenti dan menoleh. "Aku dengar kok. Tapi apa begitu caranya minta uang?" ujar Gunawan.

"Terus mau cara bagaimana? Hah! Mau cara menye-menye? Atau cara yang bernada manja?" sahut bu Ika.

Gunawan menghela napas panjang. "Kamu minta uang buat beli gadget baru? Emangnya gadget kamu udah nggak bisa dipakai lagi? Udah rusak?" tanya Gunawan.

"Ya enggak. Tapi kan itu udah jadul banget. Aku gengsi lah sama-sama temen-temenku. Masa iya istri kepala pengawas HP-nya jadul," jawab Anggun.

"Hidup itu jangan nuruti gengsi. Lagian aku sekarang sudah bukan kepala pengawas lagi. Kamu kan udah tahu kalau aku dipecat!" sahut Gunawan.

"Aku sekarang cuman kuli bangunan. Gajiku juga nggak sebesar dulu. Cukup untuk makan saja aku sudah bersyukur," lanjutnya.

Setelah berkata demikian, Gunawan segera berlalu dari tempat itu. Dia tak peduli pada teriakan kesal yang keluar dari mulut istri dan juga mertuanya.

****************

Waktu terasa begitu cepat berlalu. Tak terasa sudah hampir satu bulan Gunawan bekerja sebagai kuli bangunan. Selama itu pula dia menahan sakitnya hinaan dan cacian yang dilontarkan oleh istri dan ibu mertuanya.

Seperti pagi ini, Gunawan kembali harus menerima hinaan dan cacian kala dia tak memberikan sejumlah uang pada Anggun.

"Buat apa sih, Dek uang sebanyak itu?" tanya Gunawan.

"Ya buat belanja lah. Mau buat apa lagi?" sahut Anggun dengan ketus.

"Kemarin kan udah aku kasih uangnya. Masa sekarang udah habis sih?" tanya Gunawan lagi.

Anggun berdecak kesal saat mendengar pertanyaan sang suami.

"Uang segitu mana cukup sih buat aku jajan? Uang segitu tuh cuman cukup buat beli roti sama kopi doang," jawab Anggun.

Gunawan menggeleng-gelengkan kepalanya. Bibirnya menggumamkan istighfar. Semoga yang maha Kuasa mengampuni dosanya dan memberinya kesabaran seluas samudera.

"Maaf, Dek. Aku nggak punya uang sebanyak itu. Lagipula aku cuman pekerja kasar di proyek. Bukan mandor atau kontraktornya," ucap Gunawan.

Anggun melotot tajam. Tangannya yang sejak tadi terlipat kini turun dan terkepal erat.

"Emang benar ya kata ibu. Kamu itu suami nggak guna. Dasar lelaki nggak peka. Enggak ngerti kemauan istri!" ketusnya.

Setelah berkata demikian, Anggun segera berlalu dari sana dan masuk ke dalam kamarnya. Dia membanting pintu dengan keras hingga membuat bu Ika berlari keluar.

"Kamu apakan anakku sampai dia marah seperti itu?" semprot bu Ika.

Gunawan tak menjawab pertanyaan ibu mertuanya. Dia meraih topinya dan segera keluar dari rumah itu.

"Dasar menantu nggak ada akhlak!" sungut perempuan beralis celurit itu.

Sepeninggal Gunawan, bu Ika segera masuk ke dalam. Dia berdiri di depan kamar Anggun sembari mengetuk pintu.

"Nggun, ibu mau bicara. Bisa keluar sebentar?" ujar bu Ika.

Tak ada jawaban dari dalam kamar. Perempuan itu tak menyerah. Dia mencoba lagi dan lagi. Hingga akhirnya Anggun mau membuka pintu kamarnya.

"Ada apa, Bu?" tanya Anggun.

Bu Ika tersenyum. "Kamu nggak ada acara kan siang ini?" Alih-alih menjawab pertanyaan sang anak, bu Ika justru menanyakan agenda Anggun hari ini.

Anggun menggeleng. "Kenapa, Bu? Tumben banget nanyanya kayak gitu?"

Bu Ika lagi-lagi mengulas senyum. "Nanti siang kamu ikut ibu ya!" ajak bu Ika.

"Ke mana?" Anggun bertanua dengan dahi berkerut.

"Udah pokoknya kamu ikur saja. Nanti juga kamu bakalan tahu sendiri," ucap bu Ika.

Anggun hanya mengangguk saja. Dia tak lagi bertanya walaupun rasa penasaran memenuhi hatinya.

Sementara itu, Gunawan tampak tak fokus saat bekerja. Berulang kali dia salah mengambil barang dan berulang kali pula dia terkena teguran dari rekannya.

"Fokus dong, Gun! Jangan ngelamun aja," tegur salah seorang rekannya.

"Iya, Gun. Kalau ada pak Adi, kamu bisa kena marah kalau kayak gitu," sambung yang lain.

Gunawan menghela napas panjang. Dia lantas mengangguk tanpa bersuara sedikitpun. Kemudian dia kembali melanjutkan pekerjaannya hingga waktu pulang tiba.

Gunawan kembali mengayuh sepeda tuanya. Menyusuri jalanan yang biasa dia lewati. Hingga tanpa terasa sepeda tua itu memasuki pekarangan rumahnya. Dia lantas meletakkan sepeda itu di samping rumah.

"Assalam—"

Ucapannya terhenti kala cuping telinganya mendengar suara seseorang tengah bersenda gurau di dalam rumah. Gunawan mencoba melihat ke dalam rumah melalui celah pintu. Gunawan tak percaya dengan apa yang dia lihat.

"Enggak mungkin! Aku pasti salah lihat!" batinnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Harga Diri Seorang Suami   60. Berakhir Sudah

    Gunawan tengah menikmati malam minggunya dengan duduk di teras rumahnya. Ditemani segelas minuman favoritnya—es cappucino juga sepiring brownies tape yang ia beli sepulang bekerja tadi. Seulas senyum tergambar di wajahnya kala melihat hidangan yang ia tata di atas meja. “Nikmat mana lagi yang bisa kudustakan?” ucapnya sembari menempatkan dirinya di kursi kayu. Namun, saat tangannya mencomot sepotong kue itu. Sebuah mobil dan dua sepeda motor tampak memasuki pekarang rumahnya. Dari dalam mobil turun sosok yang dikenal Gunawan sebagai suami dari Vera. Lelaki itu berjalan menghampiri Gunawan dan empat orang berbadan besar mengikutinya di belakang. “Ada apa nih?” tanya Gunawan saat lelaki itu berada di hadapannya. Keningnya terlipat heran karena ekspresi wajah kelima orang itu tampak tegang dan menyimpan kebencian yang mendalam. “Enggak usah banyak bacot!” ucap seorang yang berbadan paling besar. Gunawan semakin tak mengerti. “Ada apa ini? Bisa kan bicara baik

  • Harga Diri Seorang Suami   59. Salah Sasaran

    Gunawan hanya diam saja mendengar semua ucapan Heri. Dia tak berniat untuk menjawab ataupun membantah ucapan lelaki itu. “Sekali lagi, aku minta tolong sama Mas Gunawan!” ucap Heri. “Kita sama-sama laki-laki dan aku pikir Mas Gunawan adalah orang yang baik. Jadi, Mas Gun nggak keberatan dengan apa yang akan aku sampaikan,” lanjut Heri. Gunawan menoleh sembari mengangkat sebelah alisnya. Sudut bibirnya turut terangkat. Membentuk seulas senyum tipis nan sinis. Seolah mengejek Heri yang mengatakan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu. “Aku minta sama Mas Gunawan untuk nggak mengganggu dan mencoba mendekati Vera kembali. Aku mohon, Mas. Biarkan rumah tangga kami bahagia tanpa ada gangguan dari pihak luar,” terang Heri. “Lagi pula semua uang yang sudah Mas Gunawan keluarkan saat masih bersama dengan Vera sudah aku kembalikan semuanya?” lanjut Heri. “Aku pikir itu semua sudah lebih dari cukup untuk membuat Mas Gunawan pergi dari kehidupan kami berdua,” pungkas Heri. Gunawan i

  • Harga Diri Seorang Suami   58. Move On

    Gunawan berusaha untuk melupakan apa yang telah terjadi antara dirinya dan Vera. Sekuat hati dia bersikap biasa saja saat tanpa sengaja bertemu dengan Vera di kantor. Dia juga berusaha untuk sebisa mungkin tak terlibat percakapan dengan wanita itu. “Gun,” tegur Amri saat Gunawan tengah bersiap-siap untuk berangkat visit. Gunawan menoleh ke arah temannya itu. “Ada apa, Am?” “Tuh!” Amri menunjuk ke arah lain dengan dagunya. Gunawan mengikuti arah tunjuk Amri. Seketika itu juga ekspresi wajahnya berubah. Tanpa mengatakan apapun juga. Dia bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Namun, saat akan mencapai pintu keluar Vera mencegah langkahnya. “Bisa kita bicara?” pinta Vera. Gunawan mendengus keras. “Maaf, saya sedang sibuk hari ini!” “Sebentar aja. Ada yang harus aku jelaskan sama Mas Gunawan,” ujar Vera sedikit memaksa. “Enggak ada yang perlu kamu jelaskan lagi! Semuanya sudah sangat jelas menurutku,” sahut

  • Harga Diri Seorang Suami   57. Akhir Kisah Itu

    Gunawan meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Helaan napas berat terdengar begitu menyesakkan. Faizal yang melihat itu hanya bisa menepuk pundak sahabatnya dengan lembut. Mencoba menyalurkan semangatnya pada lelaki yang tengah patah hati itu. “Ikhlas ya, Gun! Aku tahu masih banyak wanita baik di luaran sana,” ucap Faizal. Gunawan menatap Faizal dengan tatapan sendu. Namun, seulas senyum terukir manis di wajahnya. “Suaminya mengembalikan semua uang yang pernah aku keluarkan selama bersama dengan Vera,” kisah Gunawan. “Padahal aku nggak pernah minta uang itu balik lagi. Aku ikhlas kok membantu dia selama ini. Yah walaupun endingnya harus menelan rasa kecewa dan sakit hati,” lanjut Gunawan. Faizal menganggukkan kepala mendengar penuturan Gunawan. Dia tahu betul sahabatnya itu akan sangat royal pada siapapun juga. Dia tak pernah pandang bulu ketika membantu orang lain. “Dia juga bilang, maaf atas semua yang udah istrinya

  • Harga Diri Seorang Suami   56. Patah Hati

    Gunawan pulang dengan perasaan kacau. Hatinya hancur dan remuk. Kenapa semuanya harus seperti ini di saat dirinya mulai bisa membuka hatinya untuk orang lain? Apakah Tuhan tak mengizinkan dirinya untuk bahagia? Bukankah dirinya juga berhak untuk bahagia? Pikirannya melayang ke kejadian beberapa waktu lalu saat dirinya berada di rumah Vera. “Kenalkan! Saya Heri, suami dari Vera.” Lelaki itu mengulurkan tangannya bermaksud untuk bersalaman dengan Gunawan. Gunawan menyambut uluran tangan itu dengan perasaan kacau. Lelaki itu terkesiap mendengar ucapan lelaki yang mengaku sebagai suami Vera itu. Dia tak percaya dengan apa yang didengarnya hari ini. Tidak mungkin Vera sudah bersuami. Selama ini dia selalu mengaku masih sendiri dan belum ada rencana untuk menikah. Namun, kenapa semua seolah terbalik dan … “Maksudnya … apa ini, Ver? Kenapa dia mengaku sebagai …” “Aku … aku bisa jelaskan semua ini. Dia ini … dia ini memang … suamiku, Mas.”

  • Harga Diri Seorang Suami   55. Fakta Mengejutkan

    Gunawan tertegun mendengar penuturan Lisa. Dirinya sulit sekali untuk percaya pada apa yang diucapkan oleh gadis itu. “Mas Gunawan boleh percaya atau enggak. Tapi, yang jelas aku udah kasih tahu yang sebenarnya,” ujar Lisa. Gunawan menatap Lisa dengan pandangan menyelidik. Seolah ingin menelisik lebih jauh tentang cerita yang meluncur dari mulut gadis itu. “Dia itu sebenarnya udah punya suami. Sekarang suaminya lagi ada di luar kota untuk kerja. Biasanya sebulan sekali suaminya akan pulang ke sini,” terang Lisa. Gunawan mengernyitkan keningnya. Seolah tak percaya dengan apa yang didengar oleh pendengarannya kini. “Aku cerita kayak gini bukan karena pengin menjelek-jelekkan teman, tapi aku nggak mau ada korban lagi,” lanjut Lisa. Gunawan semakin tak mengerti. Dia menatap Lisa dengan tatapan penuh tanya. “Maksud kamu … korban apa?” tanya Gunawan dengan suara terbata-bata. Lisa menikmati minuman yang telah te

  • Harga Diri Seorang Suami   54. Memperingatkan

    Hari ini Gunawan kembali menemani Vera yang sedang menjaga booth untuk pameran. Sejak pagi dia sudah stanby dan selalu cekatan jika Vera membutuhkan sesuatu. Walaupun di sana Vera tak sendirian, tetapi Gunawan tetap menemaninya di sana. “Pulang dari sini kita cari tempat buat makan ya, Mas,” pinta Vera. Gunawan tersenyum. “Memangnya kamu mau makan apa?” “Em … apa ya? Yang pedas-pedas enak kali ya. Kayak lalapan atau mie ayam gitu,” jawab Vera. Gunawan menganggukkan kepalanya. “Aku ada rekomendasi tempat makan yang enak di sekitar sini. Mau coba ke sana?” “Boleh. Kebetulan juga ada yang pengin aku omongin sama, Mas Gun,” sahut Vera. Gunawan tersenyum mendengar jawaban Vera. Dia merasa lega karena sikap Vera jauh lebih baik daripada sebelumnya. Hari ini gadis itu lebih banyak tersenyum dan lebih bisa mengontrol emosinya. Hari sudah beranjak siang. Acara pameran pun sudah selesai. Gunawan membantu Vera dan teman-tema

  • Harga Diri Seorang Suami   53. Sebuah Nasihat

    Gunawan masih memikirkan ucapan Faizal tempo hari. Dia menjadi penasaran siapa Vera sebenarnya. Bukan karena dia kepo dengan urusan orang lain. Namun, dia harus melakukan itu agar tak salah lagi dalam memilih pasangan. Ya! Gunawan bertekad untuk menjadikan Vera sebagai pasangannya kelak. Gunawan telah merasa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan dia. Terdengar gombal memang, tetapi itulah yang terjadi. Dirinya merasa jatuh cinta hanya dengan melihat senyuman manis Vera. “Mas Gun!” tegur seseorang. Gunawan terlonjak kaget mendengar teguran orang itu yang tak lain adalah Fino. Fino tersenyum dan segera duduk di bangku kosong yang ada di sebelah Gunawan. “Melamun aja deh. Kenapa?” tanya Fino begitu dirinya telah duduk di sebelah Gunawan. “Aku dari tadi panggil-panggil kamu, Mas. Eh kamu malah asik melamun. Enggak nyahut sama sekali,” lanjut Fino. Gunawan tersenyum kecut sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia meras

  • Harga Diri Seorang Suami   52. Yang Terbaik

    Semenjak kejadian tempo hari, Gunawan semakin dekat dengan Vera. Bahkan Gunawan rela mengantar jemput Vera. Dia tak ingin kejadian tempo hari terulang kembali. “Hari ini jadwal kamu ke mana aja, Ver?” tanya Gunawan saat keduanya berjalan dari parkiran menuju kantor. “Aku hari ini ada event, Mas. Di pameran gitu sih. Kenapa, Mas?” “Enggak. Kamu berangkat sama tim atau berangkat sendiri?” “Sama tim sih, Mas. Kenapa sih? Kok kayaknya khawatir banget gitu?” tanya Vera dengan nada heran. Gunawan menghela napas panjang. “Enggak. Aku cuma takut kejadian waktu itu terulang kembali. Aku takut mereka ganguin kamu lagi.” Vera tertegun mendengar ucapan Gunawan. Dalam hati dia mulai berpikir, betapa tulus dan perhatiannya lelaki ini. Apakah harus dirinya mendapatkan perlakuan yang lain dari orang lain? “Mas Gunawan tenang aja. Mereka nggak bakalan berani gangguin aku lagi kok.” Vera mencoba tersenyum. “Semoga saja per

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status