LOGIN"Ya Tuhan, semoga ini cuma mimpi saja. Aku nggak bisa bayangin jika suamiku benar-benar berselingkuh, aku sedang berusaha untuk memberikan dia keturunan, apa mungkin dia sudah jenuh menunggu aku hamil? Aku sangat takut!" gumam Tasya yang hanya ditemani oleh dinginnya udara malam itu.
Mendadak, ia terkejut saat mendengar suara seseorang yang berada tidak jauh darinya. Suara seorang pria yang sangat ia kenali. "Kau ingin minum teh hangat? Aku sengaja buatkan kamu juga, mumpung tadi aku dari dapur, teh hangat sangat bagus untuk menghangatkan badan, kamu pasti suka. Bukankah ini minuman favoritmu saat kita sedang video call dulu, masih ingat?" Iya, suara itu adalah suara Kenny yang sedang membawa dua cangkir teh hangat, satu untuknya dan satu untuk Tasya. Tasya segera menoleh dan melihat wajah pria yang pernah mengisi hari-harinya itu sedang tersenyum hangat padanya. Senyuman yang sangat berbeda dari hari-hari kemarin, kali ini senyuman Kenny terlihat begitu dalam dan mendebarkan. "Kamu, Ken! Terima kasih banyak, tapi aku rasa kamu tidak usah repot-repot, sudah malam. Apa kamu tidak tidur? Lisa pasti sedang menunggumu di kamarnya!" jawab Tasya yang merasa tak enak hati, karena bagaimanapun juga Kenny adalah suami adik iparnya. "Dia sudah tidur, minumlah!" jawab Kenny sembari memberikan secangkir teh itu kepada Tasya. "Terima kasih!" Tasya menerimanya dan sejenak ia menundukkan wajahnya karena tak bisa menatap wajah Kenny terlalu lama. "Oh ya, kamu sendiri kenapa nggak tidur? Suamimu pasti nyariin kamu loh!" ucap Kenny balik bertanya. Tasya cuma tersenyum datar sambil menghela napas. "Mas Helmi sudah tidur, dan aku sendiri nggak bisa tidur. Jadi, aku sedang mencari angin segar, biar nggak bosan!" balas Tasya. "Dengan berada di sini? Di kolam renang ini? Di sini bukan udara segar lagi, Sya! Tapi udara dingin, bisa bikin kamu sakit. Angin malam kurang bagus untuk kesehatan. Kamu lihat sendiri, atapnya langsung menghadap langit, angin langsung masuk dan bisa membuatmu meriang dan masuk angin!" kata Kenny sambil menatap langit yang penuh bintang di malam itu. Keduanya sama-sama menatap ke atas, sungguh pemandangan bintang di malam itu sangat indah. Tidak seperti malam-malam, biasanya. Seolah-olah bintang-bintang sedang ikut menemani mereka malam ini. Saat Tasya menengok ke atas, Kenny menoleh ke arah wanita itu. Jarak keduanya hanya sekitar dua langkah. Terlihat sangat jelas wajah cantik Tasya yang masih menawan. Kenny tersenyum saat melihat anting yang dipakai oleh Tasya. Biasanya anting-anting itu tersembunyi di balik rambut yang menutupi sebagian wajah Tasya. Tapi kali ini Kenny bisa melihat dengan jelas anting-anting yang ia hadiahkan kepada Tasya saat gadis itu berusia tujuh belas tahun. "Kamu masih pakai anting itu?" Pertanyaan Kenny sontak membuat Tasya langsung memegangi telinganya. "Emmm... Ini...!" Tasya bingung harus menjawab apa karena entah kenapa ia sangat suka memakai anting itu. Kenny kembali tersenyum dan ia sangat senang jika Tasya masih memakai barang-barang pemberiannya yang menurutnya sangat sederhana. "Kau tahu, Sya! Dulu aku membeli anting-anting itu nunggu nabung dulu selama sebulan. Kau tahu aku sekolah sambil kerja di bengkel Mas Tirta, setiap aku gajian, aku selalu sisihkan uang untuk membeli anting itu buat kado saat kamu sweet seventeen, dan syukurlah akhirnya aku bisa membelinya. Terima kasih banyak kamu masih memakainya, aku pikir kamu pasti melupakan atau mungkin membuangnya!" ungkap Kenny teringat akan kerja kerasnya membelikan sang pacar kado. Tasya tersenyum dan bangga dengan Kenny. Ia tahu Kenny adalah cowok yang memiliki pengorbanan besar untuk orang-orang yang dicintainya. Itulah sebabnya Tasya jatuh cinta kepada sosok pemuda yang mandiri dan pekerja keras meskipun waktu itu Kenny masih sekolah. "Tidak mungkin aku membuangnya, Ken. Anting-anting ini modelnya cantik dan imut, meskipun kecil tapi aku suka banget, dan aku nggak akan melepasnya sampai kapan pun, karena aku tahu ada pengorbanan besar di balik anting-anting imut ini, yaitu pengorbananmu!" ucap Tasya. Mendadak suasana menjadi hangat dan jantung keduanya mulai berdetak kencang. "Ohhh astaga! Kenapa jadi nostalgia lagi, ya! Maaf jika aku mengingatkanmu tentang itu, aku tidak bermaksud apa-apa, semuanya sudah berlalu!" potong Kenny yang sadar jika obrolan mereka mulai berani membicarakan masa lalu di saat keduanya sudah sama-sama memiliki pasangan. "Ngomong-ngomong kenapa kamu belum hamil juga? Emmm maaf, maksudku kenapa kalian belum memiliki anak? Apa kalian sengaja menunda dulu atau gimana?" tanya Kenny mengalihkan pembicaraan. Tasya menundukkan wajahnya karena pertanyaan itu cukup membuatnya bersedih. Bagaimana tidak, sang ibu mertua selalu mendesaknya untuk segera hamil sedangkan suaminya justru tidak terlalu peduli, bahkan sekarang Helmi mulai berubah. "Belum rejeki aja. Ah sudahlah, tidak usah membicarakan itu lagi. Kamu sendiri, kenapa Lisa belum hamil juga? Padahal udah hampir setahun loh kalian nikah!" seru Tasya balik bertanya. Kini, Kenny yang menundukkan wajahnya. Setengah tahun Kenny dan Lisa tinggal di luar kota, dan baru setengah tahun mereka tinggal bersama Helmi karena permintaan sang Papa yang sedang sakit. Nyatanya sampai saat ini Lisa tak kunjung hamil. "Seperti jawabanmu, belum rejeki!" kata Kenny mengulangi lagi pertanyaan Tasya. "Kenapa nasib kita sama, ya? Rejekinya masih belum ada untuk mendapatkan anak!" jawab Tasya. Kenny tersenyum dan tiba-tiba pria itu berceletuk. "Hiya, entahlah. Apa mungkin karena bukan aku yang menjadi suamimu. Mungkin, jika kamu yang menjadi istriku, maka aku akan...?" Kenny tidak melanjutkan kata-katanya karena Tasya menatapnya dengan tajam. Seolah-olah pernyataan Kenny adalah sesuatu yang sensi-tif. "Akan apa??" sahut Tasya seolah sangat ingin tahu maksud ucapan pria itu. Kenny pun menatap wajah Tasya dan semakin mendekati wanita itu. BERSAMBUNGLisa tak percaya jika dirinya bertemu dengan Tasya dan Kenny lagi setelah belasan tahun mereka berpisah. Wanita itu mendadak menangis tatkala sang Mama, Nyonya Ana menceritakan tentang pertemuan mereka.Lisa sudah tidak bisa bergerak, hanya kedua matanya yang masih hidup. Sekujur tubuhnya penuh luka bakar karena mobil itu terbakar habis, bahkan pria pasangan Lisa yang merupakan ayah Grace, meninggal dunia.Lisa masih bersyukur diberikan kesempatan untuk hidup dan bertemu dengan Kenny dan Tasya. Entah kenapa, wanita itu merasa jika pertemuan itu adalah pertemuan akhir mereka."Mas Kenny, Mbak Tasya...!" Suara Lisa terdengar lemah memanggil Kenny dan Tasya. Keduanya mendekat dan berusaha untuk memberikan semangat kepada Lisa untuk bertahan dan sembuh."Hai Lisa, jangan banyak bergerak dulu, kamu harus istirahat!" ucap Tasya sambil menatap wajah Lisa yang pucat dan menitikkan air matanya."Mbak Tasya...!" Lisa menyebut nama mantan kakak tirinya dengan suara gemetaran."Jangan bicara dulu
"Kenny dan Tasya orang tuamu, Nak?" tanya Nyonya Ana hampir tak percaya. Namun, wajah Evan yang sangat mirip dengan Kenny, membuat wanita itu tidak bisa memungkiri nya."Iya, mereka orang tua saya. Memangnya kenapa, Bu? Ibu kenal sama mereka?" balas Evan balik bertanya."Bukan cuma kenal, tapi sangat kenal!" jawab Nyonya Ana. Lalu, wanita itu menceritakan semuanya tentang Kenny dan Tasya kepada Evan. Kisah masa lalu yang rumit dan tentunya membuat wanita itu sangat menyesal.Evan menghela napas panjang, akhirnya terjawab sudah kenapa Nyonya Ana menganggap wajahnya mirip dengan Kenny. Memang benar, Kenny sang Papa adalah mantan suami mamanya Ziva."Begitulah, Nak. Itu artinya aku sedang bertemu dengan putra mereka, kamu benar-benar mirip sekali dengan Papamu... Oh ya Tuhan, mimpi apa aku semalam, engkau mempertemukan aku dengan putra mereka lewat Ziva!" kata Nyonya Ana yang nampak begitu terharu sekaligus malu. Malu karena dirinya sekarang seperti ini."Papa dan Mama pasti senang kalau
"Oh nggak apa-apa kok, Nek. Kalau begitu, Ziva pergi dulu ke kamar, mau mandi!" kata gadis itu. Nyonya Ana menganggukkan kepalanya dan membiarkan cucunya pergi. Wanita itu menghela napas, dirinya sudah banyak berubah sejak divonis sakit stroke. Terkadang, wanita itu merasa sangat berdosa kepada Tasya yang dulu sering ia sakiti.Dirinya juga merasa apa yang terjadi pada putrinya adalah karma dari perbuatannya yang sudah membuat Tasya menderita.Sementara itu, Ziva segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Gadis itu merasa sangat kotor dan jijik pada dirinya sendiri. Entah bagaimana nasibnya nanti. Hidupnya sudah hancur, kesuciannya sudah ternoda meskipun Evan berkata akan bertanggung jawab.Sedangkan di luar, setelah Evan melihat kepergian Lisa. Pemuda itu pun berinisiatif untuk menemui Ziva yang saat ini sudah berada di dalam rumah.Terdengar suara orang yang sedang mengetuk pintu. Nyonya Ana yang saat itu sedang berada di ruang tamu, ia pun segera membukakan pintunya de
"Ziva, ya Tuhan. Tolong lindungi dia!" Evan masih mondar-mandir di depan rumah Ziva, pemuda itu sungguh tidak bisa meninggalkan Ziva dalam kondisi seperti itu. Gadis itu pasti sangat tersiksa. Baru saja ia kehilangan keperawanannya, kini ia harus mendapatkan siksaan dari ibu kandungnya. Di sisi lain, Nyonya Ana, yang sekarang sudah sedikit membaik kondisinya meskipun masih berada di kursi roda. Wanita itu muncul dari dalam rumah saat mendengar suara teriakan sang cucu. Wanita itu sangat menyayangi cucunya dan tidak suka jika Lisa terlalu berat menghukum gadis itu. "Lisa, berhenti!" Suara tegas Nyonya Ana seketika membuat Lisa menoleh dan menghentikan penyiksaannya kepada sang anak. "Kamu ini kenapa sihh? Ziva ini anakmu, kamu siksa dia seperti tawanan saja!" kata Nyonya Ana yang tak tega melihat sang cucu, ia pun memanggil gadis itu untuk memeluknya. "Ziva, sini, Nak!" Ziva yang semula meringkuk, pasrah dengan hukuman dari sang ibu, gadis itu pun segera menghampiri sang nenek ya
Lisa benar-benar melihat wajah Evan yang begitu mirip dengan Kenny. Ya, bak pinang dibelah dua. Sementara itu Evan, pemuda itu segera mengantar Ziva untuk bertemu dengan keluarganya dan tentunya pemuda itu memberanikan diri untuk mengatakan bahwa dirinya akan melamar Ziva. Ziva sendiri nampak takut saat akan menemui sang ibu. Ia tahu bahwa ibunya tidak akan mengampuninya. "Ayo, Va!" kata Evan saat melihat Ziva yang terdiam dan tidak mau melangkah. Sangat jelas terlihat di wajah gadis itu jika ia sangat ketakutan. "Lo jangan takut, ada gue di sini, semuanya pasti baik-baik saja, oke!" Evan berusaha untuk meyakinkan gadis itu. Ziva diantar oleh pemuda itu untuk menghadap Lisa yang nyatanya wanita itu memang sangat marah. Lisa menatap tajam ke arah keduanya, apalagi saat ia melihat putrinya yang ketakutan. Semakin ingin ia menghajar gadis itu. Di sisi lain, Ziva harus bersiap-siap untuk menerima hukuman dari ibunya. Meskipun ia sudah terbiasa mendapatkan hukuman dari Lisa,
Ziva langsung menjauh dari pemuda itu sambil meraih apa pun di sekitarnya untuk menutupi seluruh tubuhnya. Gadis itu spontan menangis dengan apa yang baru saja terjadi padanya. "Lo jahat, Van! Kenapa Lo lakuin ini ke gue!" rintih Ziva sambil menangis tersedu-sedu. Evan sendiri juga panik sekaligus bingung. Sejatinya ia tak ada niatan untuk melakukan hal itu. Tapi dorongan dari Ziva sendiri yang membuat pemuda itu khilaf. Pemuda itu juga merutuki perbuatannya yang sudah kelewatan. Bagaimana bisa ia tergoda untuk melakukan hal terlarang itu kepada teman sekolahan. "Oke, gu-gue minta maaf. Gue udah khilaf! Gue pasti tanggung jawab, gue janji!" jawab Evan dengan serius. Ziva masih menangis. Ia merasa kotor dengan dirinya sendiri. "Gue udah hancur, masa depan gue udah nggak berguna lagi!" kata Ziva yang begitu menyayat hati. "Enggak, Lo nggak bakalan hancur, Va. Gue pasti tanggung jawab, suer! Gue akan nikahin Lo, gue janji!" kata Evan makin serius. Ziva sendiri bingung harus







