“Aoch!” Irene memijit keningnya yang terasa perih, ia perlahan membuka matanya, “Ini dimana?” wanita cantik itu terkejut melihat ruangan yang asing bahkan pandangannya membulat saat mendapati tubuhnya telah mengenakan gaun berwarna merah maroon yang sangat seksi.
“Tunggu! Jangan bilang... Ini—“ Irene terhenti saat mendengar suara yang sangat dikenalnya.
“Irene,” suara Owen membuat Irene mendongak dan melihat suaminya berdiri di depan pintu.
“Owen? Jelaskan! Apa semua ini!” hardik Irene dengan sorot mata tajam, penuh kemarahan dan kebingungan.
Owen melangkah masuk ke dalam ruangan dan berdiri tepat di depan Irene.
“Owen... Ayo pulang! Aku tidak mau di sini!” lirih Irene, matanya menatap pria di depannya dengan penuh rasa kecewa. Pria yang ia pikir akan menjadi pelindung dan sumber kebahagiaannya kini terasa seperti orang asing. Hatinya remuk, namun ia tetap berharap Owen akan mendengarnya dan membawanya pergi dari tempat ini, meski hanya ada setitik harapan.
Owen menghela napas panjang, lalu berlutut di depan Irene, “Irene, satu kali ini saja. Aku sangat butuh dana yang besar untuk perusahaan,” ucapnya dengan nada memohon, seolah-olah kata-katanya adalah permintaan yang wajar.
Irene menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Tidak, Owen! Sampai kapan pun, aku tidak mau menjual diriku!” suaranya bergetar, rasa sakit dan pengkhianatan yang ia rasakan. Ia berhenti sejenak, menatap Owen dengan sorot mata tajam yang penuh luka. “Dan bagaimana bisa kau meminta istrimu sendiri tidur dengan pria asing?” lanjutnya dengan nada suara yang tajam.
“Hah!” Owen mendengus, wajahnya berubah menjadi penuh amarah. Ia menatap Irene dengan pandangan sinis, seolah-olah rasa sakit wanita itu tidak berarti apa-apa baginya. “Apa kau tidak tahu berapa banyak uang yang aku keluarkan untuk menebusmu dari ibu tirimu?” hardiknya dengan nada tajam.
Deg! Irene merasa dadanya seperti diremas. Kata-kata Owen menghantamnya seperti tamparan keras. Air matanya jatuh berderai tanpa bisa ia tahan. Pengakuan itu membuat luka di hatinya semakin dalam. Semua yang selama ini ia pikirkan tentang Owen runtuh dalam sekejap.
Owen, yang tampak tidak peduli dengan air mata Irene, mendekat dan memegang dagu wanita itu dengan kasar. Tatapannya dingin, tidak lagi ada kelembutan yang pernah Irene kenal. “Kalau kamu bisa memberikan aku suntikan dana, aku akan membawamu pulang,” bisiknya dengan nada penuh tekanan, seolah-olah Irene tidak memiliki pilihan lain.
Irene terdiam, tubuhnya gemetar, “Berikan aku 1 Miliar Dollar.”
“O-owen... Kamu...” Kata-kata itu menggema di kepala Irene, membuatnya merasa seperti jatuh ke jurang yang tak berdasar. Suami yang ia cintai, pria yang ia percayai.
Irene tak dapat berkata apa-apa lagi, dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu dalam satu malam? Satu juta dollar saja ia kesulitan untuk mengumpulkannya, bagaimana mungkin ia bisa memberikan Owen uang senilai satu milyar dollar?
***
Disinilah Irene sekarang, berdiri di atas panggung dengan sorotan lampu terang menimpa kulitnya. Gaun merah maroon yang seksi melekat sempurna di tubuhnya, memamerkan lekuk-lekuk yang memancarkan pesona sensualitas. Belahan dada yang rendah dan potongan tinggi di bagian bawah gaun memperlihatkan paha mulusnya, membuatnya terlihat seperti sebuah mahakarya yang dipajang untuk dinikmati banyak mata. Rambut hitam pekatnya yang berkilau jatuh dengan anggun di bahunya, sementara topeng merah menutupi sebagian wajah cantiknya, menyembunyikan identitasnya dari para tamu yang hadir.
Namun, di balik topeng itu, Irene merasa kosong. Hatinya hancur berkeping-keping. Di depannya, ruangan tampak gelap dan kosong, tetapi ia tahu banyak pasang mata yang menatapnya dari balik bilik-bilik tersembunyi.
Mereka mengamati, menilai, dan mungkin bahkan menginginkan wanita cantik itu. Irene menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa malu dan marah yang bercampur menjadi satu. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, kuku-kukunya hampir menembus kulit telapak tangannya.
Suara MC yang menggema di ruangan itu membuyarkan lamunannya, “Dan bintang utama malam ini, perkenalkan seorang wanita cantik dengan pesona high class, seperti info yang klien sekalian baca saat ini!” Suara MC terdengar penuh semangat, seolah-olah Irene hanyalah barang mewah yang siap dilelang kepada penawar tertinggi.
Dan di balik bilik-bilik tersembunyi, para tamu duduk dengan nyaman, masing-masing memiliki layar monitor yang menampilkan Irene sebagai ‘barang dagangan’ malam itu. Di layar tersebut juga terdapat tombol-tombol nominal untuk melakukan penawaran, yang langsung terhubung dengan layar besar di atas panggung, tempat angka-angka penawaran akan muncul.
“Dengan ini, auction dimulai dari... sekarang! Silakan para klien berikan penawaran terbaik kalian!” seru MC dengan antusiasme yang memuakkan Irene.
Tak lama, suara bip mulai terdengar, satu demi satu, bersamaan dengan angka-angka yang muncul di layar monitor di atas panggung. Nominal penawaran terus meningkat dengan cepat, membuat suasana ruangan semakin tegang.
Di sudut ruangan, Owen berdiri dengan senyum puas di wajahnya, matanya terpaku pada angka yang terus naik. “Hah! Seharusnya aku membawa dia lebih awal!” gumamnya dengan nada penuh kesombongan. Ia tampak seperti seorang pedagang yang baru saja menemukan tambang emas.
“Satu miliar? Apa masih ada?” Suara MC terdengar semakin bersemangat.
“Satu miliar pertama!” MC mulai menghitung, mencoba menutup penawaran pada angka tersebut.
Namun tiba-tiba, suara bip kembali terdengar, diikuti dengan angka besar yang langsung muncul di layar monitor. 6 Miliar.
Ruangan yang tadinya penuh dengan suara bip mendadak hening. Semua mata tertuju pada angka fantastis yang terpampang di layar besar.
“Dari bilik 6! Wow! Itu penawaran yang sungguh fantastis! Apa masih ada penawaran di atasnya?” seru MC dengan nada penuh semangat, mencoba membakar suasana yang mendadak sunyi.
Irene menahan napas. Tubuhnya terasa semakin dingin, dan kakinya hampir tidak bisa menopang dirinya lagi. Siapa yang berada di bilik 6? Siapa yang berani memberikan angka sebesar itu? Dan yang paling penting, apa yang akan terjadi padanya setelah ini?
Owen membelalakkan matanya, tak percaya dengan angka fantastis yang terpampang di layar monitor. “E-enam Milyar...? Hahahaha!” tawanya pecah, penuh rasa puas dan keserakahan yang tak tertahankan.
Ia menatap Irene di atas panggung dengan mata berbinar, seperti seorang pedagang yang baru saja mendapatkan keuntungan terbesar dalam hidupnya. “Irene, kamu memang investasi terbaik dalam hidupku!”
MC mulai mengetuk palu, suaranya menggema di seluruh ballroom, menandakan bahwa lelang hampir selesai. “Tiga...” MC menghitung mundur.
“Dua...” Suasana tetap hening.
“Satu...” Ketukan terakhir palu terdengar, menutup penawaran secara resmi. “Selamat kepada klien bilik enam! Bintang utama hari ini jatuh kepada Anda,” seru MC di sambut tepuk tangan kecil dari beberapa orang di bilik-bilik tersembunyi.
Tap. Tap. Tap. Suara langkah kaki terdengar menggema di ballroom yang sunyi. Semua mata tertuju pada seorang pria dengan topeng berwarna hitam yang perlahan berjalan mendekat ke arah panggung. Langkahnya tenang, namun penuh wibawa, membuat suasana ruangan terasa semakin mencekam.
Pria bertopeng hitam itu berhenti tepat di depan panggung, menatap MC dengan dingin. “Aku akan membawanya,” katanya dengan suara berat yang langsung memenuhi ruangan.
“Tapi, Tuan...” MC tampak sedikit gugup, “Harus ada prosedur dan pelunasan sebelum Anda membawa ‘barang’ yang Anda menangkan,” lanjutnya.
Pria bertopeng hitam itu menatap tajam ke arah MC, membuat suasana semakin tegang. “Asistenku yang akan mengurus semuanya,” suara yang dingin dan penuh intimidasi.
Seorang pria lain, mengenakan masker hitam, muncul dari belakang. Ia melangkah maju dan berbicara singkat kepada MC, memberikan dokumen dan detail yang diperlukan. MC tampak mengangguk beberapa kali, lalu memberikan isyarat kepada staf untuk memproses semuanya.
Sementara itu, pria bertopeng hitam naik ke atas panggung. Langkahnya mantap, penuh percaya diri, seolah-olah ia sudah tahu apa yang akan ia lakukan. Irene menatapnya dengan mata melebar, napasnya terasa semakin berat. Pandangan mereka akhirnya bertemu, dan untuk sesaat, waktu terasa berhenti.
Jantung Irene berdegup kencang, hampir seperti ingin melompat keluar dari dadanya. “Apakah ini akhir dari hidupku...?” pikirnya, rasa takut dan pasrah bercampur menjadi satu. Ia ingin melangkah mundur, tetapi tubuhnya terasa kaku, tidak mampu bergerak.
Tanpa diduga, pria bertopeng hitam itu menghapus jarak di antara mereka. Ia berdiri tepat di depan Irene, begitu dekat hingga Irene bisa merasakan aura dingin yang memancar darinya. Pria itu menundukkan tubuhnya sedikit, merendahkan posisinya sehingga wajah mereka sejajar. Irene menahan napas, menunggu apa yang akan ia lakukan.
Kemudian, dengan suara rendah yang hanya bisa didengar oleh Irene, pria itu berbisik di telinganya, “Long time no see you, Nona Irene.”
Bab 66Keluar dari apartment, Irene yang sedari tadi penasaran langsung menoleh ke arah Gerald, "Ge..." "Nanti sayang." Gerald merengkuh pinggang Irene, membawa wanita cantiknya itu, berjalan menuju mobil yang terparkir. Irene menyipitkan matanya, menghembus napas kesal akan rasa penasarannya, tetapi alhasil membuat kekehan kecil lolos dari Gerald, "Hah! Menggemaskan!" batinnya. Senang? Tentu saja. Sekarang wanitanya tidak lagi terikat dengan seseorang, dia akan membuat Irene menjadi miliknya. Secepatnya! Itulah yang ada dipikirannya saat ini. "Ada apa?" tanya Irene sambil mendongakkan kepalanya ke atas untuk melihat wajah Gerald. Gerald tersenyum tipis, ia mendekatkan wajahnya tepat di telinga Irene, "Aku ingin memakanmu, sayang." Blush! Wajah Irene memerah dan memanas, ia mengalihkan pandangannya. Meskipun sudah sering mendengar kata-kata erotis itu, ia masih tidak terbiasa, bahkan mungkin akan tidak pernah terbiasa. Hingga mereka benar-benar tiba di depan mobil, di mana Vic
Irene menggigit bibir bawahnya dan menjawab, "Surat cerai!" dengan lugasnya. "Su-surat cerai?" kaget Owen yang kini memperlihatkan dia kembali daru alam bawah sadarnya.Seperti baru saja di sambar petir, Owen melangkah, mendekat ke arah Irene. "Aku tidak akan menyetujuinya, Irene!" sahut Owen dengan wajah menahan amarah. Gerald dengan cepat langsung berdiri di depan Irene, membuat posisinya menjadi garda terdepan untuk sang wanita. Dan hal itu berhasil, Owen terkesiap, membuat pria itu berhenti, bahkan mundur selangkah.Tubuh tegap pria besar itu hampir menutupi tubuh Irene yg berada tepat di belakangnya. Aura intimidasi terasa begitu kuat. Owen mengepal erat tangannya menahan amarah yang kini ia rasakan harus tertelan didalam perasaan mencekam."Tuan Gerald, bisa anda memberikan waktu pada aku dan istriku?""Tidak!" jawab Gerald dingin. "Kamu hanya perlu menandatangani ini dan selesaikan semuanya!"Ia mengambil map yang ada ditangan Irene, menyodorkannya pada Owen. "Aku berikan w
Bab 64“Dimana dia sekarang berada?” tanya Gerald pada Victor begitu masuk ke dalam mobil setelah Irene. Suaranya terdengar tegas, namun dengan nada yang santai.“Di apartment Tuan,” jawab Victor sembari menutup pintu mobil. Kemudian mengitari badan mobil, mengambil tempat di posisi pengemudi.Begitu Victor duduk, Gerald berkata, "Langsung ke sana saja.""Baik Tuan Gerald." Victor memulai mesin mobil dan mulai melaju ke tujuan.Irene mengerutkan keningnya, kemudian menoleh ke Gerald, "Kita mau kemana Gerald?" Ia bertanya dengan nada penasaran, matanya berkilau dengan rasa ingin tahu.Gerald tersenyum tipis, "Tentu saja menyelesaikan semuanya hari ini sayang." Suaranya terdengar lembut, namun dengan nada yang tegas."Ya?" Irene kembali bingung, kemudian sadar kemana arah Gerald, "Maksud kamu menemui Owen?" Ia bertanya dengan nada yang sedikit ragu, matanya terlihat khawatir."Iya sayang, aku tidak ingin menundanya barang sedetik pun," ucap Gerald lugas. Lalu menatap wajah cantik wanita
Bab 63Gerald pun menceritakan siapa Evan sebenarnya, di mana Evan adalah seorang Kepala di bagian pemerintahan, dan Evan adalah sepupu dari Austin Harold. Suaranya terdengar santai, namun dengan nada yang serius. "Evan adalah salah satu orang terpercaya di pemerintahan ini, dan ia juga sepupu dari Austin Harold."Irene cukup terkejut dan akhirnya paham kenapa Gerald terlihat akrab dengan Evan. Mengingat bagaimana Gerald dan pria bernama Austin saat malam itu layaknya saudara. "Hmm ok Gerald." jawab Irene mengerti, ia tersenyum lembut. Matanya berkilau dengan rasa penasaran, namun juga terlihat lega karena sudah memahami hubungan antara Gerald dan Evan yang terlihat begitu dekat.Beberapa menit pun berlalu hingga pintu kembali terbuka, terlihat Evan berjalan masuk dengan dua map kulit berwarna coklat dan biru di tangannya. Perhatian Gerald dan Irene pun teralihkan, pandangan mereka terfokus pada Evan yang berjalan mendekat.Evan meletakkan map berwarna biru terlebih dahulu di atas mej
Bab 62Gerald dan Irene duduk di sofa yang nyaman dengan seorang pria dengan jas yang terlihat begitu rapi. Ruangan ini terlihat mewah, dengan dekorasi yang elegan dan jendela besar yang membiaskan cahaya alami ke dalam ruangan. Pria tersebut, yang kemudian Gerald sebut sebagai Evan, menatap Gerald dengan wajah menyunggingkan senyum tipis."So, apa yang aku bisa bantu Tuan Gerald?" Evan bertanya, matanya berkilau dengan rasa penasaran. Ia tidak bisa tidak memperhatikan Irene, yang duduk di samping Gerald dengan postur yang sedikit tegang.Gerald menghela napas pelan, "Evan... Aku mau kamu mengurus dokumen-dokumen Irene dan regalisir semuanya." Suaranya terdengar tegas, namun dengan nada yang lembut ketika ia menatap Irene.Evan yang tadi tersenyum seketika terkekeh pelan, "Hah, aku merasa pernah mengalami ini," gumamnya pelan. Ia memandang Gerald dengan mata yang berkilau, seolah-olah mengingat kenangan lama pada kakak sepupunya—Austin Harold."Ok, ok, sebelum itu ceritakan apa yang s
Bab 61Wajah Irene kembali memanas, “Hem, Gerald. Aku—”“Aku tidak menuntutmu untuk menjawabku sekarang, tapi aku tidak menunggu untuk di tolak.”Ucapan Gerald layaknya sebuah ultimatum pada Irene dan seolah memastikan agar ia tidak akan bisa lepas dari pria ini.Ia menarik napas lembut, “Beri aku waktu.”Gerald tersenyum, mengecup puncak kepala Irene. Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.Setelah itu keduanya kembali focus di layar depan mereka. Gerald memberikan penjelasan singkat kepada Irene tentang rencananya dan para sahabatnya yang telah membantunya tadi.“Tapi yang pasti aku tidak mau kamu ikut mengawasi,” tegas Gerald kepada wanitanya itu.“Gerald, please. Aku ingin sedikit berkontribusi dalam hal ini, lagi pula ini adalah permasalahanku. Aku dan kedua orang tuaku.”“Semua yang berhubungan denganmu akan menjadi tanggung jawabku. Jadi, semua masalah yang kamu hadapi saat ini, biarkan aku yang menanganinya. Karena siapapun yang sudah menyakitimu, tidak akan kumaafkan.” Gerald men