Share

Paksaan

Masih terdengar nyaring panggilan Ibu mertua. Aku masih sibuk menyusui Zia. Tak lama pintu di buka dengan keras.

"Kamu itu keterlaluan, Mel! Hampir saja rumah ini kebakaran karena ulahmu! Kenapa masak malah di tinggal?" Ibu memberondong perkataan yang kurasa tak penting. Pikiranku mulai terasa embuh.

"Aku kan kekamar karena Zia nangis. Hatinya Ibu yang lanjutkan masak bukan ongkang-ongkang kaki!" jawabku tanpa menatap Ibu.

"Kamu ini berani sama Ibu?!" 

Aku langsung menatapnya, "semalam apa yang dikatakan Bang Fardan, Bu? Ibu kesini untuk bantu-bantu aku karena Bang Fardan ngga mau keluarin uang buat bayar pembantu. Jadi Ibu yang di suruh buat bantu, bukan cuma baca koran sambil ngemil! Lagian, setiap gajian Lebih dari separuh di kasih ke Ibu kan?" 

Ibu telihat sangat murka, tapi aku tak peduli. Toh yang aku katakan memang benar semuanya.

"Kamu itu! Berani sekali menyuruh Ibu jadi pembantu. Awas kamu aku adukan pada Fardan!" Ibu keluar dengan menghentakkan kaki, aku hanya mengeleng pelan.

~~~~

"Mel! Amel ...." Teriak Bang Fardan membuat Zia yang hampir terlelap bangun.

"Bisa ngga si, Bang. Kecilin suara?" ucapku dengan nada sekecil mungkin.

"Kamu menyuruh-nyuruh ibu?" tanya Bang Fardan. Pasti Ibu sudah mengadu.

"Lah, Abang niat datengin Ibu buat apa? Buat bantu-bantu aku kan? Kalau dia ngga ngerti ya aku tunjukan, biar dia tahu maksud di panggil kesini!"

"Tuh kan, Kal. Istri mu kurang ajar. Jangan sampai kamu jadi anak durhaka dengan memperistri dia!" Ibu mulai bermain drama.

Aku hanya mengelus dada. Rasanya lelah menghadapi semua ini. Kesal.

"Jangan begitu, Mel. Dia itu Ibuku. Tak perlu di suruh Ibu akan melakukannya dengan iklas. Iya ka, Bu?" 

"I-iya, Dan." Ibu menjawab dengan enggan.

Aku memilih untuk menjauh dari mereka. Rasanya percuma saja berdebat. Hasilnya aku yang disalahkan. Aku yang di pojokkan.

Kembali tubuh makin mengigil karena kedinginan. Kali ini di sertai rasa mual dan nek. Setelah menyiapkan makanan untuk makan malam, aku bergegas masuk kekamar.

"Jangan tidur!" Bang Fardan berpesan saat tau aku akan kekamar.

"Nanti aku kerokin dulu ya, Bang! Sepertinya masuk angin." 

"Gampang itu, Mah. Nanti aja kalau udah selesai. Aku ngga suka bau minyak angin. Mual! Bikin hilang selera aja!" Kembali aku menelan kekecewaan atas apa yang kuminta. Bahkan hal sepele semacam ini.

Aku memutuskan untuk tak menghiraukan ucapan Bang Fardan, menuju kekamar kemudian menina bobokan Zia dan aku sendiri akhirnya terlelap.

"Mel! Bangun!" Bang Fardan membangunkanku dengan mengoncang kuat tubuhku. Aku mengerjap. Rasa kantuk dan tubuh mengigil.

"Bang! Aku ngga enak badan." 

"Alah, alasan! Buruan bangun dan mandi! Jangan banyak cingcong!" Di tariknya tanganku dengan paksa hingga aku terduduk.

"Buruan mandi! Aku sudah ngga tahan!" Aku didorong hingga sampai didepan pintu kamar mandi.

Terpaksa aku guyur tubuhku, menyikat gigi dan memakai sabun. Tubuh mengigil tak kuhiraukan hingga aku keluar. Rasanya makin tak kuat, tapi begitu keluar seperti biasa Bang Fardan mengarapku dengan bringas. Aku sama sekali tak menikmati. Justru rasa perih kurasakan pada organ intimku.

Setelah puas, ia menyuruhku kembali mandi. Hatiku makin tak karuan. Berbagai bisikan timbul. Ingin kucekik saja lelaki yang didepanku ini, menikmati di atas kesakitanku. Tanpa boleh protes apa lagi membantah.

Kembali kuguyur tubuhku dengan air kran. Ingin berteriak dan meminta Tuhan mencabut saja nyawaku.

"Ayo lagi!" Bang Fardan menarik tanganku. Aku menepisnya hingga ia hampir saja terjerbab.

"Kamu mau menolak!" Kali ini tangan Bang Fardan menarik lebih kencang. Aku terbanting di tempat tidur. Tanpa belas kasih kembali Bang Fardan melanjutkan hasratnya.

Sakitnya makin terasa, dari sakit hati sampai sakit di bagian selangkangan. Aku pasrah dengan hati dongkol. Melawanpun percuma tak sebanding dengan tenagaku.

"Da-darah! Kenapa banyak darah!" Bang Fardan melompat dari tempat tidur saat melihat darah tercecer di sprei.

Itu darah dari tubuhku. Aku pendarahan, pantas mata makin berkunang-kunang. Terlihat Bang Fardan kebingungan. Aku pun bingung, badan sudah lemas dan tak bertenaga. Aku pasrah, jika roh ini melayang dari raganya. Itu lebih indah mungkin?

===™®®®™===

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status