Home / Rumah Tangga / Harta Tahta Pria / 1. Serangan Jantung

Share

Harta Tahta Pria
Harta Tahta Pria
Author: Ralph Author

1. Serangan Jantung

Author: Ralph Author
last update Last Updated: 2022-08-03 21:57:25

Edi menghempaskan tubuhnya pada soda di ruang tamunya. Pria yang usianya sudah kepala tiga itu tampak pucat dan kini tangannya menyentuh dada kirinya seperti menahan sakit, dan napasnya pun tampak berat.

Seorang wanita yang rambutnya sudah memutih pun tiba-tiba keluar dari kamar tidur dan mendapati sosok Edi yang terlihat kelelahan seperti nyaris tertidur. Namun wanita itu belum tahu kalau ada sesuatu yang terjadi pada Edi, putranya.

“Baru pulang Ed, mbok ya tidur di kamar situ lho!” tegurnya.

Saat itu Edi memang baru pulang dari meninjau proyek di Madiun. Edi sendiri adalah seorang kontraktor sukses di Yogyakarta. Proyek yang ditanganinya tidak hanya di Yogya dan sekitarnya tapi sudah merambah hingga ke Jawa Timur.

“Bu …,” Edi tak melanjutkan ucapannya, tapi ia meringis kesakitan sambil memegangi dadanya.

Sebagai seorang Ibu, tentu saja Wartini begitu khawatir melihat putranya yang mulai pucat, dan keringat dingin mulai menetes di dahinya.

Wanita tua itu pun mulai mondar-mandir karena tidak tahu apa yang harus dilakukan olehnya. Jika ia pergi meninggalkan Edi, ia takut sesuatu yang buruk terjadi sementara di rumah hanya ada dia, Edi dan Nabila putra pertama Edi. Ajeng, sang istri sedang tidak berada di rumah, dan tak ada yang tahu kemana perginya, mungkin bersama teman-temannya seperti kebiasannya sehingga pengasuhan Nabila dilimpahkan pada sang Nenek dan adiknya Nadia berada di Madiun diasuh oleh orang tua Ajeng.

Wartini menoleh lagi ke arah putranya yang semakin terlihat kesakitan, ia pun akhirnya lari keluar dan berteriak-teriak di teras. Beruntung anak-anak Wartini yang lain tinggal di sekitar rumah mereka.

“Tolong! Tolong!” teriaknya.

Adi, adik dari Edi yang saat itu baru saja pulang menjemput anaknya dari sekolah pun langsung meminta putranya turun.

“Di, tolong Mas mu bawa ke dokter! Kayaknya kesakitan!” seru Wartini pada putra ketiganya.

Tanpa pikir panjang, Adi pun masuk ke dalam rumah Bu Wartini dan mengambil kunci mobil Edi untuk mengantar kakaknya ke Rumah Sakit dan mendapatkan pertolongan. Sementara istrinya, Putri diminta untuk menemani Nabila bersama putranya Beni.

                                   ***

Untungnya keluarga Edi datang tepat pada waktunya hingga berhasil melewati masa kritis dari penyakit jantung yang menimpanya. Namun Edi tetap harus menjalani rawat inap. 

Sari, kakak perempuannya mengambil ponsel dan menghubungi Ajeng istri Edi untuk mengabarkan keadaan suaminya, tapi sayang sambutan yang didapat tidak menyenangkan.

Kaka Edi mencoba untuk menghubungi Ajeng

"Halo Ajeng, ini Mbak Sari,” kata Sari membuka percakapan dengan adik iparnya itu.

“Iya mbak, ada apa?” balas Ajeng dengan sedikit malas. 

Memang hubungan Ajeng dengan keluarga Edi tidak begitu baik. Sari yang merupakan putri tertua pun memilih untuk menghindari konflik dengan tidak sering bicara dengan adik iparnya itu. Namun untuk kali ini ia harus memberitahukan keadaan Edi.

“Suamimu masuk rumah sakit kena serangan jantung,” Sari memberi kabar.

"Apa Mbak? Ya udah saya ke sana sekarang,” balas Ajeng langsung menutup teleponnya.

"Huh ganggu acara aja, nggak tahu apa kalau kita lagi seru ngebahas arisan",guman Ajeng dengan nada kesal.

"Kenapa Jeng?" tanya salah satu temanya.

“Ini lho mas Edi sakit, saya disuruh pulang,emang ga ada keluarganya apa?” gerutu Ajeng disambut tawa teman-temannya.

"Ngeledek terus deh. Udah lah aku pulang dulu,"pamit Ajeng.

Ajeng pun tiba di rumah saat hari sudah sore, tapi ia tidak langsung ke rumah sakit melainkan sedang duduk santai di teras sambil main handphone.

"Mama ga nemenin papa di rumah sakit?” tanya Nabila anak pertama Ajeng yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah.

"Papa sudah ada yang nungguin,lagian mama juga capek," balas Ajeng ketus.

Ibunda Edi pun keluar dari dalam rumah dan bermaksud bicara dengan Ajeng.

"Nak Ajeng … nanti Edi tolong dibawain air panas ya, karena tadi ibuk lupa bawa karena tidak sempat!” pinta Bu Wartini.

"Iya nanti Bu,Ajeng masih capek," jawab Ajeng dengan malas.

“Yang nunggu cuman kakakmu saja lho.”

"Iya iya Bu ngerti … tapi Ajeng kan baru pulang masih capek," balasnya dengan nada tinggi.

“Nanti kalo sempat pasti saya jenguk. Bawel banget sih,” balas Ajeng kemudian masuk ke dalam kamarnya dan beristirahat.

Ajeng pun baru datang menjenguk suaminya di rumah sakit keesokan harinya.

Edi yang dirawat di ruang VIP pun hanya bisa berbaring lemah dengan peralatan yang canggih serta kabel-kabel yang menempel ditubuh. Ajeng pun langsung duduk di kursi yang ada di samping Edi.

"Keadaanmu gimana mas?” tanya Ajeng.

“Ini sudah mendingan tapi saya masih lemas.”

“Oh, sampai kapan bakal di sini?” tanya Ajeng tanpa menunjukkan rasa khawatir sama sekali.

“Nggak tahu Jeng. Doakan saja ya Mas cepat pulang. Kamu temani Mas ya, kasihan Mbak Sari kalau harus jaga Mas terus,” pinta Edi.

Ajeng pun mendengkus kesal. 

“Huh, emang gak ada suster apa? Tuh di samping kasur ada bel kan? Kalau ada perlu tinggal panggil! Ribet amat sih!” omel Ajeng.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Harta Tahta Pria   13. Kehilangan

    HTP 13KEhilanganWaktu sudah mendekati tengah hari, saat itulah Ajeng menghentikan sepeda motornya di depan ruamah Edi yang terlihat sepi. Ajeng tentunya sudah hapal jam berapa suaminya itu meninggallkan rumah, dan ketiga anaknya sekolah. Karena masih berstatus istri sah Edi dan Ibu dari ketiga putrinya, Ajeng pun memegang kunci duplikat rumah yang membuatnya bebas keluar masuk. Ajeng juga sengaja datang jam segini agar tidak diketahui tetangga sekitar karena pagi hari banyak yang beraktivitas."Aku datang nggak ada maksud buat jenguk anak-anak,aku mau ambil apa yang bisa aku jual"batin Ajeng sembari membuka kunci pintu belakang rumah.Tanpa ada perasaan sungkan atau rindu rumah, wanita berambut lurus itu masuk rumah dan menggeledah hampir seluruh sudut ruangan. “Aduh ini rumah sepi amat sih nggak ada yang bisa dijual sama sekali. Udah bener-bener miskin kali si Edi, TV juga udah ketinggalan jaman mana udah nggak bagus lagi, bisa laku lima puluh ribu juga udah bagus, tapi nggak sep

  • Harta Tahta Pria   12. Permintaan Nabila

    Hubungan Edi dengan Ajeng masih saja tidak jelas selama bertahun-tahun. Mereka berdua sudah tidak lagi tinggal serumah. Edi sudah tidak tahu kemana istrinya itu pergi, menurut kabar Ajeng sudah tidak lagi tinggal di kontrakan lamanya melainkan kembali ke rumah orang tuanya di Madiun.Dari pengakuan teman Ajeng, kepindahannya dikarenakan tidak memiliki pekerjaan lagi dan tidak ada biaya untuk menghidupi kesehariannya.Namun untuk kembali tinggal di rumah Edi, Ajeng pun enggan, entah apa penyebabnya.Padahal jika Ajeng ingin datang dengan baik-baik, maka Edi pasti akan menerima dengan baik.Seperti apa yang selama ini dilakukan Ajeng, tiap akhir bulan, Ajeng selalu datang berkunjung ke tempat Edi, tapi bukan untuk menengok anak-anaknya. Ajeng hanya datang untuk meminta jatah uang bulanan dari Edi saja.“Dik, kamu nggak nunggu anak-anak pulang dulu, mereka nggak lama kok pergi dengan budhenya?” tanya Edi yang baru saja memberikan sejumlah uang untuk kebutuhan Ajeng beberapa waktu lalu.“

  • Harta Tahta Pria   11. Anak Yang Tak Mengenal Ibunya

    Si bungsu Nania tidak seberuntung kedua kakaknya. Sejak usianya empat bulan Nania sudah sering ditinggal Ajeng dan seringkali diasuh oleh orang lain, kadang adik ipar atau kakak iparnya.Usia yang masih sangat rentan dan benar-benar membutuhkan kasih sayang seorang Ibu tapi sama sekali tidak pernah mendapatkannya.Suatu sore saat Edi pulang kerja, ia dikejutkan oleh tangisan sang putri bungsu yang tak kunjung berhenti. Saat itu Nania sedang berada dalam gendongan Putri di ruang tengah rumah.“Untung Mas Edi cepat pulang, sejak tadi Nania tidak berhenti menangis dan demamnya tinggi sekali. Tadi saya sudah membaluri badannya dengan bawang merah dan minyak telon tapi sama sekali tidak membantu,” Putri yang mengurus Nania langsung melaporkan keadaannya pada Edi. Edi yang saat itu masih lelah dengan pekerjaan yang menyita waktu pun langsung menempelkan punggung tangan di dahi putri kecilnya. Benar sekali tubuh anak itu sangat panas. “Mas, mending sekarang ke dokter aja bawa Nania, biar d

  • Harta Tahta Pria   10.Penolakan (POV Ajeng)

    Hari sudah menjelang siang saat Ajeng turun dari ojek, ia mengamati rumah yang sudah lama tidak ia tempati, tentu saja rumah peninggalan orang tua Edi yang masih dihuni oleh Edi dan ketiga putri mereka.Sudah beberapa bulan terakhir Ajeng tidak pulang dan tinggal di sebuah kamar kos yang letaknya jauh dari rumah Edi. Tentu saja kamar kos itu dibiayai oleh laki-laki selingkuhan Ajeng yang entah laki-laki mana lagi, sudah tak terhitung jumlahnya. Bagi Ajeng materi adalah nomor satu, ia tidak peduli status yang masih diembannya dan juga lelaki yang bersamanya, asalkan ada yang bisa menuhi keinginannya, Ajeng rela menyerahkan harga dirinya.Untuk menutupi kebosanan dan menjaga image, Ajeng pun bekerja, tapi tetap saja tabiatnya menggoda lelaki tidak pernah berubah. Sementara Edi sekarang hanya konsentrasi bekerja untuk membesarkan ketiga anaknya dan memberi kasih sayang sepenuhnya pada mereka. Sari, kadang kakak kandung Edi merasa kasihan melihat mereka, anak masih kecil-kecil sudah tid

  • Harta Tahta Pria   9. Masa Lalu (POV Edi)

    Edi Santosa lelaki tiga puluh tahunan, ketika masih muda menjadi laki-laki idaman perempuan dikampung karena fisiknya yang menarik. Masa muda Edi dihabiskan dengan berfoya-foya, hampir setiap malam pulang dalam keadaan mabuk, seperti kebanyakan pemuda dikampungnya suka konsumsi minuman keras.Ibunya seorang pedagang sayur yang cukup laris di pasar, dan Edi adalah anak kesayangan Bu Wartini apapun yang dilakukannya walau buruk tak akan pernah membuat Ibu memarahinya. Pernah ketika Edi pulang larut malam dalam keadaan mabuk, dan terkapar diteras rumah hanya Bu Wartinilah yang memindahkannya ke kamar, sementara kakak dan kedua adiknya enggan.Hampir setiap hari Edi diberi nasihat untuk berhenti mabuk-mabukan tapi tak diindahkannya, termasuk Ani, perempuan yang saat itu dekat dengannya, dan akhirnya memilih pergi karena tak ada masa depan dala hubungan mereka. Sementara kedua adiknya tidak mampu menasihati Edi karena takut akan watak temperamentalnya saat di bawah minuman keras.Suatu sa

  • Harta Tahta Pria   8. Luluh

    Ajeng pun mengerutkan dahi tidak tahu kenapa pria di hadapannya tertawa terbahak-bahak. Pria yang rambutnya sudah memutih dan giginya hitam itu pun melihat Ajeng dari atas ke bawah. “Hmm, Nduk Ajeng, kamu ini kan masih muda, cantik dan Mbah ini sendirian, kamu tahu kan apa maksud Mbah?” tanya Mbah Darto sambil menggoda Ajeng. Ajeng tersentak saat mendengar permintaan dari pria tua di hadapannya. “Dih, apa iya aku harus tidur dengan si tua bangka ini? Iih nggak bangetlah. Udah tua, jelek, bau lagi,” runtuk Ajeng dalam hati. Mbah Darto pun kembali terkekeh saat melihat sosok Ajeng yang mulai gugup. Perempuan muda yang sedang terjepit terlihat begitu menggoda di matanya. “Gimana Nduk? Mbah udah siap lho dari tadi.” “Mampus, aku harus nemenin si tua bangka bau tanah ini, tapi … aku lagi nggak punya duit. Hmm udahlah aku sambil tutup mata dan lampu dimatiin aja. Sabar … sabar Jeng semua nggak ada yang gratis,” batinnya kemudian mengiyakan ajakan Mbah Darto. *** Ajeng tiba di rumah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status