LOGINIrene terkejut mendengar suara berat pria yang saat ini berbisik di telinganya, terasa familiar, suara yang tak dapat ia lupakan, suara seorang pria yang sudah mengambil ciuman pertamanya saat itu, "Tu-tuan Gerald?" paraunya.
Pria bertopeng itu pun cukup terkejut saat Irene masih mengingatnya, ia tersenyum tipis dan merengkuh pinggang Irene, membuat tubuh mereka semakin rapat, "Mulai detik ini, tidak kuizinkan orang lain memilikimu!"
Deg! Irene terperanjat. "Ma-maaf-"
Tanpa melanjutkan perkataan Irene, Gerald meraih dagu Irene, menyapu bibir wanita cantik di depannya. Irene kembali dibuat terkejut, "Ciuman ini..." Irene segera tersadar dan menarik tubuhnya.
Irene dapat melihat senyuman tipis tersirat di wajah pria bertopeng di depannya. Tanpa diduga Gerald membuka jas yang ia kenakan dan menaruh di bahu Irene, menutup pakaian seksi yang melekat ditubuh Irene. lalu meraih tangan Irene, membawanya turun dari atas panggung.
Owen menajamkan pandangan dan pendengarannya, "Apa yang mereka bicarakan?"
Saat mereka turun dari panggung, Irene merasa dunianya berputar. Ciuman Gerald masih terasa di bibirnya, membuatnya bingung dengan perasaannya sendiri.
"Tunggu!" Owen bergegas menghampiri mereka, namun langkahnya terhenti saat beberapa pria berbadan kekar menghalangi jalannya.
Gerald terus menuntun Irene menuju mobil mewahnya yang terparkir di luar. Tangannya menggenggam erat jemari Irene yang gemetar.
"Kita akan ke mana?" tanya Irene lirih, masih tidak percaya dengan situasi yang terjadi. Ia menoleh sesaat melihat suaminya yang ingin mendekatinya.
Gerald diam, membuat Irene tidak dapat menyembunyikan perasaan takutnya, tapi kenapa Sentuhan Gerald di tangannya terasa hangat dan menenangkan, berbeda dengan Owen yang selalu membuatnya ketakutan.
"Ingat Irene! Pria ini yang telah membelimu!" Irene segera menyadarkan dirinya dari situasi saat ini. Dimana artinya dia akan melayani Gerald. Dadanya terasa sakit. "Yah, inilah akhirku..."
Di saat Irene larut dalam pikiriannya, "Masuklah." suara Gerald membuyarkan lamunannya. "Ah iya." jawabnya dengan raut wajah datar. Hal itu membuat Gerald menaikkan satu alisnya.
Begitu Irene masuk ke dalam mobil, ia pun ikut masuk, "Jalan." titahnya kepada tangan kanannya untuk membawa mereka ke suatu tempat.
Mobil mewah itu melaju dengan cepat, meninggalkan keriuhan malam di belakang. Irene memandang ke luar jendela, mencoba mengumpulkan pikirannya yang masih bercabang. Gerald duduk di sebelahnya, diam dan tidak bergerak, namun Irene bisa merasakan pandangannya yang terus-menerus mengawasinya.
Gerald membuka topeng yang ia kenakan, kemudian mendekat ke arah Irene, ia menarik pengait topeng merah yang Irene kenakan. Wajahnya yang tampan terpampang jelas di depan Irene, membuat jantungnya berdegup lebih kencang.
Irene mengepalkan tangannya erat, jantungnya berdegup kencang. "Apa yang ingin dia lakukan?" pikirnya, mencoba menenangkan diri.
Waktu bergulir dalam diam, Gerald tak melakukan apapun. Ia hanya memandang Irene dengan mata yang dalam, seolah-olah bisa melihat ke dalam jiwa Irene. Irene merasa tidak nyaman dengan pandangan itu, namun tidak bisa menarik pandangannya.
Hingga mereka tiba di sebuah mansion yang mewah, takut? tentu saja Irene takut, bersama pria asing yang telah memberikan penawaran tertinggi padanya. Pria yang membelinya tentu saja menginginkan tubuhnya bukan? pikir Irene, membuat dadanya terasa sakit.
Deg! Irene tersentak saat pintu di sampingnya terbuka, "Turunlah." sambil mengulurkan tangannya. Suara Gerald terdengar santai, namun Irene bisa merasakan tekanan di baliknya.
Irene menggigit bibir bawahnya, saat tangannya hendak meraih tangan Gerald, ia mengepalkan dan menarik tangannya kembali. Tapi sayangnya tangan Gerald lebih cepat, menggapit tangan Irene. "Jangan takut, Irene," katanya, suaranya lembut namun penuh otoritas. "Aku tidak akan menyakitimu."
Irene menatap wajah Gerald, mencoba mencari tahu apa yang tersembunyi di balik mata tampan itu. Namun, yang ia temukan hanya kepastian bahwa ia tidak bisa melawan pria ini. Dengan perlahan, Irene membiarkan Gerald menariknya turun dari mobil, memasuki mansion yang mewah dan misterius.
Saat mereka memasuki mansion, Irene dipenuhi dengan decak kagum. Interior yang mewah dan elegan, membuatnya terasa seperti di dalam dongeng. Namun, perasaan itu segera hilang, digantikan dengan ketakutan yang mendalam. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Apa yang diinginkan Gerald darinya?
Gerald menarik Irene ke dalam ruangan yang lebih dalam, membuatnya merasa seperti terjebak dalam labirin.
Irene menelan ludah, mencoba menemukan suaranya. "Apa... apa yang ingin tuan lakukan denganku?" tanyanya, suaranya terdengar lirih.
Gerald menoleh sesaat, "Berhenti memanggilku dengan sebutan Tuan." Matanya menatap Irene dengan intens, seolah-olah memastikan ia memahami perintahnya.
Irene membekap mulutnya, "Tapi..." Suaranya terputus, tidak berani melanjutkan protesnya.
Gerald menghela napas pelan, pria tampan dan manik berwarna hijau emerald itu berdiri menatap Irene, "Lakukan apa yang aku katakan." Suaranya tegas, tidak ada ruang untuk negosiasi.
Irene mengepalkan tangannya, "Ma-maaf." Suaranya lirih, menunjukkan kepatuhannya.
"Duduklah." Gerald pun melepaskan tautan tangannya, berjalan menuju sebuah meja mengambil wine untuk mereka berdua. Irene mematuhinya, duduk di sofa yang disediakan, masih terasa tidak nyaman.
Deg! Betapa terkejutnya Gerald saat berbalik mendapat Irene sudah melepaskan jas yang ia sematkan dan menurunkan dress merah yang melekat di tubuhnya. "Kamu bisa memulainya sekarang," suara Irene terdengar gemetar. Dimana tubuhnya saat ini terekspos di depan pria asing.
"Irene... Kau?" Gerald mengambil langkah lebar, berdiri tepat di depan Irene yang saat ini tertunduk. Ekspresi wajahnya sulit dibaca, namun matanya bersinar dengan api yang tidak tersembunyi.
Pria bertubuh tegap itu menatap Irene begitu intens dan dingin, ia meneguk habis wine yang ada di gelas dan melemparnya asal ke lantai. Membuat suara pecahan kaca yang membuat Irene terkejut dan mengangkat wajahnya.
Tepat Irene menaikkan wajahnya, Gerald menyambar bibir Irene kembali, membuat wine yang ada di mulutnya berpindah ke mulut Irene.
Membuat Irene seketika bergidik mendapatkan jilatan yang intens di leher jenjangnya. Tubuhnya terasa meleleh di bawah sentuhan Gerald, membuatnya kehilangan kontrol atas dirinya sendiri.
Gerald menarik Irene ke dalam pelukannya, membuat tubuh mereka saling menempel. ""Aku tak berniat melakukan ini, tapi kamu yang memulainya, Irene"
Bab 90Setelah badai gairah mereda, Gerald menarik Irene ke pelukannya. Mereka terlelap beberapa jam dalam penerbangan panjang di tengah kenyamanan kabin.Private jet mendarat dengan mulus di landasan pacu Bandara Internasional Toronto, Kanada. Cahaya matahari pagi menerobos jendela, menandakan awal hari yang baru, di benua yang baru.Irene dan Gerald sudah berganti pakaian. Gerald kembali mengenakan setelan jas abu-abu gelapnya, tampak fresh dan sempurna membalut tubuhnya yang tegap. Sementara Irene mengenakan setelan celana panjang krem yang elegan, memancarkan kecantikan wanita itu.Mereka turun dari private jet. Udara Kanada terasa dingin dan bersih, sebuah kontras yang tajam dari Jerman. Seperti biasa, asisten Gerald—Victor, sudah siaga menyambut mereka di bawah tangga pesawat.Victor membungkuk hormat. "Selamat datang kembali, Tuan Gerald. Selamat pagi, Nyonya Irene."Gerald hanya mengangguk singkat, sementara Irene tersenyum tipis. Mereka berjalan menuju mobil mewah yang sudah
Bab 89Gerald mengangkat wajahnya, menyeringai puas. "Itu baru permulaan, my love," bisiknya serak. Ia tidak membiarkan Irene beristirahat lama.Kini tubuh Irene benar-benar dilahap oleh Gerald. Pria itu dengan cepat menanggalkan sisa pakaiannya dan Irene, menyatukan kulit panas mereka. Tanpa menunggu, pria itu terus menghujam miliknya dalam-dalam ke inti tubuh Irene. Dorongan pertama begitu kuat, membuat Irene menjerit tertahan dan melengkungkan punggungnya."Oh my, Gerald!" Irene memekik, mendesah kuat saat ia hendak mendapatkan pelepasan keduanya. Gelombang nikmat itu datang lebih cepat dan lebih buas.Gerald tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan dengan hentakan pinggul yang intens dan bertenaga. Suara berat Gerald dan geramannya memperlihatkan bagaimana ia begitu menyukai tubuh kekasihnya."Oh Irene sayang..." geramnya, suaranya serak dan dominan. Ia semakin memacu pinggulnya, hentakannya dalam dan memabukkan. Ia menarik tubuh Irene, memeluknya erat, membuat tubuh basah merek
Bab 88“Oh my, Ge…” lirih Irene, matanya memejam, pasrah dan penuh gairah. Ia tidak lagi mampu mengucapkan kata-kata.Gerald tersenyum tipis, Ia memutus ciuman mereka, namun tatapannya tak pernah lepas dari mata Irene.Gerald melepaskan pakaian atas Irene, blazer putih dan dress lilac itu kini tergeletak di lantai, memperlihatkan bra renda hitam yang kontras dengan kulit putih mulusnya. Ia mencium bahu mulus milik kekasihnya. Kulit putih dan lembut, aroma manis yang khas, adalah candu baginya. Ia menghirupnya dalam-dalam, menikmati aroma Irene yang memabukkan.Napas panas Gerald berhembus halus di kulit leher Irene, membuat tubuh Irene bereaksi. Setiap sentuhan udara panas itu, setiap ciuman ringan di tulang selangkanya, membuat nadi dan sarafnya merespon semua sentuhan Gerald.Tangan pria itu sudah turun, meremas lembut bukit kenyalnya yang sudah menantang, siap disantap. Melalui lapisan bra, Gerald merasakan detak jantung Irene yang berpacu kencang. Ia meremas, mengelus, dan memilin
Bab 87"Aku bodoh bukan?" bisik Gerald, suaranya serak.“Ya?” tanya Irene, menantikan kalimat selanjutnya, matanya memancarkan rasa ingin tahu yang dalam."Aku bodoh karena terlalu lama menemukan dirimu, aku bodoh karena saat itu tidak menahanmu saat pertemuan pertama kita. Aku bodoh membuatmu—"Irene mengecup Gerald, sebuah kecupan cepat dan lembut di bibir pria itu, membuat pria itu berhenti berbicara. Tindakan itu penuh kasih sayang dan pengakuan. Namun, segurat senyuman tercetak di wajah tampannya, menunjukkan betapa ia menikmati interupsi itu.Irene melepaskan kecupannya dan berkata, suaranya penuh ketenangan."Stop menyalahkan dirimu. Perjalanan hidupku yang lalu bukan tanggung jawabmu, Ge."Gerald membalas tatapan itu, hatinya menghangat karena ketulusan Irene. Ia membelai lembut pipi Irene."Hmm, baiklah, sayang. Tapi sekarang dan selamanya, kamu adalah tanggung jawabku. Apapun kesedihan dan kebahagiaanmu adalah bagian dari hidupku."Gerald tidak memberikan kesempatan Irene un
Bab 86Gerald dan Victor berjalan cepat, meninggalkan kantor polisi dengan aura kemenangan yang tegas. Mereka tidak menyisakan satu pun keraguan bahwa ini adalah akhir dari kisah Owen dan Bertha.Mereka tiba di parkiran VIP bandara. Sampai di mobil, Gerald tersenyum lembut, senyum yang murni dan hangat, jauh berbeda dari seringai dingin yang ia tunjukkan pada Owen. "Maaf lama, sayang," ujarnya pada wanita cantik yang tengah menunggunya di dalam mobil. Ia membuka pintu penumpang depan."Gak masalah, Ge'," jawab Irene, suaranya tenang, meskipun ia tahu Gerald baru saja menyelesaikan kehancuran Owen."Kita pindah ke belakang, sayang," Gerald mengulurkan tangannya, meminta Irene keluar. Tangan kirinya berada di kap mobil, menjaga keamanan kepala Irene agar tidak terbentur.Irene sedikit mengerutkan kening, bingung kenapa harus pindah ke belakang. Namun, ia mengerti saat melihat sosok Victor sudah menunggu di sisi mobil, siap mengemudi. Itu artinya Gerald ingin menghabiskan waktu berdua be
Bab 85"Pertemuan dua kekasih yang sungguh mengharukan…"Suara bariton yang dalam dan dingin itu memecah keheningan di lorong sel penahanan. Suara yang kini paling mereka benci dan takuti. Pandangan Owen dan Bertha mengangkat wajah mereka, tertuang pada sosok yang ada di sana.Berdiri di luar jeruji besi, ditemani Victor dan Tuan Marcus, adalah Gerald. Pria itu mengenakan setelan jas yang sempurna, auranya memancarkan kekuasaan yang tak tertandingi.Owen dan Bertha bersamaan menyebut nama Gerald. Suara mereka serak dan penuh kebencian. Sosok pria yang membuat dunia mereka hancur hanya dalam kedipan mata.Bertha menoleh ke arah Owen, melihat tidak ada harapan dari pria itu. Owen sudah benar-benar lumpuh. Bertha, dengan insting bertahan hidupnya yang licik, segera mengalihkan fokus. Ia merangkak mendekati jeruji besi, berlutut dan berkata dengan nada permohonan yang dibuat-buat, air mata palsu mulai mengalir."Tuan Gerald, maafkan aku. Aku hanya mengikuti apa yang diminta oleh pria bere







