"Begini, Dok. Suami saya itu ...." Aku menjeda, malu untuk menyebutkan.
"Lanjutkan, jangan merasa sungkan," ucap Dokter yang kutahu bernama Maria. Terlihat dari papan nama di baju putihnya.
"Jadi suamiku itu kalau semalam meminta itu ... Lebih dari tiga kali, Dok." Akhirnya terucap juga. Susah payah aku mengeluarkan kata-kata itu.
Terlihat raut wajah kaget namun kemudian wajah Dokter Maria datar.
"Sebenarnya sebelum memiliki anak, saya tidak terlalu keberatan. Saya masih mampu mengimbanginya. Tapi ... Setelah melahirkan, rasanya badanku ngga sanggup, terlebih suamiku maunya sebelum melakukan ritual itu harus mandi dulu." Aku membuang pandangan, malu sekali sebenarnya, tapi aku ingin mencari sebuah solusi.
Terlihat Dokter Maria berfikir sejenak, "sepertinya suami Mbak maniak s*x, dalam istilah lain hipersex. Itu sebuah kelainan yang bisa di alami seseorang. Banyak kasus yang seperti ini. Memang benar, orang yang memiliki kelainan ini cenderung mempunyai sikap aneh. Bahkan saya pernah dengar ada yang di siksa dulu sebelum di gauli. Ibu termasuk ringan hanya di suruh mandi. Cuma ya memang tetap tertekan. Saya tahu perasaan, Mbak."
Aku menghembuskan nafas berat. Sedikit banyak mendengar penjelasan Dokter Maria membuat aku sedikit lega.
"Saya tak bisa kasih masukan banyak, karena ini bukan bidang saya, Mbak. Tapi, sekedar membantu untuk memberi solusi lebih jauh. Saya punya kenalan dokter psikolog. Mungkin Mbak bisa konseling padanya. Insya Allah akan di bantu. Masalah dengan suami, Mbak. Biar saya yang bicarakan. Setidaknya agar Mbak sehat dan fit dulu untuk kembali melayaninya."
Aku mengangguk, kemudian Dokter Maria pamit. Ia hanya memberi support dan do'a. Dia baik dan pengertian. Aku beruntung bertemu dan bercerita dengannya.
Aku masih merenung, saat Bang Fardan masuk bersama Ibu.
"Bagaimana keadaanmu, Mel?" tanya Bang Fardan.
"Beginilah, Bang!" jawabku dengan nada jutek.
"Di tanya suami kok gitu!" tiba-tiba Ibu mertua berceloteh.
Aku dongkol, dia itu memang nggak pernah ngerti apa yang terjadi. Selalu cari ribut.
"Bukan begitu, Bu! Tapi aku kaya gini kan karena dia!" balasku.
"Lah ya sudah wajarkan suami minta haknya, memang sedang apes aja jadi kaya gini. Ngga usah deh di besar-besarkan dan menyalahkan anakku!" Ibu mertua makin membuat aku dongkol, dia selalu saja membela anaknya walau salah.
"Bang! Aku mau pulang kerumah Mama!" Malas berdebat, aku alihkan pembicaraan. Aku ingin pulang kerumah Mama saja. Di sana aku akan merasa terayomi bukan malah di dzolimi.
"Jangan begitu dong. Kita kan sudah punya rumah. Masa kamu pulang kerumah Ibu. Nanti apa kata Ibu dan Bapakmu! Mengertilah, maafkan Aku. Aku memang salah, tapi nanti ngga akan terjadi lagi. Tadi dokter bilang aku harus puasa lagi sampai kamu benar-benar sehat."
Benarkah begitu? Itu artinya untuk sementara aku terbebas dari siksa batin.
"Iya, tapi jangan salahkan dia kalau jajan di luar! Dia masih muda, hal semacam itu masih sangat menggelora!"
Nyeesss
Kata-kata Ibu mertua menyakiti hati, bukan memberi nasihat pada anaknya malah memberi pintu kejurang. Wanita siapa yang ikhlas suaminya bermain dengan wanita lain.
Aku sedikit terisak, tak menyangka ucapan Ibu Mertua begitu pedas. Tak lama pintu di ketuk, ternyata papa dan mama bersama Wiwin adikku.
"Kamu kenapa, Mel. Kami panik mendengar kabar ini. Kamu ngga papa kan?" tanya mama memberondong.
"Ngga papa kok, Buk! Cuma kelelahan mungkin, maklum baru punya anak!" Ibu mertua menyela, aku yang akan menjawab sudah kedahuluan Ibu. Aku memilih diam.
"Ngga papa, Ma. Ini udah berhenti kok darahnya. Kata dokter beruntung karena aku kuat dan di bawa masih posisi sadar."
"Bener kamu kecapaian? Bagaimana kalau mama Carikan baby sitter agar kamu ngga terlalu kelelahan?" Mama menawarkan sesuatu yang sangat kuinginkan.
"Bukan menolak apa yang Mama tawarkan, tanpa mengurangi rasa hormat, sepertinya untuk sementara tak perlu. Karena Ibu saya juga masih bisa menghandle, membantu Amel mengasuh Zia. Saya cuma tak ingin Zia justru tergantung dengan orang lain karena dia masih terlalu bayi." Kali ini Bang Fardan yang menyela.
Memang mereka berdua benar-benar tukang menyela dan selalu merasa benar, merasa jika tak mau keluarganya di masuki orang lain selain keluarga sendiri. Rasanya makin kesal kalau seperti ini. Mana tak di perbolehkan kerumah mama lagi.
Aku harus minta pulang langsung ke mama saja!
"Ma, Kalau ...."
"Ma, kalau aku pulang kerumah Mama bagaimana?" Akhirnya apa yang tercengkal di tenggorokan keluar juga. Kulirik Bang Fardan dengan ekor mata. Dia nampak kesal."Loh kenapa? Kamu kangen sama Mama. Dasar kamu itu! Sudah punya suami, sudah punya anak bahkan sudah punya rumah. Masih saja minta di kelonin mamanya!" ucap Mama. Memang selama ini Mama memandang Bang Fardan merupakan suami idaman. Disamping tangung jawab dia juga perhatian kata mama. Mama tak pernah tahu tentang urusan ranjang yang tengah membuatku sampai tergolek."Duh, kamu bagaimana si, Mel. Kan dirumah juga ada Ibu. Kenapa malah minta pulang!" Kali ini Ibu mertua bersuara. Dia memang selalu bisa mencari muka."Biar, Bu. Gantian saya yang mong-mong cucu dulu. Besok gantian lagi, ngga papa kan, Dan?" tanya Mama pada Bang Fardan yang membuat dia tersentak. Mungkin dia kaget karena entah tengah melamun apa."Bo-boleh, Bu. Tapi jangan lama-lama nanti aku kangen sama Zia. Seminggu saja ya, Mel!" ucap Bang Fardan. Aku mengangguk
"Apa keluhannya, Mbak?" tanya dokter Maria sambil mengeluarkan stetoskop."A-anu, Dok. Sebenarnya tadi saya bohongan. Saya cuma kesal, sakit begini masih saja kena marah. Kan saya tertekan, Dok!" ujarku yang seketika membuat Dokter Maria mengkerutkan kening. Ia menempelkan stetoskop pada dadaku."Maaf ya, Dok. Saya jadi ngeprank anda!" ucapku jujur.Dia tersenyum, menurunkan stetoskop dari telingga. Suster tadi juga masih ada di sini. Mungkin dia sedikit dongkol."Kalau alasannya seperti itu, saya tak apa-apa. Biar saya bantu untuk menjelaskan pada mereka jika kondisi Mbak tak boleh stres. Biar mereka tak semena-mena memperlakukan Anda.""Terima kasih, Dok. Maaf ya, Sus." "Iya, Mbak. Saya memaklumi. Saya juga tadi sempat dengar jika Ibu mertua Anda sedang menjelek-jelekan anda. Jadi saya tahu kalau anda memang butuh inisiatif untuk menghindarinya." Tuh kan benar, ibu mertua memang begitu. Dia itu sebenarnya tak menyukaiku. Entah aku punya salah apa padanya."Ya sudah, istirahatlah.
"Ini?" Bang Fardan memegang kartu nama yang di beri Dokter Maria. Aku harus tenang."Kenapa, Bang?" tanyaku, kubuat sesantai mungkin."Ini ngapain kamu simpan kartu nama Psikiater?""Oh, itu. Kemarin Dokter Maria yang ngasih, dia bilang temannya prakter dan memberikan aku kartu nama itu. Siapa tahu butuh konseling katanya." Aku menjawab dengan sedikit di bumbui kebohongan. Belum saatnya aku cerita. Aku akan pelan-pelan membujuknya nanti. Mencari jalan keluar untuk masalahnya."Tapi ....""Bang, sekarang itu, psikiater bukan cuma untuk konsultasi orang gila. Cakupannya luas, kita punya masalah hutang, masalah keluarga atau masalah dengan orang lain. Kita bisa konseling ke psikiater. Biar hati dan pikiran kita lebih legowo dan kita di jauhi dari rasa stres berlebih." Aku mencoba menjelaskan. Bang Fardan terlihat hanya bergeming."Ayo! Kalian sudah siap?" tiba-tiba Ibu mertua datang dengan mengendong Zia."Udah, Bu. Ayo, Mel. Pamit sama Mama!" Aku melangkah dengan enggan. Sebenarnya masi
Botol susu mengenai kepala Ibu Mertua."Mel!" Bang Fardan mengagetkanku."Astaghfirullah!" Kenapa aku halusinansi. Seolah ada yang membisikan untuk melakukan kejahatan, untuk melukai orang yang membuat aku merasa tektekan."Kenapa? Kok bengong begitu?" tanya Bang Fardan kembali, "kata Ibu kamu bertengkar lagi?!"Ya kan, dia ngadu lagi!"Sebaiknya Ibu suruh pulang saja, Bang! Ada Ibu aku makin tertekan. Bukan makin membantu meringankan dia kerjaannya nyindir mulu!" ucapku terus terang. Aku ingin Ibu Mertua pulang saja. Aku makin merasa jika dia menanmbah beban mental ku.Bang Fardan terdiam, pasti dia bingung untuk menyuruh Ibunya kembali pulang. Aku makin kesal, kuangkat Zia dan membawanya keluar.Aku keluar keteras. Terlihat didepan Ibu Mertua tengah berbelanja sayuran di tukang sayur yang keliling. Entah kenapa rasanya mereka memperhatikan aku. Masa bodoh! Aku mendekat ketempat di mana tukang sayur berhenti. Tepatnya di depan pintu gerbang rumahku."Bang, Mau apelnya satu!" Aku menu
PoV Fardan"Ibu ... Ibu!" Aku berusaha mengejar Ibu yang kelaur dari kamarku. Dia sepertinya marah dan kesal karena mengira aku membela Amel. Nyatanya bukan begitu?Aku hanya tak mau mereka terus saja ribut. Kenapa sih, tak saling mengalah, menerima semua kelebihan dan kekurangan masing-masing! Ibu keras kepala, apa lagi Amel! Dia wanita yang tak mudah di salahkan.Lebih membuat aku segan, Ibu mengungkit tentang perjodohanmu dulu dengan anak temannya. Dia Janda beranak dua yang di tinggal mati suaminya yang kaya raya. Mungkin sebab itulah Ibu terus memojokanku untuk menikah dengan Lira--Janda itu.Aku yang telah menaruh hati pada Amel hanya menuruti saja. Bukan mau, tapi lebih pada tak ingin mengecewakan ibu. Nyatanya memang Allah takdirkan aku berjodoh dengan Amel. Sekuat apapun ada saja jalannya."Bu, tolong maafkan Fardan. Bukan begitu! Aku tak bermaksud untuk membuat Ibu tersingung!" Aku memohon padanya. Ibu yang langsung mengemasi barang-barang kuhentikan.Bukan aku tak mengizink
Kepalaku sakit, rasanya pening sekali setelah tadi kutarik rambutku kencang. Aku ... Aku! Aku seperti orang gila. Apa benar aku sudah gila.Aku keluar dari kamar mandi dalam keadaan apa adanya. Bang Fardan menegur. Aku diam saja. Mungkin diam adalah jalan satu-satunya untuk terhindar dari keributan.Aku mulai hanyut dalam halusinasi, sering berfikir jika aku ingin melukai diri sendiri bahkan saat Zia rewel, ada dorongan juga untuk membanting atau mencekiknya. Beruntung aku segera sadar. Itu pasti setan yang selalu menggangguku. Astaghfirullah ... Astaghfirullah!Hanya kata itu yang bisa aku ucapkan saat bisikan bisikan itu kian menjadi mengangguku. Malam, siang bahkan pagi.Hari ini Bang Fardan pamit pergi keluar kota, aku senang. Setidaknya aku aman dari pertanyaan yang akhir-akhir ini membuat aku mengigau ketakutan. Aku takut, jika Bang Fardan menuntut kembali haknya dengan bringas seperti waktu itu. Aku masih trauma.Keberangkatan Bang Fardan aku antar hanya sampai dengan pintu ka
"Iya, ini Ibu Iryani bohong! Katanya Amel hanya malas-malasan. Nyatanya kita lihat sendiri, dia bahkan sampai gendong anaknya sambil bekerja begitu!" Seorang tetangga berkata, aku hanya tersenyum mengejek. Sekarang dia malu dengan ulahnya sendiri."Sebenarnya yang malas itu Ibu! Sudah tak mau mengendong cucunya ngga mau mengerjakan juga. Anaknya dan Ibunya cuma bisa makan dan tidur saja!" Kembali aku membalas suara. Biar saja dia malu! Salah siapa?Dia belum tahu lawannya. Amel tak akan tinggal diam ketika di tindas!Beberapa orang mengangguk, mereka setuju dengan ucapanku."Huh! Dasar mertua dzolim, udah begitu masih ngehibah dan memutar balik fakta!""Dasar Ibu mertua tak sayang menantu! Mel, kalau kamu sibuk, boleh titipkan Zia padaku. Aku mau kok di titipin bayi cantikmu. Secara aku ngga punya anak kecil, kangen anak-anak di masa dulu!""Iya, Mel. Kalau butuh bantuan, kabari kami!""Ayok kita pulang! Jangan lagi dengarkan Ibu Iryani bergosip berita hoax!"Mereka semua pergi mening
"Bang!" Panggilku ketika masuk kekamar. Bang Fardan tengah mengendong Zia."Ada apa, Mel?" tanyanya melihat aku yang masuk dengan tergoboh."Jawab jujur, Bang! Apa sebenarnya Abang sudah belikan aku perhiasan namun di berikan pada Ibu dan Farah?" Selidikku.Bang Fardan terlihat kelimpungan. Dia bahkan bibirnya akan mengucap namun belum juga keluar suara."Jawab, Bang? Jujur sama aku!" hardiku."I-iya, Mel. Ta-tapi tadi di minta mereka. Kamu jangan marah ya! Besok kita beli yang baru." Tanpa membalas perkataan Bang Fardan, aku melangkah keluar.Segera aku hampiri Ibu yang tengah berlenggak-lenggok."Kembalikan semua itu, Bu! Semua ini untukku, Bang Fardan yang sengaja membelikannya karena dia sudah janji saat berangkat!" Segera aku mengambil kotak perhiasan. Kalung dan gelang yang tengah sudah di pakai aku copot paksa."Apa-apaan?" tanya Farah yang melihat aksiku."Fardan! Tolong Ibu!" Ibu berteriak karena tak dapat melawan kebringasanku."Lepas, Mbak!" Farah membantu Ibu yang bersikuk