Share

Bab 9

Author: Rina Safitri
Ucapan Wulan yang terdengar seperti pembelaan itu, di mata Puspa, cuma seperti sebuah provokasi yang dibungkus dengan kepura-puraan. Seolah-olah ia wanita yang begitu pengertian dan murah hati.

Padahal Puspa, sebagai orang yang paling berkepentingan, bahkan belum berkata sepatah kata pun. Tapi Tania yang berada di sisinya sudah nggak sanggu nahan mual lihat sikap Wulan itu.

Baru hendak membuka mulut, Puspa lebih dulu menahan pergelangan tangannya.“Wulan, aku ingat... bunga teratai putih itu nggak tumbuh di rumah kaca, bukan?”

Wulan tampak bingung. “Kak Puspa, maksudmu apa ya?”

Puspa tersenyum tenang, matanya tajam. “Kalau kamu ingin memelihara bunga itu, bukankah seharusnya kamu pahami dulu karakter dan kebutuhannya? Jangan sampai akhirnya malah biarkan dia mati sia-sia.”

Jelas sekali, bunga yang ia maksud bukan bunga sungguhan—ia sedang berbicara tentang Wulan dengan metafora.

Orang-orang di sekitar bukanlah bodoh. Mereka semua bisa menangkap bahwa Puspa tengah menyebut Wulan sebagai 'si bunga teratai putih'—simbol wanita pura-pura suci dan lemah lembut.

Wajah Wulan seketika memucat, kemudian ia menunjukkan ekspresi terluka. “Kak Puspa, apa kau punya masalah denganku?”

Puspa dengan ringan membalikkan pertanyaan itu, “Kenapa aku harus punya masalah denganmu?”

Wulan tidak menjawab, malah menoleh ke Indra sambil memasang wajah tersiksa. “Kak Indra, sepertinya Kak Puspa salah paham padaku...”

Dahi Indra berkerut pelan. “Puspa, bisa nggak kamu jangan selalu cari masalah?”

Lucu ya?

Dulu Puspa selalu senang mendengar Indra menyebut namanya. Jika keluar dari mulutnya, rasanya seperti belaian lembut yang hanya ia miliki.

Tapi kini... panggilan itu justru terdengar seperti ancaman.

Kedekatan yang dulu ia yakini nyata, sekarang hanyalah delusi yang ia ciptakan sendiri sebuah kebohongan yang ia paksa untuk terlihat hangat.

Tatapan Puspa beralih ke Indra. Saat pandangan mereka bertemu, ia menangkap dengan jelas isyarat peringatan di mata pria itu.

Sindiran barusan—apa gunanya? Hanya membuat dirinya tampak seperti badut yang gagal menutupi luka. Dan yang paling menyakitkan, ia bisa melihat Wulan tengah menikmati pemandangan itu.

Menelan perasaan yang tercekat di dadanya, Puspa mengalihkan topik. “Aku ada urusan penting yang harus dibicarakan denganmu. Malam ini pulanglah lebih awal.”

Ia tahu, maksa Indra kembali hanya akan mempermalukan dirinya lebih jauh. Maka, ia memilih menjaga harga dirinya sendiri meskipun harga itu kini rapuh sekali.

Setelah berkata begitu, ia menggandeng Tania dan meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi.

Menatap bagian belakang keberangkatannya, mata Wulan melintas memandangi punggung Puspa yang menjauh dengan mata berkilat penuh kemenangan. Lalu, dengan suara manja ia berkata, “Kak Indra, kalau Kak Puspa ada urusan penting, kamu pulang dulu saja. Aku bisa naik taksi sendiri untuk menjenguk Kakak.”

Kata ‘Kakak’ itu seperti memetik senar halus dalam diri Indra, dan sorot matanya jadi goyah. Ia akhirnya berkata, “Aku temani kamu.”

Wulan menunduk sedikit, menyembunyikan senyum kecil yang begitu puas.

Setelah keluar dari rumah sakit dan masuk ke mobil Tania, akhirnya wanita itu meledak.

“Buset, itu perempuan bener-bener teratai palsu kelas berat! Bahkan obat muntah kalah ampuh dari dia. Kalau bukan karena aku punya moral, udah kuludahi wajahnya”

“Untung aku belum makan siang! Benar-benar bajingan bertopeng dan nggak tahu malu! Parah banget, betina ini kayak kecoak pakai topeng—muka tebal, hati busuk! Dan Indra? Matanya buta banget! Bener-bener jodoh sih, sama-sama bau!”

Ia terus memaki, nggak henti-henti, kayak senapan otomatis yang nggak bisa dihentikan.

Namun, di tengah makiannya, Tania tiba-tiba diam, lalu melirik Puspa dari samping. “Eh, maksudku... Indra tuh nggak sepenuhnya kayak tai sih ya...”

Karena bagaimanapun, pria itu masih suami dari sahabatnya.

Kalau Indra adalah tai...terus Puspa jadi apa?

Tapi, nggak seperti biasanya, Puspa nggak bela. Justru mengangguk pelan.

Indra memang brengsek dan ia nggak mau lagi jadi anjing yang mengejarnya.

Tania terdiam.

Tania melongo. Dia dengar Puspa setuju dengan dia, tapi justru buat dia nggak bisa berkata-kata.

Nggak lama kemudian, Puspa berkata lirih, “Cetakkan satu lagi surat cerai untukku.”

Tania nggak tanya alasannya, dan langsung menggelengkan kepalanya, "Oke.”

Mereka pergi ke firma hukum untuk mengambil surat cerai yang baru. Lalu Puspa pulang ke rumah.

Ia tahu, nggak akan ada gunanya menunggu Indra di rumah sakit. Jadi, ia kasih pria itu waktu untuk ‘merenung’. Tapi ternyata, waktu itu malah ia gunakan untuk mempermalukannya lebih dalam.

Ia menunggu dari pagi hingga malam. Tubuhnya lemah dan sebenarnya butuh istirahat, tapi ia bertahan, hanya demi memberi kesempatan terakhir.

Ia pikir, karena Indra tahu bahwa dirinya ingin bicara penting, maka ia akan pulang lebih awal.

Namun nyatanya, harapan itu hanya jadi kekecewaan. Ia bukan hanya nunggu rumah yang kosong hingga tengah malam, tapi juga mendapat kejutan lain.

Sebuah foto yang dikirim oleh Wulan.

Dalam gambar itu, Wulan bersandar manja dalam pelukan Indra, matanya merah seperti habis menangis. Tapi yang membuat Puspa tercekat adalah ekspresi Indra, entah karena sudut pengambilan atau memang kenyataan, ia terlihat seperti ikut berkaca-kaca.

Menatap foto yang menampilkan dua sosok bersandar mesra, dada Puspa mendadak berkontraksi hebat, seolah ada sesuatu yang mencengkeram jantungnya erat-erat. Tenggorokannya mengering, dan napasnya terasa sesak.

'Begitu cintanya dia pada wanita itu?'

'Kalau begitu... aku ini apa? Apa arti seorang istri baginya?'

Saat itu juga, ponselnya kembali berbunyi ding—sebuah pesan masuk. Dari Wulan lagi.

[Pencuri! Kalau masih punya muka, cepat ceraikan Indra!]

Kata “pencuri” itu seperti pisau yang menusuk langsung ke jantung Puspa menancap dalam, lalu berakar.

Pahit menjalar ke dalam hatinya. Karena jauh di lubuk hati, ia tahu... Lima tahun pernikahan ini memang seperti sesuatu yang ia curi.

Kalau saja bukan karena “kecelakaan” itu, ia nggak akan pernah bisa menikah dengan Indra, pria yang sejatinya berada di dunia yang terlalu tinggi untuk dijangkau oleh wanita biasa seperti dirinya.

Semuanya... hanya seperti mimpi indah yang nggak seharusnya menjadi kenyataan. Dan sekarang, saatnya mimpi itu dikembalikan kepada pemilik aslinya.

Detik jam berdetak perlahan, mengiringi waktu yang terus berjalan. Namun nggak ada suara mobil yang datang dari halaman rumah, nggak ada suara langkah kaki yang ia kenal. Tubuhnya yang lama duduk pun mulai mati rasa.

Ia melirik surat cerai yang tergeletak di atas meja kopi dan akhirnya, nggak tahan lagi, ia menekan nomor pria itu dan menelpon.

Nada tunggu berulang panjang... lama tak diangkat. Saat Puspa sudah nyaris tutup telepon itu, suara di seberang akhirnya masuk.

Puspa buru-buru membuka mulut, “Kamu masih berapa lama lagi...”

Kata ‘pulang’ tercekat di tenggorokannya.Karena saat itu, terdengar suara lirih seorang wanita—lembut, manja, tapi juga penuh gairah.

“Indra... sakit... pelan sedikit...”

Disusul suara lembut pria itu, penuh perhatian namun menusuk telinga Puspa lebih tajam dari apapun, "Tahan sebentar, nanti juga nggak sakit..."

Brak. Seketika, suara mendesing memenuhi kepalanya. Darahnya seolah berhenti mengalir. Seluruh tubuhnya membeku, dan wajahnya pucat pasi.

Malam yang sunyi. Seorang pria dan seorang wanita. Dan ia tahu betul gimana "liar"-nya Indra saat di ranjang.

"Tahan sebentar..."

Dua kata itu terngiang-ngiang di telinganya, menggema terus menerus, seperti mantra yang mengikat, nggak kasih ruang untuk bernapas. Matanya mulai panas, dan satu tetes air mata jatuh perlahan menghilang tanpa jejak dalam gelapnya malam

Ia kira, dirinya sudah siap untuk melepaskan. Ternyata... ia terlalu meremehkan hatinya sendiri.
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (4)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
kenapa kau g mati aja puspa binatang tolol. menye2 dan goblok
goodnovel comment avatar
Helmi Esa Susanti
ya bertelw2
goodnovel comment avatar
Listia Dewi
cerita bodohhh
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 248

    Puspa memang gantungkan harapan ke dia, tapi Puspa nggak pernah nyangka semuanya berjalan secepat ini. Hanya dalam sehari saja sudah ada kabar baik, gimana mungkin ia nggak senang? Ia spontan genggam tangan Wilson, penuh semangat tanya, “Gimana hasilnya?”Wilson menunduk, sekilas melirik tangan yang mencengkeramnya erat. Nadi di bawah kulitnya bahkan ikut bergetar. Puspa menyadari arah pandangannya, buru-buru lepaskan genggamannya. Wajahnya tersipu, lalu ia tersenyum canggung. “Maaf, aku terlalu semangat.”Mata Wilson berkilat, sempat memendam secercah kehilangan, tapi ia tetap menanggapi lembut. “Nggak apa-apa.”Percakapan pun kembali mengalir, beralih ke masalah Joko. Orangnya bisa segera usahakan keluar dengan jaminan. Untuk bukti-bukti yang beratkan ayahnya, kalau sedikit diatur, hukuman bisa diperingan. Dengan tambahan denda, ditambah masa tahanan yang sudah dijalani, besar kemungkinan ayahnya bisa segera bebas. Bagi Puspa, ini sungguh kabar baik! Dia berutang budi padanya.

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 247

    Namun dia tetap dirinya sendiri, ia nggak bisa pura-pura itu bukan masalah. Indra bukakan pintu mobil untuk Puspa. Kalau dia sudah bersikeras ingin layani kayak begini, Puspa merasa nggak ada gunanya nolak. Baru saja ia hendak pakai sabuk pengaman, mendadak terasa ada tatapan menusuk dari luar jendela. Naluri buat dia noleh ke luar, namun yang terlihat hanya pemandangan biasa. Alis Puspa berkerut tipis. Itu sudah yang kedua kalinya. Apa mungkin belakangan ini pikirannya terlalu lelah, sampai ia mulai halusinasi? Faktanya, ia sama sekali nggak halusinasi. Justru kepekaan dirinya amat tajam, memang ada seseorang yang sedang buntuti mereka. Dan orang itu adalah suruhan Wulan.Dikirim ke pulau terpencil, kehidupan Wulan nggak seindah yang ia pamerkan di depan Puspa. Ya, semua kebutuhan hidupnya memang terjamin, tapi ia terpenjara. Nggak ada kebebasan, nggak ada kebahagiaan. Ia nggak tahu berapa lama harus terjebak di sana. Telepon Indra pun nggak segampang dulu. Dari sepuluh panggilan

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 246

    Keluar dari ruang VIP, Indra langsung genggam tangan Puspa. Langkah Puspa terhenti. Ia menoleh, menatapnya, “Ngapain?”Puspa melirik ke arah tangan yang mencengkeramnya erat. “Lepaskan!”Namun bukannya lepaskan, Indra justru tekan jemarinya lebih dalam, lalu mengaitkan sepuluh jari mereka dengan paksa. “Biasakan saja.” Dulu, mereka jarang sekali pergi berdua. Sekarang, mendadak lakukan hal ini apa maksudnya? Puspa mencibir. “Kenapa? Sudah nggak mau jaga kesucianmu untuk mantan pacarmu?”Ekspresi Indra sama sekali nggak berubah. “Kamu bisa marah sepuasmu, nggak ada gunanya. Aku nggak akan ceraikan kamu.”Puspa benar-benar nggak ngerti. Jelas-jelas Indra nggak suka Puspa, lalu kenapa begitu keras kepala tolak perceraian? “Kalau menurutmu aku yang minta cerai buat kamu malu, kamu boleh bilang ke orang lain kalau kamu yang ceraikan aku. Aku nggak masalah.”Indra menatap lurus padanya. “Aku nggak pernah peduli omongan orang.”“Kalau gitu, kenapa kamu nggak mau cerai?”Tatapan Indra mele

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 245

    Lukman merasa dadanya sesak, seolah ada api yang nggak bisa keluar. Ia sengaja, tepat di depan Puspa, buka mulut, “Kapan kamu rencana bawa Wulan balik ke sini?”Indra angkat gelasnya, meneguk sedikit minuman, lalu jawab dengan nada datar, “Cuaca di sana lebih cocok untuk pemulihannya.”Lukman melirik sekilas ke arah Puspa yang duduk di sisi Indra, lalu tambahkan dengan nada tajam, “Cuaca di Kota Ubetu juga nggak kalah bagus. Kalau saja bukan karena ada kotoran yang ngerusak pemandangan, Wulan nggak mungkin terus-terusan kesal gitu.”Telinga Puspa nggak tuli, matanya nggak buta. Ia jelas paham siapa yang disebut “kotoran” itu. Ia bahkan sudah siap-siap untuk meledak. Namun sebelum sempat bicara, Indra lebih dulu menekan suara rendah penuh peringatan, “Lukman Darkan.”Suara dingin itu, ditambah dengan panggilan nama lengkapnya, buat Lukman mendadak terdiam. Bahkan orang-orang lain di meja ikut menoleh dengan terkejut. Selama ini Indra selalu jadi pusat kelompok ini. Apa pun yang ia putu

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 244

    Semua orang tahu kalau Wulan itu “milik” Indra. Jadi, ketika Puspa seenaknya coba jodohkan dia dengan orang lain, semua orang terdiam. Nggak tahu harus berkata apa.Lukman langsung mengerutkan kening, matanya membulat. “Kamu gila yah? Omong kosong apa itu! Siapa bilang aku suka Wulan?” Namun dimaki begitu, Puspa nggak marah. Ia hanya jawab dengan tenang, “Oh, kalau gitu apa kamu suka Indra? Kalau nggak, kenapa begitu peduli siapa wanita yang di sebelahnya?”“Aku ini murah hati. Nih, aku kasih kamu tempat duduk. Kebetulan hari ini ulang tahunmu. Meskipun aku nggak suka kamu, anggap saja ini hadiah dariku. Gratis,” ucap Puspa enteng sambil bergeser menjauh dari Indra lalu kasih isyarat tangan seolah mempersilakan.Suasana di ruang VIP makin tegang, bahkan lebih mencekam daripada saat Puspa jodohkan Lukman dengan Wulan tadi. Sebagai orang yang langsung disebut, wajah Indra dan Lukman sama-sama kelam. Lukman seperti belalang yang diinjak ekornya, wajahnya merah padam. “Puspa, otakmu kem

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 243

    “Aku nggak mau pindah!” Puspa dengan tegas nolak.Indra tetap tenang, suaranya datar namun penuh kuasa. “Sekarang kamu nggak punya hak untuk tawar nawar denganku.”Dengar itu, Puspa menggertakkan gigi, matanya menatap dengan penuh kebencian. Indra justru bersikap lembut, bahkan menyuapkan sepotong daging sapi ke mangkuknya. “Aku kasih kamu waktu untuk pikir dulu. Begitu kamu sudah bisa ngerti, waktu itu baru bisa kumpul keluarga lagi.”Ia lalu tambahkan, “Makan yang cepat. Kalau dingin, perutmu bisa sakit.”Tapi kenyataannya, perut Puspa sudah mulai sakit bahkan tanpa sentuh makanan itu. ...Malam itu di kamar tidur utama. Indra melingkarkan lengannya dari belakang, meraih pinggang Puspa. Ia menepis dengan penuh rasa jijik, tapi setiap kali berhasil ngehindar, Indra akan tarik dia lagi. Sampai akhirnya, nggak ada tempat untuk lari lagi, tubuhnya pun terkunci dalam pelukan itu. Suara rendah dan serak Indra terdengar di atas kepalanya, menusuk ke dalam keheningan kamar. “Aku beri kam

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status