Share

2. Sifat Asli

Edi yang sudah sepuluh hari di Rumah Sakit pun sudah diperbolehkan pulang. Tubuhnya memang masih lemas, tapi demi rindu pada rumah dan keluarga kecilnya ia semangat agar bisa pulang ke rumah.

“Akhirnya pulang juga Mbak,” kata Edi dengan lega saat adiknya Adi dan Mbak Sari menggandengnya pulang ke rumah.

“Ya udah banyak istirahat di rumah, jangan mikir macem-macem dulu. Nabila ya manut kok,” kata Bu Wartini yang menyambut putranya pulang ke rumah.

Pria bertubuh kurus ini pun tampak celingak celinguk seperti mencari sosok seseorang. Semua tahu siapa yang sebenarnya dicari olehnya. Tentu saja sosok Ajeng yang tengah dicarinya.

“Udah Bu, Edi biar masuk ke kamar dulu, biar istirahat,” tambah Mbak Sari langsung menggandeng Bu Wartini masuk sambil mengedipkan mata mencoba mengalihkan perhatian adiknya.

Sebagai anak tertua tentu saja Sari tidak ingin kalau penyakit adiknya kambuh lagi. Apalagi anak mereka masih kecil dan masa depannya masih panjang.

“Kamu di kamar aja ditemeni Ibu dan Nabila ya Ed, mbak mau beres-beres barangmu dulu,” pamit Mbak Sari.

                      ***

Ajeng tampak tertawa-tawa bersenda gurau dengan teman-teman sosialitanya. Selama Edi di Rumah Sakit ia hanya dua kali berkunjung dan sepertinya itu hanya formalitas saja. Sementara untuk menunggu Edi, semua dilakukan oleh Mbak Sari bergantian dengan Bu Wartini.

Jangankan menemani Edi di Rumah Sakit, Nabila yang belum genap tujuh tahun pun hampir setiap hari diurus oleh Putri adik ipar Ajeng. Kehadiran Ajeng di rumah hanya bisa dihitung jam, bahkan sempat tidak pulang ke rumah dua hari.

“Eh, Jeng besok jangan lupa arisan lho, kita di resto serba ayam ya. Jangan lupa bayar arisannya juga!” Sarah salah satu teman sosialitanya mengingatkan, karena dia yang dipercaya untuk pegang uang.

“Ya pastilah mana pernah sih aku sampai lupa bayar arisan,” jawab Ajeng dengan percaya diri.

Laras, temannya yang lain pun menyikut lengan Sarah, “Kamu itu kayak nggak tahu Ajeng aja, dia mana pernah sih telat. Tiap kumpul kan pasti langsung bayar, istri Bos gitu lho.”

Ajeng pun tersipu saat mendengar pujian Laras. Kalimat-kalimat seperti itulah yang selalu suka untuk didengarnya. 

“Kamu itu bisa aja to Ras …Ras,” balas Ajeng sambil tersenyum.

“Mas Edi dah pulang belum ya dari Rumah Sakit, kalau belum gimana bayar arisannya? Ah gampanglah nanti minta ATM nya aja biar aku ambil sendiri,” pikir Ajeng sambil menyeruput jus mangga yang ia pesan.

Ajeng pun pulang ke rumah selepas maghrib. Saat itu keadaan rumah cukup ramai, keluarga Edi dan beberapa tetangga sedang berkumpul di sana.

“Kok pada ngumpul di sini sih? Apa suamiku udah meninggal ya?” pikir Ajeng yang baru turun dari motornya. Ia sama sekali tidak memiliki perasaan khawatir akan hal buruk yang terjadi pada suaminya.

Perempuan bertubuh sintal itu pun melangkah masuk ke dalam untuk memastikan apa yang terjadi. Tentunya kehadiran Ajeng menimbulkan perhatian tersendiri. Bahkan ada yang menyindir kenapa Ajeng baru pulang.

“Oh jadi Mas Edi udah pulang Bu?” tanya Ajeng pada Ibu mertuanya yang sedang menemani para tamu.

“Udah dari siang tadi Nduk, sekarang lagi istirahat di kamar,” jawab bu Wartini.

“Wah pas banget,” pikir Ajeng kemudian tanpa mengindahkan yang lain, Ajeng pun langsung menuju kamar tidurnya dan melihat Edi.

Saat itu pria berkulit putih ini sedang duduk bersandar dengan punggung yang diganjal oleh bantal.

“Kamu baru pulang Jeng?” tanya Edi.

Ajeng pun duduk di samping suaminya, “Iya Mas, tadi ada perlu dengan teman-teman. Gimana Mas, udah mending kan?”

Edi mengangguk tapi masih lemah.

“Oh ya udah kalau gitu, o iya Mas aku minta duit buat bayar arisan nih!” pinta Ajeng sambil menadahkan tangan.

Edi saat itu tersentak, tak mengira istrinya akan meminta jatah uang arisan. Memang sebagai suami ia wajib untuk menafkahi anak dan istri, tapi apakah Ajeng tidak bisa melihat keadaan Edi kali ini. Ia baru dari rumah sakit dan belum bisa memikirkan yang macam-macam, sementara sebelum sakit Edi sudah melakukan kewajibannya.

“Kemarin kan sudah Mas kasih to Jeng,” jawab Edi.

“Ah itu udah abis Mas. Kebutuhan saya itu banyak, saya juga harus kirim ke Bapak dan Ibu di kampung!” balas Ajeng beralasan, padahal selama menikah dengan Edi, ia sama sekali tidak pernah mengirim uang kepada orang tuanya.

Uang jajan yang diberikan Edi lebih banyak digunakan untuk berfoya-foya dengan teman-teman sosialitanya. Sampai-sampai uang saku Nabila jarang sekali diberikan, selama ini Nabila mendapatkan uang jajan dari Neneknya.

Ajeng sama sekali tak mendengarkan pembelaan Edi. Ia sama sekali tidak mau tahu apa yang dirasakan oleh suaminya. Sampai-sampai Bu Wartini yang sedang di ruang tamu pun mendengar amukan Ajeng.

"Kenapa harus sekarang to minta duitnya,lihat kondisi suamimu sekarang sudah tidak bekerja dan duit juga habis untuk biaya Rumah sakit yang tidak sedikit," sahut ibu Edi tiba-tiba.

"Ibu tahu apa sih, nggak usah ikut campur",jawab Ajeng ketus.

“Saya kan istrinya wajar dong minta jatah ke suami,” tambahnya.

“Iya Ibu ngerti kamu istrinya Edi, dan setahu Ibu Edi itu sudah memberimu uang setiap awal bulan termasuk uang untuk Nabila dan juga Nadia yang sekarang sedang dirawat neneknya di sana,” Bu Wartini membalas.

“Aduh Bu, besok itu udah waktunya saya bayar arisan. Masa’ iya saya harus telat bayar, nanti apa kata yang lain. Masa’ istri kontraktor nayar arisan aja telat, apa nggak malu tuh Mas Edi?” balas Ajeng kemudian menghentakkan kakinya dan kembali pergi tanpa memperhatikan kondisi sang suami.

Saat itu tangan Edi terangkat mencoba untuk mencegah kepergian Ajeng tapi ditenangkan oleh Ibunya.

"Astaghfirullah", Bu Wartini mengelus dada setelah putranya lebih tenang. 

“Kamu yang sabar ya,” kata Bu Wartini menenangkan Edi.

Edi menghela napas panjang dan mengangguk kemudian memutuskan untuk beristirahat saja.

Di luar Ajeng memang terkenal glamour dan sering traktir teman-teman biar terlihat kaya. Ajeng seakan haus akan sanjungan.

                         ***

"Kalau terus-terusan begini aku bakalan jadi kere nih,sebisa mungkin aku harus cari laki-laki lagi biar bisa menuhin keinginanku,” gumamnya yang saat itu baru bangun dari tidur.

Keadaan Edi memang semakin lama semakin membaik, tapi masih belum bisa bekerja keras seperti dulu lagi. Tentu saja keadaan yang seperti ini membuat Ajeng sering uring-uringan dan semakin sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya di luar. Sementara Edi dan Nabila diurus oleh keluarga besar suaminya.

Edi yang tidak bisa bekerja dalam waktu lama pun perlahan-lahan menjual harta bendanya untuk biaya hidup. Mulai dari mobil, dan motor yang semulanya ada dua tersisa satu untuk transportasi Ajeng dan mengantar Nabila sekolah. Bahkan perusahaannya ikut tutup untuk membayar pesangon karyawan dan kehidupannya. Edi sudah mulai bangkrut.

"Pokoknya aku harus bisa punya uang tiap hari gimana caranya," gumam Ajeng yang

diam-diam meminjam sejumlah uang ke teman-temanya dengan nominal yang cukup besar tanpa sepengetahuan Edi. Kesemuanya itu tentu untuk berfoya-foya.

Suatu sore di kamar, Ajeng tampak tersenyum saat memperhatikan pesan dari ponselnya. 

"Ini mbak Ajeng ya?” tanya seorang lelaki yang mengirimi pesan padanya.

“Iya..ini siapa?” balas Ajeng.

“Saya Seno teman mbak Dita yang kemarin ketemu di cafe itu.”

“Oh iya ada apa mas?” tanya Ajeng.

“Kapan kita bisa ketemu lagi mbak Ajeng?” tanya Seno sambil dilengkapi emoji hati.

Hati Ajeng pun berbunga-bunga. Walaupun sudah punya anak dua tapi Ajeng masih menarik dan usianya memang terpaut jauh dengan Edi.

“Lumayan nih, bisa buat tambahan jajan,” pikir Ajeng tersenyum.

“Besok sore saya saya kerumah Dita kita ketemuan disana saja,” jawab ajeng singkat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status