Saat Anna tersadar, para pelayan kini sedang membersihkan tubuhnya. Ia pikir setelah sarapan ia bisa melarikan diri, tapi tidak. Malam pertama itu terus terulang setiap malam. Tubuhnya dehidrasi karena tak banyak makan dan juga minum.
Damien harus bekerja ekstra untuk melembapkan tubuh Anna agar semuanya berjalan lancar, menggunakan lidah, permainan tangan, dan pelumas agar Anna tak kesakitan. Damien takkan melepaskan Anna begitu saja.
Baginya, siapa pun yang telah masuk ke dalam kehidupannya, takkan ia biarkan keluar membawa segudang rahasianya.
Anna yang sering sekali tejaga ketika malam. Ia menatap langit-langit kamar yang terasa seperti jeruji penjara. Setiap malam ia tidur dengan Damien, dan tak bisa pergi ke mana-mana.
Pagi itu saat ia mencoba membuka pintu kamar, dua penjaga berbadan kekar sudah menunggunya di koridor. Tanpa seragam, tapi jelas bukan pelayan biasa. Salah satu dari mereka menatapnya. “Tuan Damien meminta Anda sarapan di ruang makan pukul delapan. Kami harap tidak mencoba keluar rumah.”
Anna membeku. “Dan kalau aku tidak mau?”
“Tidak ada pilihan lain,” jawab pria itu datar.
Ia menutup pintu kembali. Saat itu, Anna menyadari betapa dalam ia terperangkap. Ini bukan rumah, ini istana penjara.
Pukul delapan kurang sepuluh, Anna duduk di meja makan panjang, mengenakan gaun biru pucat. Rambutnya diikat, matanya merah karena kurang tidur. Ia mencoba tampil setenang mungkin. Damien datang dua menit kemudian, dengan setelan santai berwarna gelap. Ia menyapa Anna sambil tersenyum, lalu duduk di ujung meja.
Mereka makan dalam diam. Anna tak bisa menahan diri lagi. “Aku ingin mengajukan pembatalan pernikahan,” katanya pelan.
Damien memotong rotinya dengan tenang. “Lucu. Padahal kau sendiri yang bersedia menikahiku dengan gaun putih dan senyum tipis di altar minggu lalu.”
“Aku tidak pernah benar-benar ingin ini terjadi.”
“Aku tahu itu,” jawab Damien. “Tapi sayangnya, kita sudah menandatangani surat legal. Kau adalah istriku, Anna. Suka ataupun tidak.”
“Aku akan bicara dengan pengacaraku,” Anna bersikeras.
“Silakan.” Damien tersenyum, seperti serigala yang baru mengunci mangsanya. “Pengacaraku ada lima. Masing-masing bekerja untuk memastikan kau tak bisa pergi ke mana-mana tanpa izinku.”
Anna menegang, napasnya terhenti.
“Aku tidak akan menyakitimu. Aku akan memberimu segalanya. Apa pun yang kau mau, perhiasan, buku, baju, taman pribadi, bahkan studio lukis,” kata Damien, suaranya nyaris lembut.
“Tapi aku…” bisik Anna.
“Mau kembali ke ibumu?” Damien bangkit perlahan. “Selama kau belum berhasil menjalankan misimu, kabarmu tak penting lagi baginya.”
Anna merasa berada di mimpi buruk yang dibungkus emas. Ia diperlakukan seperti putri, makanannya lezat, kamarnya nyaman, tamannya indah. Tapi semua itu palsu. Setiap kali ia mencoba kabur, penjaga selalu muncul. Ponselnya terkunci, hanya bisa menghubungi nomor yang disetujui. Damien benar-benar mengurungnya dalam kemewahan.
Malamnya, Anna berdiri di balkon, memandangi lampu kota. Ia merindukan Lucian, atau mungkin, hanya kebebasan. Pintu kamarnya terbuka. Damien masuk, membawa secangkir teh.
“Kau tidak tidur?” tanyanya pelan.
Anna menggeleng.
“Aku juga tidak bisa tidur jika belum menyentuhmu.” Damien duduk, menatap langit malam.
“Kenapa kau menahanku seperti ini?” bisik Anna. “Kau bilang tidak mencintaiku. Tapi kau memperlakukanku seperti tawanan.”
Wajah Damien tenang, tapi matanya berubah. “Karena kau berbahaya, Anna. Bukan untukku. Tapi untuk dirimu sendiri.”
“Apa maksudmu?”
Damien meneguk tehnya. “Aku tidak akan membiarkanmu kembali pada pria yang menyuruhmu menjual diri demi dendam seorang wanita tua yang bukan ibumu.”
Anna menegang. “Kau tidak tahu apa-apa tentang aku—”
“Aku tahu cukup banyak untuk tidak melepaskanmu ke dunia yang akan menghabisimu.”
Dengan kalimat itu, Damien bangkit dan berjalan ke pintu. Sebelum keluar, ia menoleh, “Tidurlah, Anna. Kau butuh tenaga setiap malamnya. Aku berencana membuatmu jatuh cinta padaku lebih dulu… dengan cara yang akan membuatmu menyesal pernah ingin kabur.”
Pintu tertutup. Anna sadar, ia bukan tawanan biasa. Ia adalah tawanan yang sedang dijinakkan oleh raja yang tahu cara bermain.
Anna tetap tak mau menyerah, ia mulai menghitung waktu. Kapan penjaga berganti, siapa yang mengantar makanan, berapa kali Damien mengetuk pintu. Ia menghafalkan semua pola itu. Ia tidak ingin tinggal, tidak ingin menjadi tawanan dengan mahkota. Pernikahan ini seharusnya hanya sandiwara, tapi terasa semakin nyata.
Anna mengangkat sebelah alisnya, penasaran.Damien mendekat, mengunci pergerakan Anna. Lidahnya bermain, seolah menantang Anna untuk beradu. Anna menolak seperti biasa, tapi Damien tak menyerah. Ciumannya turun, menjelajahi leher hingga dadanya.“Ahhh...”Akhirnya Anna mendesah tanpa sadar. Bibirnya tertahan, namun desahan itu tak bisa membohongi Damien. Tangan Damien juga mulai bermain di bawah, perlahan namun membuat Anna tak karuan. Tepat saat Anna hampir mencapai puncaknya, Damien menjauh.“Oke, sudah waktunya kita makan malam di bawah,” ucap Damien seolah tak terjadi apa-apa.Anna menelan ludah, napasnya tersengal. Dia terkejut. Bagaimana bisa Damien berhenti begitu saja saat dia hampir meledak? Tapi Anna terlalu malu untuk meminta Damien melanjutkan.“Gimana? Mau makan malam atau---““Makan malam!” potong Anna cepat. Dia sudah cukup merasa dipermalukan di depan Damien.&ldqu
Anna menatap mata yang dingin itu. Jauh di lubuk hatinya, ia tahu satu hal. Jika ingin bertahan, ia harus mulai melawan.Keesokan harinya, Anna mulai membuat salinan semua dokumen yang ia kirim dan menyimpannya di drive pribadi. Ia juga diam-diam mempelajari sistem log perusahaan dan mencatat setiap waktu akses file. Benar saja, ada dua dokumen yang diakses ulang oleh akun Bianca tepat setelah Anna mengunggahnya. Namun, satu file terpenting. laporan Zurich hilang total. Tidak hanya dihapus, tetapi benar-benar musnah dari server utama.Jantung Anna berdegup kencang saat menatap layar laptopnya. Sekretaris Damien bukan hanya ingin menyingkirkannya. Dia ingin Damien sendiri yang membuangnya.Anna berdiri di depan kaca, memandangi bayangannya. Ia sadar, cinta saja tidak akan cukup untuk bertahan di rumah ini. Ia harus cerdas, licik dan harus tega."Bianca yang memulai perang. Aku harus siap membalasnya. Tapi kenapa aku harus terlalu ikut campur? Bukankah aku tidak menyukai Damien? Tugasku
Aroma kopi pekat dan parfum mahal menguar di ruang rapat utama lantai lima. Pagi itu, Anna terpaksa hadir. Duduk di ujung meja panjang, ia merasa kecil di antara para penasihat hukum perusahaan yang mengapitnya. Gaun formal berwarna abu-abu lembut membalut tubuhnya, namun rasa malu jauh lebih terasa. Sebab ia masih merasa sebagai istri sementara Damien.Entah mengapa ia begitu pasrah saat Damien memintanya ikut mengurus perusahaan setelah dua hari lalu ia dikurung di kamarnya. Seolah-olah hidupnya sudah bukan miliknya lagi.Sepuluh menit kemudian, Damien masuk. Langkahnya cepat, dingin, dan penuh wibawa. Seluruh orang di ruangan berdiri serentak. Di belakangnya, seorang perempuan anggun mengikuti. Setelan hitam yang pas dengan ukuran badannya, rambut diikat rapi, clipboard di tangan kanan, dan tablet di tangan kiri.“Selamat pagi, semuanya,” sapa Damien tanpa melirik Anna sedikit pun.Perempuan itu menarik kursi tepat di samping Damien. Dengan
BRAKK !Pintu kamar terbanting terbuka dengan kasar. Langkah kaki Damien menghentak lantai marmer, bergegas dan penuh amarah yang mendidih. Anna, yang baru saja melepas sepatu, membeku di tempatnya. Jantungnya serasa berhenti berdetak sesaat.Tubuh Damien kini berdiri tegap di ambang pintu, siluetnya mengancam. Mata gelapnya menancap langsung ke pupil mata Anna seolah sedang menghakiminya."Kau mau lari... lagi, hmm?" suaranya nyaris berbisik, namun justru membuat Anna gemetar hebat."A-aku..." Suara Anna tercekat, mencoba menyangkal meskipun tubuhnya tak bisa berbohong. tas kecil, dompet, bahkan ponsel, semua tetap tersembunyi di balik kardigan.Damien berjalan perlahan ke arahnya, seperti predator yang mengintai mangsanya. Tapi bukan karena amarah atau benci semata. Ada sesuatu yang lebih dalam di wajahnya yaitu luka dan frustrasi."Kau pikir aku akan diam saja? Setelah semua ini?" suaranya dalam, mengandung racun kekecewaan. "Setelah aku memberimu tempat tinggal, makan, keamanan, d
Air mata jatuh sebelum sempat ia sadari. Ia membuka satu per satu dokumen. Sebuah percakapan email antara Viviane dan seseorang bernama “L”—jelas Lucian. Kalimat-kalimat yang menusuk, membicarakan Anna seolah hanya alat.“Begitu dia menikah dengan Damien, aku bebas. Selena juga tak perlu kusembunyikan lagi.”“Viviane, tolong jaga agar dia tak kembali. Aku tak ingin Anna melihat kami sebelum waktu yang tepat.”Anna mematung. Nafasnya sesak. Ia hampir tidak bisa menelan rasa pahit yang mendadak memenuhi kerongkongannya. Semua yang ia pertahankan, kenangan, cinta, harapan bahwa suatu hari ia akan kembali ke pelukan Lucian ternyata tidak lebih dari kebohongan yang dikemas rapi.Ia menggeleng, menutup laptop. Tapi semuanya sudah terlanjur terekam dalam kepalanya.Lucian...Selama ini, Damien yang ia benci, ternyata adalah satu-satunya yang tetap jujur dengan ketidakjujurannya. Sementara Lucian, pria yang ia percaya sampai akhir... adalah kebohongan itu sendiri.Dan Anna tertawa. Pelan. Pah
Viviane tersengal pelan, tubuhnya seperti kehilangan kendali, dan dalam pandangan mata yang remang itu, Anna melihat sesuatu yang ganjil dan terlihat ketakutan. Ketakutan seorang ibu. Atau mungkin sekadar ketakutan seorang manusia yang kini tahu ia bukan lagi siapa-siapa.Anna ingin tertawa, tapi yang keluar malah sesak. Ia duduk di lantai, menatap lantai marmer yang dulu ia pel dengan tangan sendiri karena dihukum. Kini marmer itu dingin menempel di kakinya yang basah kuyup."Aku mau gugurin anak ini," katanya, lirih, tapi tajam. "Anak dari pria yang kau paksa jodohkan denganku. Anak dari rencana yang kau buat sendiri. Tapi sekarang aku lihat kau seperti ini..."Ia menoleh ke arah Viviane, yang tampak mulai kelelahan bahkan hanya untuk menangis."Aku benci kau... tapi aku juga benci rasa kasihan ini."Viviane merintih, tubuhnya merosot lebih dalam ke kursi, dan Anna bangkit.Ia menyusuri rumah. Mencari kotak P3K, mencari handuk, mencari botol air. Ia menemukan semua itu dalam lemari