Sebaiknya Ari kerja atau kembali menemui Ayu ya??
Selain itu, Ari juga mengambil satu keranjang buah segar. Ia tahu Dimas suka apel merah dan jeruk manis. Ia ingin ketika anak itu melihatnya nanti, wajah kecil Dimas kembali bersinar cerah.Saat membayar, Ari nyaris kehilangan kendali emosi. Ia menunduk, menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca. “Aku nggak mau kamu merasa sendirian lagi, Dimas.”Tangannya menggenggam kuat plastik berisi kue dan buah-buahan itu. Motor dinyalakan dan ia melaju kencang menuju rumahnya terlebih dahulu.Ari sampai di depan rumah dengan tubuh yang masih terasa pegal. Luka di wajahnya belum sembuh benar. Bekas perkelahian masih tampak jelas. Ia sengaja merapikan rambutnya, berharap lebam di pelipis dan sudut bibir tidak terlalu kentara. Tapi begitu ia membuka pagar, suara Ningsih langsung terdengar tajam.“Lho, Mas Ari! Astaga, wajahmu itu kenapa?!” seru Ningsih dari teras, matanya melebar melihat suaminya pulang dengan keadaan babak belur.Ari berhenti sejenak, menarik napas panjang. Ia tidak ingin Ningsi
Sore itu, perlahan cahaya jingga menelusup masuk melalui celah tirai kamar Ayu. Hangatnya tidak lagi sekuat siang, melainkan lembut, teduh, seolah ingin membelai siapa saja yang tengah terlelap. Ayu menggeliat pelan, matanya yang berat membuka dengan sedikit rasa kantuk yang masih tersisa. Hening, hanya detik jam dinding yang terdengar samar, berpacu dengan desiran angin yang sesekali menyusup ke dalam ruangan.Refleks, tangan Ayu meraba ke sisi ranjangnya. Kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana. Sepi, dingin, seolah sejak lama tidak disentuh. Jantungnya seketika berdegup lebih cepat, tubuhnya berbalik, memastikan. Tapi memang benar, Ari sudah tidak ada di sisinya.“Mas Ari?” panggilnya lirih.Tak ada sahutan. Yang ada hanya suara burung yang kembali ke sarang, meramaikan senja.Ayu duduk perlahan, menyibakkan selimut yang masih menyisakan hangat samar dari tubuhnya. Pandangannya jatuh pada meja kecil di sisi ranjang. Ada secarik kertas yang terlipat rapi, diletakkan tepat di atas per
Tubuh mereka bergerak dalam ritme yang semakin dalam, semakin intens. Nafas berpadu, desah dan rintih memenuhi ruangan kecil itu. Ayu menggenggam punggung Ari erat-erat, merasakan setiap denyut kehidupan yang berpadu dalam tubuhnya.Setiap gerakan Ari bukan sekadar nafsu. Ada cinta, ada pengabdian, ada janji tanpa kata-kata.Waktu seolah berhenti. Yang ada hanya mereka berdua, terikat dalam satu ikatan yang lebih dari sekadar fisik.Ketika akhirnya Ari mencapai puncaknya, ia memanggil nama Ayu dengan suara serak penuh perasaan. Tubuhnya bergetar hebat, seolah seluruh jiwanya tercurah hanya untuk momen itu. Ia merosot lemah, memeluk Ayu erat-erat, keringat dan air mata bercampur di antara mereka.Ayu menempelkan wajahnya di leher Ari, tubuhnya masih bergetar kecil, tapi hatinya terasa penuh. “Mas, jangan pernah tinggalkan aku lagi,” bisiknya di antara isak kecil.Ari mencium ubun-ubun Ayu lama sekali, menahan napas seolah mengikat sumpah. “Aku nggak akan pernah pergi, Yu. Sekalipun d
Ari mengusap pipinya lembut, seakan menenangkan. “Tidak ada yang salah saat aku bersama kamu, Yu. Hanya kita berdua di sini. Aku janji.”Ketika bibir Ari turun, menyentuh belahan dada Ayu, tubuh wanita itu terlonjak pelan. Ia menggigit bibir bawahnya sendiri, berusaha keras menahan suara yang ingin keluar, tapi akhirnya desahan itu kembali lolos.Nafasnya tidak beraturan, dadanya naik turun cepat, matanya terpejam rapat. Ada rasa malu yang membuncah, ada juga rasa bersalah yang terus menghantui, tapi di atas semua itu ada kenikmatan yang tidak bisa ia tolak.Ari semakin tenggelam dalam hasratnya. Bibirnya menekan lebih kuat, menghisap pelan, memberikan tanda merah yang akan sulit hilang. Setiap kali ia melakukan itu, Ayu merasa tubuhnya seperti dialiri arus listrik, membuatnya meliuk tak berdaya.Tangannya kini bukan hanya menggenggam bahu Ari. Ia mencengkeram erat, kukunya menancap pelan ke kulit Ari, menyalurkan gejolak yang tidak bisa ia ungkap dengan kata-kata.“Yu....” Ari berbi
Ayu berteriak kecil, tubuhnya terangkat begitu saja dalam dekapan kuat Ari. Piring dan sendok masih berserakan di meja makan, tapi laki-laki itu tidak peduli. Dengan langkah mantap, Ari membawanya menuju meja kayu dekat dapur, lalu perlahan menurunkan tubuh Ayu hingga duduk di atas permukaan dingin kayu itu.“Mas... Ari... kenapa tiba-tiba begini?” Ayu menatapnya dengan wajah panik, tapi tangannya sendiri justru melingkari leher Ari, seolah-olah tidak ingin lepas.Mata mereka bertemu dan dalam tatapan itu tersimpan bara yang sudah terlalu lama dipendam. Nafas Ari memburu, dadanya naik-turun deras, seakan menahan badai yang sudah siap meledak. Ayu sendiri merasa tubuhnya bergetar hebat, tapi entah kenapa tidak ada sedikit pun niat untuk menghindar.Ari mengangkat tangannya, jemari hangat itu membelai lembut pipi Ayu. Sentuhannya membuat tubuh Ayu merinding, seakan ada aliran listrik yang menjalar cepat ke seluruh saraf.“Kamu selalu cantik, Yu,” suara Ari rendah, serak, namun penuh k
Ari sempat hendak menolak. “Aku nggak enak, Yu. Tidur di kamarmu.”“Sudah, jangan keras kepala. Kamu butuh tidur.” Ayu menatapnya tegas, tapi sorot matanya penuh kelembutan.Ari akhirnya menyerah. Dengan rintihan kecil, ia merebahkan tubuhnya di kasur Ayu. Aroma wangi sabun bayi dan bedak halus menyeruak, membuatnya merasa hangat. “Bau kamarmu nggak berubah dari dulu,” gumam Ari sebelum perlahan matanya terpejam.Ayu menatap lama ke arah tubuh Ari yang akhirnya tertidur. Napasnya teratur, dadanya naik turun pelan. Ada rasa damai yang menyelusup ke dalam dada Ayu, bercampur dengan getir. Ia tahu, apa yang mereka jalani berisiko menambah panjang gosip di luar sana. Tapi di saat yang sama, ia merasa Ari adalah satu-satunya orang yang membuatnya kuat.Ia menghela napas, lalu bangkit perlahan.Di ruang kecil sebelah dapur, Ayu menyiapkan peralatan pompa ASI. Tangannya cekatan, tapi pikirannya melayang-layang. Mesin kecil berdengung pelan, mengisi kesunyian. Setiap tetes susu yang terkum