MasukWalaupun William telah mencecap hampir semua bentuk kesuksesan dalam kariernya, pria itu tidak pernah benar-benar bahagia.
Setiap kali mencoba menikmati hidup, selalu saja ada kejadian yang mengingatkan William dengan masa lalunya yang kelam. Membuatnya takut hingga berakibat gemetar sekujur tubuh, dan ujung-ujungnya kehilangan kendali; terkadang dia bertindak terlalu agresif, tidak stabil, seperti bajingan emosional yang butuh bantal pelampiasan.
Dan, traumanya lagi-lagi muncul ketika William mendengar kata-kata Lira di studio pagi itu;
“Mau tahu apa lagi yang bisa dilakukan anjing liar selain membantah perintah tuannya? Dia bisa berbalik menyerang dan menghabisi tuannya sampai hancur!”
William kehilangan kendali hanya beberapa detik setelah mendengar semburan kalimat Lira. Kepalanya sakit. Dia tidak ingat apa yang terjadi selanjutnya. Hanya merasa terancam dan ketakutan. Begitu sadar, tangannya sudah menampar pipi Lira begitu keras.
Gadis malang itu menatapnya dengan syok, lalu kabur keluar. Siapa pun pasti akan bertingkah sama. Memangnya siapa yang tidak terkejut bila melihat tuan rumah tiba-tiba bertindak seganas itu?
Setelah Lira pergi, William butuh waktu sejenak untuk meredakan gejolak paniknya. Biasanya dia harus meminum obat untuk menenangkan diri, tetapi saat ini obat itu tidak bersamanya. Jadi, dia hanya duduk di kursi studio sambil mengambil napas.
Manakala segalanya mulai tenang, William berencana untuk meminta maaf kepada Lira. Mungkin juga memeriksa wajahnya, karena William ingat kukunya sempat menggores pipi Lira saat dia menamparnya kelewat keras.
Namun, saat William hendak menemui Lira di air mancur taman, dia justru melihat sesuatu yang membuatnya semakin meradang.
Lira… tertawa bahagia, bersama asistennya sendiri.
Gadis itu tidak menangis kesakitan seperti yang dibayangkan William sebelumnya. Dan, fakta ini membuat William sedikit kecewa. Sia-sia saja dia menyempatkan diri untuk mengkhawatirkan Lira, gadis itu bahkan tidak merenungi perbuatannya sedikit pun!
Ditambah lagi, senyum Lira terlihat tulus dan tanpa beban. Padahal… Lira tidak pernah tersenyum seperti itu di hadapannya.
Betapa miris. William harus berjuang sendiri melawan iblis dalam dirinya, sementara Lira malah tertawa bersama asistennya. Apakah gadis itu tidak ingat tentang posisinya di rumah ini? Lira adalah gadisnya! Miliknya yang tidak boleh disentuh dan dibagi kepada siapa pun! William berhak memiliki semua yang ada pada Lira, termasuk senyum dan tawa cerianya yang jarang ada!
Tapi sekarang, Lira berani menunjukkan raut ceria itu di hadapan orang asing?!
BRAK! Bunyi hantaman punggung Lira ke dinding rumah kaca membakar kepuasan dalam diri William.
Gadis itu terus memukulnya, terutama setelah tudingan William perihal dirinya yang dikatakan bermain mata dengan Ringga.
“Anjing gila! Aku tahu kau buta, tapi bisa-bisanya kau menudingku menggoda Ringga dan—mmphh!”
William mendengar gadis itu melenguh dan memberontak seakan sangat tersiksa. Namun, dia tidak memedulikan semua itu. William mereguk bibir Lira dengan nafsu seperti binatang buas, menekan kedua tangannya dan menjepit bagian bawah Lira dengan lututnya.
‘Rasakan hukuman ini,’ William membatin puas, sementara Lira terus berusaha melepaskan diri. ‘Kau milikku. Milikku. Milikku.’ Berulang-ulang seperti mantra yang dinyanyikan orang mabuk.
Tenaga gadis itu terlalu lemah untuk bisa melawannya. Jadi, pada serangan akhir, Lira menggigit bibir William dengan keras.
William terkejut hingga menarik ciumannya.
Di tengah keadaan linglung dan kemarahan yang meletup-letup, pria itu menyeka darah di bibir bawahnya, seraya menatap wajah Lira.
“He-hentikan … kumohon ….”
Seketika, kesadaran menghantam William bagai godam.
Pria itu melepas cengkeramannya di leher Lira, lalu mundur dengan terhuyung. Perasaannya campur aduk. Kemarahan tadi melebur menjadi segenggam penyesalan yang tidak terobati.
Dia menatap Lira, pada pipinya yang basah karena air mata, pada wajahnya yang bersemu merah, dan pada tubuhnya yang gemetar.
Apa yang telah dia lakukan?
Sebelum William bisa mengatakan apa pun, perlahan Lira mendongak. Kegelapan dalam matanya menjeritkan seribu perasaan tersakiti, jijik, dan amarah yang meradang, seakan-akan pria di hadapannya adalah monster.
Tidak. William bukan monster. Dia tidak ingin menjadi monster. Namun, dengan semua perbuatan hina ini … bukankah dia layak disebut salah satunya?
Penyesalan itu menghajar William bagaikan tombak dari langit. Dengan sisa kekuatan dan harga diri, dia mencoba menjelaskan semua ini kepada Lira.
Akan tetapi, baru menyentuh pundak Lira sedikit―
PLAK!
“JANGAN SENTUH AKU!”
Gadis itu menepis tangannya dengan keras.
“Kau … kau bajingan …” maki Lira rendah seraya memeluk tubuhnya erat, sebuah pertahanan terakhir untuk melindungi dirinya dari sang penyerang—William.
Sadar bahwa tidak ada yang bisa dilakukan olehnya dalam situasi ini, William menggertakkan gigi. Sakit di kepalanya juga semakin menjadi-jadi sehingga rasanya William juga hendak roboh.
Lalu—
“Tuan, saya mendengar suara teriakan di sini dan—”
Kalimat Annalise terpotong saat menatap Lira yang menangis di hadapan William. Penampilan keduanya sedikit berantakan, dan kepalan tangan William serta pipi Lira yang basah menjadi jawaban baginya.
Sebelum bisa mengatakan apa pun, Annalise mendengar William berkata, “Bawa dia ke kamarnya.” Samar, tapi wanita itu bisa mendengar emosi tertahan dari suara majikannya itu.
Karena perintah telah diturunkan, Annalise segera melangkah maju, menghampiri Lira dan mendekap pundaknya, sebelum kemudian menuntun gadis itu keluar dari rumah kaca.
Ketika dua orang itu menghilang dari pandangan, William langsung merosot jatuh ke lantai rumah kaca. Napasnya tersengal-sengal, sampai dia harus melonggarkan kancing pada kemejanya.
Di saat itu, sesuatu tanpa sengaja bergelinding keluar dari kantong celananya. Benda itu bergulir beberapa saat sebelum berhenti, dan William meraihnya.
Itu … adalah krim luka yang dia bawakan untuk Lira.
Mencengkeram benda itu erat, William kemudian menghela napas panjang dan menengadah ke atas, pada langit-langit rumah kaca yang menampakkan awan mendung kusam di luar sana.
“Sialan.”
Sepertinya … bajingan sepertinya memang tidak cocok menjadi orang baik.[]
Koridor rumah sakit masih berbau alkohol dan disinfektan ketika Lira kembali dari mesin kopi otomatis. Gelas kertas yang ia genggam berembun hangat di telapak tangan—aroma kopi instan tercium samar. Ia menahan napas sejenak di depan pintu ruang rawat, mencoba menenangkan degup jantungnya yang sejak tadi tak bisa tenang.Ia membuka pintu perlahan.Dan dunia berhenti.“T-Tuan William…?”William duduk bersandar di ranjang, mata cokelatnya terbuka, tenang… hidup. Walau wajahnya pucat dan bibirnya kering, dia tersenyum kecil saat melihat Lira.“Lira.”Gelas kopi hampir terjatuh dari tangan gadis itu.“Ya Tuhan—Tuan!! Tuan bangun?! Kenapa bangun sekarang?! Maksudnya bukan kenapa—tapi—Tuan sadar?! Apakah Tuan merasa pusing? Apa Tuan haus? Apa saya harus panggil dokter? Atau—”“Lira.”William mengangkat tangan lemah, matanya mengerjap geli.“Pelan-pelan bicaranya. Aku hanya bangun dari pingsan, bukan kembali setelah diculik mesin waktu.”Lira memelototinya, kemudian tersenyum gemetar. “Saya…
Ruang rawat itu sunyi, hanya sesekali berbunyi pelan: beep… beep… beep… dari monitor detak jantung. Lampu redup membuat seluruh ruangan tampak lembut, namun tidak menenangkan. Lira duduk di kursi samping ranjang, kedua tangannya saling menggenggam erat seolah itu satu-satunya hal yang bisa menahan dirinya tetap utuh.William masih tidak sadarkan diri. Napasnya naik turun pelan melalui selang oksigen, wajahnya pucat namun tetap… luar biasa tampan.Lira mengembuskan napas yang tidak ia sadari sedang ia tahan. Tatapannya menelusuri garis rahang William yang tegas, turun ke leher, lalu kembali ke wajahnya. Untuk pertama kalinya sejak tragedi itu, ia memperhatikan William bukan sebagai korban luka… tetapi sebagai seseorang yang begitu—luar biasa tampan.Perasaan bersalah langsung menusuk dadanya.Namun ia tetap tidak bisa mengalihkan pandangannya.“Kalau Anda sadar… pasti Anda akan mentertawakan saya,” bisiknya lirih.Karena tidak ada siapa pun di ruangan itu, dan karena ia telah menangis
Sirene meraung dari kejauhan. Cahaya merah-biru menembus ventilasi ruang bawah tanah yang kelam sebelum akhirnya polisi menyerbu masuk melalui pintu sempit di ujung ruangan. “ANGKAT TANGAN! SEMUA BERHENTI DI TEMPAT!” Para kroni Darren yang tersisa langsung dikunci geraknya. Dua di antaranya mencoba kabur, namun ditangkap dengan cepat. Sementara itu, Darren—yang terhuyung-huyung dan juga merembeskan darah dari lengannya—melompat ke sisi ruangan, dengan gerakan gesit, menabrak polisi dengan keras dan langsung berlari naik ke pintu. “HEI! JANGAN BIARKAN DIA LARI!” Beberapa polisi mengejarnya seraya mengacungkan pistol, namun lorong sempit itu dipenuhi perkakas dan juga cukup gelap. Darren menghilang begitu cepat seperti bayangan yang menelan dirinya sendiri. “Target kabur!” salah satu polisi mengumpat, kemudian melapor pada perangkat komunikasinya, "Cegah dia di gang utama. Jangan sampai lolos!"Sementara kekacauan itu melebur menjadi sebentuk suara berisik, untuk Lira, semua suar
Begitu Darren ambruk di atasnya, Lira langsung meraup napas banyak. Gadis itu buru-buru bangkit seraya menendang Darren agar menyingkir dari tubuhnya, kemudian dia mendongak—di antara cengkeraman kegelapan, menatap seorang pria berdiri menjulang di hadapannya. Pria itu mengulurkan tangan pada Lira. "Akhirnya kau ketemu." "Tuan William!" Lira senang tidak terkira, kemudian segera memeluk William begitu erat. Tangisannya pecah seperti kembang api; gadis itu meraung di dada William sampai dadanya sakit. "Kau baik-baik saja? Apa orang-orang ini melukaimu?" William mengusap punggung Lira dengan tekanan lembut, seperti sedang menenangkan bayi. Lira akhirnya melepas pelukannya dan menatap William. "Saya lelah, Tuan.... saya...." "Ya, ya, maafkan aku. Jangan bicara dulu," William mengusap pundak Lira, kemudian menatap memicing pada bayangan gelap di ambang pintu bawah tanah. Sekelompok pria bersetelan hitam tahu-tahu membekuk mereka di tengah kegelapan. "Beraninya kau menyusup
"Sialan, si bajingan itu memakai jaketku tanpa izin!" Darren menyimpan serapah setelah membuang jaket miliknya yang tergantung di sofa ruang tengah. Olivia yang datang dari arah dapur menghampirinya sambil bergelayut manja di lengan Darren. "Siapa bajingan yang kau maksud, Sayang?" tanya Olivia. "Kemal. Siapa lagi? Jaketku bau busuk! Seperti bau badannya yang tidak mandi berhari-hari! Aku tidak sudi menggunakan pakaian itu lagi!"Olivia terkekeh, lalu memungut jaket itu dari lantai. "Sudah kubilang, bukan? Kalau kau datang kemari, jangan sesekali mengenakan pakaian bagus dan mahal. Kau menampung satu gelandangan dan satu orang kampung di sini. Aromamu yang mahal tidak cocok bersatu dengan mereka.""Yeah, tapi kau tahu aku harus berpakaian sempurna di mana pun. Lagi pula tempat ini adalah rumahku—markas rahasiaku! Aku bebas keluar masuk di dalamnya!" Darren mendekati Olivia dan mengusap pipi kekasihnya dengan lembut, kemudian dia menciumi bibir Olivia berkali-kali, membuat gadis itu
Mobil William memasuki halaman luas kediaman Archen. Pria itu turun dan melenggang menaiki undakan teras yang megah, dan begitu sampai tepat di depan ambang, pintu ganda yang terbuat dari kayu mahoni itu terbuka dari dalam. "Will, tidak kusangka kau akan datang menemuiku lagi." Tuan Archen menatap William dengan pandangan bingung sekaligus resah. Ada yang tidak beres dengan putranya kali ini. "Kau baik-baik saja, Will? Wajahmu pucat.""Ayah sudah mendapat kabar di mana Lira?" William tidak menanggapi segala pertanyaan yang menyinggung kondisinya. Saat ini ada urusan yang lebih penting: keberadaan Lira. Tuan Archen berdeham, kemudian mempersilakan William masuk. Selagi mereka berdua melangkah menuju ruang tamu, sang tuan besar menjawab, "Ada petunjuk kecil yang ditemukan salah satu anak buah, tapi itu belum cukup untuk mengetahui di mana Lira.""Petunjuk yang seperti apa?"Tuan Archen berbalik menghadap putranya. "Hari Kamis, sekitar tiga hari lalu, kami menangkap rekaman CCTV yang m







