Mag-log inPagi berikutnya, Shana bertingkah seolah tidak ada yang terjadi. Ia duduk di meja makan dengan kaus kebesaran Arion yang kini menjadi seragamnya, mengunyah roti panggang sambil menonton drama di ponselnya. Suara tawa ringannya terdengar normal, seolah tidak ada bisikan ketakutan yang keluar dari bibirnya semalam, seolah ia tidak pernah menjadi sosok yang rapuh dan misterius di hadapan Arion. "Kak, aku mimpi aneh deh semalam," katanya ringan, tanpa menoleh.
Arion yang sedang menuang kopi ke cangkirnya, menegang. "Mimpi apa?" tanyanya, suaranya berusaha terdengar sesantai mungkin, tapi tangannya terlihat sedikit gemetar.
"Hmm… nggak jelas sih. Tapi kayaknya ada seseorang yang ninggalin aku. Rasanya… nyesek banget." Shana menghela napas, lalu terkekeh pelan. "Untung cuma mimpi, ya?"
Arion menatapnya lama, wajahnya tetap dingin, namun di balik tatapan itu, ada gejolak yang tak bisa ia bendung. Ia tahu ini bukan sekadar mimpi. Ada sesuatu di balik kata-kata itu yang terasa begitu nyata, begitu menusuk. Seolah itu adalah bagian dari dirinya yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia kembali ke kamarnya tanpa sepatah kata. Langkahnya terasa berat, seolah ada beban tak kasat mata yang mulai menindih pundaknya. Ia merasa, ada sesuatu yang mulai berubah di dalam dirinya, sesuatu yang tidak lagi teratur, tidak lagi sesuai dengan rencananya.
Siang itu, Arion mencoba fokus pada skripsinya. Tapi sebuah pemandangan aneh menarik perhatiannya. Shana sedang duduk di ruang tamu, bukan menonton drama, tapi membolak-balik buku-buku tebal Arion. Tepatnya, sebuah buku tentang psikologi klinis yang ia gunakan untuk penelitiannya. Raut wajah Shana serius, jari-jarinya menelusuri setiap halaman seolah mencari sesuatu. Ia terlihat sangat fokus, berbeda dari Shana yang ceria dan berisik.
"Ngapain kamu?" tanya Arion, suaranya mengandung nada curiga.
Shana tersentak. Ia buru-buru menutup buku di tangannya, wajahnya sedikit memerah, seperti tertangkap basah. "Nggak ngapa-ngapain, Kak. Cuma baca-baca aja. Keren juga ya, buku-buku Kakak ini. Ternyata berat banget isinya."
"Kamu nggak bisa baca buku orang tanpa izin." kata Arion dingin.
"Ih, pelit banget sih!" Shana mengembalikan buku itu ke rak, menaruhnya dengan sedikit tergesa-gesa. Arion melihat seulas senyum samar di bibirnya, seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Ia tidak peduli. Ia kembali ke kamarnya dan mencoba kembali ke rutinitasnya. Namun, rasa penasaran itu menggerogoti pikirannya. Kenapa dia membaca buku itu? Apa yang dia cari?
Arion membiarkan rasa penasaran itu mengendap, mencoba untuk mengabaikannya. Sepanjang sore, Shana kembali menjadi tornado kecil yang berisik. Ia menyalakan musik pop, memasak ramen dengan suara berisik, dan berceloteh tanpa henti. Arion mencoba mengabaikannya, namun di luar kesadarannya, ia mulai terbiasa dengan suara itu. Apartemennya tidak lagi sunyi, tapi juga tidak terasa kosong. Ada kehidupan, betapa pun kacau dan mengganggunya.
Malam harinya, apartemen kembali hening. Arion bersyukur Shana akhirnya tidur lebih awal. Ia menutup laptop, merapikan meja, dan bersiap ke kamar. Tapi tepat pukul dua dini hari, Arion terbangun. Ada hawa dingin. Firasat buruknya kembali datang. Ia langsung tahu apa yang terjadi. Ia menoleh, dan matanya langsung menyipit. Kali ini, Shana tidak ada di ranjangnya. Pintu kamarnya terkunci, sama seperti malam-malam sebelumnya.
Lalu, ke mana dia?
Jantung Arion berdebar kencang. Ia bangkit, keluar dari kamar, dan berjalan pelan ke kamar Shana. Pintu kamar Shana tertutup rapat. Arion menempelkan telinganya ke pintu. Ada suara samar, seperti bisikan, dari dalam. Bukan bisikan tidur, tapi bisikan yang penuh ketakutan.
"Jangan… jangan datang… aku mohon…"
Itu suara Shana. Tapi suaranya terdengar ketakutan yang nyata, bukan bisikan samar yang ia dengar saat Shana sleepwalking. Arion panik. Ia mencoba membuka pintu, tapi terkunci dari dalam.
"Shana? Kamu baik-baik aja, kan?" panggilnya, suaranya keras, mencoba menembus pintu.
Tidak ada jawaban. Yang terdengar hanya bisikan-bisikan aneh yang tak jelas, diselingi isakan pelan. Arion panik. Ia mundur, memikirkan cara mendobrak pintu. Pikirannya melayang pada malam pertama, saat Shana membisikkan kata-kata yang sama. Bisikan itu terasa bagai belenggu yang mengikatnya, mencegahnya pergi.
Ia mendengar suara langkah kaki yang berat dari dalam. Suara itu bergesek, seolah Shana sedang menyeret sesuatu. Arion tertegun. Ia membiarkan kepanikannya mengendap, mencoba mendengarkan lebih jelas. Langkah itu bukan langkah normal, melainkan langkah yang terhuyung, seolah Shana sedang berjuang. Lalu, terdengar suara benda jatuh yang lebih berat dari teko yang pecah kemarin.
"Shana!" teriak Arion. Ia mendorong pintu dengan seluruh kekuatannya. Pintu itu bergetar, tapi tidak terbuka. Arion tahu ia harus mendobraknya. Ada sesuatu yang tidak beres di dalam sana. Tepat saat ia akan melakukannya, suara itu berhenti. Sunyi. Hening. Arion menempelkan telinganya lagi. Tidak ada suara. Ia menunggu. Lima menit. Sepuluh menit. Hening. Apakah Shana tertidur? Apakah ia bermimpi?
Rasa frustrasi merayap di benak Arion. Ia tidak bisa begitu saja mendobrak pintu, bisa-bisa ia membangunkan Shana dan mempermalukannya. Namun, ia tidak bisa mengabaikan bisikan-bisikan ketakutan yang ia dengar.
Ia kembali ke kamarnya. Ia tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh suara bisikan yang ketakutan. Ada apa dengan Shana? Apa yang dia sembunyikan dariku? Ia menatap buku psikologi klinisnya yang ada di meja belajar, lalu matanya beralih ke pintu kamarnya. Pintu yang ia kunci setiap malam, untuk melindungi dirinya dari Shana. Namun kini, ia mulai bertanya-tanya, apakah ia mengunci pintu untuk melindungi dirinya, atau Shana?
Tepat sebelum ia memejamkan mata, ia mendengar bunyi gesekan pelan dari luar. Arion membuka mata. Suara itu bukan dari pintu kamar Shana, melainkan dari pintu utama apartemen. Pintu terkunci, kan?
Arion bergegas ke ruang tamu. Ia melihat Shana, dalam balutan jaket tebal dan celana jins, berdiri di dekat pintu utama. Punggungnya menghadap Arion, tangannya gemetar memegang kunci apartemen.
"Shana?" panggil Arion, suaranya rendah dan penuh ketegangan.
Shana terlonjak. Ia membalikkan badan, senyum kecilnya terlihat canggung. "Kak Arion? Kok belum tidur?"
Arion tidak menjawab. Ia menatap kunci di tangan Shana. "Mau ke mana kamu selarut ini?"
Shana menunduk, menggenggam erat kunci itu. "Aku... aku cuma mau ke luar sebentar, Kak. Cari angin."
Alasan itu terdengar konyol. Angin? Di tengah malam buta, di tengah apartemen yang terkunci rapat? Arion tidak percaya. "Apa yang terjadi di kamarmu?"
Shana mengangkat bahu. "Nggak ada apa-apa kok. Kakak salah dengar mungkin."
Arion melangkah mendekat, matanya menajam. "Kamu bohong!"
Shana menatapnya, matanya berkaca-kaca, memperlihatkan kekecewaan yang mendalam. "Aku nggak bohong, Kak, sumpah."
Namun ia tahu Shana berbohong. Ia bisa melihat rasa takut di mata Shana yang berusaha keras untuk disembunyikan. Ada sesuatu yang sangat serius sedang terjadi. Dan kini, ia tahu Shana tidak hanya mengganggu rutinitasnya. Gadis itu membawa rahasia gelap ke dalam hidupnya. Dan entah kenapa, Arion merasa ia harus mencari tahu, tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk Shana.
Tiba-tiba, ponsel Shana yang ia sembunyikan di saku jaketnya bergetar. Layarnya menyala, memancarkan cahaya merah yang sama seperti yang Arion lihat di malam sebelumnya. Shana cepat-cepat menyembunyikannya, tapi tidak cukup cepat. Arion melihatnya. Sebuah pesan singkat, tapi isinya membuat seluruh tubuhnya membeku.
"Dia sudah datang. Cepat pergi, sekarang."
Arion menatap mata Shana yang kini penuh ketakutan, lalu beralih menatap pintu yang terkunci. Ia menduga, ada seseorang di luar sana, mungkin kini sedang menunggu Shana. Tapi siapa? Untuk apa?
Cemas dan tak sabar, Naya mondar-mandir di depan Apartemen Arion. Hatinya sudah bertekad untuk menyerah dan pergi, namun tepat saat dia membalikkan badan, sosok Arion sudah terlihat, melangkah mendekat dan memecah kebimbangan hatinya.Arion tidak mengatakan apa-apa. Matanya, gelap dan Nampak begitu lapar, terpaku tajam pada mata Naya. Dalam satu gerakan kuat, dan tanpa jeda, dia menghapus jarak di antara mereka. Tangannya, begitu kokoh dan meyakinkan, melesat di bawah paha Naya dan mengangkatnya seolah Naya hanyalah selembar kapas. Sebuah tarikan napas terkejut meluncur dari bibirnya saat dunia terasa miring, dan sedetik kemudian, dia sudah terdekap erat di dada Arion, lengannya secara naluriah melingkari leher kokoh pria itu."Arion? Apa yang kamu—?"Arion membungkamnya hanya dengan pandangan, tatapannya menyala-nyala dengan intensitas yang Naya selalu rindukan. Dia membawanya lalu menurunkannya ke bantalan empuk sdi sebuah sofa besar. Dia menjulang di atas Naya,"Aku ingin mengulan
Arion terdiam. Keheningan yang tiba-tiba terasa tebal, membekukan jarak di antara mereka. Hanya ada irama lembut sendok Shana yang menyentuh porselen cangkir, seolah gadis itu sedang mengukur waktu. Shana menunduk, matanya terpaku pada kopi yang permukaannya kini mulai mengilap dan mendingin.“Shana…” Suara Arion keluar, sangat perlahan, lebih mirip hela napas yang takut merusak kerapuhan suasana.Shana tidak langsung menoleh. Ia menarik napas, mengatur detaknya yang memburu, mati-matian menahan agar suaranya tidak bergetar. “Tadi aku lihat nama itu muncul di ponsel Kakak.”Arion menelan ludah. Rasa pahit yang tak terhindarkan menjalar di tenggorokannya. Ia tahu, persis ke mana arah percakapan ini akan membawa mereka.“Siapa Naya?” tanyanya akhirnya. Bukan dengan amarah yang meledak, melainkan nada ingin tahu yang mendalam, tapi dengan hati yang sudah siaga menerima luka.“Dia… seseorang dari masa lalu,” jawab Arion, nadanya datar dan penuh kehati-hatian.“Masa lalu yang datang sampai
Arion tidak segera bergerak. Ponselnya masih bergetar di genggamannya, denting notifikasi yang terasa seperti memaku dirinya pada jok mobil. Layar akhirnya padam, menyisakan kegelapan yang terasa dingin, tapi pesan itu sudah terukir permanen di benaknya.“Kak… kita bisa ketemu sebentar? Aku cuma mau nanya sesuatu. Aku nunggu di kafe dekat apartemen, ya.”Ia mendongak, menatap ke luar jendela mobil. Hujan memang sudah berhenti, namun aroma tanah basah dan sisa air di kaca depan, yang membiaskan lampu jalan menjadi bayangan kabur, seolah adalah gambaran dari jiwanya sendiri: basah, suram, dan tidak jelas.“Kenapa harus sekarang, Shana…” desisnya, suaranya nyaris hilang dalam keheningan mobil.Ia menjambak rambutnya dengan kedua tangan, tekanan itu tidak cukup untuk mengusir rasa sesak yang merayap dari dada. Kata-kata Raka berputar menjadi bisikan menuduh di telinganya: ‘Kamu memanfaatkan kepolosan dia untuk jadi terapi pribadimu.’Sial. Itu benar.Shana adalah sinar yang ia gunakan unt
Hujan baru saja reda ketika Arion menyalakan mesin mobilnya. Sisa air masih menetes dari atap parkiran, menimbulkan suara lembut seperti bisikan. Lampu dashboard menyala redup, menyoroti wajahnya yang tampak tenang dari luar — tapi di baliknya, pikirannya riuh, penuh suara yang saling bertabrakan. Ia menatap layar ponsel.Pesan dari Raka masih terbuka.“Kita harus ketemu. Hari ini. Cukup.”Arion memijat pelipisnya. Kata 'cukup' itu terasa seperti ancaman. Seperti sebuah alarm peringatan yang tak bisa ia matikan. Ia menutup mata sejenak, menghela napas yang panjang dan berat.“Capek…,” gumamnya lirih, nadanya hampir patah. “Capek jadi orang baik cuma di permukaan, seolah-olah sudah sembuh.”Ia membuka mata, menatap pantulan wajahnya di kaca depan, tampak rapi, dingin, teratur. Tapi ia tahu persis, di balik kerapihan itu, tersembunyi seseorang yang dulunya kacau. Seseorang yang sudah terlalu sering menipu, menaklukkan, lalu meninggalkan.Ketukan di jendela memecah lamunannya.Raka berdi
Dengungan mesin mobil seharusnya menenangkan. Setidaknya, seharusnya begitu. Tapi malam itu, suara halus di kabin justru terdengar seperti dengung yang terus-menerus mengingatkan Arion betapa bodohnya ia baru saja bertindak.Ia membiarkan pandangannya menyusuri jalanan kota yang sudah mulai lengang. Lampu-lampu jalan memantul di windshield mobil, berkelebat seperti kilatan-kilatan ingatan yang harusnya sudah ia kubur. Hawa dingin AC membuat kulitnya mati rasa, tapi batinnya justru terasa terbakar, panas sekali.Kenapa aku harus menuruti perasaan itu lagi? Kenapa aku gak bisa belajar?Tangan kirinya mencengkeram setir, sementara tangan kanan bertumpu di kusen jendela. Masih ada aroma tipis parfum Naya yang menempel di ujung kemejanya, sebuah sisa yang membuat dadanya sesak—mengingatkannya pada sesuatu yang seharusnya sudah ia tinggalkan jauh di belakang.Ia memejamkan mata sebentar. Dalam gelap yang singkat itu, wajah Shana langsung melintas. Wajah yang lembut, tenang, dengan sepasang
Lampu ruang tamu apartemen terasa terlalu terang, memaksakan keberadaannya saat malam sudah mencapai puncaknya. Jam di dinding menunjukkan pukul 00:15.Di meja kaca itu, uap dari cangkir kopi telah lama menghilang, meninggalkan sisa aroma pahit yang kini terasa menusuk hidung Shana, mengingatkannya pada kekosongan.Shana duduk bersandar di sofa, badannya lelah namun pikirannya terlalu bising untuk tidur. Ponsel di tangannya menampilkan layar pesan yang sama, yang telah ia buka dan tutup puluhan kali.“Kakak kapan pulang? Kopi buatan aku udah dingin.”Sudah dua jam sejak pesan itu terkirim, dan hanya ada centang satu, yang berarti pesan itu belum sampai, atau mungkin, ponsel Arion mati. Yang jelas, tidak ada balasan. Tidak ada tanda dibaca.Awalnya, ia bisa merasionalisasi. Arion mungkin lembur. Ia mungkin ketiduran di kantor setelah hari yang panjang. Tapi semakin larut, alasan itu terasa seperti selimut tipis yang gagal menutupi hawa dingin yang mulai menjalar di hatinya.Bukan karen







