Share

Bab 4

Author: Rina Safitri
Puspa tahu Endah benar-benar ingin punya cucu. Dia sama sekali nggak tertarik tinggal di tempat yang bahkan tidur pun terasa seperti diawasi.

“Bu, rumah ini terlalu jauh dari kantor. Kalau tinggal di sini, kami harus bangun pagi-pagi sekali. Nanti bisa mengganggu waktu tidur Indra,” katanya lembut namun tegas.

Putranya adalah segalanya bagi Endah—dan Puspa pandai memanfaatkan itu untuk membela dirinya sendiri.

Benar saja, perempuan itu mulai ragu.

Dari sudut matanya, Indra meliriknya dengan pandangan dalam. Ia sadar—istrinya tahu betul cara pakai dirinya sebagai tameng.

Tentu saja Puspa juga sadar tatapan itu, tapi dia pilih untuk mengabaikannya. Persis seperti saat Indra mengabaikannya barusan.

Masalah tinggal di rumah lama akhirnya nggak dibahas lebih lanjut. Namun, ibu mertua yang "baik hati" itu tidak tinggal diam—dia malah mengirim Bu Widya dari untuk tinggal bersama mereka.

Puspa sempat ingin menolak dengan halus, tapi Endah sudah bersikap tegas. Nggak ada ruang untuk berdebat.

“Bu Widya, aku lapar. Makanannya kapan siap?”

Sebuah suara nyaring nan manis tiba-tiba terdengar. Seorang gadis cantik masuk ke ruang makan—itu adik perempuan Indra, Lisa Wijaya.

Melihat mereka, dia langsung berseru manja.

“Kakak! Kakak ipar!”.

Indra mengangguk kecil. “Kamu sudah pulang.”

Puspa tersenyum tipis membalas sapaannya.

Lisa, si bungsu dari keluarga Wijaya, baru berusia enam belas tahun. Dia adalah anak terakhir dari ayah Indra, sangat dimanja dan disayang.

Endah memberi perintah pada pelayan untuk segera menyajikan makan malam.

Di meja makan, senyum Lisa tampak polos dan lembut. “Kakak ipar, hari Jumat aku ada pertemuan wali murid. Kamu bisa datang gantikan ibu?”

Puspa yang sedang memegang sumpit seketika membeku.

Wajah Lisa nggak terlalu mirip dengan Indra. Dia mirip ibunya, sedangkan Indra lebih mirip seperti sang ayah. Tapi keduanya sama-sama mewarisi mata dingin dari kakek mereka, Husin Wijaya.

Bedanya, mata Lisa selalu terlihat cerah dan hangat, kesan ramah yang menipu banyak orang.

Namun Puspa tahu, semua itu hanyalah topeng.

Puspa menjawab, “Hari Jumat aku harus kerja. Gimana kalau kamu minta ibu saja yang datang?”

Tapi gadis manja itu nggak menyerah begitu saja. Dia menoleh ke arah Indra, memanyunkan bibirnya dengan gaya menggoda, “Kak, kamu sayang aku kan? Pinjamkan kakak ipar satu hari aja, ya?”

Puspa langsung menatap suaminya. Harapannya, Indra menolak.

Tapi harapan itu pupus. Belum sempat Indra menjawab, Endah sudah memutuskan segalanya. “Kalau Lisa ingin kamu yang datang, ya kamu saja yang datang. Jumat itu kamu nggak usah kerja.”

Tentu saja, semua yang diinginkan Lisa pasti dikabulkan oleh sang ibu.

Semua permintaan Lisa, Endah pasti akan setuju.

Dari awal hingga akhir, Indra hanya diam. Seolah urusan remeh seperti ini sama sekali tak menarik perhatiannya.

Sudah bertahun-tahun Puspa hidup dalam keluarga ini, namun tetap saja—ia seperti bayangan, nggak punya suara, bahkan untuk menentukan langkahnya sendiri.

Tiba-tiba, makanan di hadapannya susah ditelan.

Terasa hambar dan keras seperti mengunyah lilin.

Dalam perjalanan pulang ke kantor, Puspa akhirnya nggak bisa menahan diri.

“Pertemuan wali murid itu, aku nggak mau datang.”

Indra menjawab datar, “Ambil cuti. Gajimu tetap utuh.”

Jadi dia pikir Puspa menolak karena takut gajinya dipotong?

Puspa mengulang, kali ini lebih tegas, “Indra, aku nggak mau pergi.”

Akhirnya, karena sikap keras kepala Puspa, Indra menoleh dengan dahi berkerut. “Ini bukan kali pertama kamu menggantikan wali.”

Justru karena bukan yang pertama, dia merasa semakin muak.

Indra menasihati, “Lisa itu suka kamu. Jangan bikin dia kecewa.”

Suka? Itu hanya ilusi mereka semua.

Wajah bisa tersenyum, tapi hati bisa penuh kebencian. Mereka keluarga kandung, sudah hidup bersama belasan tahun. Sedangkan dirinya? Hanya orang luar.

Kalau dia bilang Lisa punya niat buruk terhadapnya, siapa yang akan percaya? Orang-orang hanya akan menganggapnya iri, tukang adu domba.

Puspa menatap suaminya. “Indra, menurut kalian, pendapatku ini sama sekali nggak penting, ya?”

Apa karena dia nggak ingin pergi, maka harus tetap dipaksa?

Indra tampak tidak sabar. “Lisa menganggapmu keluarga. Masa bantu hal sekecil itu aja kamu nggak mau? Kamu kakak iparnya, bukankah itu wajar?”

Lihat saja, seakan dia yang salah, dia yang nggak tahu diri.

Puspa tersenyum miris.

“Aku nolak berarti aku drama? Kalau gitu, Wulan yang rela jadi selingkuhan itu apa? Rendahan? Nggak tahu malu?”

Ucapan itu langsung membuat wajah Indra mengeras. “Apa hubungannya sama Wulan? Kenapa kamu bawa-bawa dia?”

“Kamu tahu kan, fitnah bisa hancurin nama orang. Kamu juga perempuan, masa nggak ngerti?”

Puspa balas tajam, “Kalau kalian bisa melakukannya, kenapa aku nggak boleh ngomongin?”

Indra menahan emosi. “Aku bilang sekali saja—aku dan dia bersih. Aku anggap dia adik.”

Puspa tertawa sinis. “Kamu sendiri percaya omonganmu itu?”

Adik?

Lebih mirip 'adik spesial'.

Pertengkaran ini akhirnya menggantung di udara tanpa penyelesaian.

Dalam perjalanan yang sama, kali ini Puspa memilih turun lebih awal. Ia nggak ingin ketahuan orang-orang.

Melihat bayangan mobil yang jauh, dia hanya menghela napas.

Sebagai istri sah, dia harus bersembunyi seperti maling. Sedangkan 'selingkuhan' itu bisa berjalan dengan kepala tegak.

Dunia ini memang terbalik.

Kabar bahwa Wulan menjadi asisten pribadi Indra menyebar di kantor seperti badai.

Sekarang, semua orang tahu siapa ‘istri’ bos sebenarnya.

Sementara orang lain bergosip, Puspa menutup telinga dan terus menyelesaikan proses pengunduran dirinya.

Dia hanya ingin satu hal: cepat-cepat cerai.

Dalam sekejap mata, Jumat pun tiba.

Hari itu, Puspa sengaja matikan HP dan tidak pergi ke kantor. Jika Indra bilang bisa cuti dibayar, kenapa tidak menikmati saja?

Dia putuskan temani neneknya di rumah sakit.

Namun dia jelas meremehkan tekad Lisa. Saat nggak bisa hubungi Puspa, si adik manja langsung minta tolong kakaknya—dan Indra, si kakak penyayang, segera menyuruh Sekretaris Cakra untuk jemput sang istri ke rumah sakit.

Di ruang rawat, Sekretaris Cakra lebih dulu nyapa nenek, lalu bicara pada Puspa.

“Bu, Pak Indra suruh saya mengantar kamu ke sekolah.”

Begitu mendengar itu, senyum di wajah Puspa langsung sirna.

Benar-benar nggak kenal lelah.

Sudah sejauh ini dia menghindar, masih juga dikejar.

Nenek Yanti bertanya heran, “Ke sekolah buat apa?”

Sekretaris Cakra menjawab, “Bu Puspa akan menghadiri pertemuan wali murid untuk Nona Lisa.”

Mendengarnya, sang nenek langsung tersenyum dan berkata, “Kalau begitu, cepat pergi. Itu lebih penting.”

Neneknya takut Puspa tidak dihargai oleh keluarga Wijaya. Tapi sekarang, dia merasa tenang—bisa hadir di pertemuan itu tandanya Puspa diakui. Melihat senyum itu, Puspa nggak tega mengecewakannya. Akhirnya, dia ikut Sekretaris Cakra pergi.

Sekolah tempat Lisa belajar adalah sekolah internasional elite. Murid-muridnya semua dari keluarga kaya raya atau berkuasa.

Puspa tahu benar, ini bukan soal wali murid biasa. Sejak awal, dia nggak paham apa yang membuat Lisa begitu membencinya.

Tapi lama-lama dia ngerti. Kebencian kadang nggak butuh alasan. Seperti pelaku perudungan, mereka hanya milih korban yang terlihat lemah. Dan dirinya bagi Lisa hanyalah boneka lembut yang mudah diinjak.

Saat melewati kolam sekolah, Puspa mendengar suara aneh dari belakang. Matanya langsung siaga. Begitu sosok di belakang mendekat, dia bergerak cepat, menghindari tangan hitam yang ingin mendorongnya.

Dia selamat. Tapi penyerangnya nggak seberuntung itu.

Byur! Suara air memecah keheningan.

Seseorang jatuh ke kolam.

Lalu, teriakan pun terdengar. “Kamu kenapa dorong dia ke air?!”

Beberapa remaja muncul dari balik semak, lima atau enam anak usia enam belas atau tujuh belas tahun, laki-laki dan perempuan. Dan di antara mereka, berdiri Lisa, mata melebar penuh kemarahan.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 100

    Puspa dorong mangkuk bubur berisi hewan laut yang ada di depannya. "Aku ingin makan mi daging sapi." Wajah Indra menegang sejenak. Ia masih tunggu ucapan terima kasih keluar dari bibir istrinya, tapi yang datang justru air dingin yang disiram ke wajan. Bu Sekar, yang berdiri nggak jauh, ikut menunjukkan ekspresi canggung. Ia melirik ke arah Indra, lalu berusaha mencairkan suasana. "Nyonya, kuah daging sapi butuh waktu untuk dimasak. Nggak sempat kalau untuk sarapan.""Nggak masalah. Aku bisa menunggu," jawab Puspa ringan.Bu Sekar kembali melirik tuannya. Indra hanya lambaikan tangan, kasih isyarat agar dia pergi dan siapkan itu. Melihat itu, Bu Sekar pun nggak berani bantah dan segera masuk dapur. Indra menatap kakinya yang masih digips. "Untuk sementara, kamu nggak perlu kembali kerja. Fokus saja istirahat di rumah. Nanti kalau sudah sembuh, dan kamu masih mau kerja, aku akan atur tempat baru buatmu." Suara pria itu datar, tanpa emosi.Apa maksudnya itu? Apa ia merasa keberadaan

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 99

    Jadi, di mata Indra, pernikahan mereka hanyalah transaksi jual beli tubuh? Dia anggap Puspa itu apa? Ayam? Pertanyaan itu menggema di dalam benaknya, tajam dan menyakitkan. Gigi belakangnya menggertak rapat, napasnya sesak, dan ia nyaris mendengar suara hatinya retak dalam diam. "Aku menyesal!"Suara itu pelan, tapi jelas. Indra bisa saja nggak mencintainya.Tapi tidak seharusnya menginjak-injak harga dirinya. Mungkin, memang salahnya. Terlalu berharap, terlalu percaya bahwa tetes air bisa melubangi batu. Tapi ia lupa, hati pria itu bukan batu, melainkan baja. Indra sedikit tertegun saat melihat patah hati begitu nyata di mata Puspa. Namun ia belum sempat berkata apapun saat wanita itu kembali menggumam, “Aku benar-benar menyesal.”Indra nggak ngerti arti dari kata penyesalan itu, dan tampaknya, nggak tertarik untuk mengerti. Sebaliknya, ia mendadak menindih tubuh Puspa. Reaksinya lambat, dan saat sadar bajunya sedang ditanggalkan, Puspa baru benar-benar paham niat pria itu. Ia

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 98

    Puspa buka matanya perlahan, kesadarannya masih kabur. Kepalanya berat, pandangannya berputar, dan ia bahkan tak tahu sedang berada di mana. Potongan terakhir dalam ingatannya hanyalah saat Wilson berkata akan antar dia pulang. Dengan suara mengantuk dan gumaman yang belum jelas, ia berkata, “Kak Wilson, terima kasih sudah antar aku pulang.”Kata-katanya terdengar manja dan lemah, dan di telinga Indra, itu seperti suara seorang wanita yang sedang menggoda pria lain. “Kamu pulang aja dulu, nanti kalau Indra lihat, kamu bisa kena masalah…”Kalimat itu seperti cambuk yang menghantam telinga Indra. “Kenapa aku harus cari masalah dengannya?”Suara dingin dan tajam memotong udara. Suara yang tiba-tiba itu membuat Puspa sedikit tersadar. Ia menoleh, dan baru sadar kalau dirinya sedang berada di ranjang utama kamar mereka. Ia menggeleng pelan, berusaha mengusir pusing yang berputar di kepalanya. “Tubuhku bau alkohol. Malam ini aku tidur di kamar sebelah saja.”Meski setengah sadar, ia masi

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 97

    "Puspa."Suara familiar itu menyentak Puspa dari lamunannya. Begitu menoleh, ia langsung melihat Wilson. "Kak Wilson."Wilson mengangkat alis, bertanya ringan, “Ngapain kamu di sini?”Puspa menghindari jawaban jujur, hanya berkata ringan, “Keluar sebentar cari udara segar. Kalau kamu? Kok bisa di sini juga?”“Baru selesai ketemu klien,” jawab Wilson santai.Ia kemudian melirik ke arah mobil Puspa. “Kamu masih luka, kenapa nyetir sendirian?” “Kaki yang injak gas masih sehat,” jawab Puspa setengah bercanda. Lalu menatapnya. “Kamu masih sibuk nanti?” Wilson bertanya, "Kenapa?"“Aku pengen minum bir. Mau temenin?” kata Puspa pelan.Wilson nggak perlu berpikir lama. “Mau ke mana?”Mereka akhirnya pergi ke sebuah bar tenang yang pencahayaannya redup, cukup untuk menyembunyikan luka dan letih di mata Puspa. Wilson duduk menemani, diam, tak banyak bicara. Tapi kehadirannya cukup untuk menenangkan. Puspa nggak datang untuk curhat atau menangis. Ia hanya terlalu kesepian malam itu, dan but

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 96

    Puspa tahu betul, semua sindiran mertuanya barusan sebenarnya ditujukan kepadanya. Di mata Endah, ia bahkan lebih rendah dari keluarga kecil tanpa nama. Semua ini hanyalah cara sang mertua membela Lisa sekaligus menunjukkan siapa yang berkuasa di rumah ini. Dia bisa bersikap seperti itu ke Rini, karena toh dia bukan siapa-siapa. Tapi Puspa? Dia adalah menantu resmi, istri sah dari Indra. Dan justru karena status itulah, Endah merasa berhak memperlakukannya semena-mena. Seolah sedang menghukum seorang pelayan, Puspa dipaksa berdiri dan mengurus semuanya. Meski punggungnya masih sakit, kakinya belum pulih, ia harus tetap melayani mereka menyiapkan makan siang. Punggungnya seperti ditusuk-tusuk, dan wajahnya pun makin pucat dari menit ke menit. Endah yang melihatnya hanya mendengus sebal. "Kenapa cemberut begitu? Lagi protes karena disuruh melayani? Wajahmu itu kamu tunjukkan ke siapa?"Puspa menunduk, menjawab pelan, "Nggak, Bu."Baru saja kata itu keluar dari bibirnya, setitik ke

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 95

    Bagi Puspa, perhatian Indra itu seperti cuaca bulan Juni, berubah secepat kilat. Baru saja sedingin salju, sedetik kemudian bisa berubah jadi panas menyengat seperti matahari siang. Nggak ada orang waras yang bisa menyesuaikan diri dengan perubahan sesering itu. Makanan sudah terhidang rapi di meja makan. Saat Indra turun tangga sambil gendong Puspa, mata Bu Sekar seketika dipenuhi rasa lega. Setidaknya, kalau mereka sudah duduk semeja, Puspa nggak perlu merasa kehadirannya sia-sia. Namun nggak lama setelah mereka mulai makan, Indra bicara pelan, seolah memberi nasihat, "Lisa itu masih kecil. Kamu kakak iparnya, sebaiknya lebih sabar dan maklum padanya."Mendengar itu, tangan Puspa yang sedang menyendok nasi tiba-tiba berhenti. Ia perlahan menatap pria itu. Cahaya lampu gantung membuat garis wajah Indra tampak hangat dan teduh. Tapi bagi Puspa, nggak ada sedikit pun kehangatan yang terasa, dan makanan di mulutnya mulai terasa hambar. Jadi dia tahu. Dia tahu yang salah adalah adikn

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status