Share

Bab 3

Author: Rina Safitri
Indra pulang ke rumah dengan kalung yang dipilih oleh Sekretaris Cakra. Begitu buka pintu, ia langsung sadar Puspa nggak ada di rumah, dan dapat kabar kalau sedang dinas ke luar kota.

Biasanya, Puspa memang sering pergi dinas untuk urusan kerja, jadi Indra nggak terlalu ambil pusing. Ia duduk sendiri di ruang makan, menyelesaikan makan malam tanpa komentar apapun.

Selesai makan, ia secara refleks tunggu seseorang menyodorkan serbet padanya—kebiasaan bertahun-tahun. Baru setelah menoleh, ia teringat... Puspa nggak ada. Akhirnya, ia harus ambil sendiri.

Indra bertanya, "Dia bilang kapan akan kembali?"

Bu Sekar jawab, "Nyonya nggak bilang."

Biasanya kalau dia dinas ke luar kota, Puspa akan kasih tahu tentang rencana perjalanannya. Kali ini, dia nggak kasih tahu dan Indra nggak senang.

Sementara pria itu merasa terganggu oleh ketidakhadiran istri, Puspa sendiri sedang menjalani malamnya dengan tenang. Setelah makan malam sendiri, ia buang sampah, lalu bersih-bersih, dan naik ke tempat tidur.

Tempat tidur baru, tempat baru—tapi Puspa nggak merasa canggung. Malam itu ia tidur nyenyak, tanpa mimpi.

Keesokkan harinya.

Pagi itu Puspa nggak langsung ke kantor. Ia memutuskan untuk jenguk neneknya di rumah sakit.

Neneknya menderita penyakit langka yang sulit disembuhkan. Hanya bisa diperlambat dengan pengobatan mahal dan rutin—penyakit yang dikenal sebagai “takdir orang kaya”.

Melihat Puspa datang, Nenek Yanti tersenyum senang. Tapi nggak lama kemudian, kekhawatiran tampak di wajahnya. "Kenapa kamu kurusan? Keluarga Wijaya memperlakukanmu dengan buruk, ya?"

Puspa tersenyum lembut, "Nggak, kok. Mama mertua dan yang lain baik-baik saja."

Nenek Yanti menatap cucunya dengan mata tajam penuh kasih. "Kalau kamu ada masalah, bilang ke nenek. Jangan dipendam sendirian."

Ia tahu benar watak cucunya, segala sakit hanya ditelan, tanpa pernah dibagi.

Keluarga Rahayu memang berutang besar pada gadis ini.

Dulu, saat keluarga Wijaya mencari 'istri penangkal sial' untuk putra mereka, Nenek Yanti nggak setuju dengan ide itu. Tapi suaranya nggak dianggap. Ia hanya bisa pasrah melihat cucunya diserahkan pada keluarga besar itu.

Syukurlah, Puspa punya ‘keberuntungan’ yang luar biasa. Nggak jadi janda. Bahkan berhasil menyelamatkan Indra dari maut.

"Jangan khawatir, Nek. Aku nggak menderita kok."

Saat menikahi Indra dulu, ia nggak pernah merasa terpaksa. Ia tahu, itu satu-satunya kesempatan untuk bisa menikah dengannya.

Begitu pula sekarang. Saat akan berpisah, ia tetap nggak merasa menyesal—semua keputusannya datang dari hati.

Belum sempat ia meninggalkan rumah sakit, HP-nya berdering. Ia tahu siapa yang telepon, dan untuk apa. Kalau dihitung-hitung, mungkin surat perjanjian cerai dari Tania sudah sampai ke tangan Indra.

Begitu panggilan tersambung, suara lelaki itu langsung menggelegar, "Kamu di mana?!"

Puspa menanggapinya datar, mengabaikan nada interogatifnya, "Sudah ditandatangani belum?"

"Kamu belum cukup puas bikin keributan?"

Indra makin kesal.

Puspa menjawab, "Sekarang kita ke kantor catatan sipil. Kita bisa langsung urus surat cerai."

Kata-katanya membuat atmosfer di seberang HP memanas. Ia bisa mendengar napas Indra mulai memburu, nyaris bisa merasakan amarahnya menembus speaker.

Puspa, kamu benar-benar sudah berubah. Ia bisa buat Indra—pria yang selama ini selalu tampak tenang—kehilangan kendali.

Beberapa detik kemudian, suara Indra kembali normal. Tapi nada dinginnya tetap terasa, "Kamu di mana sekarang?"

Karena nggak ingin mengacaukan rencana perceraiannya sendiri, Puspa nggak memperpanjang konfrontasi. Ia kasih tahu lokasinya.

Tiga puluh menit kemudian, mobil Indra berhenti di depan rumah sakit.

Ia masuk ke dalam mobil tanpa bicara apa-apa.

Indra bertanya, "Gimana kondisi nenek akhir-akhir ini?"

Puspa malah menatapnya, dan melempar kalimat sindiran, "Wulan sudah pasang gembok di kaki kamu, ya? Sampai nggak bisa naik dan lihat sendiri?"

Sindirannya tajam—menunjukkan bahwa ia tahu Indra bisa naik ke atas... tapi memilih nggak lakuin itu.

Indra menoleh dengan tatapan berat. Lalu tanpa menjawab, ia malah mulai menginterogasi.

"Kamu tidur di mana semalam? Kenapa nggak pulang?"

Tentu saja ia sudah tahu tidak ada dinas luar kota.

Benar-benar sikap munafik, ia boleh pulang jam berapa pun, tapi ketika istrinya pergi satu malam, langsung diperiksa.

Puspa menjawab datar, "Aku bukan kamu. Aku masih punya moral. Sebelum surat cerai selesai, aku nggak akan buat kamu malu."

Kalimatnya seperti mengandung duri, dan Indra bisa merasakannya. Ia membuka suara, "Selama kamu patuh, posisi Nyonya Wijaya akan selalu jadi milikmu."

Oh, jadi itu maksudnya? Di rumah ada istri tetap, di luar bebas pasang bendera?

Tapi Puspa nggak ingin lagi jadi bendera permanen yang diam-diam menanggung segalanya.

"Nanti malam pulang ke rumah."

Sebelum Puspa sempat menolak, Indra menambahkan, "Ibu suruh kita makan malam di rumah."

Mendengar itu, Puspa terdiam. Selama surat cerai belum selesai, ia nggak ingin buat keributan yang bisa sampai ke telinga mertuanya. Lebih baik menghindari drama nggak penting.

Kota Ubetu — Rumah Besar Keluarga Wijaya.

Keluarga Wijaya adalah salah satu klan tua paling berpengaruh di Kota Ubetu. Akar mereka menjalar dari zaman dulu hingga sekarang. Pengaruh mereka nggak bisa diremehkan.

Indra adalah anak dari cabang keluarga utama, masih ada dua cabang keluarga lain dari garis utama (anak dari istri sah). Selain itu masih ada keluarga dari istri kedua, ketiga, dan cabang-cabang lainnya.

Kini, kepala keluarga masih dipegang oleh kakek Indra—Budi Wijaya

Mereka kembali ke kediaman utama dari cabang keluarga pertama.

Ayah Indra sudah meninggal lima tahun lalu dalam kecelakaan yang sama dengannya. Kini, satu-satunya pewaris laki-laki yang tersisa hanyalah dia. Sisanya adalah perempuan.

Dan karena alasan itu pula, Puspa—yang pernah menyelamatkan nyawa Indra—dianggap penting oleh mertuanya.

Begitu masuk rumah, ia langsung disambut dengan... semangkuk sup untuk mempercepat kehamilan.

Endah Homasa berkata penuh harap, "Ini resep rahasia dari luar negeri. Katanya, minum ini bisa cepat dapat anak laki-laki."

"Minum selagi hangat, ya."

Baru saja mangkuk disodorkan oleh pembantu, aroma tajam dari sup itu sudah seperti ingin melumpuhkan indera penciumannya.

Ini bukan kali pertama ia disuruh minum obat.

Sejak malam pertama pernikahan mereka, ibu mertuanya sudah mulai menghitung hari menunggu kelahiran cucu.

Empat setengah tahun berlalu—dan belum ada hasil. Kalau bukan karena ‘keberuntungan besar’ yang dikaitkan dengan dirinya, bisa jadi sejak tahun pertama ia sudah disingkirkan dari keluarga ini.

Selama empat setengah tahun itu, bukan hanya Endah yang menunggu. Puspa juga.

Ia pernah berharap, jika ia dan Indra punya anak, ikatan mereka akan semakin kuat.

Tapi ia salah. Cinta yang tumbuh seiring waktu... nggak berlaku di antara mereka.

Nggak suka tetap aja nggak suka.

Kini, ia bahkan nggak ingin punya anak dengan pria ini.

Puspa menoleh, menolak secara halus. Tatapannya bergeser ke Indra—berharap ia bisa bantu tolak untuknya.

Tapi pria itu sedang sibuk lepas jaket bahkan nggak perhatikan isyaratnya.

Ia menarik napas. "Bu, aku sedang minum obat flu. Nggak boleh campur dengan obat lain."

Mendengarnya, alis Endah mengernyit. "Kenapa kamu flu lagi? Aku rasa kamu susah punya anak karena tubuhmu yang lemah."

"Kalian lebih baik tinggal di sini lagi. Biar Bu Widya bantu rawat makan dan minum kalian. Kalau tubuhmu fit, baru bisa cepat hamil. Kamu sudah dua puluh delapan, tahu. Kalau terus ditunda, nanti jadi ibu hamil usia tua."

Setelah itu, pandangan Endah beralih ke Indra. Putranya langsung menjawab, "Aku nggak ada masalah."

Puspa terdiam.

Apa-apaan ini? Di rumah bersikap kayak anak penurut. Padahal sudah siap cerai.

Ia benar-benar muak. Sudah mau cerai, kenapa ia masih harus datang ke sarang serigala ini? Apa hidupnya belum cukup pahit... sampai harus ditambah racun?
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 100

    Puspa dorong mangkuk bubur berisi hewan laut yang ada di depannya. "Aku ingin makan mi daging sapi." Wajah Indra menegang sejenak. Ia masih tunggu ucapan terima kasih keluar dari bibir istrinya, tapi yang datang justru air dingin yang disiram ke wajan. Bu Sekar, yang berdiri nggak jauh, ikut menunjukkan ekspresi canggung. Ia melirik ke arah Indra, lalu berusaha mencairkan suasana. "Nyonya, kuah daging sapi butuh waktu untuk dimasak. Nggak sempat kalau untuk sarapan.""Nggak masalah. Aku bisa menunggu," jawab Puspa ringan.Bu Sekar kembali melirik tuannya. Indra hanya lambaikan tangan, kasih isyarat agar dia pergi dan siapkan itu. Melihat itu, Bu Sekar pun nggak berani bantah dan segera masuk dapur. Indra menatap kakinya yang masih digips. "Untuk sementara, kamu nggak perlu kembali kerja. Fokus saja istirahat di rumah. Nanti kalau sudah sembuh, dan kamu masih mau kerja, aku akan atur tempat baru buatmu." Suara pria itu datar, tanpa emosi.Apa maksudnya itu? Apa ia merasa keberadaan

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 99

    Jadi, di mata Indra, pernikahan mereka hanyalah transaksi jual beli tubuh? Dia anggap Puspa itu apa? Ayam? Pertanyaan itu menggema di dalam benaknya, tajam dan menyakitkan. Gigi belakangnya menggertak rapat, napasnya sesak, dan ia nyaris mendengar suara hatinya retak dalam diam. "Aku menyesal!"Suara itu pelan, tapi jelas. Indra bisa saja nggak mencintainya.Tapi tidak seharusnya menginjak-injak harga dirinya. Mungkin, memang salahnya. Terlalu berharap, terlalu percaya bahwa tetes air bisa melubangi batu. Tapi ia lupa, hati pria itu bukan batu, melainkan baja. Indra sedikit tertegun saat melihat patah hati begitu nyata di mata Puspa. Namun ia belum sempat berkata apapun saat wanita itu kembali menggumam, “Aku benar-benar menyesal.”Indra nggak ngerti arti dari kata penyesalan itu, dan tampaknya, nggak tertarik untuk mengerti. Sebaliknya, ia mendadak menindih tubuh Puspa. Reaksinya lambat, dan saat sadar bajunya sedang ditanggalkan, Puspa baru benar-benar paham niat pria itu. Ia

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 98

    Puspa buka matanya perlahan, kesadarannya masih kabur. Kepalanya berat, pandangannya berputar, dan ia bahkan tak tahu sedang berada di mana. Potongan terakhir dalam ingatannya hanyalah saat Wilson berkata akan antar dia pulang. Dengan suara mengantuk dan gumaman yang belum jelas, ia berkata, “Kak Wilson, terima kasih sudah antar aku pulang.”Kata-katanya terdengar manja dan lemah, dan di telinga Indra, itu seperti suara seorang wanita yang sedang menggoda pria lain. “Kamu pulang aja dulu, nanti kalau Indra lihat, kamu bisa kena masalah…”Kalimat itu seperti cambuk yang menghantam telinga Indra. “Kenapa aku harus cari masalah dengannya?”Suara dingin dan tajam memotong udara. Suara yang tiba-tiba itu membuat Puspa sedikit tersadar. Ia menoleh, dan baru sadar kalau dirinya sedang berada di ranjang utama kamar mereka. Ia menggeleng pelan, berusaha mengusir pusing yang berputar di kepalanya. “Tubuhku bau alkohol. Malam ini aku tidur di kamar sebelah saja.”Meski setengah sadar, ia masi

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 97

    "Puspa."Suara familiar itu menyentak Puspa dari lamunannya. Begitu menoleh, ia langsung melihat Wilson. "Kak Wilson."Wilson mengangkat alis, bertanya ringan, “Ngapain kamu di sini?”Puspa menghindari jawaban jujur, hanya berkata ringan, “Keluar sebentar cari udara segar. Kalau kamu? Kok bisa di sini juga?”“Baru selesai ketemu klien,” jawab Wilson santai.Ia kemudian melirik ke arah mobil Puspa. “Kamu masih luka, kenapa nyetir sendirian?” “Kaki yang injak gas masih sehat,” jawab Puspa setengah bercanda. Lalu menatapnya. “Kamu masih sibuk nanti?” Wilson bertanya, "Kenapa?"“Aku pengen minum bir. Mau temenin?” kata Puspa pelan.Wilson nggak perlu berpikir lama. “Mau ke mana?”Mereka akhirnya pergi ke sebuah bar tenang yang pencahayaannya redup, cukup untuk menyembunyikan luka dan letih di mata Puspa. Wilson duduk menemani, diam, tak banyak bicara. Tapi kehadirannya cukup untuk menenangkan. Puspa nggak datang untuk curhat atau menangis. Ia hanya terlalu kesepian malam itu, dan but

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 96

    Puspa tahu betul, semua sindiran mertuanya barusan sebenarnya ditujukan kepadanya. Di mata Endah, ia bahkan lebih rendah dari keluarga kecil tanpa nama. Semua ini hanyalah cara sang mertua membela Lisa sekaligus menunjukkan siapa yang berkuasa di rumah ini. Dia bisa bersikap seperti itu ke Rini, karena toh dia bukan siapa-siapa. Tapi Puspa? Dia adalah menantu resmi, istri sah dari Indra. Dan justru karena status itulah, Endah merasa berhak memperlakukannya semena-mena. Seolah sedang menghukum seorang pelayan, Puspa dipaksa berdiri dan mengurus semuanya. Meski punggungnya masih sakit, kakinya belum pulih, ia harus tetap melayani mereka menyiapkan makan siang. Punggungnya seperti ditusuk-tusuk, dan wajahnya pun makin pucat dari menit ke menit. Endah yang melihatnya hanya mendengus sebal. "Kenapa cemberut begitu? Lagi protes karena disuruh melayani? Wajahmu itu kamu tunjukkan ke siapa?"Puspa menunduk, menjawab pelan, "Nggak, Bu."Baru saja kata itu keluar dari bibirnya, setitik ke

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 95

    Bagi Puspa, perhatian Indra itu seperti cuaca bulan Juni, berubah secepat kilat. Baru saja sedingin salju, sedetik kemudian bisa berubah jadi panas menyengat seperti matahari siang. Nggak ada orang waras yang bisa menyesuaikan diri dengan perubahan sesering itu. Makanan sudah terhidang rapi di meja makan. Saat Indra turun tangga sambil gendong Puspa, mata Bu Sekar seketika dipenuhi rasa lega. Setidaknya, kalau mereka sudah duduk semeja, Puspa nggak perlu merasa kehadirannya sia-sia. Namun nggak lama setelah mereka mulai makan, Indra bicara pelan, seolah memberi nasihat, "Lisa itu masih kecil. Kamu kakak iparnya, sebaiknya lebih sabar dan maklum padanya."Mendengar itu, tangan Puspa yang sedang menyendok nasi tiba-tiba berhenti. Ia perlahan menatap pria itu. Cahaya lampu gantung membuat garis wajah Indra tampak hangat dan teduh. Tapi bagi Puspa, nggak ada sedikit pun kehangatan yang terasa, dan makanan di mulutnya mulai terasa hambar. Jadi dia tahu. Dia tahu yang salah adalah adikn

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status