LOGIN"Haruskah aku menjawabnya juga? Aku rasa kamu sudah tahu jawabanku!" balas Kenny yang kini hanya berjarak beberapa centimeter saja dari Tasya. Tasya langsung memalingkan wajahnya dan sedikit menjauhi Kenny.
"Sebaiknya kita tidak usah membahas ini lagi," potong Tasya, wanita itu tidak ingin menyalakan api asmara yang sempat padam karena saat ini dirinya telah bersuami. "Apa kamu bahagia hidup bersama Helmi? Apa Helmi bisa menerimamu apa adanya?" Pertanyaan itu tiba-tiba saja terucap dari bibir Kenny. "Kenapa kamu tanyakan itu?" Tasya membalas ucapan Kenny dengan menatapnya tajam. "Aku kan cuma tanya, harusnya kamu mengerti kenapa aku tanyakan ini, Sya! Apa kamu sudah lupa malam perpisahan sekolah kita melakukannya di rumah dengan sangat sadar dan tanpa paksaan, aku memilikimu malam itu!" terang Kenny tentang malam pertama mereka sebelum sah. Mendengar itu, seketika ingatan Tasya memutar kembali memori beberapa tahun silam saat mereka baru saja merayakan malam kelulusan SMA. Malam itu keduanya larut dalam suasana dan akhirnya hal yang seharusnya tidak boleh mereka lakukan kecuali dilakukan oleh suami istri terjadi juga. Tasya dan Kenny memang telah melampaui batas namun mereka melakukannya hanya sekali. Iya, sekali, tapi tidak bisa dilupakan dengan mudah. Wanita itu menelan ludahnya, wajahnya mulai panik dan kali ini ia merasa rapuh. Kenapa dirinya tidak menikah dengan Kenny yang jelas-jelas sangat mencintainya, kenapa jodohnya berubah menjadi Helmi, pria yang dulu sangat mencintainya tapi tidak untuk saat ini. Pertanyaan itu tiba-tiba memenuhi pikiran Tasya. "Sudahlah, aku mau ke kamar! Terima kasih banyak untuk tehnya!" Tasya mendadak memutuskan untuk pergi ke kamarnya. Ia meletakkan teh hangat itu di atas meja lalu ia segera pergi meninggalkan Kenny yang masih terpaku di sana. Pria itu terus memperhatikan kepergian Tasya, matanya tidak bisa berbohong jika rasa cinta itu masih ada. "Well, Tasya! Aku tahu betul sebenarnya kamu masih mencintaiku," gumam Kenny dengan senyum tipisnya. Rahang tegas itu mengerat seolah-olah ada sesuatu yang harus ia dapatkan kembali. Lalu, ia mengambil cangkir teh milik Tasya yang diletakkan di atas meja. Setelah itu, Kenny meletakkan cangkirnya sendiri dan mengambil cangkir teh milik Tasya. Kemudian, tanpa ada rasa jijik ia meminum cangkir teh bekas bi-bir Tasya dan menikmatinya. "Hmmm cinta itu memang gila, Tasya! Mungkin bagimu pertemuan kita ini sebuah kebetulan, tapi bagiku ini adalah kesempatan untuk mengambil cintaku yang hilang!" *** Keesokan harinya, semua keluarga berkumpul di ruang makan. Menikmati sarapan pagi sebelum semuanya kembali beraktivitas. Tampak Tasya duduk di samping sang suami, sedangkan Kenny duduk di samping Lisa. Tatapan mata Kenny langsung tertuju pada Tasya yang kebetulan duduk berhadapan. Pria itu tampak memberikan sedikit senyuman kepada kakak iparnya itu dan Tasya pun langsung membuang muka tak ingin suami dan mertuanya curiga. Sementara itu, ibu mertua Tasya, Nyonya Ana berkata kepada Tasya dengan sedikit sinis saat tahu Tasya makan dengan porsi sedikit. Tasya memang sedang menjalani diet karena berat badannya semakin hari semakin bertambah. "Tasya, bukannya kamu ini sedang menjalani program kehamilan, kenapa makanmu cuma sedikit? Kalau seperti ini, bagaimana bisa kamu cepat hamil?" ucap Nyonya Ana sedikit ketus. Tasya tersenyum dan berusaha untuk menjelaskan kepada ibu mertuanya. "Iya, Ma. Aku sedang menjalani diet Karbo, kata dokter nggak apa-apa kok, itu tidak akan mempengaruhi progam kehamilanku, Mama tidak usah khawatir!" jawab Tasya. Namun, rupanya penjelasan Tasya tidak diterima begitu saja oleh sang mertua. "Tidak usah khawatir katamu! Nggak usah alasan. Kamu ini udah jadi istri Helmi bukan cuma setahun, tapi hampir tiga tahun loh. Udah konsultasi ke dokter mana pun juga udah lama. Masa sampai sekarang nggak hamil-hamil juga. Jangan-jangan kamunya yang mandul!" hardik Nyonya Ana yang langsung menghakimi menantunya. Tuan William, sang suami yang lebih sabar tampak tidak suka jika istrinya bicara seperti itu kepada menantunya. "Jangan begitu, Ma. Siapa tahu saja memang mereka belum rejeki saja. Toh, dulu kita juga baru dua tahun, lalu Helmi lahir, sabar dong! Kita dukung saja anak dan menantu kita!" kata pria itu. "Nggak bisa gitu dong, Pa! Jangan samakan Mama dengan Tasya. Aku dulu emang sengaja menunda kehamilan karena aku masih terlalu muda waktu nikah sama kamu. Sedangkan Tasya, dia ini sudah cukup umur bahkan udah waktunya punya anak, tapi ya mungkin emang dia mandul aja jadi nggak bisa hamil!" lanjut Nyonya Ana tanpa perasaan. Tentu saja Tasya merasa bersedih dengan ucapan ibu mertuanya. Ia tak menyangka jika masalah dirinya yang belum bisa hamil membuat wanita yang dulu menyayanginya, kini berubah sinis padanya. "Kenapa Mama bilang begitu? Kata dokter kami berdua tidak ada masalah, mungkin Tuhan belum ngasih rejeki anak sama kami!" sahut Tasya yang sebenarnya sangat bersedih sang mertua bicara seperti itu. Di sisi lain, Helmi tidak membela istrinya sama sekali, pria itu justru sibuk melihat layar ponselnya sambil makan. "Jangan menyalahkan Tuhan. Kalau kamu nggak berusaha ya mana bisa kamu hamil. Kalau Helmi nggak mungkin yang mandul. Kebanyakan itu wanitanya yang bermasalah. Kalau begini terus, Mama yang malu. Punya mantu tapi nggak bisa ngelahirin anak, apa mungkin aku harus ganti mantu aja ya!" Sungguh, ucapan Nyonya Ana kali ini terlalu menyakitkan hati Tasya. Air matanya mulai mengembun dan tak lama butiran bening itu jatuh di pipinya. Sementara itu, Lisa, sang adik ipar yang melihat Tasya sedang menangis. Bukannya kasihan, justru ia ikut mengumpat sang kakak ipar. "Halah, lebay banget sih! Dibilangin gitu doang, mewek!" sungut Lisa kepada Tasya. "Lisa, kamu jangan bicara seperti itu, kasihan Mbak Tasya!" sahut Kenny yang merasa tak tega melihat Tasya diperlukan seperti itu oleh ibu mertua dan istrinya. Apalagi saat ia melihat reaksi Helmi yang dingin dan tidak peduli dengan perasaan istrinya. "Kamu kenapa sih, Mas! Emang bener kan aku ngomong. Mbak Tasya itu terlalu baperan. Mama ngomong bener kok. Harusnya Mbak Tasya tahu diri kalau dia emang nggak bisa ngasih keturunan buat Mas Helmi!" kata Lisa yang semakin membuat Tasya tidak sanggup lagi duduk di sana. Wanita itu pun langsung beranjak pergi ke kamarnya. "Hah, pasti ngambek. Kayak anak kecil!" umpat Lisa lagi saat Tasya pergi. Kenny terlihat makin kesal dengan sikap keluarga istrinya kepada Tasya. Ia pun tanpa sadar membalas perkataan Lisa dengan berbalik menuduhnya mandul. "Oh begitu, jika Mbak Tasya bisa seperti itu, itu artinya tidak menutup kemungkinan kamu juga mandul dong? Udah setahun lohh kita nikah. Masa kamu belum hamil juga?" Lisa langsung diskakmat oleh suaminya sendiri. Wanita itu pun tidak terima dengan ucapan suaminya. Ia langsung menyiram wajah Kenny dengan air minum sehingga membuat wajah pria itu basah kuyup. BERSAMBUNGLisa tak percaya jika dirinya bertemu dengan Tasya dan Kenny lagi setelah belasan tahun mereka berpisah. Wanita itu mendadak menangis tatkala sang Mama, Nyonya Ana menceritakan tentang pertemuan mereka.Lisa sudah tidak bisa bergerak, hanya kedua matanya yang masih hidup. Sekujur tubuhnya penuh luka bakar karena mobil itu terbakar habis, bahkan pria pasangan Lisa yang merupakan ayah Grace, meninggal dunia.Lisa masih bersyukur diberikan kesempatan untuk hidup dan bertemu dengan Kenny dan Tasya. Entah kenapa, wanita itu merasa jika pertemuan itu adalah pertemuan akhir mereka."Mas Kenny, Mbak Tasya...!" Suara Lisa terdengar lemah memanggil Kenny dan Tasya. Keduanya mendekat dan berusaha untuk memberikan semangat kepada Lisa untuk bertahan dan sembuh."Hai Lisa, jangan banyak bergerak dulu, kamu harus istirahat!" ucap Tasya sambil menatap wajah Lisa yang pucat dan menitikkan air matanya."Mbak Tasya...!" Lisa menyebut nama mantan kakak tirinya dengan suara gemetaran."Jangan bicara dulu
"Kenny dan Tasya orang tuamu, Nak?" tanya Nyonya Ana hampir tak percaya. Namun, wajah Evan yang sangat mirip dengan Kenny, membuat wanita itu tidak bisa memungkiri nya."Iya, mereka orang tua saya. Memangnya kenapa, Bu? Ibu kenal sama mereka?" balas Evan balik bertanya."Bukan cuma kenal, tapi sangat kenal!" jawab Nyonya Ana. Lalu, wanita itu menceritakan semuanya tentang Kenny dan Tasya kepada Evan. Kisah masa lalu yang rumit dan tentunya membuat wanita itu sangat menyesal.Evan menghela napas panjang, akhirnya terjawab sudah kenapa Nyonya Ana menganggap wajahnya mirip dengan Kenny. Memang benar, Kenny sang Papa adalah mantan suami mamanya Ziva."Begitulah, Nak. Itu artinya aku sedang bertemu dengan putra mereka, kamu benar-benar mirip sekali dengan Papamu... Oh ya Tuhan, mimpi apa aku semalam, engkau mempertemukan aku dengan putra mereka lewat Ziva!" kata Nyonya Ana yang nampak begitu terharu sekaligus malu. Malu karena dirinya sekarang seperti ini."Papa dan Mama pasti senang kalau
"Oh nggak apa-apa kok, Nek. Kalau begitu, Ziva pergi dulu ke kamar, mau mandi!" kata gadis itu. Nyonya Ana menganggukkan kepalanya dan membiarkan cucunya pergi. Wanita itu menghela napas, dirinya sudah banyak berubah sejak divonis sakit stroke. Terkadang, wanita itu merasa sangat berdosa kepada Tasya yang dulu sering ia sakiti.Dirinya juga merasa apa yang terjadi pada putrinya adalah karma dari perbuatannya yang sudah membuat Tasya menderita.Sementara itu, Ziva segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Gadis itu merasa sangat kotor dan jijik pada dirinya sendiri. Entah bagaimana nasibnya nanti. Hidupnya sudah hancur, kesuciannya sudah ternoda meskipun Evan berkata akan bertanggung jawab.Sedangkan di luar, setelah Evan melihat kepergian Lisa. Pemuda itu pun berinisiatif untuk menemui Ziva yang saat ini sudah berada di dalam rumah.Terdengar suara orang yang sedang mengetuk pintu. Nyonya Ana yang saat itu sedang berada di ruang tamu, ia pun segera membukakan pintunya de
"Ziva, ya Tuhan. Tolong lindungi dia!" Evan masih mondar-mandir di depan rumah Ziva, pemuda itu sungguh tidak bisa meninggalkan Ziva dalam kondisi seperti itu. Gadis itu pasti sangat tersiksa. Baru saja ia kehilangan keperawanannya, kini ia harus mendapatkan siksaan dari ibu kandungnya. Di sisi lain, Nyonya Ana, yang sekarang sudah sedikit membaik kondisinya meskipun masih berada di kursi roda. Wanita itu muncul dari dalam rumah saat mendengar suara teriakan sang cucu. Wanita itu sangat menyayangi cucunya dan tidak suka jika Lisa terlalu berat menghukum gadis itu. "Lisa, berhenti!" Suara tegas Nyonya Ana seketika membuat Lisa menoleh dan menghentikan penyiksaannya kepada sang anak. "Kamu ini kenapa sihh? Ziva ini anakmu, kamu siksa dia seperti tawanan saja!" kata Nyonya Ana yang tak tega melihat sang cucu, ia pun memanggil gadis itu untuk memeluknya. "Ziva, sini, Nak!" Ziva yang semula meringkuk, pasrah dengan hukuman dari sang ibu, gadis itu pun segera menghampiri sang nenek ya
Lisa benar-benar melihat wajah Evan yang begitu mirip dengan Kenny. Ya, bak pinang dibelah dua. Sementara itu Evan, pemuda itu segera mengantar Ziva untuk bertemu dengan keluarganya dan tentunya pemuda itu memberanikan diri untuk mengatakan bahwa dirinya akan melamar Ziva. Ziva sendiri nampak takut saat akan menemui sang ibu. Ia tahu bahwa ibunya tidak akan mengampuninya. "Ayo, Va!" kata Evan saat melihat Ziva yang terdiam dan tidak mau melangkah. Sangat jelas terlihat di wajah gadis itu jika ia sangat ketakutan. "Lo jangan takut, ada gue di sini, semuanya pasti baik-baik saja, oke!" Evan berusaha untuk meyakinkan gadis itu. Ziva diantar oleh pemuda itu untuk menghadap Lisa yang nyatanya wanita itu memang sangat marah. Lisa menatap tajam ke arah keduanya, apalagi saat ia melihat putrinya yang ketakutan. Semakin ingin ia menghajar gadis itu. Di sisi lain, Ziva harus bersiap-siap untuk menerima hukuman dari ibunya. Meskipun ia sudah terbiasa mendapatkan hukuman dari Lisa,
Ziva langsung menjauh dari pemuda itu sambil meraih apa pun di sekitarnya untuk menutupi seluruh tubuhnya. Gadis itu spontan menangis dengan apa yang baru saja terjadi padanya. "Lo jahat, Van! Kenapa Lo lakuin ini ke gue!" rintih Ziva sambil menangis tersedu-sedu. Evan sendiri juga panik sekaligus bingung. Sejatinya ia tak ada niatan untuk melakukan hal itu. Tapi dorongan dari Ziva sendiri yang membuat pemuda itu khilaf. Pemuda itu juga merutuki perbuatannya yang sudah kelewatan. Bagaimana bisa ia tergoda untuk melakukan hal terlarang itu kepada teman sekolahan. "Oke, gu-gue minta maaf. Gue udah khilaf! Gue pasti tanggung jawab, gue janji!" jawab Evan dengan serius. Ziva masih menangis. Ia merasa kotor dengan dirinya sendiri. "Gue udah hancur, masa depan gue udah nggak berguna lagi!" kata Ziva yang begitu menyayat hati. "Enggak, Lo nggak bakalan hancur, Va. Gue pasti tanggung jawab, suer! Gue akan nikahin Lo, gue janji!" kata Evan makin serius. Ziva sendiri bingung harus







