Share

Hasrat Istriku
Hasrat Istriku
Penulis: sherina vellyn

Malam Pertama

“Mama enggak lihat teman-teman kantor kamu. Kamu enggak mengundang teman-teman kantor kamu? Apa bos kamu juga enggak datang hari ini?”

Naya, pengantin wanita yang baru saja menikah di hari itu tampak masih mengenakan gaunnya di malam hari. Para tamu masih berdatangan, dan yang datang di malam hari adalah teman-teman suaminya. Yang membuatnya harus tetap menggunakan gaun resepsinya.

“Mereka datang, kok. Tadi siang, mereka semua datang. Bos enggak datang hari ini, karena katanya lagi sibuk,” jawabnya kepada sosok ibunya yang masih memperhatikan riasan putrinya itu.

Naya menghela nafasnya berat, dia terlihat waswas selama di sana. Seolah dirinya merasa tengah diawasi. Dia tampak tegang dan sama sekali tak menikmati acara yang berlangsung hingga malam.

Sosok suaminya mendekatinya, tersenyum manis memperhatikan pengantin wanitanya yang mulai menguap karena kantuk. Bahkan dia terkekeh meledeknya karena mengantuk.

“Ngantuk, ya?” tanya Ghiyas, sosok suaminya yang kini menatapnya dengan tatapan teduh.

Naya mengangguk dan tersenyum malu. Keduanya tampak serasi menjadi pusat pesta itu. Ibunya Naya tersenyum manis menggoda Naya yang tampak masih malu-malu pada suaminya itu.

***

Malam itu, malam pertama bagi pengantin baru. Di mana keduanya akan saling mendekatkan diri dan mengenal satu sama lain lebih intim. Di sebuah kamar hotel dengan semerbak harum dan dihias seindah mungkin untuk menciptakan nuansa romantis dengan warna merah dan putih.

Naya menatapi kasurnya yang ditaburi kelopak bunga, dibentuk love di sana. Naya mendecak kecil seraya memegangi keningnya. Padahal, dirinya ingin bisa langsung tidur saja malam itu.

“Nay?” Ghiyas melepaskan dasinya dan memperhatikan Naya dengan senyum semringahnya.

“Hm?” Naya langsung menoleh, dengan raut wajahnya yang terkesan malas dan tak bergairah.

“Kenapa? Pusing? Kok, lemes banget?” tanya Ghiyas agak khawatir karena Naya tampak tak senang, padahal ini hari pernikahannya dan ini malam yang seharusnya menjadi momen terbaik di hidupnya.

“Enggak,” jawab Naya seraya menggelengkan kepalanya pelan.

“Bersih-bersih dulu sana! Sebelum tidur, bersihkan dulu make-up, mandi dulu biar enggak terasa lengket!” ujar Ghiyas seraya memegangi bahunya Naya.

“Iya. Naya duluan ya, Mas?” Naya menganggukkan kepalanya dan meminta izin menggunakan kamar mandi lebih dulu dari suaminya itu.

“Iya.” Ghiyas menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, mengalah untuk Naya.

Setelah Naya keluar dari kamar mandi dan menggunakan sebuah piama berwarna merah, Naya duduk di sisi kasur dan menyingkirkan kelopak bunga yang mengganggunya sedari tadi. Hiasan handuk dengan bentuk angsa juga membuat Naya mendecak. Dia tampak tak senang.

Untuk mengalihkan perhatiannya dari rasa tak senang, Naya membuka handphonenya. Dan itu membuatnya bertemu dengan masalah baru di malam pernikahannya. Puluhan chat masuk sedari tadi, yang membuatnya segera menghubungi seseorang sambil bangkit dari duduknya.

“Halo? Kenapa? Ada apa? Sistemnya eror?”

Naya bergegas membuka tasnya, yang mana berisikan laptop. Sudah dia duga, jika dirinya pasti akan selalu membutuhkan laptop. Apa lagi, jika dirinya harus bekerja dadakan lagi seperti ini.

Gadis itu mengambil tempat di sebuah meja dan membuka laptopnya. Tangannya dengan cekatan mengutak-atik laptop dan juga handphonenya. Sesekali dia melihat laptop, dan sesekali handphone.

Ghiyas yang barus keluar dari kamar mandi memperhatikan Naya yang tampak serius di depan laptopnya. Ghiyas agak kaget karena Naya membawa laptop kerjanya. Dia mengenali barang itu.

“Nay? Enggak tidur? Bukannya tadi udah ngantuk?” tanya Ghiyas seraya menghampiri Naya.

“Enggak. Ada masalah di kantor. Mas bisa tidur duluan, Naya harus selesaikan ini sekarang.”

“Bukannya kamu dalam masa cuti nikah?” Ghiyas menatapi Naya dengan penuh keheranan.

Naya melirik ke arah Ghiyas sesaat. Dia kemudian tampak membeku untuk memikirkan jawaban atas pertanyaan Ghiyas itu. Memang, seharusnya sekarang dirinya dan Ghiyas bersenang-senang sebagai pengantin baru. Dan dirinya tak seharusnya bekerja di depan laptopnya.

“Ini masalah darurat. Kasihan team Naya, kalau enggak ada Naya. Secara, Naya bagian kepala team.”

“Tapi dalam masa cuti nikah kamu? Kamu kemarin bahkan masih kerja, padahal hari ini hari pernikahan kita, Nay. Dan malam ini kamu malah bekerja lagi?” Ghiyas mengernyitkan dahinya.

“Kan, Naya udah bilang, Mas. Ini darurat, ini di luar kendali.” Naya berusaha menjelaskannya.

“Tiga hari aja, Naya. Tiga hari kerja. Sebelum hari H, hari H, setelah hari H. Di tiga hari ini, kamu enggak bekerja sama sekali meski itu hari kerja, apa sulit? Ini pernikahan, Naya. Hal sakral yang harusnya jadi momen mengesankan dalam hidup kamu. Dan kamu masih menyempatkan waktu buat bekerja?” Ghiyas mendecak kecewa.

Naya balik mendecak. Naya lantas melepaskan kancing piamanya, yang membuat Ghiyas mengernyitkan dahinya melihat aksi Naya itu. Ghiyas memperhatikannya dengan bingung.

“Kamu ngapain?”

Naya berjalan ke kasur dan langsung berbaring terlentang. Seolah menyuguhkan seonggok daging di depan harimau. Dia menyajikan dirinya sendiri sebagai santapan bagi Ghiyas.

“Lakukan! Mas mau ini? Lakukan dengan cepat, habis ini Naya harus urus masalah kantor.”

Ucapan Naya terdengar menantang. Itu membuat Ghiyas mengernyitkan dahinya. Bukan ini yang dia harapkan dari Naya. Reaksi Naya yang dia harapkan adalah kata maaf dan kemudian menjelaskannya dengan keadaan dilema, kemudian mereka mencari solusi bersama dengan romantis.

“Kamu pikir pria akan berselera?” balas Ghiyas dengan perasaan sebal balik.

“Enggak mau? Ya udah.” Gadis itu langsung bangkut lagi dan menutup kancing piamanya.

Naya kembali lagi ke depan laptop dan kemudian melanjutkan tugasnya dengan serius. Sementara Ghiyas menolak pinggangnya seraya mendengus. Pria itu menatapi Naya dengan perasaan heran.

Yang dia kenal, Naya itu pendiam dan pemalu. Juga, dia terbilang ramah. Tapi malam ini, Naya terlihat ketus dan cuek. Apa mungkin karena sedang lelah dan kemudian ada masalah di kantor yang membuatnya gak bisa tidur setelah acara besar. Ghiyas bisa memakluminya jika memang demikian.

“Jangan tidur terlalu larut. Jangan terlalu memaksakan diri juga. Tidur kalau udah selesai!”

Ghiyas bicara dengan dingin, lantaran suasana hatinya juga memburuk karena perangai buruk Naya. Dia juga agak kaget jika Naya yang dikenalnya ternyata lain saat suasana hatinya buruk.

Sementara Naya menoleh ke arah Ghiyas, semula keningnya mengerut, namun kerutannya memudar. Naya memperhatikan Ghiyas yang berjalan ke kasur dan langsung membaringkan dirinya.

“Mas Agi!” panggil Naya sambil memperhatikan suaminya tersebut.

Ghiyas tak menyahut, namun dia menatap ke arah Naya sebagai responsnya. Dan Naya kemudian mendekatinya, dengan ragu-ragu dan perasaan yang tak menentu.

“Katanya ada—”

Naya kemudian mengecup pipinya Ghiyas.

“Maaf, soal tadi. Naya capek soalnya,” ucapnya dengan pelan.

Ghiyas tentunya termangu atas tindakan istrinya yang cekatan itu. Kelihatannya Naya sangat peka terhadap dirinya. Ghiyas kemudian tersenyum dan menggelengkan kecil sebagai tanda dirinya tak keberatan soal yang tadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status