Mag-log inAnna menelan ludahnya, gaun putihnya masih melekat sempurna. Pernikahan ini seharusnya hanya pura – pura saja, tak berarti apa-apa. Namun, saat duduk berhadapan dengan Damien di meja makan malam itu, suasananya terasa jauh dari formalitas.
Damien duduk tegak di seberang, tanpa kursi roda. Jari-jarinya terlipat rapi di atas meja, matanya yang kelam menatap Anna lekat-lekat, membuat jantung gadis itu berdetak lebih cepat.
“Kenapa tidak makan?” suara Damien pelan.
Anna buru-buru menunduk, tangannya sedikit gemetar saat mencoba memotong steak. “Aku tidak terlalu lapar,” jawabnya.
“Padahal kau akan butuh banyak tenaga untuk malam ini,” ucap Damien, terdengar seperti ancaman.
Anna mencoba tersenyum kaku. “Aku pikir kau tahu pernikahan ini hanya—”
“Pura-pura?” potong Damien.
Anna terdiam, merasa lehernya menegang. Ia tak tahu harus menjawab atau diam.
“Kau tidak perlu menjelaskan, Anna,” lanjut Damien. “Sudah kubilang, aku tahu semua alasan kalian sejak awal. Sayangnya, aku bukan orang yang mudah dipermainkan.”
Anna ingin menyangkal, tapi tak bisa. Ia menggigit bibirnya. “Aku tidak tahu sebelumnya ternyata kau bisa berjalan,” katanya, terdengar bodoh.
Damien tersenyum, senyum yang tak sampai ke matanya. “Semua orang tidak tahu. Termasuk ibumu. Kalian pikir kalian menjebak rusa sekarat. Tapi sayangnya, kalian berurusan dengan serigala.”
Suasana makan malam berubah menjadi medan perang tersembunyi. Anna menatap piringnya, kehilangan selera makan. Namun, ia tahu bangkit dari kursi akan membuatnya terlihat lemah.
“Aku tidak pernah berniat menyakitimu,” gumamnya.
Damien mencondongkan tubuhnya. “Justru itulah masalahnya, Anna. Kau tidak berniat menyakitiku. Kau hanya berniat memanfaatkan aku, dan itu lebih buruk.”
Anna merasa kata-katanya takkan mampu melawan logika dingin pria di hadapannya.
“Aku tidak peduli kau menginginkanku atau tidak. Malam ini aku akan menyentuhmu. Siap atau tidak.”
Anna terkejut.
“Kita tidur di kamar utama. Dan mulai besok, aku yang akan mengatur hidupmu. Kau ingin menikah demi balas dendam kan? Maka terimalah konsekuensinya sebagai istri Damien Sinclair.”
Jantung Anna seolah berhenti berdetak. Damien bangkit, melangkah kokoh, membuktikan bahwa semua cerita tentang kelumpuhannya hanyalah kebohongan. Ia menarik Anna dan membawanya ke kamar pengantin.
“Selamat datang di permainanmu sendiri, Anna.”
Pintu tertutup. Anna duduk di ujung ranjang yang luas, merasa gaunnya seperti kain kafan. Ia ingin menangis, tapi tak ada air mata yang keluar. Damien, pria yang seharusnya lumpuh, kini berdiri di hadapannya. Ia telah membalikkan papan permainan dan menahan Anna di dalamnya.
Ia mencoba mengingat wajah Lucian, pria yang dicintainya, yang menjanjikan kebebasan. Tapi jarak mereka terlalu jauh sekarang. Ia menyandarkan kepala, memejamkan mata. “Jika ini baru awalnya… bagaimana dengan akhirnya?”
Kamar pengantin terasa terlalu luas. Anna berdiri kaku di ambang pintu.
“Segera lepas gaunmu,” perintah Damien. Ia meletakkan tongkatnya dan duduk di sofa, mengawasi Anna seperti pemburu. “Aku tidak akan mengulanginya lagi, Anna. Lepas gaunmu se-ka-rang.”
Anna menoleh, matanya menahan air mata. “Kau berbohong, ini tidak adil,” bisiknya.
“Aku tidak pernah berbohong,” Damien tersenyum tipis. “Itu ibumu yang bicara, bukan aku.”
Napas Anna bergetar. “Aku tidak mencintaimu, biarkan aku minum pil darurat setelah ini… atau bisakah kau menggunakan pengaman?”
“Aku pun tidak butuh cintamu,” jawab Damien. “Aku hanya butuh… tiga anak saja.”
“Anak?” Anna menyipitkan mata.
“Akui kekalahanmu sekarang,” kata Damien.
“Kalah?”
“Bahwa ibumu gagal menghancurkanku. Dan kau hanya versi lebih muda dari kekalahannya.”
Anna tahu, jika ia melawan, Vivienne akan kehilangan segalanya. Dengan tangan gemetar, ia mulai membuka resleting gaunnya. Damien perlahan mendekat, langkahnya tenang. Ia berhenti sejenak, menatap Anna.
“Takut?” tanyanya.
“Benci,” jawab Anna. “Tapi lebih dari itu… aku jijik.”
“Bagus,” Damien tersenyum sinis. “Benci adalah bahan bakar yang bagus untuk api. Tapi jangan salah, Anna. Kau bukan korban di sini. Kau hanya bagian dari permainan ini.”
Ia mengangkat dagu Anna. “Dan kalau kau ingin bertahan, belajarlah memainkan peranmu lebih baik.”
Damien berbisik di dekat telinga Anna, “Karena mulai sekarang, kau milikku. Tubuhmu, nama belakangmu, juga sisa hidupmu.”
Malam itu, semua milik Anna direnggut paksa. Ia merintih kesakitan, bahkan Damien terkejut karna ternyata ini adalah pengalaman pertama bagi dirinya dan juga Anna...
“Arrgh, sa-kit…” rintih Anna.
“Tahan, Anna. Hanya malam ini. Besok kau yang akan memintanya sendiri karena ketagihan!” Damien bergerak maju-mundur tak beraturan. Ini juga yang pertama baginya.
“Am-pun…” Anna memohon, tapi Damien punya banyak gaya yang ingin ia coba.
“Sabar, Anna, ini baru satu gaya. Aku masih punya banyak permainan sampai pagi.”
Benar saja, Damien melakukannya hingga hampir pagi. Anna berusaha meyakinkan dirinya bahwa setelah ini ia bisa kabur dan kembali ke Lucian. Ia menatap langit-langit kamar saat Damien akhirnya pergi tidur. Anna berusaha kabur, tapi ia tak sadarkan diri.
---TBC---
Jam digital di dinding ruang kerja baru Damien menunjukkan pukul 22.17. Enam jam terasa seperti enam detik.Atmosfer di ruangan itu telah berubah. Ini bukan lagi markas pemulihan. Ini adalah pusat komando untuk sebuah operasi yang mustahil. Markus berdiri di depan papan tulis digital, yang kini menampilkan denah lantai bandara dan foto file Rudi yang buram."Dia gila," kata Damien. Dia tidak lagi duduk. Dia mondar mandir di ruangan, bahunya yang terluka tegang karena adrenalin, menolak untuk menunjukkan rasa sakit. "Mengirimmu ke sana. Aku tidak akan mengizinkannya.""Kau tidak punya pilihan," balas Anna.Dia sudah siap. Dia tidak lagi mengenakan piyama atau jubah kasmir. Dia mengenakan celana panjang hitam praktis, sepatu bot datar, dan blus sutra gelap di bawah mantel wol panjang. Dia terlihat ramping, kuat, dan berbahaya. Dia tampak seperti bayangan."Rudi adalah pengecut," lanjut Anna, suaranya stabil. "Dia takut padamu. Dia takut pada Markus. Tapi aku... aku adalah Nyonya Damien
Desember tiba, membawa udara yang lebih sejuk dan rasa normal yang menipu.Di rumah bata merah di puncak bukit, sebuah rutinitas baru telah terbentuk. Itu adalah rutinitas yang tenang, dijaga ketat, dan didedikasikan untuk satu hal: pertumbuhan.Anna duduk di kursi dekat jendela di ruang tamu, meringkuk di bawah selimut kasmir. Sinar matahari pagi menerpa halaman, dan untuk pertama kalinya, dia tidak melihat bayangan di setiap pohon. Di pangkuannya bukan novel. Itu adalah buku tebal berjudul Apa yang Diharapkan Saat Anda Hamil. Dia membacanya dengan konsentrasi seorang sarjana."Kau tahu," katanya ke ruangan yang sepi, "rupanya mual di pagi hari itu pertanda baik. Itu berarti kadar hormonnya tinggi.""Aku akan mencoba mengingatnya," suara Damien terdengar dari seberang ruangan.Dia tidak sedang bekerja. Atau, setidaknya, dia tidak sedang bekerja seperti dulu. Dia duduk di sofa yang berhadapan dengan Anna, laptop di pangkuannya. Alih alih data pasar saham, dia sedang meneliti... sistem
Satu minggu setelah suara tembakan terakhir.Sebuah sedan Mercedes lapis baja hitam, tidak lagi terburu buru, melaju pelan menyusuri jalanan pinggiran kota yang tenang. Ini adalah dunia yang berbeda. Dunia pepohonan ek tua, halaman rumput yang baru dipangkas, dan anak anak yang bermain di trotoar.Anna menatap ke luar jendela. Dia belum pernah berada di bagian kota ini. Rasanya... asing. Normal."Kita hampir sampai," kata Damien pelan dari sampingnya.Dia tidak duduk di kursi pengemudi. Lengan kirinya terikat erat di dadanya dengan gendongan medis profesional, kemeja hitamnya sengaja dibuat longgar agar pas. Dia masih pucat, rasa sakit yang konstan terlihat jelas di matanya. Markus yang mengemudi, dengan satu mobil pengawal lagi mengikuti di belakang.Mobil berbelok ke jalan masuk pribadi yang tersembunyi di balik pagar tanaman tinggi. Dan di sana, di puncak bukit kecil yang menghadap ke lembah, berdirilah rumah itu.Itu bukan penthouse. Itu bukan benteng kaca dan baja.Itu adalah seb
Udara malam yang dingin terasa seperti tamparan di wajah, bersih dari asap, tetapi penuh dengan suara sirene yang menusuk.Anna tersandung keluar dari ramp garasi, menopang hampir seluruh berat badan Damien. Lengan pria itu yang sehat melingkari lehernya, sementara tangan kirinya yang hancur berlumuran darah, tergantung lemas. Kemeja hitam yang Damien kenakan kini basah kuyup oleh darahnya sendiri, menempel di tubuhnya."Hampir... sampai," desis Damien, giginya terkatup.Tapi Anna tahu dia tidak akan berhasil. Dia bisa merasakan tubuh Damien yang berat semakin merosot."Damien! Tetap bersamaku!" teriak Anna, kakinya gemetar. "Kumohon!"Di depan mereka, pemandangan itu seperti zona perang yang nyata. Mobil polisi, pemadam kebakaran, dan ambulans memblokir seluruh jalan. Lampu merah dan biru berputar, memotong kegelapan, menerangi wajah wajah ngeri para penonton yang ditahan di belakang barikade.Gedung safe house itu kini menjadi obor. Api menjilat dari jendela lobi dan, yang mengerika
Garasi parkir bawah tanah itu dingin dan senyap. Sangat kontras dengan neraka yang meraung di lobi di atas mereka. Satu satunya suara adalah tetesan air yang jatuh dari pipa sprinkler dan dengungan rendah lampu neon yang berkedip di kejauhan. Udara berbau beton basah dan asap yang samar.Damien membuka pintu tangga darurat dengan perlahan, celah demi celah. Pistol teracung.Dia memindai. Kiri. Kanan. Kosong.Hanya ada deretan mobil mewah yang diparkir, tertutup lapisan tipis debu dan jelaga."Dia di sini," bisik Damien. Dia menarik Anna keluar dari tangga, membiarkan pintu tertutup pelan di belakang mereka. "Markus dan timnya akan membuat keributan di atas. Itu memberi kita... mungkin tiga menit.""Tiga menit untuk apa?" bisik Anna, memegang pistolnya erat erat. Benda itu terasa berat dan dingin."Untuk menemukannya sebelum dia menemukan kita."Damien bergerak. Dia tidak berlari. Dia bergerak seperti predator. Menyelinap dari satu pilar beton ke pilar beton berikutnya, menggunakan mobi
Atap itu adalah neraka yang berangin.Bilah bilah rotor helikopter berputar melambat, whup... whup... whup, suaranya seperti detak jantung monster yang sekarat. Hujan gerimis dan asap dari granat asap di lobi bercampur menjadi kabut yang menyesakkan. Di bawah mereka, suara tembakan otomatis terdengar seperti popcorn yang meledak tanpa henti."Kau tetap di sini." Suara Damien serak, penuh adrenalin."Seperti neraka aku akan tetap di sini!" balas Anna. Dia sudah membuka ranselnya, mengeluarkan pistol kedua yang berat dan dingin."Anna, kau tidak tahu cara...""Kau mengajariku," kata Anna, suaranya gemetar tapi tegas. Dia memeriksa magazen dengan tangan yang basah. "Di pernikahan pertama kita. Kau bilang seorang istri harus tahu cara melindungi dirinya sendiri. Aku ingat." Dia berhasil memasukkan magazen itu dengan bunyi klik yang memuaskan. "Dan sekarang... aku punya sesuatu untuk dilindungi."Dia menepuk perutnya yang rata, sebuah gestur yang kini terasa nyata dan menakutkan.Damien me







