Share

Penyesalan

Aku sengaja mematikan ponsel, aku tidak ingin ada yang mengganggu waktuku, sejenak aku menatap keluar jendela, perasaan hampa sesaatku rasakan.

Hati ini merasa kosong, dan pikiranku di penuhi kenangan kejadian semalam yang begitu menggairahkan.

Apakah Frans juga merasakan yang sama?

Tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar, aku menjalani rumah tangga tapi semua itu hancur dalam sehari.

Kepercayaanku selama ini telah ia sia-siakan, sebenarnya apa artiku untuknya. Jika saja cinta itu telah hilang seharusnya dia berbicara dan meminta perpisahan bukan berkhianat seperti ini.

Tapi kini aku merasa bersyukur di pernikahan yang sudah tujuh tahun, aku belum memiliki anak dengan Frans.

"Kita sudah sampai ..." ucap sang supir, seketika membuyarkan lamunanku.

Namun, dari kejauhan aku dapat melihat seorang wanita paruh baya berada di depan gerbang.

“Siapa wanita itu? Kenapa dia mondar-mandir seperti itu? Apa tidak ada yang membukakan pintu untuknya?” gumamku.

Gegas aku membayar ongkos taksi, lalu turun dari mobil. Terasa ngilu dan seperti ada yang mengganjal di antara p4h4ku, mungkin karena bengkak.

Degh!

Beberapa saat jantungku berhenti berdetak, mataku memanas, tubuh gemetar, bahkan kaki ini terasa lemas tak berdaya.

“Ruel?....” sapanya membuat hatiku berdenyut nyeri.

Wanita itu … Wanita yang sudah lama tidak pernah aku temui, wanita yang paling berjasa dalam hidupku.

Aku terdiam mematung memandangi wajahnya yang masih terlihat cantik meski tidak segar dulu, entah mengapa hati ini semakin sakit melihat kulitnya yang sudah menampilkan beberapa kerutan.

Apa boleh aku memeluknya? Apakah masih pantas aku mendapatkan maaf darinya? Setelah apa yang telah aku lakukan terhadapnya….

“I-ibu?....” ucapku dengan suara bergetar, air mataku tiba-tiba saja mengalir deras di pipi.

“Ruel … Kenapa kamu menangis?”

Dia mendekat ... dengan tatapan penuh khawatir, sudah sangat lama aku tidak merasakannya. Merasakan tatapan dari khawatir seorang ibu terhadap anaknya.

“ … Ada apa denganmu, Ruel? Kenapa kamu seperti ini?”

Grep!!

Aku ingin sekali memberitahunya bahwa apa yang dia katakan dulu kini benar-benar terjadi kepadaku, tapi aku terlalu malu untuk mengakuinya.

“Maafkan aku, Bu … Maafkan anakmu ini, anak yang sudah mengecewakanmu!” isak tangisku semakin menjadi, bayang-bayang dimana ketika aku membantah ucapan Ibu teringat kembali.

Aku yang memaksa menikah dengan Frans meski orang tuaku menentang keras, dan setelah itu aku tidak pernah bertemu dengan orang tuaku. Bahkan saat kematian ayahpun ibu tidak memberitahuku.

Aku mengerti mungkin karena mereka masih marah dan tidak sudi bertemu dengan anaknya yang pembangkang ini.

Seribu penyesalan hinggap di hati ini, jika saja dulu aku mendengarkan ucapan Ibu mungkin aku tidak seperti ini sekarang.

“Maafkan Ruel, Bu. Ruel menyesal, mungkin kata maaf saja tidak pantas keluar dari mulut ini … Tapi, Ruel benar-benar menyesal, menyesal karena aku sudah menjadi anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya….”

"Jika kamu menyesal, kenapa kamu tidak menemui ibu?"

Degh

"Apa sebegitu bencinya kamu terhadap ibumu?"

"Tentu saja tidak!" Sangkalku dengan spontan.

"Aku takut ibu masih marah dan tidak ingin bertemu denganku ..."

"Bukankah ibu sering marah terhadap kamu, dan kamu akan bersikap manja agar ibu bisa memaafkan kamu."

"Tapi ... Kesalahanku kali ini fatal, karena ... Aku, Ayah, meninggal!"

"Siapa yang berbicara seperti itu kepadamu?"

"Tapi benarkan, Bu. Ayah mulai sakit-sakitan setelah aku keluar dari rumah?"

Grep

Pelukan hangat yang selalu aku rindukan terasa begitu menghibur, bahkan perasaan yang mendongkol di hati seperti meluap menjadi sebuah tangisan.

"Omong kosong macam apa itu! Ayahmu memang sudah sakit-sakitan aku tidak memberitahumu karena takut kamu merasa bersalah!"

Lihatlah, betapa besar kesabaran Ibu … Bahkan, ketika aku telah melukai hatinya saja dia masih bersedia memelukku, memeluk tubuhku dengan penuh kasih sayang.

Tanganku membalas pelukan Ibu, tapi aku merasa bahwa tubuh itu kini telah berubah kurus. Tulang-tulang tangannya sangat terlihat jelas, aku mendongak, menatap wajah cantiknya.

Dulu, pipi itu tidak setirus ini … Apa selama ini Ibu menderita?

“Ruel, ada apa denganmu? Lihat, matamu begitu menyimpan banyak kesedihan … Apa suamimu menyakitimu, Ruel?”

Degh!

Bagaimana ibu bisa tahu? Apa ini yang dinamakan sebuah ikatan batin yang kuat?

Aku menggeleng pelan, menghapus air mataku lalu bangkit dan mengajak ibu untuk masuk.

"Bu, bagaimana jika Ibu masuk dulu," ajakku mengalihkan pembicaraan.

"Tidak, Ibu tidak ingin bertemu dengan mertuamu. Ibu tidak tahan melihat sikap sombongnya," celetuk Ibu.

Entah apa yang terjadi di antara mereka di masa lalu, ibu dan mertuaku mereka bermusuhan dan itu juga alasan ibu tidak menyetujui pernikahan kami.

"Tenang saja, ibu mertuaku pasti di luar di jam segini," ujarku.

Ibu pun mengangguk, dan mau diajak masuk ke dalam rumahku tapi saat kami memasuki rumah aku dikejutkan dengan penampakan rumah yang seperti kapal pecah.

"Astaga ... Apa ada perampokan?" tanya ibu yang syok melihatnya.

Bagiku ini biasa, aku tahu karena sering terjadi saat aku sibuk di luar maka tidak akan ada yang menggantikan aku beberes rumah .

"Hmmm ..."

"Duduklah, Bu. Aku akan membuatkan ibu minum," ucapku.

Ibu menurut dan duduk di sofa, tapi raut wajahnya menunjukkan ketidak nyamanan juga penasaran.

"Apa kamu tidak punya pembantu?"

"Dulu ada, tapi selalu mengundurkan diri. Mereka beralasan mertuaku terlalu bawel," jawabku, aku membuat teh lalu membawanya kepada ibu.

"Begitulah mertuamu, itu alasan ibu tidak mengijinkan kamu menikah dengan Frans. Bahkan ibu sangat marah saat tahu kamu berhenti!"

Ibu terus menggerutu tentang keluarga Frans, bahkan sesekali terdengar nafas kesal darinya.

Aku tidak jengkel ataupun marah, malah aku senang mendengar Omelan ibu yang sudah lama tidak aku dengar.

“Ckk, Ibu ini kesal, Ruel! Kamu bisa-bisanya malah tersenyum seperti itu!”

“Iya, maafkan aku … Aku hanya senang karena akhirnya dapat mendengarkan omelan ibu, omelan Ibu sudah lama tidak memanjakan telinga Ruel,”

Ibu mencebik, lalu tangannya bergerak mengambil teh yang aku buatkan….

Memandangi wajahnya teduhnya membuat hati ini semakin merasa bersalah, setelah kepergian Ayah pasti Ibu merasa kesepian….

Huh … Jika saja waktu bisa diputar kembali, mungkin aku ingin menjadi anak yang berbakti dan mendengarkan setiap ucapan Ibu dan Ayah, termasuk larangannya agar aku tidak menikah dengan pria b4jing4n itu!

Bagaimana reaksi ibu jika mengetahui aku di khianati oleh pria itu? Bahkan mertuaku sendiri telah mengetahui kelakuan bej4t anaknya, lalu membiarkannya begitu saja.

"Ruela, apa kamu bahagia?"

Degh

Bagaimana aku menjawabnya?

Belum lama aku merasa wanita yang paling bahagia di dunia ini tapi tidak untuk sekarang, dunia berputar dan menjatuhkanku ke titik yang paling rendah.

Aku hanya tersenyum untuk menutupi kepedihan di hati, biarlah aku bersandiwara di hadapan ibuku. Semua itu aku lakukan agar tidak membuatnya kuwatir.

***

Setelah berbincang dengan ibu, aku mengantarnya ke halte meski sebentar waktu kami bersama rasanya sangat manis.

"Hati-hati ibu, tolong kabari aku segera setelah sampai," pintaku.

"Baiklah ..."

Bus pun datang dan kami berpisah, aku melambaikan tangan untuk melepaskan kepergian ibu.

Tring

Suara notifikasi ponsel

Kristian (Hotel king kamar xx, jam sembilan malam. Aku akan menunggumu dengan penuh cinta)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status