“Maaf sudah merepotkanmu, Krish.” Ujar Grisse memecah kesunyian di antara mereka berdua. Grisse merasa perlu meminta maaf karena gadis itu benar-benar tidak enak hati pada Krish. Krish membuktikan ucapannya dengan tetiba muncul di lokasi ekskavasi untuk menjemputnya. Itu artinya Krish lebih mendahulukan dirinya daripada bergabung bersama anggota keluarga lainnya untuk merayakan pernikahan Aditi, kakaknya. “Hm?” Dehaman bernada tanya Krish mengisyaratkan bahwa laki-laki itu tidak mengerti dengan apa yang baru saja ia dengar. “Kau seharusnya tidak perlu menjemputku. Pernikahan Aditi lebih penting.” Grisse bicara dengan tetap mempertahankan pandangannya lurus ke depan. Gadis itu tidak siap jika harus beradu pandang dengan Krish walaupun hanya sekejap. “Aku sudah lebih dulu berjanji padamu kemarin. Kau lupa?” Tanya Krish sambil melihat Grisse melalui ekor matanya.“Pantang bagiku mengingkari janji.” Tegas Krish sambil tetap mempertahankan fokus pada jalanan beraspal yang membentang di
“Maafkan aku, Aditi.” Vidwan langsung menegakkan tubuhnya kemudian membelakangi Aditi. Sementara Aditi hanya mampu mengerjap beberapa kali sambil melempar pandangan penuh tanya. Aditi, tanpa memedulikan pakaiannya yang hampir terlepas seluruhnya, langsung bangkit berdiri lalu mendekati Vidwan. Aditi memberanikan diri memeluk Vidwan dari belakang. Ada sedikit keraguan dalam hati Aditi ketika ia meletakkan kepalanya pada punggung Vidwan. Namun hal itu segera ditepisnya dan digantikan oleh harapan untuk dapat mengetahui apa yang tengah mengganggu suaminya melalui debaran jantungnya.“Ada apa?” Tanya Aditi dengan suara lembut sambil perlahan-lahan menyelipkan sepasang tangannya melalui celah antara lengan dan badan Vidwan. Kedua tangan Aditi dengan kompak mendarat di tempat yang sama, yakni di atas dada Vidwan. Vidwan tidak menjawab. Laki-laki itu juga tidak menunjukkan respons apa pun pada apa yang dilakukan Aditi. Aditi bukanlah gadis bodoh. Gadis itu sangat yakin bahwa Vidwan teringat
Krish langsung memeluk Grisse dari belakang begitu mereka berdua memasuki kamar hotel. Kemudian laki-laki itu tanpa henti menghujani Grisse dengan kecupan-kecupan kecil di beberapa bagian atas tubuhnya: tengkuk, leher, daun telinga, pipi, bahkan tulang selangka. Grisse yang mendapati serangan cepat Krish hanya mampu merespons dengan tawa sekaligus pekik tertahan akibat sensasi geli yang menjalari sekujur tubuhnya. Bibir Krish memang luar biasa, terlebih ketika bagian yang lembut serta hangat itu menyentuh bagian leher Grisse yang terbuka. Tidak berhenti sampai di situ, sentuhan bibir Krish juga menyasar titik sensitif Grisse lainnya, daun telinga yang terekspos seolah menantang Krish. “Aww….” Pekik Grisse kembali terdengar ketika Krish mendaratkan gigitan kecil pada cuping telinganya. Krish terkekeh sambil tangannya menyingkirkan helaian anak rambut Grisse yang terlepas dari ikatan serupa ekor kuda. Helaian rambut itu nampaknya mengganggu Krish yang bermaksud menyasar tengkuk Grisse.
“Vidwan, aku baru saja menerima surat elektronik dari kampusmu.” Aditi langsung beranjak dari depan laptopnya yang menyala begitu mendengar suara pintu kamar mandi dibuka dari dalam. Ketidaksabaran tergambar jelas di wajah Aditi sehingga dengan terburu-buru ia segera menghampiri sang suami. Aditi, dengan wajah semringah, berjalan menghampiri Vidwan yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk berukuran sedang. Sesekali laki-laki itu melirik pantulan dirinya pada cermin yang tingginya nyaris sama dengan tinggi tubuhnya.“Apa isinya?” Tanya Vidwan tanpa melihat Aditi. Laki-laki itu justru memperlihatkan raut wajah kurang tertarik. Setelah yakin rambutnya tidak lagi basah, Vidwan kemudian mengangsurkan handuk yang telah dipakainya pada Aditi dengan cara dilempar. Beruntung, Aditi yang meskipun terkejut tetap bisa menangkap handuk itu dengan sigap. “Aku melamar menjadi pengajar di departemenmu dan… aku diterima.” Jawab Aditi masih dengan wajah semringah. Vidwan melihat istrinya melal
"Krish?" Panggil Grisse sambil kembali merapatkan tubuh tanpa busananya ke dada Krish."Hm?" Balas Krish yang masih dikuasai kantuk juga lelah.Grisse tidak segera melanjutkan. Gadis itu tampak menimbang beberapa hal sebelum akhirnya buka suara."Boleh aku mengatakan sesuatu?" Keraguan terdengar begitu kentara dari nada bicara Grisse. "Katakan, Sayang!" Jawab Krish sedikit malas. Tentu saja karena laki-laki itu tengah berusaha untuk memejamkan mata. Krish sangat ingin beristirahat, tapi ia juga tidak mungkin mengabaikan Grisse. Kau yakin akan membahas tentang Vidwan di saat seperti ini, Grisse?Sepertinya sekarang bukan saat yang tepat!Kalimat demi kalimat yang terus dilontarkan oleh dirinya sendiri membuat Grisse kembali ragu. Gadis itu ingin membahas tentang Vidwan dengan Krish. Gadis itu ingin mengatakan semua yang mengganggu pikirannya sekarang.Oh, ayolah Grisse. Kau sungguh-sungguh ingin membahas tentang Vidwan di saat seperti ini? Di saat kalian baru menyudahi aktivitas berc
Pandangan penuh selidik Vidwan memindai sosok di depannya beberapa kali. Seolah dengan melakukan itu, Vidwan bisa mengetahui apa yang sedang direncanakan sang istri. Vidwan yakin Aditi telah melakukan sesuatu dan sekarang wanita itu hendak bernegosiasi, mengadakan tawar-menawar untuk mencapai kata sepakat dengannya.Tapi apa? Apa yang telah dilakukan Aditi?Dan kesepakatan seperti apa yang diinginkan Aditi?"Kesepakatan seperti apa?" Akhirnya hanya kalimat tanya itu yang keluar dari bibir Vidwan. Pikiran Vidwan sudah hampir buntu. Tidak ada satu pun ide untuk menebak apa yang telah dilakukan Aditi. Sementara Aditi yang sedari tadi tidak mengalihkan pandangannya dari Vidwan hanya bisa menampilkan senyuman samar. Senyuman yang sengaja dibuat Aditi untuk mengacaukan pikiran Vidwan yang sudah ibarat benang kusut."Terima aku apa adanya.” Vidwan langsung tertawa. Kalimat Aditi benar-benar seperti lelucon di telinga Vidwan.“Aku juga akan menerimamu apa adanya." Ujar Aditi dengan mimik muka
“Menggelikan!” Bisik Aditi setelah membubuhkan tanda titik pada kalimat terakhir dokumen kesepakatan yang diketiknya. Bagi Aditi, permintaan Vidwan untuk mengatur tentang hubungan intim yang akan mereka jalani terasa menggelikan. Vidwan menolak menerima Aditi yang sudah tidak perawan, tapi di saat bersamaan laki-laki itu, secara tidak langsung, menginginkan untuk bercinta dengan Aditi. Bercinta untuk menyalurkan berahinya.Aditi beranjak dari duduknya setelah lembar terakhir dokumen tercetak sempurna. Wanita itu kemudian menghampiri Vidwan yang tengah duduk di atas tempat tidur sambil membaca buku.“Ini!” Aditi mengangsurkan dokumen sebanyak dua lembar pada Vidwan. Vidwan mengangkat wajahnya dari buku yang ada di hadapannya. Tanpa berkata-kata, laki-laki itu menyambut dokumen yang diberikan Aditi.“Aku akan membacanya dulu.” Ujar Vidwan sambil beranjak dari ranjang. Aditi mengedikkan bahu.“Silakan.” Jawabnya singkat kemudian berlalu menuju kamar mandi. Aditi ingin mandi lalu bersiap-
"Aku harus bertemu Vidwan!" Ujar Grisse dalam gerakan bibir yang teramat samar. Gadis itu kemudian membawa langkahnya menyusuri koridor yang menghubungkan seluruh ruangan dalam gedung kampus tersebut. Langkahnya mantap, semantap pendiriannya untuk menuntaskan apa yang mengganjal dalam hatinya setelah mendengar percakapan Krish dengan Vidwan tadi. Sebelumnya, Grisse memang sudah bertekad untuk mengakhiri semua hal yang berhubungan dengan Vidwan. Ia merasa harus menyudahi semua kisah yang melibatkan Vidwan di dalamnya. Grisse hanya tidak ingin bayangan Vidwan akan mengikutinya terus hingga ia tiba di negara asalnya.Ya, Grisse akan segera meninggalkan negara ini dalam waktu dekat. Program yang diikutinya hampir berakhir dan tidak lama setelahnya izin tinggalnya juga akan habis masa berlakunya. Hal-hal itulah yang membuat Grisse membulatkan tekadnya untuk menemui Vidwan. Kau adalah masa lalu! Kalimat itu terus-menerus didengungkan oleh Grisse. Sudah seperti merapal mantra saja bagi Gri