“Kak Indra, apa kamu sudah benar-benar lupain kakakku? Padahal kalian dulu saling cinta.” Belum sempat kata-katanya selesai, Indra langsung motong dengan tegas, “Kakakmu sudah meninggal. Orang yang masih hidup harus terus maju ke depan.”Kata-kata yang belum sempat keluar itu tersangkut di tenggorokan Wulan. Ia tercekat, kehilangan suara. Namun dengan cepat ia tenangkan diri, memaksa bibirnya melengkung dalam senyum tipis. “Aku ngerti. Mulai sekarang aku nggak akan bersikap bodoh kayak gitu lagi.”Seolah ingin tunjukkan betapa ia sudah insaf, ia tambahkan dengan suara lembut, “Perlu nggak aku minta maaf ke Kak Puspa, jelaskan semua itu sebenarnya palsu?”Indra mengangguk tipis. “Kali ini kamu memang sudah keterlaluan. Memang seharusnya kamu minta maaf ke dia.”Ekspresi Wulan seketika menegang. Ia sebenarnya cuma basa-basi, ngira Indra akan nutup mata seperti biasanya. "Oke, aku akan minta maaf besok dan jelaskan ke dia."Ia lalu menoleh, suaranya pelan penuh kelembutan yang dibuat-bu
Suasana seketika menegang, seperti busur yang ditarik sampai ujung, siap putus kapan saja. Tatapan Indra tajam dan berbahaya, buat Puspa curiga, jika ia berani ucapkan satu kata lagi tentang lukai Wulan, mungkin lelaki itu akan lebih dulu lenyapkan dia? Sampai akhirnya sebuah telepon dari Wulan datang, buat ekspresi Indra kembali normal. “Kak Indra, di luar suara petirnya besar sekali. Aku takut. Aahh!” Suaranya terselip dalam dentuman guntur dan jeritan kecil.Indra segera menenangkan, suaranya lembut, “Jangan takut. Aku datang sekarang.” Begitu ucapannya selesai, ia pun lenyap dari rumah Puspa tanpa sedikit pun noleh.Puspa menatap kepergiannya, tersenyum getir. Benar saja, kata-kata Wulan memang selalu ampuh. Ia alihkan pandangan ke koper Indra yang masih tersisa di ruang tamu. Tanpa ragu sedikit pun, ia seret keluar, buang dari rumah. Di sisi lain, Indra menerobos derasnya hujan, nyetir mobil hingga sampai di kompleks apartemen Wulan. Begitu turun, ia langsung naik lift ke la
Mereka seolah terjebak di jalan buntu, berputar-putar di tempat yang sama, nggak ada jalan keluar. Puspa menatapnya tajam. “Aku punya foto-foto kamu dan Wulan waktu masuk hotel. Kalau kamu nggak takut reputasi Keluarga Wijaya tercoreng, yah silahkan aja.”Namun ekspresi Indra tetap tenang. Seakan ia hanya nonton tingkahnya sebagai sebuah lelucon. Melihat sikap acuh itu, Puspa terbahak getir dalam hati. 'Dia benar-benar yakin aku nggak punya bukti?'Tanpa banyak bicara, ia buka HP-nya di depan wajah Indra, lalu tunjukkan foto-foto itu tepat di depan matanya. Tatapan lelaki itu jatuh ke layar. Di balik ketenangan wajahnya, akhirnya ada retakan sekelebat keterkejutan berkilat di dasar matanya. “Selain foto, aku juga punya video.” Puspa berkata dengan suara bergetar, luka lama yang kembali terkoyak. Setiap kali lihat itu, rasa sakit itu kembali menusuk. “Dan jangan ragukan keasliannya. Semua ini dikirim langsung oleh adik kesayanganmu, Wulan.”Setiap kali mereka berdua bermesraan, ia
Tania seakan sengaja ingin tusuk Indra. Ia meliriknya sekilas, lalu dengan nada main-main yang provokatif berkata, “Puspa, nanti kalau kamu sudah bebas, aku ajak kamu kenalan dengan pria sejati.”Wajah Indra seketika menghitam, kelam seperti tinta. Tatapannya mengunci Puspa, tajam, nyaris nggak berkelip. “Sini. Pulang denganku.”Namun Tania justru meraih tangan Puspa dan tarik dia pergi. “Puspa, ayo, kita jalan.”“Puspa!” Suara Indra merendah, dalam dan menekan.Langkah Puspa terhenti sesaat, tetapi ia nggak noleh. Lihat itu, Indra hendak melangkah maju untuk seret dia kembali. Tapi ketika Wulan menangkap kilatan kepemilikan di matanya, ia segera raih tangannya. Alisnya berkerut, suaranya lemah. “Kak Indra, jantungku tiba-tiba nggak enak.”Dengar itu, Indra berhenti. Ia noleh dan lihat wajah Wulan yang tampak pucat. Hasrat ngejar Puspa pun dipaksa padam. “Oke. Aku antar kamu ke rumah sakit.”Puspa hanya menyeringai tipis dengan sinis. Matanya penuh ejekan. Tania meludah ke arah pungg
Ada hal aneh soal daya magnet seseorang. Begitu berdiri bersama, langsung terasa siapa cocok dengan siapa, dan siapa yang saling bertolak belakang. Bagi Tania, perempuan bernama Hana ini jelas bukan orang yang buat dia nyaman. Bisa akrab dengan Wulan? Nggak mungkin orang baik! Lihat bekas tamparan di pipi Wulan, Hana sontak menjerit kaget. “Wulan! Wajahmu ini, siapa yang berani nampar kamu?”Tatapannya langsung menajam ke Puspa. “Puspa, ini pasti ulahmu, kan?”Tania menyeringai ringan, suaranya penuh cemoohan. “Dari mana datangnya monyet? Berani-beraninya loncat-loncat di sini.”Hana mendidih, menjerit marah. “Siapa yang kamu bilang monyet?!”Tania jawab enteng setajam pisau, “Siapa yang jawab, yah dia monyetnya.”Hana menunjuk ke arahnya, matanya yang tajam menatap lebar. Hana tergetar hebat. Ia nunjuk Tania dengan mata yang dibuat-buat membulat, seolah hendak bakar orang dengan tatapan. “Ulangi sekali lagi kalau berani!”'Aku itu orang baik,' pikir Tania dengan tenang. 'Kalau itu b
Wulan langsung menubruk dada Indra dan menangis tersedu. Kali ini ia nggak pura-pura lagi, air mata itu benar-benar tulus keluar dari hatinya. “Kak Indra, teganya Kak Puspa perlakukan aku seperti ini. Ayah dan Ibuku saja nggak pernah pukul aku. Hu…hu…hu…” Indra menekan suaranya yang dalam. “Minta maaf ke dia.”Puspa menahan rasa nggak nyaman di dadanya, lalu menegakkan punggungnya. “Kenapa aku harus minta maaf ke dia?”Indra balas cepat, “Kamu sudah nampar orang, bukannya itu salah? Bukannya harus minta maaf?”Puspa menatapnya dingin. “Dia memang pantas dapatkan itu.”"Kamu ...."Indra benar-benar merasa ia sudah nggak bisa diajak bicara lagi. Namun Puspa tersenyum tipis. “Kalau kamu benar-benar ingin aku minta maaf, bukan nggak mungkin. Cukup ceraikan aku, lalu aku akan minta maaf ke dia.”Mendengar itu, tangan Wulan mengepal erat. Dari sudut matanya, ia lirik ekspresi Indra. Sadar kalau ia nggak rela dengan usulan itu, Wulan segera ubah nada bicaranya. “Kak Puspa, ucapanmu itu su