/ Romansa / Hasrat Liar Sahabat Suami / 5. Setelah tirai tertutup

공유

5. Setelah tirai tertutup

last update 최신 업데이트: 2025-10-27 16:24:17

Rani terkejut mematung kala wajah Fabio muncul begitu tiba-tiba dari balik tirai, hanya beberapa inci dari wajahnya saat ia hendak melangkah keluar menuju ruang tamu.

“Kakak!” serunya spontan, tubuhnya sedikit melompat mundur karena kaget hampir menabrak Fabio.

Fabio yang tak kalah terkejut segera menyingkir satu langkah ke belakang. Ia menatap Rani dengan wajah yang lembut, suaranya tenang seperti biasa. “Oh, maaf! Aku mau pamit pulang,” ujarnya sopan, seolah khawatir telah membuat Rani terkejut setengah mati.

Rani berdiri canggung, kedua tangannya saling menggenggam di depan tubuhnya. Ia sempat melirik sekilas ke arah ruang tamu—ke arah Bima yang duduk sambil memperhatikan mereka. “Tidak apa-apa, Kak,” ucapnya cepat, senyum tipis terukir di bibirnya. “Maaf juga, aku yang nggak lihat tadi.”

Fabio tersenyum kecil, senyum yang menenangkan sekaligus menimbulkan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan dalam dada Rani. “Tidak apa-apa,” katanya lembut. “Nanti, datang ya ke acara syukuran rumahku. Bareng Bima.” Suaranya terdengar ramah, tapi di balik nada santainya ada kehangatan yang menimbulkan debar aneh di dada Rani.

Ia hanya sempat mengangguk kecil sambil tersenyum. Fabio berbalik, berjalan perlahan ke arah pintu. Dari ruang tamu, Bima bangkit dengan senyum lebar yang tampak sedikit dibuat-buat, lalu menghampiri Fabio. Ia merangkul bahu sahabat lamanya itu sambil tertawa kecil, menuntunnya keluar ke emperan rumah dengan sikap penuh keakraban.

Rani diam di tempat, menatap punggung suaminya yang semakin menjauh bersama Fabio.

Perlahan, ia melangkah menuju kamar depan. Dari balik tirai jendela, ia mengintip—sekadar ingin memastikan mereka sudah benar-benar pergi. Di luar, lampu teras yang temaram memantulkan bayangan dua sosok pria yang sedang berpamitan hangat. Gerak-gerik mereka terlihat akrab, tapi entah mengapa dada Rani terasa sedikit sesak melihatnya.

Saat itu, ekor mata Fabio tampak menangkap sesuatu. Ia menoleh pelan, dan pandangannya langsung bertemu dengan mata Rani di balik jendela.

Refleks, Rani terlonjak. Ia buru-buru menarik diri, menutup tirai dengan panik. Pipi dan telinganya terasa panas karena malu. Tertangkap sedang mengintip adalah hal terakhir yang ia harapkan terjadi hari itu.

Ia menarik napas pelan, menenangkan diri. Namun ketika akhirnya memberanikan diri mengintip kembali, Fabio sudah tak lagi terlihat di halaman. Hanya lampu teras yang berayun pelan tertiup angin, dan suara langkah Bima yang menjauh.

Ada keheningan yang menggantung di udara.

Dan di wajah Rani, tersisa sebersit rasa kecewa yang ia sendiri tak mengerti asalnya.

*

Selepas itu, Bima masuk kembali ke dalam rumah dan langsung mencari istrinya. Menyadari Bima yang mendekat, Rani segera pura-pura sibuk di kamar dan bertingkah seolah sedang beres-beres untuk mendukung alibinya.

"Kak Fabio udah pulang?" tanya Rani, berusaha menutupi kecanggungannya semula.

"Hmm." Bima berdeham mengiyakan. Ia kemudian duduk di atas kasur sambil menonton istrinya. "Aku gak tau kamu kenal dekat dengan Fabio." kata Bima dengan tajam.

Rani bisa merasakan malapetaka yang sedang datang. Sebisa mungkin, ia ingin menangkal badai yang sedang mencari celah.

"Iya. Dulu dosenku sering minta kami untuk satu proyek bareng." kata Rani hati-hati meskipun dadanya bergetar.

"Sedekat apa?" tanya Bima, terang-terangan menginterogasi.

"Sedekat mengerjakan tugas bersama." jawab Rani hati-hati sambil terus terlihat sibuk. Ia bisa merasakan ketakutan menjalar di dadanya.

"Kamu tahu, dulu ada legenda cintanya Fabio yang terkenal di sirkelku," Cerita Bima dengan nada yang tersirat. Ia memandang istrinya dengan penuh selidik.

Rani berusaha tidak menanggapi dan terus sibuk dengan urusannya. Dadanya berdebar, merasakan kemungkinan terburuk.

"Katanya, ada anak fakultasnya yang pintar dan sampai sekarang menjadi satu-satunya perempuan yang memenangkan hatinya." Bima berdiri, menarik istrinya ke dalam pelukan yang terasa menusuk daripadanya nyaman. Tangannya memeluk erat sembari menyenderkan kepalanya di pundak Rani. "Aku penasaran, apa kamu tahu siapa perempuan itu?" Bima mengakhiri dengan nada sedikit mengancam.

Rani menelan ludahnya. Ia bisa merasakan tubuhnya panas dingin karena ketakutan. Baru hari ini Rani tahu ada rumor semacam itu yang beredar bahkan hingga pertemanan Bima.

Rani kemudian menggeleng, merasakan pusing di kepalanya. "Aku tidak tahu."

Pelukan Bima mengerat. Kini ia mencium pipi kanan perempuan itu dengan lembut. Rani bisa merasakan bulu kuduknya berdiri.

"Bukannya kamu dekat dengan Fabio?" Bima kembali bertanya sambil menyampirkan rambut dari wajah Rani.

"Tidak sama sekali. Aku tidak tahu apapun." Rani menjawab dengan tegas meskipun ia merasa pembuluh darahnya berbalik arah.

Bima terdiam sebentar dalam pelukannya, nampak jelas sedang berpikir kemudian melonggarkan pelukannya.

"Baiklah kalau begitu. Sifat murahanmu tadi membuatku mengira kamulah wanita itu." Bima langsung berubah dingin.

Rani memandang sorot Bima dari cermin yang menatapnya dengan kasar. Rani mengalihkan pandangannya, berusaha menghindari Bima yang mungkin saja akan meledak.

"Ingatlah Rani. Kamu adalah istriku. Jangan coba-coba membohongiku soal apapun. Jika aku dapati kamu salah, kamu akan sangat menyesal." ancam Bima, membalik tubuh Rani untuk menatapnya. "Dan tolong jangan bicara dengan tamuku lagi! Sungguh tidak nyaman melihatmu berbicara dengan tamuku. Kamu tampak sangat murahan! Apa kamu ingin membuatku malu dengan sifatmu yang gampangan?" Semakin lama, nada Bima semakin meninggi, menguji hati Rani yang sudah goyah.

"Aku tidak melakukan apapun yang salah." Rani berusaha membela diri. Rasanya, tuduhan Bima sudah sangat berlebihan.

Melihat Rani membalas perkataannya, Bima meraih apapun benda yang bisa ia genggam untuk ia banting ke tanah. Rani terkejut mendengar Bima membanting botol minyak yang terbuat dari kaca.

"Berani kamu membantahku?!" Bima berteriak emosi.

Rani hanya diam, menolak mengambil langkah lebih dan berakhir dalam pertengkaran.

"Jangan coba-coba menunjukkan sifat pelacurmu pada teman-temanku! Jangan coba-coba mempermalukanku dengan menjual dirimu yang tidak berarti itu! Kamu hanya sampah yang aku pungut dan kuperbaiki! Sadarilah tempatmu, sialan!" Bima lanjut memaki. Ia kemudian menendang lemari kayu mereka hingga lemari itu lubang untuk melepas emosinya.

Rani mundur selangkah, merasakan tubuhnya gemetar karena ketakutan. Ia sudah terbiasa menghadapi pria pemarah seperti Bima namun tubuhnya masih saja gemetar setiap itu semua terjadi.

Bima kemudian melangkah menuju pintu kamar untuk pergi. Sebelum pergi, ia berhenti dan membalik tubuhnya setengah untuk melihat Rani.

"Ah, benar. Ada yang ingin kukatakan padamu.”

Rani memandang Bima dengan seksama, memperhatikannya dengan harapan laki-laki itu segera pergi.

"Fabio sudah menikah. Tolong jangan bersikap menjijikan dengan menggodanya. Gayamu tadi sungguh memalukan!" lanjutnya kemudian pergi meninggalkan Rani.

Rani tampak terpukul mendengar kata-kata Bima yang terus menghina dan menginjak harga dirinya. Hatinya sangat sakit.

Namun, lebih sakit lagi karena Fabio ternyata sudah menikah.

Rani menggelengkan kepala memaki dirinya. Sungguh benar kata-kata Bima. Rani sangat tidak tahu malu.

이 책을.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   74. Tamu yang aneh

    Mendengar itu, Fabio refleks menarik tangan Rani, berniat membawanya menjauh sebelum hal buruk terjadi. Namun Mira cepat menahan lengan Rani, langkahnya mantap seperti biasa.“Sebaiknya Ibu Rani saya antar pulang, Pak,” ucap Mira tegas, tatapannya lurus pada Fabio.Fabio ingin membantah. Ada ketidaksukaan yang jelas di wajahnya. Tapi ekspresi Mira yang serius—ditambah sifatnya yang jarang sekali bercanda—membuat Fabio sadar bahwa keadaan ini bukan hal remeh.Dengan berat hati, ia melepaskan genggamannya pada Rani.“Aku akan menemuimu,” kata Fabio lembut, suaranya seperti memohon.Rani buru-buru menggeleng. “Jangan,” tolaknya. Ia menggigit bibir sebelum melanjutkan, “Aku dengar, beberapa tetanggaku mulai menyadari keberadaan kamu. Maafkan aku, Kak. Tapi aku nggak yakin kita boleh bertemu untuk sementara waktu di rumahku.”Fabio mendesah panjang. Rasanya seperti seluruh dunia sengaja memisahkan mereka setiap kali ia mencoba meraih kebahagiaan.Mira kemudian menggiring Rani menuju mobil.

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   73. pembicaraan rahasia

    Mereka berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya modern dengan bangunan yang tinggi, terasa dingin, dan cukup mengintimidasi. Halaman depannya saja tampak jauh lebih rapi dan mewah dibanding seluruh lingkungan tempat tinggal Rani. Mira turun lebih dulu, lalu membuka pintu mobil untuk Rani dengan gerakan anggun khasnya. Rani menatap pantulan dirinya di kaca mobil—daster lusuh, rambut dijepit seadanya. Ketidakpercayaan melintas di wajahnya. Ia menelan ludah, merasa kecil di hadapan bangunan semegah itu. “Kenapa kita ke sini?” tanyanya pelan, nyaris berbisik. “Anda akan tahu ketika masuk nanti,” jawab Mira, tak banyak ekspresi namun tatapannya seolah menilai kondisi Rani dengan hati-hati. Rani mengigit bibir, ragu untuk turun. “Kamu …, tidak ikut?” Mira menggeleng pendek. “Tidak. Saya hanya mengantar sampai sini saja.” Suaranya tetap datar dan profesional, seolah garis batas jelas sudah digambar di antara mer

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   72. Secara tak terduga dijemput

    Dada Rani benar-benar tercekat. Ia mematung, hanya bisa melihat bagaimana ibu mertuanya menarik gagang pintu dan membukanya tanpa sedikit pun keraguan. Begitu pintu terbuka, perasaan Rani jatuh mendadak—seolah tenggelam sampai dasar bumi.“Halo?” sapa Dina, ibu mertuanya, dengan suara dibuat-buat lembut.Rani terbelalak. Suara itu pasti bukan Fabio. Ia mendengar jawabannya sebelum sempat bernapas lega.“Halo, Bu.” Suara perempuan yang terdengar tegas dan familiar, jelas sekali bukan Fabio.Perlahan, Rani melongok dari belakang untuk memastikan dengan matanya sendiri.“Kamu siapa, ya?” tanya Dina dengan nada bingung yang berubah cepat menjadi nada menantang.“Saya Mira. Saya mencari Ibu Rani.” jawab perempuan itu, suaranya datar, dingin, tanpa basa-basi.Rani melihat ibu mertuanya menatap Mira dari ujung rambut hingga ujung kaki—tatapan khas Dina yang penuh penilaian. Mira berdiri tegap dengan ekspresi nyaris tak bergerak

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   71. Tamu yang membuat sakit kepala

    Rani menegang seketika. Tenggorokannya kering, jantungnya berdegup sangat keras. Ia memandang Bima dengan tatapan horor, seolah tubuhnya terpasung di tempat.“Ini dari adikku. Rio. Katanya Ibu minta ketemu aku,” ucap Rani terbata, mencoba terdengar meyakinkan. Tapi nadanya bergetar. Bahkan ia sendiri bisa mendengar kebohongannya jelas-jelas.Di dalam hati, ia tahu, ini kebohongan yang sangat bodoh. Rasanya seperti menggali kubur sendiri.“Bohong!” Bima menggeram sambil melangkah maju tiba-tiba.Sebelum Rani sempat menjauh, tangan Bima meraih ponselnya dengan kasar. Tarikannya begitu keras sampai membuat pergelangan tangan Rani tersentak.“Kak, jangan—!” Rani spontan mencoba merebut ponselnya kembali. Satu langkah maju saja tapi Bima berbalik cepat, menantangnya dengan sorot mata gelap.“Apa? Mau ambil? Ambil coba!?” suaranya keras dan tajam, membuat nyali Rani langsung ciut.Rani membeku di tempat. Tubuhnya bergetar.

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   70. Bima yang kembali

    Rani sedang mengaduk tumisan di atas kompor ketika terdengar suara langkah berat dari ruang tamu. Ia menoleh, dan mendapati Bima muncul sambil membawa sebuah tas penuh pakaian. Tanpa mengatakan apa pun, lelaki itu melemparkan tas tersebut ke meja begitu saja.Kaget, Rani buru-buru mematikan kompor dan berlari keluar dari dapur. Senyum yang semula muncul karena rindu langsung terbit begitu ia melihat suaminya pulang. Ia mengangkat kedua tangannya, ingin memeluk Bima—namun pelukan itu hanya menggantung di udara ketika Bima justru mendorongnya menjauh.“Masakin aku air panas. Aku mau mandi.”Nada Bima terdengar dingin dan datar tanpa sedikit pun sapaan.Rani tertegun. Senyumnya roboh seketika, meninggalkan gurat kecewa tipis di wajahnya. “Baik, kak ….” bisiknya pelan, mencoba terdengar biasa meski dadanya terasa mengembang sakit.Tanpa membalas apa pun, Bima menuju kursi ruang makan dan duduk, sementara Rani mengambil tas yang tadi dilempar dan mulai merapikan isi pakaian suaminya. Ia me

  • Hasrat Liar Sahabat Suami   69. Ada yang mungkin memperhatikan?

    Rani berjalan keluar menuju tukang sayur komplek, langkahnya pelan namun mantap. Udara pagi masih lembap, dan matahari baru naik setengah. Kantong kecil berisi uang pemberian Fabio terasa berat di genggamannya—bukan karena jumlahnya, tapi karena rasa malu yang ikut menempel.Setidaknya, dengan uang itu ia bisa bertahan sampai Bima pulang. Rani menarik napas panjang. Ia benci merasa dikasihani, tapi Fabio terus memaksa, dan ia benar-benar tidak punya pilihan lain.“Pagi, Mas,” sapanya pada Mas Yanto, tukang sayur yang keranjingan memutar lagu dangdut setiap pagi.“Loh, Bu Rani! Lama gak kelihatan,” sapa Bu RT yang tiba-tiba muncul sambil menggendong cucunya. Senyumnya hangat seperti biasa.“Pagi, Bu,” balas Rani sopan, sedikit membungkuk.“Gimana kabarnya, Rani?” tanya Bu RT sambil memilih tomat.“Baik, Bu. Ibu sendiri?” Rani menjawab sambil memilah buncis yang masih segar.“Wah, ibu mah seneng banget hari ini. Cucu ibu datang. Mamanya kerja, jadi nitip bentar,” ujar Bu RT sambil menga

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status