MasukCahaya matahari pagi yang menembus celah gorden terasa menyilaukan, namun tidak sebanding dengan rasa nyeri yang menjalar di sekujur tubuhku. Terutama di area antara kedua pahaku. Setiap langkah yang kuambil untuk menuruni tangga terasa menyiksa, mengingatkanku pada kejadian gila semalam. Kegadisan yang kucintai telah direnggut, dan pelakunya kini duduk santai di meja makan seolah tak terjadi apa-apa.
Di ruang makan, aroma nasi goreng dan kopi menyambutku. Ibu, Om Arthur atau yang seharusnya kupanggil Ayah dan Leo sudah berkumpul.
Satu-satunya kursi kosong berada tepat di samping Leo. Dengan langkah tertatih, aku menyeret kakiku menuju kursi itu. Aku berusaha duduk perlahan, namun rasa perih itu tetap menyengat.
"Kamu kenapa jalan seperti itu, Bella?" tanya Ibu tiba-tiba, matanya menatapku dengan heran.
Jantungku mencelos. Aku buru-buru menunduk, menghindari tatapan mata elang Leo yang duduk di sebelahku. "J-jatuh, Ma. Tadi di kamar mandi," jawabku gugup, asal bicara.
Ibu menggelengkan kepala sambil menyendokkan nasi ke piringku. "Hati-hati dong, Bella. Semalam katanya kejedut meja. Hari ini jatuh. Besok apa lagi?"
"I-iya, Ma," cicitku pelan.
Ekor mataku menangkap seringaian tipis di wajah Leo. Dia tampak bangga. Sangat bangga melihatku menderita akibat "karya seni" yang dia ciptakan di tubuhku semalam.
"Sudahlah, jangan dimarahi sayang. Masih pagi," suara berat Arthur memotong, mencoba membelaku. Wibawanya selalu berhasil membuat ruangan menjadi tenang seketika.
Sarapan dimulai. Denting sendok dan garpu beradu dengan piring, diselingi obrolan ringan antara Ibu dan Arthur. Leo terlihat sudah menghabiskan makanannya lebih dulu. Dia bersandar santai di kursinya, satu tangannya sibuk menggulir layar ponsel di atas meja.
Namun, aku salah besar jika mengira dia hanya bermain ponsel.
Tiba-tiba, aku merasakan sentuhan hangat di bawah meja. Sebuah tangan besar merayap naik ke pahaku yang terbalut jeans.
Aku tersentak, sendok di tanganku berdenting keras menyentuh piring.
"Kenapa, sayang?" tanya Ibu, kaget melihat reaksiku.
"G-gak apa-apa, Ma. Cuma kaget... ada semut," dustaku lagi. Keringat dingin mulai membasahi punggungku.
Aku melotot ke arah Leo, memberikan isyarat mata agar dia berhenti. Tapi dia justru menatapku dengan wajah polos, lalu kembali menatap ponselnya sambil menyeringai puas melihat kepanikanku.
Di bawah meja, tangannya semakin berani. Jemarinya dengan terampil membuka kancing jeans-ku, lalu menurunkan resletingnya perlahan. Suara zip yang halus itu terdengar bagaikan ledakan bom di telingaku, namun tertutup oleh suara tawa Ibu yang sedang mendengarkan lelucon Arthur.
Leo mencubit kecil daging pahaku bagian dalam, memaksaku untuk melebarkan kaki.
Aku ingin merapatkan paha, tapi cubitannya menguat, seolah mengancam akan melakukan hal yang lebih gila jika aku tidak menurut. Dengan gemetar, aku membuka sedikit celah di antara kakiku.
Itu adalah undangan yang dia tunggu.
Tangannya menyelinap masuk, menyentuh kain katun celana dalamku. Dia tidak berusaha memasukkan jarinya ke dalam—mungkin tahu itu akan terlalu sakit atau terlalu basah—melainkan dia menekan titik paling sensitif di bagian atas pusat hasratku.
"Mmmph..." Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat, menahan desahan yang nyaris lolos.
Dia menggosok titik itu dengan gerakan memutar, menekannya lewat kain celana dalam yang mulai terasa lembap.
Sensasi itu... Ya Tuhan.
Campuran antara rasa takut ketahuan dan rangsangan yang dia berikan membuat perutku melilit nikmat. Keringatku bercucuran semakin deras. Tanganku gemetar hebat saat mencoba menyuapkan nasi ke mulut.
Di atas meja, kami terlihat seperti keluarga normal yang sedang sarapan. Di bawah meja, abang tiriku sedang mempermainkan kewarasanku.
Gerakan jarinya semakin cepat, semakin presisi. Cairan hangat mulai merembes, membasahi celana dalamku sepenuhnya. Napasku mulai pendek-pendek.
Kakiku di bawah meja mulai bergetar hebat. Aku sudah sangat dekat. Sedikit lagi...
"Ah..."
Tiba-tiba, tangannya berhenti. Dia menarik tangannya keluar begitu saja.
Aku ternganga. Rasa kecewa yang luar biasa menghantamku. Tubuhku yang sudah siap meledak kini terasa gantung, menyisakan denyutan nyeri yang menuntut penyelesaian.
Aku menoleh padanya. Leo menatapku sekilas, lalu menghela napas singkat dengan nada mengejek. Seringaian kemenangan tercetak jelas di wajahnya. Dia sengaja menyiksaku.
Sialan! umpatku dalam hati. Sekarang aku harus duduk dengan celana dalam yang basah kuyup dan hasrat yang tak tersalurkan. Rasanya sangat tidak nyaman, lengket, dan menyiksa.
Setelah sarapan selesai, aku buru-buru merapikan pakaianku di bawah meja sebelum berdiri. Aku mengambil piring-piring kotor, membawanya ke wastafel dengan perasaan dongkol setengah mati.
Sambil menyalakan keran air, aku menggerutu dalam hati, menyumpahi kelakuan bejat Leo. Namun, belum sempat sabun cuci piring kububuhkan ke spons, aku merasakan kehadiran seseorang di belakangku.
Tubuh besar dan hangat menempel di punggungku. Dan bukan hanya itu... ada sesuatu yang keras, tumpul, dan menekan, menyodok tepat di belahan bokongku.
Apa lagi yang mau dilakukan Leo?!
Emosiku memuncak. Aku berbalik, siap memaki. "Apa lagi sih—"
Kata-kataku tercekat di tenggorokan.
"Ini gelas kopi Ayah ketinggalan tadi," suara bariton yang dalam itu menyapa telingaku.
Itu bukan Leo. Itu Arthur.
Jantungku seakan berhenti berdetak. "I-iya, Om... eh, taruh saja. Nanti Bella cuci," jawabku gelagapan, berusaha menetralkan wajahku yang memerah.
Saat Arthur menjulurkan tangannya untuk mengambil gelas lain dari rak atas, tubuhnya semakin menekan tubuhku ke pinggiran wastafel. Benda keras di balik celana bahannya itu kembali menggesek celah bokongku dengan tekanan yang solid.
Ukurannya... memoriku langsung membandingkannya. Jika milik Leo seperti pentungan yang keras dan lincah, milik Arthur terasa lebih... masif. Lebih tebal dan berat.
"Biasakan panggil Ayah," bisiknya tepat di samping telingaku. Napasnya hangat dan beraroma kopi. "Kita akan tinggal bersama dalam waktu yang lama mulai dari sekarang."
"Iya... A-ayah," jawabku gugup.
Arthur tersenyum, lalu mundur perlahan, meninggalkan dapur dengan langkah tenang.
Aku terpaku di depan wastafel. Lututku terasa lemas. Apakah itu sengaja? Atau dia benar-benar tidak sadar? Tapi tekanan benda itu... sangat jelas. Aku menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran kotor itu dan kembali membilas piring.
Namun, ketenanganku tidak berlangsung lama.
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di bokong kananku.
Waktu seakan berhenti. Aku membeku di atas tubuh Arthur, keringat dingin langsung membasahi punggungku. Pintu itu terbuka lebar, namun sosok yang berdiri di sana kemudian menutupnya kembali dengan cepat dan menguncinya.Aku menoleh patah-patah ke arah pintu."K-Kak Leo?!" pekikku tertahan.Sosok itu berjalan mendekat. Leo. Dia berdiri di sana dengan wajah datar, namun matanya berkilat gelap menatap pemandangan di depannya: adik tirinya yang sedang menunggangi ayah tirinya tanpa busana."Aku join dong Ayah!" seru Leo tiba-tiba.Aku melotot. Apa? Bukannya marah atau jijik, dia malah ingin berpartisipasi?Leo menekan sakelar lampu. Cahaya terang benderang membanjiri kamar, menghilangkan segala bentuk privasi dan keremangan yang melindungiku tadi.Sekarang, semuanya terlihat jelas. Kulitku yang memerah, keringat yang mengkilap di tubuh Arthur, dan posisi kami yang sangat intim. Pipiku memerah hebat, rasa malu ini tak tertahankan.Belum sempat aku berpikir waras atau turun dari tubuh Arthu
Hari itu adalah hari yang sangat panjang. Dosen yang memberikan tugas mendadak, rapat organisasi yang berlarut-larut, hingga kemacetan kota yang menguras emosi. Tulang-tulangku rasanya mau lepas dari persendiannya saat aku akhirnya menginjakkan kaki di rumah.Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Rumah sepi. Mungkin Ibu dan Om Arthur sudah tidur, atau mungkin Leo sedang keluyuran. Aku tidak peduli. Pikiranku hanya tertuju pada satu hal: air dingin dan kasur empuk.Di bawah guyuran shower, aku membiarkan air meluruhkan keringat dan debu jalanan, berharap juga bisa meluruhkan memori sentuhan-sentuhan liar yang kuterima beberapa hari terakhir ini.Selesai mandi, aku memilih lingerie sutra berwarna putih gading. Warnanya senada dengan kulitku, memberikan ilusi seolah aku tidak mengenakan apa-apa. Potongannya sederhana namun elegan, membungkus tubuhku dengan lembut. Tanpa berpikir panjang, aku mematikan lampu utama, menyisakan cahaya remang-remang dari lampu jalan yang menembus tira
"Akhh...!" Pekikan kaget dan sakit meluncur dari bibirku.Tanpa menoleh pun, aku tahu siapa pelakunya. Leo. Hanya dia yang berani melakukan hal gila seperti ini di rumah yang penuh orang.Belum sempat aku memarahinya, tangan kekarnya sudah meremas bokongku dengan kasar melalui lapisan jeans. Cengkeramannya kuat, posesif, seolah menandai bahwa bagian tubuh ini adalah miliknya.Napas Leo terdengar memburu di belakang leherku. Dengan gerakan cepat, tangannya menyusup ke balik blouse-ku, jemarinya dengan cekatan membuka pengait bra yang menahan dadaku."Kak! Jangan gila!" bisikku panik, suaraku bergetar hebat. "Kalau Mama atau Ayah ke sini gimana? Kita masih di dapur!"Leo seolah tuli. Satu tangannya menyelinap ke depan, meremas salah satu buah dadaku yang kini bebas, memilin ujungnya yang langsung menegang kaku."Malah lebih seru, kan?" bisiknya serak.Tangan lainnya kembali beraksi di celanaku. Kancing dan resleting yang baru saja kurapikan, kembali ia buka paksa. Dia memelorotkan celan
Cahaya matahari pagi yang menembus celah gorden terasa menyilaukan, namun tidak sebanding dengan rasa nyeri yang menjalar di sekujur tubuhku. Terutama di area antara kedua pahaku. Setiap langkah yang kuambil untuk menuruni tangga terasa menyiksa, mengingatkanku pada kejadian gila semalam. Kegadisan yang kucintai telah direnggut, dan pelakunya kini duduk santai di meja makan seolah tak terjadi apa-apa.Di ruang makan, aroma nasi goreng dan kopi menyambutku. Ibu, Om Arthur atau yang seharusnya kupanggil Ayah dan Leo sudah berkumpul.Satu-satunya kursi kosong berada tepat di samping Leo. Dengan langkah tertatih, aku menyeret kakiku menuju kursi itu. Aku berusaha duduk perlahan, namun rasa perih itu tetap menyengat."Kamu kenapa jalan seperti itu, Bella?" tanya Ibu tiba-tiba, matanya menatapku dengan heran.Jantungku mencelos. Aku buru-buru menunduk, menghindari tatapan mata elang Leo yang duduk di sebelahku. "J-jatuh, Ma. Tadi di kamar mandi," jawabku gugup, asal bicara.Ibu menggelengka
Tubuhku menegang kaku. Mataku membelalak menatap pintu yang terkunci, lalu beralih menatap Leo yang berada di atasku."I-iya, Bu... Ada apa?" jawabku dengan suara yang kubuat senormal mungkin, meski nafasku tersengal.Bukannya berhenti, Leo justru menyeringai jahat. Dia menarik pinggulnya ke belakang, lalu menghempaskannya kembali ke dalam diriku dengan kuat."Ahhh!" Aku membekap mulutku sendiri.Sialan! Dia sengaja!"Jangan lupa ya, besok kamu kuliah pagi. Barang-barangmu sudah siap?" tanya Ibu dari balik pintu. Suaranya terdengar begitu dekat, namun juga terasa begitu jauh karena kabut gairah yang menyelimuti otakku.Leo terus bergerak. Pinggulnya menghantam bokongku dengan ritme yang stabil dan kuat. Plak. Plak. Suara kulit bersentuhan terdengar begitu nyaring di telingaku.Aku mencengkeram sprei, berusaha menahan desahan agar tidak terdengar Ibu. Keringat dingin bercucuran di pelipisku. Sensasi melakukan hal terlarang ini, dengan Ibu yang berdiri tepat di balik pintu, memicu adren
Antara sadar dan tidak, aku merasa sedang bermimpi aneh. Dalam mimpi itu, udara di sekitarku terasa berat dan hangat.Aku menggeliat pelan di balik selimut.Tiba-tiba, aku merasakan pergerakan di sisi tempat tidur. Kasur di sebelahku melesak ke bawah, seolah menahan beban berat seseorang.Apa ini masih mimpi?Rasa kantuk yang luar biasa membuat mataku sulit terbuka. Namun, sensasi di kulitku terasa begitu nyata. Sebuah tangan yang besar dan hangat menyusup ke dalam selimut, mendarat di betisku.Sentuhan itu perlahan naik. Jari-jari kasar itu menelusuri kulit pahaku yang mulus, mengirimkan sengatan listrik yang aneh. Bukan rasa takut yang pertama kali muncul, melainkan rasa geli yang menjalar hingga ke perut bawah.Tangan itu terus naik, semakin berani. Dengan gerakan terampil, jari itu mengait tali lingerie hitamku yang tipis, menurunkannya hingga sebatas pinggang.Udara dingin pendingin ruangan menerpa kulit dadaku yang kini terekspos, membuat kedua puncaknya menegang seketika.Belum







