"Aku tidak pernah menyangka. Kalian meninggalkan aku secepat ini."
Ayu memandangi foto kebersamaannya dengan bayi mungil dan sang suami tercinta. Dua bulan yang lalu mereka mangalami kecelakaan dan jasad keduanya belum ditemukan. Hanya Ayu yang masih selamat karena segera dibawa ke rumah sakit oleh seorang lelaki yang menemukannya. Ayu selalu merasa sedih dan kesepian. Setiap malam ia harus tidur sendirian. Tiada pengobat rindu yang menemani hadirnya. Wanita itu masih yakin jika suami dan anaknya masih hidup. "Auh! Sakit sekali." Tiba-tiba Ayu merasakan dadanya yang begitu sesak dan nyeri. Tangannya meraba daster bagian atas yang sudah basah karena ASI-nya masih mengalir deras. Hampir setiap dua jam sekali Ayu harus mengosongkan air susu tersebut dan memasukkannya ke dalam wadah untuk ia jual kepada tetangga yang membutuhkan. Dengan begitu Ayu bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari meski uang yang dimiliki hanya sedikit. Kadang Ayu juga pergi ke sawah untuk memetik sayur-sayuran ataupun buah-buahan hasil tanamannya. Kemudian menjual sayur yang telah matang kepada tetangga yang sudah memesan. "Akhirnya selesai juga. Aku harus menyimpannya di kulkas terlebih dahulu," ucap Ayu setelah berhasil memompa ASI-nya. "Semoga bulan ini biaya listrik tidak naik lagi. Uangku sudah menipis." Ayu mengusap keringat yang membasahi keningnya. Di rumahnya memang tidak ada kipas maupun AC karena memang daerah tempat tinggalnya dekat dengan pegunungan. Wanita itu terlihat resah. Sudah dua hari tidak ada yang datang ke rumahnya untuk membeli asi. Biasanya banyak yang datang untuk memborong beberapa kantong asi sekaligus. Ayu merasakan pusing pada kepalanya. Ia kemudian duduk di kursi panjang dan tidak sengaja ketiduran di sana. Tok! Tok! Tok! Terdengar suara pintu rumah diketuk dari luar. Ayu terperanjat kaget. Ia melihat suasana rumahnya sudah gelap. Lampu-lampu rumah belum ia nyalakan. "Iya, tunggu sebentar!" jawab Ayu berteriak meski belum terdengar suara seseorang yang memanggil namanya. Setelah menyalakan beberapa lampu sekaligus, Ayu segera berjalan menuju pintu rumahnya. Biasanya pintu rumah itu tidak ia kunci. Tetapi hari ini berbeda karena Ayu sedang malas untuk pergi kemana-mana. Dengan perlahan Ayu membuka pintu rumahnya. Ia dapat melihat seorang lelaki yang berdiri di depannya. "Mas Ari?" ucap Ayu heran. Lelaki itu adalah kakak ipar sekaligus mantan pacarnya. Rumah Ari agak jauh di dekat jalan raya sana. Sedangkan rumah Ayu terpencil di dekat sawah-sawah masyarakat Desa Kemuning. "Tumben lampunya baru dinyalain, Yu? Ngapain aja, kamu?" tanya Ari dengan gaya angkuhnya. Sangat berbeda jauh dengan sikap adiknya yang selama ini menjadi suami Ayu. "Eh, iya Mas. Tadi aku ketiduran," jawab Ayu sambil garuk-garuk kepala. "Oh ya, Mas ngapain ke sini?" Sudah lama Ari tidak menemui Ayu semenjak wanita itu menikah dengan adiknya. Hanya Ningsih—istrinya yang kerap kali ke rumah Ayu untuk meminjam uang ataupun meminta makanan. Saat ada kabar tentang kecelakaan mobil Galih pun Ari mendatangi rumah Ayu bersama keluarganya tanpa bertatap muka langsung dengan mantan kekasihnya tersebut. "Itu, mau minta dua kantong asi. Anak Ningsih nangis terus. Asinya masih seret. Katanya kamu punya banyak stok asi di rumah." Ayu mengangguk mengiyakan. "Ya udah masuk dulu Mas, kalau begitu." Meski sungkan Ayu tetap menyuruh lelaki itu untuk masuk. Ia merasa tidak enak hati jika membiarkan kakak iparnya berdiri di luar seorang diri. Ari pun mengangguk saja. Ia berjalan di belakang Ayu. Kemudian duduk di kursi tempat Ayu sedang tidur tadi. "Mau dibuatin minum apa, Mas?" tanya Ayu berbasa-basi. "Tidak usah, Yu. Em ... itu kenapa basah?" tanya Ari sambil melirik ke arah dada adik iparnya. "Eh, ini. Nggak papa kok, Mas. Aku ambilkan dulu asinya di kulkas." Ayu berjalan menuju ke arah dapur. Ia membuka kulkas kecil di depannya. Wanita itu terlihat salah tingkah. "Malu banget rasanya. Aduh, ini udah sesak dan sakit lagi. Sepertinya aku tertidur sangat lama tadi." Ayu mencoba mengibas-ibaskan dasternya yang sangat basah. Namun tiba-tiba wanita itu merasakan sebuah lengan kekar bertengger di pinggangnya lalu memeluknya erat dari belakang. "Yu, kamu kenapa? Sebenarnya aku kangen sama kamu." Seketika Ayu membalikkan tubuhnya. Ia sangat terkejut mendengar penuturan dari mantan pacarnya tersebut. "M-mas? Lepaskan!" Ayu berusaha merenggangkan pelukan Ari. "Aku dengar tadi kamu kesakitan, Yu. Mas bisa meredakannya kok. Mas nggak akan menyakitimu." "Jangan, Mas. Aku ini adikmu, Mas. Tolong lepasin." Ayu menahan rasa nyeri di dadanya. Asinya kembali merembes. "Lihat, Yu. Itu makin basah. Pasti sakit banget 'kan? Ayo, Yu. Mas kasih kenikmatan sama kamu. Udah lama Mas tersiksa karena tidak minta jatah kepada Ningsih." Ayu tidak paham apa yang sedang diucapkan oleh Ari. Tetapi ia tidak mau jika lelaki itu masih saja memaksanya untuk bertindak lebih. "Aku nggak mau, Mas!" bentak Ayu kemudian. Bibirnya bergetar hebat. Selama ini ia tidak pernah memberontak seperti itu kepada siapapun. "Alah, Yu. Jangan sok jual mahal kamu." Ari terbawa emosi. Ia mendorong tubuh Ayu ke lantai. Tidak peduli jika ada yang melihatnya nanti. Lelaki itu sudah sangat menginginkan tubuh adik iparnya. "Yu, kamu tambah cantik aja, sekarang. Sudah lama kita tidak berduaan seperti ini. Apa kamu tidak kangen sama aku?" Lelaki itu membelai pipi mulus milik Ayu. Sudah sangat lama ia tidak dapat lagi menikmati keindahan wajah wanita itu. Ayu menepis tangan Ari. Ia mencoba mengalihkan pandangannya. Sudah cukup lama ia berusaha melupakan Ari. Ia tidak pernah menyangka jika akan dipertemukan lagi dalam keadaan seperti ini. Tak ingin menunda lebih lama lagi, Ari langsung merobek paksa daster milik Ayu yang sudah tipis. Ia kegirangan mendapatkan mainan yang sangat menarik. "Tidak, Mas. Jangan! Ingat dosa, Mas!" Ari tidak mempedulikan ucapan Ayu. Ia segera menenggelamkan wajahnya di antara dua buah padat dan kenyal di hadapannya. Lelaki itu menyedot habis asi yang dimiliki Ayu. "Ahh, sakit Mas! Hentikan!" Ayu masih berusaha mendorong kepala Ari, tetapi tangannya berhasil dicengkeram dengan kuat oleh tangan lelaki itu. "Kamu menikmatinya 'kan, Yu?" Setelah merasa puas, Ari mulai mengangkat kepalanya. Ia pandangi wajah adik iparnya yang memerah. "Enak juga rasanya, Yu. Manis!" ucap Ari yang telah berhasil menghabiskan stok asi milik Ayu. Air mata Ayu jatuh berlinangan. Ia menggelengkan kepalanya berkali-kali. Wanita itu tidak pernah menyangka jika Ari setega itu kepadanya. "Aku udah nggak kuat, Yu. Sebaiknya kita lanjutkan saja permainan ini." Ari menyibak daster Ayu. Hingga paha mulus wanita itu terekspos dengan sempurna. Lelaki itu tersenyum penuh kemenangan. Sudah lama ia menahan diri untuk tidak menyentuh tubuh adik iparnya tersebut.Langit siang Desa Kemuning tampak mendung. Seakan ikut menanggung beban berat di dada Ari. Sejak kemarin, pikirannya tidak bisa tenang. Ia berkali-kali mencoba menghubungi nomor Ayu, tapi yang terdengar hanya suara operator. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”“Ayu, kamu di mana sekarang?” gumamnya lirih, matanya memandang kosong layar ponsel.Hatinya digelayuti rasa bersalah yang begitu dalam. “Aku bodoh. Kenapa aku biarin semua orang memperlakukan kamu begitu? Aku harusnya melindungi kamu bukan malah membiarkan mereka menyakitimu.”Ari berdiri di tepi ranjang kamarnya, memukul kepalanya sendiri dengan frustrasi. Bayangan wajah Ayu yang menangis semalam terus menghantui pikirannya. Tatapan Ayu yang ketakutan saat dirinya dibawa polisi, tangan Ayu yang sempat meraih namun gagal ia genggam. Semua itu seperti pisau yang menusuk hati.Beberapa waktu lalu, polisi yang menahannya dadi kemarin akhirnya pergi bersama Ningsih dengan motornya. Ari akhirnya memanfaatkan kesempatan itu.
Gemerlap kota menyambut Ayu tanpa mampu mengusir kesedihan di hatinya. Kota itu terasa begitu asing bagi Ayu. Sejak turun dari bus, ia hanya berjalan tanpa arah di trotoar yang ramai orang.Orang-orang lalu-lalang dengan wajah ketus. Tak seorang pun peduli ada seorang perempuan muda dengan mata sembab, langkah gontai, dan wajah penuh kelelahan.“Di mana aku harus tinggal sekarang?” bisiknya pada diri sendiri.Udara kota terasa berbeda. Pengap, penuh debu, dan dingin sekaligus menusuk. Ia menahan rasa sakit di kakinya karena terlalu lama menenteng koper. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena bawaan, melainkan karena beban hidup yang menghimpit dadanya.Sesekali Ayu berhenti, duduk di kursi halte kosong. Ia menunduk, mengusap wajahnya dengan telapak tangan yang bergetar. Di dalam kepalanya, bayangan warga kampung, tatapan sinis Novia, amarah Om dan Tantenya, semua berputar seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.“Apa aku memang sehina itu? Sampai-sampai mereka tega mengus
BRAK! Suara pintu didobrak membuat Ari dan Ayu terlonjak dari posisi mereka. Pakaian yang berantakan, nafas yang masih memburu, kini berubah menjadi ketegangan mencekam. “Astaga, kalian!” teriak suara perempuan dari luar. Ayu membeku. Matanya melebar melihat sosok Ningsih berdiri di ambang pintu, wajahnya memerah penuh amarah. Di belakangnya, Pak RT, Bu RT, beberapa warga, dan seorang pria berseragam polisi ikut masuk. “Mas, aku takut.” Ayu berbisik panik, tubuhnya masih menempel di dada Ari. Namun mereka tak punya kesempatan untuk menjelaskan. Dalam sekejap, teriakan warga memenuhi ruang tamu sempit itu. “Ketahuan sudah! Perbuatan memalukan di kampung kita!” “Janda nggak tahu diri!” “Astaga, Ari! Kau suami orang, ya Allah!” Ari berdiri cepat, berusaha menutupi Ayu dengan tubuhnya. “Tolong jangan kasar, ini nggak seperti yang kalian lihat!” suaranya parau, mencoba membela. Namun tangan-tangan warga sudah maju, menarik Ari ke samping. Polisi yang rupanya teman lama Ningsih l
“Iya, Mas.” Ayu mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur dengan pelan. “Ah, Mas ....” Kedua tangan Ayu mencengkeram bahu Ari. Kepalanya mendongak. Matanya terpejam, tapi bibirnya tak berhenti mengeluarkan desahan. “Rasanya nikmat sekali, Mas.” Ari menggeram penuh nikmat. Tangannya menurunkan tali tipis di pundak Ayu. Kemudian ia meremas bongkahan payudara besar di hadapannya. “Terus, Yu. Mas suka banget.” Ayu menggigit bibirnya, tak kuasa membalas kata-kata itu. Hanya desah lirih yang lolos, menandakan tubuhnya pun mulai menyerah pada keadaan. Tangannya semakin kuat mencengkeram bahu Ari, merasakan setiap alur otot di balik kemeja tipis itu. Ari mengusap punggungnya dengan lembut, sementara wajahnya semakin dekat. Hembusan napas mereka bertemu, panas dan menggoda. Hingga akhirnya bibir Ari menemukan bibir Ayu. Ciuman itu awalnya lembut, penuh kehati-hatian, namun dengan cepat berubah menjadi dalam dan menuntut. Ayu terhanyut, matanya terpejam rapat, tubuhnya gemetar menerim
Udara siang terasa lengket, meski angin sempat berhembus tipis melalui celah jendela. Ayu baru saja selesai menjemur pakaian di halaman belakang. Rambutnya masih basah, meneteskan air yang jatuh ke kulit bahunya. Hanya handuk yang membalut tubuh mungilnya. Di tangannya, ia membawa ember kosong yang harus dikembalikan ke dapur. Langkahnya ringan, tapi hatinya tidak. Ada rasa risih berjalan hanya dengan balutan handuk di rumah ini, walau ia tahu tak ada orang lain selain dirinya. Namun, baru beberapa detik setelah ia menaruh ember, sebuah pelukan erat datang tiba-tiba dari belakang. Tubuhnya sontak menegang. Tapi begitu aroma parfum maskulin itu menyusup ke hidungnya, Ayu tak perlu menebak lebih jauh. Hatinya sudah tahu. “Mas Ari, kapan sampai sini? Mengagetkan Ayu saja,” ucapnya setengah terkejut, setengah lega. “Baru saja,” jawab Ari tenang, tapi nadanya penuh keyakinan. Wajahnya menunduk ke bahu Ayu, menghirup harum segar kulit wanita itu. “Kamu baru mandi ya, Yu? Wangi banget
Perasaan Ari tiba-tiba tak enak. Ia melangkah perlahan ke belakang rumah. Dari sana, samar-samar ia mendengar suara lirih. Seperti seseorang yang sedang berbicara dengan penuh bisik-bisik.Ari berhenti di dekat pintu dapur. Suaranya semakin jelas. Itu suara Ningsih.“Ya, nanti aku kabari lagi. Jangan telepon terus. Kalau Mas Ari tau, repot.” Suara itu terbawa angin, tidak terlalu jelas, tapi penuh kecemasan.Darah Ari berdesir. Jantungnya berdetak kencang. Ia menahan nafas, menajamkan telinga meski tidak begitu mendengarnya.Ningsih berbalik dan mendapati Ari sedang memperhatikannya.“Sudahlah, aku matiin dulu. Jangan hubungin aku sekarang.”Hening sejenak. Lalu suara klik terdengar, tanda ponsel dimatikan.Dengan cepat Ari melangkah mendekati Ningsih. Wajahnya pucat, tangannya refleks menyembunyikan ponsel ke balik daster.“Eh, Mas Ari. Sudah pulang.”“Ning, kamu teleponan sama siapa? Kok buru-buru dimatikan?” Ari bertanya, suaranya tegas, tatapannya menajam.Ningsih terdiam, matanya