Share

Bab 15

last update Last Updated: 2025-10-09 22:50:05

“Shan, kamu sudah siap?”

Suara Arion terdengar dari dapur, bernada cerah saat ia menutup tas ranselnya.

Shana keluar dari kamar, rambutnya diikat setengah dengan longgar, wajahnya tampak polos tapi tanpa ekspresi, seolah jiwanya masih tertinggal di dalam kamar.

“Sudah. Aku jalan duluan, ya.”

Alis Arion bertaut, sebuah kerutan kecil muncul di dahinya. “Lho, kan bareng aja seperti biasa?”

“Tidak usah. Aku ingin jalan santai duluan,” balas Shana.

Nada suaranya datar, namun cukup dingin untuk membuat pagi yang seharusnya damai itu terasa janggal.

Arion terdiam. Sejak insiden keributan di kampus kemarin—saat ia bereaksi berlebihan dan tanpa sengaja menahan mahasiswa yang hampir terlibat—Shana memang berubah. Ia menjadi lebih pendiam, dan yang paling menyakitkan, lebih menjaga jarak.

Sepanjang hari di kampus, suasana terasa ganjil, diselimuti keheningan yang tak terucap.

Shana memilih duduk agak jauh saat di kelas. Setiap kali Arion menoleh, pandangannya cepat berpaling, seolah takut kontak
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Hasrat Kakak Tiri   Bab 27. Ternyata Arion Itu...

    Dengungan mesin mobil seharusnya menenangkan. Setidaknya, seharusnya begitu. Tapi malam itu, suara halus di kabin justru terdengar seperti dengung yang terus-menerus mengingatkan Arion betapa bodohnya ia baru saja bertindak.Ia membiarkan pandangannya menyusuri jalanan kota yang sudah mulai lengang. Lampu-lampu jalan memantul di windshield mobil, berkelebat seperti kilatan-kilatan ingatan yang harusnya sudah ia kubur. Hawa dingin AC membuat kulitnya mati rasa, tapi batinnya justru terasa terbakar, panas sekali.Kenapa aku harus menuruti perasaan itu lagi? Kenapa aku gak bisa belajar?Tangan kirinya mencengkeram setir, sementara tangan kanan bertumpu di kusen jendela. Masih ada aroma tipis parfum Naya yang menempel di ujung kemejanya, sebuah sisa yang membuat dadanya sesak—mengingatkannya pada sesuatu yang seharusnya sudah ia tinggalkan jauh di belakang.Ia memejamkan mata sebentar. Dalam gelap yang singkat itu, wajah Shana langsung melintas. Wajah yang lembut, tenang, dengan sepasang

  • Hasrat Kakak Tiri   Bab 26. Kopi Yang Tak Pernah Diminum

    Lampu ruang tamu apartemen terasa terlalu terang, memaksakan keberadaannya saat malam sudah mencapai puncaknya. Jam di dinding menunjukkan pukul 00:15.Di meja kaca itu, uap dari cangkir kopi telah lama menghilang, meninggalkan sisa aroma pahit yang kini terasa menusuk hidung Shana, mengingatkannya pada kekosongan.Shana duduk bersandar di sofa, badannya lelah namun pikirannya terlalu bising untuk tidur. Ponsel di tangannya menampilkan layar pesan yang sama, yang telah ia buka dan tutup puluhan kali.“Kakak kapan pulang? Kopi buatan aku udah dingin.”Sudah dua jam sejak pesan itu terkirim, dan hanya ada centang satu, yang berarti pesan itu belum sampai, atau mungkin, ponsel Arion mati. Yang jelas, tidak ada balasan. Tidak ada tanda dibaca.Awalnya, ia bisa merasionalisasi. Arion mungkin lembur. Ia mungkin ketiduran di kantor setelah hari yang panjang. Tapi semakin larut, alasan itu terasa seperti selimut tipis yang gagal menutupi hawa dingin yang mulai menjalar di hatinya.Bukan karen

  • Hasrat Kakak Tiri   Bab 25. Keheningan Yang Mengancam

    Cahaya kuning yang remang dari lampu di sisi ranjang memantul lembut pada dinding kamar hotel. Udara terasa hangat, sedikit membebani—seolah baru saja menahan terlalu banyak napas dan emosi.Arion masih duduk di tepi ranjang, dengan punggung yang sedikit membungkuk dan rambut yang tidak tertata. Di belakangnya, Naya berbaring, setengah tubuhnya diselimuti seprai putih.Keheningan merayap dan bertahan lama. Hanya terdengar suara detak jarum jam yang memecah kesunyian panjang di antara mereka.Naya akhirnya bersuara pelan, nyaris berupa gumaman."Apa sekarang kamu sudah plong?"Arion tidak langsung menjawab. Pandangannya kosong, tertuju ke jendela, di mana tirai bergoyang pelan tersentuh hembusan pendingin ruangan."Aku tidak tahu," jawabnya pada akhirnya. "Mungkin justru semakin kalut."Naya bangkit, duduk di belakangnya. Ujung jarinya menyentuh punggung Arion, sebuah sentuhan yang sangat perlahan—seolah ingin memastikan keberadaan sesuatu yang nyata."Kalut karena aku, atau karena dir

  • Hasrat Kakak Tiri   Bab 24. Que Sera Sera

    Uap hangat dari kamar mandi merayap keluar, memenuhi udara kamar hotel dengan aroma sabun dan lembap.Arion masih duduk di tepi ranjang, ponsel tergenggam di tangannya. Pesan dari Shana masih terpampang di layar — pendek, sederhana, tapi menohok di hati.“Kakak kapan pulang? Kopi buatan aku udah dingin.”Ia menatap kalimat itu lama. Setiap huruf terasa seperti beban yang menekan dada. Ada kehangatan di situ — kehangatan yang justru membuatnya semakin sulit bernapas.Pintu kamar mandi terbuka. Naya keluar, mengenakan jubah putih hotel, rambutnya masih basah meneteskan air.Ia berjalan perlahan ke arah Arion, tanpa bicara. Setiap langkahnya terdengar jelas di antara dengung pendingin ruangan.“Masih kepikiran, ya?” suara Naya tenang tapi menusuk.Arion menatapnya sekilas, lalu meletakkan ponselnya di meja. “Nggak, cuma… mikir sesuatu.”Naya tersenyum samar, tapi matanya tajam. “Sesuatu, atau seseorang?”Arion tidak menjawab. Ia tahu, dalam setiap jeda, dalam setiap diam, Naya bisa memba

  • Hasrat Kakak Tiri   Bab 23. Tak Terelakkan

    Suara “bip” pelan terdengar saat kartu kunci disentuhkan ke pintu.Lampu indikator hijau menyala, diikuti suara mekanis kunci terbuka.Arion mendorong pintu dengan gerakan yang tidak hanya malas, tapi ragu-ragu. Tubuhnya terasa berat, seolah setiap otot menolak masuk ke ruangan itu.Kamar hotel itu tenang. Aroma pengharum ruangan yang lembut, khas hotel bintang empat, menyeruak, bercampur dengan udara dingin yang tajam dari pendingin ruangan yang sudah menyala.Naya masuk lebih dulu, bergerak cepat dan familiar. Ia melepas jaket kulitnya, melemparkannya ke sofa, dan meletakkan koper kecilnya dengan hentakan samar di sudut ruangan.Ia berputar, menatap Arion yang masih berdiri mematung di depan ambang pintu, seperti ada medan magnet yang menahannya di luar.“Masuklah, Rion. Kamu berdiri di situ kayak patung lilin yang takut mencair.”Arion menutup pintu pelan, sebuah penutupan yang terdengar final. Ia tidak menjawab. Matanya berkeliling panik, mencari objek netral untuk dijadikan fokus

  • Hasrat Kakak Tiri   Bayangan di Bandara

    Malam turun perlahan, bukan lagi selimut tebal, melainkan tirai kelabu yang perlahan menelan sisa-sisa cahaya kota. Lampu-lampu jalan memantul lemah di aspal yang baru saja diguyur hujan, menciptakan jejak yang seolah tak berujung.Arion berdiri di depan jendela, memandangi kilau air yang mulai surut, tapi pikirannya justru semakin kusut. Di luar, tetesan terakhir hujan jatuh dengan suara tik-tik yang ritmis, seperti detak jam yang menghitung mundur.Pesan di ponselnya masih menyala di layar, dengan cahaya yang terasa menusuk mata:“Aku sudah di bandara. Jemput aku.”Satu kalimat yang sederhana — sebuah palu yang menghantam dinding pertahanan yang telah ia bangun mati-matian. Rasanya seperti membuka paksa kotak Pandora yang seharusnya tetap terkunci rapat.Arion menatap layar itu lama, seolah dengan kekuatan tatapannya ia bisa membuat pesan itu menguap menjadi debu. “Kenapa harus sekarang…” gumamnya, suaranya tercekat dan terasa asing di telinganya sendiri.Ia memejamkan mata, menekan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status