Share

Mencari Solusi

"Bang!" Aku masih bisa memanggil Bang Fardan walau pelan. Rasanya nafasku mulai sesak dan darah tak kunjung berhenti.

"Bagaimana ini, Mel! Abang ... Abang!" Dia justru masih kebingungan, berputar putar saja di kamar. Aku makin lemas.

"Panggil Ibu!" Akhirnya dia punya inisiatif, tapi ini tengah malam pasti ibu sudah tidur.

"Bu ... Bu ...!" Teriak Bang Fardan di pintu. 

"Ada apa, Dan!" Kudengar suara Ibu. Mataku makin berkabut. Sudah tak jelas melihat keberadaan orang.

"Apa! Darah!" Hanya suara Ibu yang jelas kudengar, "dia pendarahan, Dan. Ayo bawa kerumah sakit. Ibu ngga kuat lama-lama lihat darah!"

Aku sudah tergolek lemah, bahkan saat Bang Fardan membopongku di bantu Ibu. 

"Bawa dasternya saja, nanti kita pakaikan di jalan. Biar selimut sementara untuk menutupi tubuhnya." Suara Ibu masih kudengar, tapi bayangannya pun sudah tak tampak. Apa aku pingsan? Tapi aku masih bisa mendengar percakapan mereka.

Bahkan aku masih berasa saat di pakaikan baju. Aku ingat Zia, dimana dia? Apa mereka meninggalkan di rumah sendiri.

"Zia ... Zia!" Aku masih bisa memangil namanya.

"Zia disini, Mel. Kamu yang kuat!" Ibu berujar, membuat aku sedikit tenang.

"Apa yang terjadi, Dan. Kenapa Amel sampai seperti ini?" dalam perjalanan Ibu menanyakan.

"A-anu, Bu. Ya ... Biasalah, sedang ...." Bang Fardan tak melanjutkan kata-katanya. 

Suara nyaring roda brangkar terdengar. Aku pasti tengah menaikinya, membawa keruang IGD.

"Jangan tidur ya, Mbak. Usahakan tetap sadar!" ucapan seseorang yang hanya terlihat seperti blurr.

Aku hanya mengangguk, untuk memastikan bahwa aku masih sadar.

"Ibu dan Bapak tunggu sini saja!" Suara seorang perempuan. Kemudian kudengar langkah kaki panjang.

"Kenapa ini?" Suara berat laki-laki terdengar. Apa dia dokter?

"Pendarahan, Dok. Tapi Alhamdulillah masih sadar."

"Cek tekanan darah dan HB-nya, pastikan tidak sampai terlambat!" 

"Baik, Dok." 

Hanya percakapan mereka yang kudengar, entah seperti apa orang-orang yang tengah menolongku. Aku pasrah saja, ketika jarum suntik banyak menusuk tubuhku disana-sini.

Bahkan hidungku di masukan alat untuk memperlancar oksigen, aku sudah mulai sesak nafas.

"Beruntung Dia tidak sampai hilang kesadaran. Bakal fatal bila datang dengan kondisi sudah tak sadar." Kembali aku mendengar percakapan. Tak lama aku merasa kepala pusing dan ngantuk. Aku terlelap.

Kubuka mata berlahan, rasanya masih sedikit pening tapi badan terasa ringan.

"Sudah sadar, Mbak?" tanya seorang suster yang kali ini kulihat dengan jelas. Suasana di jendela terlihat sudah terang.

"Sudah, Sus." Aku ingin duduk, namun segera di larang.

"Jangan dulu, Mbak. Takut pendarahan belum berhenti. Mbak beruntung datang masih dalam kondisi sadar hingga masih tertolong."

Aku diam, sebenarnya jika aku tak tertolong, mungkin justru lebih baik. Aku sangat merasa tersiksa atas nafsu s*x suamiku. Ingin sekali mengakhiri, tapi masih banyak yang harus kupikirkan terlebih Zia masih terlalu kecil.

Seorang dokter masuk, kali ini perempuan, tidak seperti semalam yang kudengar suara laki-laki. 

"Saya periksa ya, Mbak!" Dokter berkata, aku hanya mengangguk.

"Apa sebab Mbak sampai pendarahan? Makan sesuatu atau melakukan sesuatu?" tanya sang dokter.

Aku bingung untuk menjawab, apa perlu aku jawab jika semalam di garap tiga kali?

"Mbak!" 

"Eh, Anu, Bu. Eee, anu, a-anu, Bu!" Aku tergagap.

"Mbak dan suami melakukan?" 

Aku mengangguk, kemudian Dokter melihat map.

"Baru empat puluh satu hari, harusnya jangan di paksa dulu. Karena memang semua orang berbeda-beda masa nifasnya. Ada yang sampai 2 bulan dan mungkin Mbak salah satunya." Aku hanya mengangguk. Malu.

"Sebaiknya tolak secara halus jika suami minta. Lain kali jangan di paksa dulu kalau Mbak merasa belum siap. Saya justru takut Mbak sampai kenapa-kenapa!"

Aku tertunduk. Dokter tak tahu posisiku saat ini. Memiliki lelaki yang hiper dan selalu memaksa.

"Ya sudah, kalau hari ini darah sudah Tek keluar dan Mbak sudah segeran, mungkin besok bisa pulang."

"Iya, Dok. Terimakasih."

"Iya, cepat sehat, biar cepat ketemu bayinya. Kasian pasti di rumah sedang mencari Ibunya." Dokter tersenyum ramah. Dia lemah lembut dan penuh pengertian. Apa aku harus bertanya padanya tentang hal ini. Pasti dia tahu banyak, aku ingin menemukan solusi untuk rumah tanggaku ini.

"Dok!" Panggilku saat dia akan pergi.

Aku menatap dua suster yang mengikuti Dokter. Kuharap ia mengerti apa yang aku inginkan.

"Ada apa, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?" Dokter kembali mendekat. Aku kembali menatap dua suster yang seperti belum tahu keinginanku.

"Ada yang ingin saya bicarakan, Dok. Tapi ...." Aku mengantung kata-kata.

"Kalian keluar dulu. Tinggalkan kami!" Akhirnya Dokter mengerti dan menyuruh mereka pergi. 

Apakah ini jalan yang benar? Bagaimana kalau Bang Fardan? Ah! Tak ada salahnya aku bercerita untuk menemukan tujuan.

"Begini, Dok ...."

===®®®®===

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status