Share

Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda
Hasrat Berbahaya sang Pewaris Duda
Author: Auphi

Awal Mula

"Sial! Ini bukan kamarku!"

Aku menjerit kaget usai melihat ruangan yang tampak asing ini. Perlahan aku menatap sekeliling. Gorden yang lebih lebar dan usang, posisi AC yang tidak sama dengan kamarku yang biasa, sprei asing, dan selimut yang lebih tebal.

Pikiranku seketika teringat pada peristiwa semalam. 'Bukankah semalam aku bersama suamiku?'

Mataku mengerjap lagi dan menatap sisi kanan. Kini, aku sukses terlonjak dari posisi tidur. Didorong rasa kaget yang luar biasa, tubuh ini jadi sadar sepenuhnya. Kutatap pria yang lelap itu, dan nyatalah itu wajah asing, bukan suamiku.

"Apa yang sedang terjadi?!" Aku membatin, mulai histeris.

Apalagi waktu selimut tersingkap, ternyata tubuhku hanya dibalut sepasang bra dan cawat merah. Aku ingat, pakaian ini memang sengaja kupakai semalam demi memancing hasrat suami yang mulai padam. Meski masih bertanya-tanya, alarm di otak menyuruhku segera berpakaian dan keluar dari tempat terkutuk ini.

Kupunguti pakaian yang tercecer di lantai lalu mengenakannya tergesa-gesa. Selama berpakaian, benakku sibuk menerka-nerka apa yang terjadi sesudah candle light dinner semalam dengan suami. Orang jahat mana yang tega mencelakai kami? Dan... di mana suamiku saat ini?

Semua pikiran ini berkelindan di otakku bagai benang kusut yang tak tentu ujung pangkalnya. Setelah memakai kembali blouse satinku, tak menunggu lama aku segera mencari pintu keluar. Namun sayang, belum sempat kenop pintu kusentuh, sekelompok pria dengan seragam polisi mendobrak masuk tanpa aba-aba.

Brak!

"Jangan bergerak, hotel ini sedang dirazia!" Salah satu dari mereka berseru.

Sontak aku bergerak mundur dengan tangan terangkat di atas kepala. Persis anggota gembong pezina yang tertangkap basah di tempat maksiat. Kucoba bersikap tenang, meski tangan yang mengepal sudah gemetaran.

"Saya dijebak Pak, saya nggak tahu apa-apa," ujarku dengan suara yang diberani-beranikan.

Namun, personil polisi yang memborgolku melengos kasar. Dia sudah hendak menyeretku, ketika suara yang akrab di telinga tiba-tiba menyela, membuat duniaku yang kacau balau seketika tenang.

"Tunggu! Aku perlu bicara dengan terduga."

Dalam sekejap, tangan yang terborgol tadi bebas kembali. Aku langsung menghambur ke pelukan pria yang kupanggil suami. Sedangkan, nasib lelaki yang tergeletak di ranjang tadi, aku tak mau tahu. Tak mau juga peduli. Bagiku, dia hanya orang asing. Kami mungkin sama-sama korban dari skandal yang coba diciptakan entah oleh siapa. Namun, akan kupastikan, bajingan itu ditangkap segera.

Tubuhku yang tadi gemetaran perlahan tenang dalam dekapan hangat suamiku. Pagi ini beliau nampak gagah dengan seragam kebesarannya. "Sebentar, aku perlu bicara empat mata dengan Nyonya Shanty," ujarnya lagi pada personil polisi yang hendak memborgolku tadi.

Wajah suamiku terlihat begitu terpukul. Reaksi yang sudah pasti terjadi saat mengalami situasi seperti ini. Gerombolan polisi yang tadi mengerubungi kamar ini akhirnya membiarkan kami--aku dan suami memiliki waktu berdua. Sementara lelaki tadi telah dibawa dengan keadaan yang masih tak sadarkan diri.

Aku sudah nyaris menitikkan air mata lagi, tetapi pikiran buruk lebih dulu menyentak dan membuatku sadar. Jika aku bisa diculik setelah makan malam dengan suami, lantas kenapa beliau bisa ada di sini dalam keadaan aman?

Untuk memastikan, kuteliti lagi wajah suamiku dengan saksama. Ekspresi cemas dan terpukul yang tadi dia tunjukkan, kini tak nampak lagi. Yang kulihat dalam dalam manik matanya yang kelam kini hanyalah ejekan samar.

"Sudah paham apa situasimu sekarang?" tanyanya seraya menyalakan pemantik logam di tangan.

"K-kenapa?"

Dia menyembulkan asap putih pekat sebelum menjawab enteng. "Tentu saja bercerai."

"Tapi kenapa harus menjebakku begini?" tanyaku berusaha tenang meski tubuh ini hampir limbung. Senyum laki-laki yang sekejap lagi akan jadi mantan suami ini segera membangun kesadaran baru, "Apa karena Alex?"

Lagi-lagi dia hanya mendengus seolah aku ini mahkluk paling bodoh sejagad raya. "Kalau hanya karena hak asuh Alex, kau bisa membicarakannya denganku. Mengapa harus repot-repot menghancurkan hidupku seperti ini?"

Tak pernah menyangka, bahkan dalam mimpi terburuk, pria yang menikahiku tega mendorongku dalam jurang kenistaan. Seumur-umur, baru sekarang kutahu ada suami yang tega menghancurkan harga diri istrinya sampai lenyap tak bersisa.

"Perempuan licik seperti kau diajak bicara baik-baik? Mana mungkin! Yang ada, kau pasti memikirkan segala cara untuk memeras kekayaan keluargaku, persis seperti yang kau buat selama ini."

Ucapan kejam darinya membuat aku berpikir ulang. Harta macam apa yang sudah kuhabiskan? Benar, mertuaku pernah memberi aset, tapi kata beliau itu hadiah. Pun kudapat sesudah mengorbankan rahim yang akhirnya harus diangkat demi melahirkan cucu mereka, Alex.

Tangisan tak kuasa lagi kubendung. Kemarahanku juga semakin bergejolak, siap meledak. "Demi apapun, tak pernah ada suami yang tega menjebak istrinya dengan cara hina seperti ini!"

Dia tertawa puas. "Tak semua perempuan yang dinikahi lantas patut menjadi istri, Shanty. Bagiku, kau tak lebih dari trofi kemenangan!"

"Kau pikir Alex tidak akan mencariku, ibunya?"

Kulihat, rahangnya mengetat. "Berhentilah munafik! Memangnya selama ini kau pernah mengurus Alex? Kau malah sibuk dengan semua urusanmu, hampir tak pernah di rumah. Mamakku yang selalu menjaga Alex."

Tak cukup di situ, dia juga menjentikkan abu rokoknya ke wajahku. Perihnya abu rokok yang mengenai pipiku sudah tak kurasa. Otakku malah sibuk memikirkan apa yang kulakukan akhir-akhir ini.

Benar sekali! Aku memang sibuk pergi fitness, juga ke klinik kecantikan. Itu semua kulakukan lantaran pria di depanku ini selalu protes dengan tubuhku yang katanya melar setelah melahirkan.

Sedangkan perkara menjaga Alex, mertua lah yang selalu memaksa untuk momong cucu satu-satunya.

Harus diakui, aku bukan ibu yang sempurna seperti mereka diluaran sana. Namun juga bukan yang tega menelantarkan anak begitu saja. Meski putraku lebih dekat pada neneknya, bukan berarti aku tidak tahu perkembangannya.

"Kau benar-benar bajingan!"

Lelaki itu meludah ke satu sisi, lalu memadamkan puntung rokok itu dengan tapak sepatu kulitnya.

"Sudahlah Shanty sayang, hentikan umpatanmu itu. Sekarang kau hanya punya dua pilihan. Sibuk berkoar-koar lalu menuntutku di pengadilan, atau pergi diam-diam dan kau akan dapat pesangon tiga ratus juta?"

Waktu mengatakan tawarannya, dia tampak begitu bangga, berlagak jadi pria paling murah hati di alam semesta.

Aku menahan dengusan. Pesangon katanya? Memangnya aku ini pegawai habis masa kontrak?

Namun tak urung aku diam juga memikirkan segalanya. Menimbang dalam hati, pilihan apa yang tepat untuk wanita tanpa karir dan harta sepertiku.

Seperti paham jalan pikiranku, dia menukas kejam seperti kebiasaannya selama ini. "Ingat Darling, pengadilan butuh banyak biaya, sedangkan kau tak punya apapun selain bapak-mamak yang tak bisa diandalkan."

"Hahaha..." Ucapannya membuatku tertawa getir dalam kemarahan. Ayah-ibuku memang tak bisa diharapkan. Malah selama ini aku yang menopang hari tua mereka. "Apa harus begini caramu mendepakku? Apa kau yakin, Roy Gultom?" Aku bertanya dengan menyertakan marga kebanggaannya.

"Tentu saja. Kupikir, aku sudah cukup murah hati padamu. Kalau tak puas, silakan mengadu juga pada mantan kesayanganmu. Bukankah selama ini kau selalu mengadu padanya?"

"Oh! Jadi itu alasannya?" Aku tertawa muak. Dia yang pernah kupergoki selingkuh, justru dia melemparkan senjata itu padaku. "Seorang pezina memang akan selalu curiga!"

Lagi-lagi dia hanya mendengus, tak memedulikan ejekanku.

"Baiklah Roy, kalau ini memang keinginanmu. Namun begitu, persiapkan dirimu. Suatu saat, kelakuanmu ini harus kamu bayar lunas berikut...bunga-bunganya. Pada saat itu tiba, lebih baik jangan minta ampun!"

Ini jadi kalimat perpisahanku untuknya. Setelah ini kami hanyalah orang asing kalau bukan musuh.

Kupakai kacamata hitam kebanggaanku seraya beranjak pergi meninggalkan mantan suami dengan langkah gagah. Tak kuhiraukan lagi gelaknya yang memenuhi lorong sempit itu.

'Tunggu dan lihatlah, apa yang bisa kulakukan untukmu!'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status