Iryani terduduk lemas, ia tengah mengatur nafasnya agar normal kembali. Jantungnya berpacu dengan keras membuat sakit di dada sebelah kiri.Ia tengah bimbang, di hadapankan pada dua pilihan yang sulit. Bagai nemu buah simalakama. Maju kena mundur apa lagi?Fardan duduk dengan menyenderkan tangannya pada dengkul. Ia kesal karena ulah ibunya, ia harus menanggung malu dan sekarang harus rugi."Ini semua salah Ibu!" Fardan mengusap wajahnya kasar. "Dari masalah Amel, sekarang masalah Lira! Semua karna Ibu!" Fardan berdiri, meninggalkan Ibunya yang masih terus memegangi jantungnya. Ia sudah muak dengan semua ulah yang dilakukannya.Masalah Farah yang belum menemui titik terang saja membuat beban mental tersendiri. Kali ini harus ditambah ulah Lira yang nyatanya berhati iblis. Tentu membuat Iryani makin kesulitan untuk dapat bernafas dengan lega. Wanita yang seharusnya hidup damai di hari tuanya justru makin membuat ia tertekan.~~~Fardan menemui Wiwin. Ia ingin tahu pasti di mana rumah R
Iryani merasakan dadanya sakit. Sudah dua hari ini ia hanya bisa duduk di tempat tidur. Sedangkan Fardan sibuk mengintai keberadaan Roy. Belum ada kabar dari Wiwin tentang permintaan Wiwin yang ingin bertemu dengan Roy.Hari beranjak sore, Farah yang sudah beberapa Minggu mengurung diri dirumah, tentu merasa jenuh. Ia berniat untuk sekedar jalan-jalan didepan rumah. Perutnya yang buncit ia tutupi dengan dress panjang dan longgar.Tanpa Farah sadari, ia tengah di intai oleh seseorang dari kejauhan. Dengan mata elangnya ia mengamati setiap gerak laangkah Farah.Tiba saatnya Farah menyebrang, sebuah mobil menghantam tubuhnya hingga tersungkur. Ia terkulai di jalan raya hingga tak sadarkan diri."Tolong! Tolong ...." Teriak beberapa orang yang tengah ada di depan taman. Segera orang berkerumun. Darah segar mengalir dari jidatnya dan kakinya juga terlihat darah mengalir. Segera Farah dibawa kerumah sakit.Fardan yang masih di kantor, dapat telfon dari tetangga. Sedangkan Iryani, dadanya m
"Mel!" Fardan masuk keruangan. Terlihat Amel dan dokter Maria tengah menggotong Lira yang pingsan."Kok sampai pingsan?" tanya Fardan heran. Sedangkan Amel dan Dokter Maria serius."Maaf ya, Dok. Sudah merepotkanmu!" Amel merasa tak enak. "Sebenarnya ini sudah menyalahi prosedur. Tapi, saya niatkan untuk menolong. Insya Allah tak apa-apa." Dokter Maria tersenyum."Terima kasih banyak, Dok." Fardan tersenyum. Mereka menunggu sampai Lira tersadar."Lira!" ucap Fardan saat Lira tengah memijit keningnya. Mengingat apa yang terjadi pada dirinya sampai berapa disana."Kamu sudah sadar?" Fardan memegang tangan Lira. Seketika Lira teringat akan apa yang membuatnya pingsan."Jangan sentuh aku!" "Loh, kenapa? Amel sudah ikhlas aku menikah denganmu. Kita akan menikah secepatnya ya!" Fardan lebih mendekat pada Lira.Lira menepis tangan Fardan. Ia ketakutan. Bayangan dirinya di siksa oleh Fardan membuat ia bergidik ngeri. Jangan sampai aku jadi pelampiasan nafsu brutalnya. Pantas Amel sampai gil
"Zia, Ma. Zia ...." Amel meraung. Ia tak sanggup saat tadi mendengar jerit tangis pilu anaknya. Lira menelfon Amel dengan menunjukan jika sekarang Zia tengah di siksa karena ulah ayahnya.Lira tak terima di permainkan. Ia mengancam akan membuang Zia kejurang jika Fardan tak mau membayar ganti rugi, atau menikahinya."Amel, yang kuat. Kamu jangan seperti ini!" tentu Riana bingung. Ia sangat takut jika Amel kambali kambuh seperti dulu."Wiwin, Hera!" Riana memanggil orang yang ada di rumah.Bergegas mereka datang dan memapah Amel masuk kedalam rumah."Ambilkan air minum!" ujar Riana. Hera segera beranjak. Ia mengambil satu gelas air mineral."Minum dulu, Mel!" Riana menegakkan badan Amel."Ma, Zia, Ma! Dia di bawa Lira dan berujar akan di bunuh. Bahkan dia juga telah menyiksa Zia hingga dia menangis pilu. Amel ngga kuat!" Setelah mengatakan itu Amel tak sadarkan diri. Telinganya masih berdering suara jerit tangis Zia.Sementara itu, Sanusi kehilangan jejak penculik, dan kehilangan arah
"Bang, kali ini satu kali saja ya," ucapku pelan saat Bang Fardan menuntaskan hasratnya."Aku cape, ngurus Dede seharian, kalau harus bergadang rasanya ngga kuat!" Aku mencoba memberi pengertian pada suamiku itu."Kamu gimana si, Mel! Empat puluh hari loh aku nahan semua ini. Terus kamu bilang hanya sekali saja!" Dia mengeleng kepala, seolah tak terima atas apa yang tadi aku sampaikan."Tapi, Bang ....""Ngga ada tapi-tapian! Mandi dulu sana, yang wangi, biar Abang makin semangat!" ucapnya.Aku tak lagi membantah, rasanya berdebat pun percuma. Bang Fardan selalu meminta di layani dalam semalam minimal tiga kali. Mana setiap habis begitu harus mandi dulu lagi! Bayangkan saja, setiap malam bisa mandi sampai empat kali."Pokoknya sehabis itu kamu mandi dan kita begitu lagi mandi lagi! Aku ngga selera kalau begituan belum mandi dulu!"Itulah kata-kata yang di ucapkan Bang Fardan kala itu, saat pengantin baru, hal seperti itu masih aku sanggupi tapi sekarang?Aku punya bayi, yang sering ng
Ku ayun-ayun Zia, badanku rasanya sakit semua. Kenapa tubuh ini seolah masih belum bisa fit seperti dulu.Zia tak jua mau menyusu. Aku makin di buat gemas. Makin lama aku makin merasa lelah. Kalau tak ada dia, aku tak akan seperti ini!"Susuin buruan! Nangis terus itu!" Bentakan Bang Fardan membuat hati ini makin dongkol. Kalau Zia mau nyusu pasti sudah aku susuin dari tadi.Kuraih popok milik Zia yang tergeletak disisi ranjang. Kukuel menjadi bentuk bulat dan bersiap untuk menyimpan mulut bayi mungil itu."Diam!" Segera aku melempar popok tadi. Aku masih waras. Aku tak mungkin menyakiti anakku."Kamu kenapa?" tanya Bang Fardan mendekat. Ia sudah mencuci muka."Aku capek, Bang! Aku capek ngurus bayi ngurus nafsu kamu! Aku capek, aku mau pulang kerumah ibu saja!" Kusingkapkan unek-unek dihati. Selama menikah dengan Bang Fardan dua setengah tahun, memang baru beberapa bulan aku punya rumah sendiri. Itu berkat tabungan yang kita kumpulkan selama menumpang di rumah orang tuaku. Kurangnya
Masih terdengar nyaring panggilan Ibu mertua. Aku masih sibuk menyusui Zia. Tak lama pintu di buka dengan keras."Kamu itu keterlaluan, Mel! Hampir saja rumah ini kebakaran karena ulahmu! Kenapa masak malah di tinggal?" Ibu memberondong perkataan yang kurasa tak penting. Pikiranku mulai terasa embuh."Aku kan kekamar karena Zia nangis. Hatinya Ibu yang lanjutkan masak bukan ongkang-ongkang kaki!" jawabku tanpa menatap Ibu."Kamu ini berani sama Ibu?!" Aku langsung menatapnya, "semalam apa yang dikatakan Bang Fardan, Bu? Ibu kesini untuk bantu-bantu aku karena Bang Fardan ngga mau keluarin uang buat bayar pembantu. Jadi Ibu yang di suruh buat bantu, bukan cuma baca koran sambil ngemil! Lagian, setiap gajian Lebih dari separuh di kasih ke Ibu kan?" Ibu telihat sangat murka, tapi aku tak peduli. Toh yang aku katakan memang benar semuanya."Kamu itu! Berani sekali menyuruh Ibu jadi pembantu. Awas kamu aku adukan pada Fardan!" Ibu keluar dengan menghentakkan kaki, aku hanya mengeleng pel
"Bang!" Aku masih bisa memanggil Bang Fardan walau pelan. Rasanya nafasku mulai sesak dan darah tak kunjung berhenti."Bagaimana ini, Mel! Abang ... Abang!" Dia justru masih kebingungan, berputar putar saja di kamar. Aku makin lemas."Panggil Ibu!" Akhirnya dia punya inisiatif, tapi ini tengah malam pasti ibu sudah tidur."Bu ... Bu ...!" Teriak Bang Fardan di pintu. "Ada apa, Dan!" Kudengar suara Ibu. Mataku makin berkabut. Sudah tak jelas melihat keberadaan orang."Apa! Darah!" Hanya suara Ibu yang jelas kudengar, "dia pendarahan, Dan. Ayo bawa kerumah sakit. Ibu ngga kuat lama-lama lihat darah!"Aku sudah tergolek lemah, bahkan saat Bang Fardan membopongku di bantu Ibu. "Bawa dasternya saja, nanti kita pakaikan di jalan. Biar selimut sementara untuk menutupi tubuhnya." Suara Ibu masih kudengar, tapi bayangannya pun sudah tak tampak. Apa aku pingsan? Tapi aku masih bisa mendengar percakapan mereka.Bahkan aku masih berasa saat di pakaikan baju. Aku ingat Zia, dimana dia? Apa merek