Mag-log inMalam itu, setelah makan malam yang tegang, Anna berpura-pura lelah. Secara diam – diam di dalam kamar, mempersiapkan diri untuk kabur. Ia menyembunyikan perhiasan kecil dan sepatu datar. Pukul dua dini hari, ia duduk di balik tirai dan menunggu. Ia tahu ada jeda empat menit saat penjaga berganti.
Tapi saat Anna melangkah keluar, jantungnya berhenti berdetak. Damien sudah berdiri di ujung koridor, hanya mengenakan kemeja dan celana tidur, matanya tajam.
“Larut malam begini,” katanya pelan, “kau mau ke mana, Anna?”
Anna membeku. Ia melihat sisi Damien yang gelap, dingin, dan berbahaya.
“Aku… cuma ingin udara segar,” bisiknya.
“Dengan sepatu?” Damien melangkah mendekat. “Dengan kantong penuh barang?”
Anna menggenggam roknya, menahan diri agar tidak gemetar. “Aku tidak tahan. Aku merasa terkurung.”
Damien berdiri di hadapannya. “Kau ingin kabur? Kau benar-benar ingin meninggalkan tempat ini, setelah aku menjanjikanmu segalanya?”
“Aku tidak butuh semuanya. Aku hanya butuh keluargaku,” tantang Anna, suaranya bergetar.
Damien langsung menariknya dan membawanya kembali ke kamar.
"Kau mau pergi? Jangan bermimpi, Anna.“Apa permainanku terlalu kasar bagimu, hm?” Damien bertanya tepat di depan Anna.
Anna tak mampu menjawab.
“Aku sudah menekan egoku agar kau bisa menikmati setiap malam denganku, aku buang sisi egoisku. Aku buat cairan kau keluar terlebih dahulu berkali-kali. Apa itu masih kurang menurutmu? Apa Lucianmu itu bisa melewati kemampuanku, hm?”
Anna berusaha memalingkan wajah, tapi Damien kembali menarik dagunya agar tatapannya fokus padanya. Ia paling tidak suka jika dirinya sedang berbicara tapi lawan bicaranya tak menatap matanya.
“Jawab aku, Anna? Atau kau sebenarnya lebih suka dengan permainan yang sedikit kasar? Iya?”
Lagi-lagi Anna hanya diam.
“Kalau tak bisa menjawab, biar kuberikan sensasi lain malam ini agar kau bisa bersyukur dengan permainanku di malam-malam sebelumnya!” ancam Damien.
Tangan Damien dan lidahnya bergerak perlahan. Anna sudah tak kuat menahan serangan Damien, tapi jauh di dalam hatinya ia tak mau berlama-lama meninggalkan Lucian. Ia harus menepati janjinya untuk kembali pada Lucian.
“Ehmmm…. kumohon… ahhh… Lepaskan aku!” akhirnya Anna bersuara.
Untuk sesaat, hanya keheningan yang terdengar. Sampai akhirnya Damien tertawa kecil, tawa getir.
“Baiklah.” Ia melangkah mundur. “Kalau begitu, silakan pergi.” ucap Damien tiba-tiba.
Anna menatapnya, bingung. “A-pa?”
“Pergi.” Damien menunjuk ke arah tangga. “Pintu utama tidak dikunci malam ini. Aku sengaja tidak memerintahkan siapa pun menjaga gerbang. Kau bisa kabur sekarang.”
Anna tak percaya. Tanpa banyak berpikir, ia melangkah pelan ke arah tangga. Tapi belum sampai lima langkah, suara Damien kembali terdengar.
“Tapi… kau tahu kan, Anna? Begitu kau keluar dari rumah ini, tidak ada yang akan melindungimu.”
Langkahnya berhenti seketika.
“Aku bisa menjamin satu hal. Mereka yang menyuruhmu menikahiku akan membunuhmu karena gagal. Dan jika kau kembali ke tempat awalmu… kau akan jadi alat, lagi. Bahkan lebih parah dari sebelumnya.”
Anna menggigit bibirnya. Ketakutan dan keraguan mulai menggerogoti keyakinannya.
Damien mendekat sekali lagi. Suaranya nyaris seperti bisikan di telinga. “Kau hanya punya dua pilihan, Anna. Bebas dan hancur… atau terkurung tapi selamat.”
Seketika, semua rencana kabur itu tak berarti lagi.
Tangannya gemetar ketika Anna kembali ke kamar. Damien mengawasinya hingga pintu tertutup rapat. Ia tak berkata apa-apa lagi. Tapi Anna tahu, ia tidak akan diberi kesempatan kedua untuk kabur. Dan entah kenapa, bagian kecil dalam dirinya mulai merasa takut akan dunia di luar sana. Mungkin… penjara ini memang satu-satunya tempat yang masih menyisakan perlindungan untuknya.
***
Pagi itu terasa aneh. Anna terbangun tanpa sentuhan Damien. Biasanya tubuhnya letih tapi melegakan, namun pagi ini ia merasa kebingungan. Ia duduk di tepi ranjang, memandangi tangannya yang bergetar. Sisa peristiwa semalam masih menempel di tubuhnya, bukan luka fisik melainkan luka batin yang membuatnya merasa kecil dan terperangkap. Ia takut. Bukan pada Damien, tapi pada dunia di luar sana.
Damien memang mengurungnya, tapi ia tidak pernah menyakitinya. Semua kebutuhannya terpenuhi. Ia diberi makanan, pakaian, bahkan buku dan alat lukis. Damien mempelajari dirinya, seolah tahu bahwa meskipun Anna ingin kabur, bagian terdalam dirinya merindukan pengakuan.
Saat makan siang, Anna makan dalam diam. Pelayan hanya meletakkan nampan di meja kecil, lalu keluar. Di atas nampan, ada kotak kecil berwarna biru muda. Anna membukanya. Sebuah bros berlapis emas putih berbentuk bunga lili. Di belakangnya, sebuah catatan kecil bertuliskan: “Bukan untuk menyuapmu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku memperhatikanmu.” – D
---TBC---
Enam bulan kemudian.Cahaya matahari pagi tidak lagi terasa pucat atau menyelinap seperti pencuri. Cahaya itu tumpah ruah, berani dan keemasan, membanjiri dapur rumah di atas bukit yang dulunya menyerupai benteng pertahanan.Damien berdiri di depan kompor. Tangan kirinya yang dulunya kaku dan tidak berguna kini memegang gagang wajan dengan cengkeraman yang gemetar namun stabil. Dia sedang membuat telur orak-arik. Itu adalah tugas sederhana yang membutuhkan konsentrasi setingkat operasi militer baginya."Jangan gosong," gumamnya pada diri sendiri. "Jangan gosong."Di kursi makannya yang tinggi, Fajar kini berusia sepuluh bulan dan memiliki gigi depan yang tajam memukul-mukul nampan plastiknya dengan sendok."Ba! Ba! Ba!"Damien menoleh, seringai kecil muncul di wajahnya yang berewok. "Sabar, Komandan. Logistik sedang dipersiapkan."Dia memindahkan telur ke piring. Gerakannya tidak lagi sehalus dulu. Ada jeda mikro, ada getaran di otot bahunya di mana peluru pernah bersarang, tapi dia t
Pukul 03.14 pagi.Rumah di atas bukit itu diselimuti keheningan yang tebal dan pekat. Di kamar tidur utama, cahaya bulan yang pucat menyelinap masuk, membuat bayangan panjang dari perabotan kayu yang berat.Waaah.Suara itu, tipis namun menuntut, membelah keheningan.WHUMP.Bahkan sebelum matanya terbuka, Damien sudah duduk tegak di tempat tidur. Jantungnya berdebar kencang, napasnya tercekat. Tangannya yang sehat secara naluriah bergerak ke laci meja samping tempat tidur, mencari pistol yang sudah berbulan bulan tidak ada di sana.Bukan tembakan. Bukan alarm.Di sampingnya, Anna juga sudah terbangun. Tapi dia tidak melompat. Dia berbaring kaku, menatap langit langit.WAAAAH!Tangisan kedua datang, lebih keras."Aku dengar," kata Damien, suaranya serak. Dia mengayunkan kakinya dari tempat tidur. "Giliranku. Ganti popok.""Tidak."Suara Anna, pelan namun tegas, menghentikannya.Damien membeku, kakinya separuh di lantai. "Dia menangis.""Aku tahu," kata Anna. Dia memaksakan dirinya untu
Dua hari berlalu.Rumah di atas bukit itu sunyi. Ketenangan itu terasa salah, seperti gaun yang tidak pas. Anna telah menghabiskan 48 jam itu dengan bolak balik antara kamar tidur utama dan kamar bayi yang baru. Dia akan duduk di kursi goyang, menggendong Fajar yang sedang tertidur, dan menatap dinding, mendengarkan.Dia mendengarkan suara derit rumah. Dia mendengarkan suara angin di pepohonan di luar. Setiap suara membuatnya tersentak.Damien menghabiskan 48 jam itu di ruang kerjanya. Pintunya terbuka. Tapi dia tidak bekerja. Dia hanya duduk di depan serangkaian monitor keamanan baru yang menampilkan rekaman langsung dari setiap sudut halaman. Dia hanya... mengawasi.Mereka adalah dua tentara yang ditempatkan di pos penjagaan yang damai, masih memindai cakrawala, mencari musuh yang tidak akan pernah datang.Pukul 14.00 siang.Anna sedang mencoba memaksa dirinya untuk makan sandwich di dapur ketika dia mendengar bel pintu.Jantungnya melompat ke tenggorokannya. Dia langsung meraih pon
Satu bulan telah berlalu.Di rumah bata merah di atas bukit, kehidupan telah berjalan dengan ritme yang baru dan aneh. Dunia luar telah pindah. Berita utama kini diisi oleh skandal politik baru dan kejatuhan Takeda Industries (Rachelle, sepertinya, telah menepati janjinya untuk menghilang, puas dengan kehancuran Takeda). Nama "Damien" telah memudar dari siklus berita, digantikan oleh rasa ingin tahu yang samar tentang "CEO yang berduka" yang menghilang dari publik.Di dalam rumah, perang telah digantikan oleh sesuatu yang jauh lebih menantang: keheningan.Pukul 03.14 pagi.Kamar tidur utama gelap, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang pucat.Waaah.Suara itu, tipis dan menuntut, membelah keheningan.WHUMP.Damien sudah terbangun, duduk tegak di tempat tidur. Jantungnya berdebar kencang, tangannya yang sehat secara naluriah bergerak ke laci meja samping tempat tidur, mencari pistol yang tidak lagi ada di sana. Dia terengah engah, butuh tiga detik untuk menyadari di mana dia berada.Bu
Ruangan itu dipenuhi oleh suara tangisan. Anna terbaring di atas bantal, basah oleh keringat, lelah sampai ke tulang, tapi dia tidak bisa mengalihkan pandangannya. Damien berdiri terpaku di samping tempat tidur, tangannya yang sehat masih mencengkeram tangan Anna. Dia menatap buntalan kecil yang marah di dada istrinya. Dia tampak lebih terguncang sekarang daripada saat dia terbang menembus baku tembak."Dia baik baik saja?" bisik Damien, suaranya serak. "Kenapa dia menangis?""Dia baru saja lahir, Damien," kata Dr. Aris sambil tertawa. Dia dengan ahli mengambil bayi itu dari dada Anna. "Dia hanya ingin menyapa dunia. Ayo, kita bersihkan dia."Seorang perawat membawa bayi itu ke meja penghangat di sudut. Damien dan Anna memperhatikan setiap gerakannya seolah olah mereka sedang mengawasi bom yang dijinakkan.Anna bersandar, memejamkan mata sejenak. Keheningan setelah dorongan terakhir terasa memekakkan telinga. Rasa sakitnya telah hilang, digantikan oleh kelelahan yang hampa dan damai.
Rumah di atas bukit itu adalah kedamaian yang telah mereka perjuangkan dengan darah, kini pecah oleh suara yang paling biasa sekaligus paling menakutkan."TAS!" teriak Damien, berlari ke arah yang salah di dapur. "MARKUS! TIDAK, AKU TIDAK PUNYA MARKUS! KUNCI! DI MANA KUNCI MOBIL?!"Anna tertawa, tawa yang bercampur dengan sedikit erangan. Kontraksi pertama itu ringan, lebih mengejutkan daripada menyakitkan. Dia berjalan pelan, tertatih, melewatinya."Damien," panggilnya, suaranya tenang."APA?!" bentaknya, panik, sambil membongkar laci yang penuh dengan sendok garpu."Kuncinya ada di sakumu," katanya.Damien berhenti. Dia merogoh saku celana pendeknya. Dia menarik kunci mobil Mercedes itu keluar. Matanya terbelalak."Benar."Dia menatap Anna, yang kini bersandar di meja dapur, bernapas pelan."Baik," kata Damien, menarik napas dalam dalam. Pria yang telah menghadapi baku tembak, yang telah menerbangkan helikopter menembu







