Share

Yakin tidak ingin tinggal?

"Wooow!" kata pertama yang kuucapkan, ketika melihat ruangan yang tidak pernah kubayangkan, "sepertinya, mereka bukan manusia!" imbuh ku, bergumam. 

Berkali-kali, mata kukedip-kedipkan. Lalu, menggelengkan kepala. Masih tidak yakin dengan diri ini. 

Kuturuni anak tangga, dengan tangan bertumpu pada dinding bercat metalik. Berhenti sejenak, memandang lukisan berukuran besar yang menempel cantik di dinding yang agak rendah. 

"Non, kenapa keluar kamar?" tanya seseorang yang membuatku terkejut, "oya, perkenalkan, saya Siti Lestari. Kepala asisten di rumah ini. 

"Iya, Bu, " jawabku asal. 

"Panggil saja, Siti!" ujarnya merendah. 

Aku mendekati wanita paruh baya itu, yang rambutnya tertata rapih dan mengambil tangannya yang dia tumpuk di depan pinggang. 

"Ibu lebih tua dari saya, masa harus saya panggil nama!" ujarku lirih. 

Kulihat matanya berbinar namun, dia mencoba menepisnnya dengan memandang ke arah lain. 

"Bu, pintu untuk keluar  lewat sebelah mana?" tanyaku. 

Dia menggelengkan kepalanya, enggan memberitahuku. Dia hanya memintaku untuk kembali ke dalam kamar, dan menunggu untuk diperiksa oleh dokter. 

Betapa menjengkelkan wanita di depan ini, tidak ada bedanya dengan lelaki es yang tadi bersamanya. 

"Bu, saya tidak sakit dan sangat sehat, untuk apa diperiksa? Seharusnya, lelaki tadi yang harus diperiksa!" ujarku gemas, "orang yang aneh!" imbuhku.

Senyum mengembang di wajahnya yang sudah penuh dengan keriput. Lalu, jari telunjuknya dia tempelkan di bibirnya yang berwarna merah tua. 

"Nanti semua kena marah lagi, kalau tuan sedang kesal!" ujar Bu Siti. 

"Iiish, aneh!" cibirku. 

Bu Siti menarikku masuk ke dalam kamar dan memintaku untuk menuruti saja permintaan tuannya. 

"Ini bukan di surga, ya, Bu?" tanyaku serius. 

Terdengar suara tawanya memenuhi ruangan ini, menatapku tidak percaya, lalu tertawa lagi. 

"Non bisa aja!" ujarnya mengejek. 

Aku mengernyitkan dahi, merasa diriku seakan-akan adalah seorang pasien yang otaknya sedang terganggu. Sehingga ucapanku tidak dia percaya. 

"Rumah ini seperti istana, dan saya baru sekarang melihat ini!" ujarku meyakinkan. 

Bu Siti menghentikan tawanya, mungkin dia baru menyadari kejujuranku. Kemudian tersenyum padaku, meminta maaf atas tawa yang dia lakukan. 

"Maaf, seharusnya saya tidak tertawa!" ucapnya lirih dengan menundukkan kepalanya. 

"Ini sudah yang ketiga kalinya Bu Siti mengatakan hal yang sama. Sekali lagi Bu Siti bilang seperti itu, saya tidak punya permen!" ujarku kesal. 

Bu Siti mengangkat wajahnya dan melihat ke arahku. Lalu tersenyum simpul, menampilkan deretan gigi putih yang sangat terjaga. 

"Jika saja Non belum menikah, maka Non bisa menaklukkan Tuan Renald!" harapnya yang tentu saja tidak bisa kuaminkan, dan aku membantahnya. 

"Ya, tidak mungkin! Saya saja, tinggal di kamar ini, sudah mau pingsan berkali-kali. Apa lagi tinggal di sini!" ocehku.

"Yang benar saja! Yakin tidak ingin tinggal di sini?" Seseorang menerobos masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk atau mengucapkan salam. 

Aku yang tadinya nyaman duduk di tepi ranjang, langsung beranjak berdiri. Menatap laki-laki berpakaian formal, dan menenteng sebuah tas yang mulai mendekat. 

"Mari saya periksa dulu," ujarnya mempersilahkan aku tidur. 

Tentu saja aku menolaknya, meskipun aku tidak terlalu taat beribadah, aku tahu batasanku dipegang laki-laki. 

"Maaf, ya, Pak, Mas, Bang, Om, Tuan, atau siapapun! Saya sehat, dan saya tidak mau di periksa oleh laki-laki!" Nada suaraku meninggi ketika laki-laki itu ingin menggapai tanganku. 

Lelaki berkulit putih dan berjanggut tipis itu, menghembuskan napasnya kasar dan tertawa melihatku, dia seperti melihat badut saat aku menolaknya. 

"Ternyata! Renald!" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status