Lelaki itu hendak memasukkan jemarinya. Namun tiba-tiba ponselnya berdering terus-menerus.
"Sial! Siapa yang mengganggu, sih!" Ari mengangkat telepon itu. Rupanya panggilan dari Ningsih. Istrinya tersebut marah-marah karena Ari belum juga pulang. Padahal anaknya sudah menangis sejak tadi. "Iya, iya, Mas segera pulang. Mas sudah dapat kok, ASI-nya." Ari segera menyambar dua kantong asi dari kulkas Ayu yang masih terbuka sejak tadi. "Aku akan datang kembali, Yu. Tunggu saja, nanti malam!" ucap Ari dan berlalu pergi meninggalkan Ayu yang masih terdiam di tempatnya. Wanita itu kemudian menangis sejadi-jadinya. Ia mencoba membetulkan dasternya yang berantakan dan telah sobek. "Aku harus segera mandi dan berganti pakaian. Mas Ari benar-benar jahat." Dengan tertatih Ayu beranjak dari tempatnya. Ia berjalan menuju kamar untuk mengambil handuk. Di saat mandi Ayu banyak melamun. Ia takut jika kakak iparnya datang kembali. Ingin sekali wanita itu pergi jauh, tetapi ia tidak tahu harus pergi ke mana. "Apa aku hubungi Tante Mirna saja, ya? Dan tinggal di sana untuk sementara." Seolah Ayu memiliki semangat baru. Ia akan pergi ke rumah adik dari ibunya untuk menumpang beberapa hari. Setelah berganti pakaian yang baru, Ayu mencoba menghubungi tantenya. Sayangnya Mirna sedang ke luar kota. Di rumahnya hanya ada sang suami yang terkenal sebagai lelaki hidung belang. "Ini tidak mungkin. Aku takut sama Om Wisnu. Dulu dia hampir saja menjebakku." Ayu tidak punya pilihan lain. Mau tidak mau wanita itu harus bersabar. Ia akan selalu berusaha untuk mengunci pintu rumahnya. Malam telah tiba. Ayu merasa kesulitan untuk tertidur. Ia takut jika Ari benar-benar datang ke rumahnya. Namun hingga malam semakin larut, tidak ada tanda-tanda kedatangan seseorang. Akhirnya Ayu bisa tertidur dengan lelap. *** "Ayu, Mas datang," bisik Ari lembut tepat di telinganya. Seketika Ayu membuka kedua matanya. Ia terkejut melihat Ari sudah berada di atas tubuhnya. Ayu tidak tahu sejak kapan tubuhnya sudah tidak berbusana. Ia dapat merasakan Ari mengulangi perbuatan yang sama seperti sore tadi. Anehnya wanita itu tidak menolak. Ia sangat menikmati sentuhan kakak iparnya. "Ahh, Mas. Sakit. Kamu menggigitnya." Mendengar sebuah lenguhan dari Ayu, membuat Ari semakin bertindak brutal. Ia sudah tidak bisa mengendalikan diri. "Aku akan memberikan kenikmatan yang tak pernah kamu rasakan bersama suamimu, Yu." "Aaaaaa!" Ayu berteriak dengan kuat. Tubuhnya telah basah dengan banyak keringat. Rupanya wanita itu mengalami mimpi buruk. "Auh, dadaku sakit lagi!" Ayu harus kembali mengosongkan ASI-nya yang melimpah ruah. "Sampai kapan harus seperti ini?" Ayu meletakkan ASI-nya ke dalam kulkas. Ia teringat akan mimpinya baru saja. "Mimpi itu terasa seperti nyata. Tetapi kenapa aku justru menikmatinya?" Ayu merasakan kerinduan yang mendalam terhadap Galih—suaminya. Ia berharap jika lelaki itu masih hidup. "Mas Galih, aku merindukanmu." Tak ingin kembali larut dalam kesedihan, Ayu memilih untuk tertidur kembali. *** Pagi-pagi sekali Ayu telah bangun dari tidurnya. Ia ingin memetik daun singkong di sawahnya untuk dimasak. Lagi-lagi Ayu teringat akan mimpinya. Setelah selesai memetik daun singkong, Ayu mempercepat langkahnya untuk segera kembali ke rumah. Suasana di sawah tampak sepi karena memang masih sangat pagi. Sehingga wanita itu tidak perlu menyapa para warga sekitar. Tiba di rumah Ayu segera membersihkan daun singkong yang telah ia petik. Pagi itu Ayu memasak sayur singkong cukup banyak meski belum ada yang memesan. "Ayu, kamu di mana?" teriak seorang perempuan kepada Ayu. Tentu saja Ayu mengenali suara yang sangat familiar di telinganya. "Mbak Ningsih? Ada apa Mbak ke sini?" tanya Ayu ragu-ragu. "Kamu itu dijengukin saudara harusnya senang. Kok malah gitu sih, Yu! Kamu nggak suka ya kalau aku ke sini? Pasti kamu lebih suka ditengokin Mas Ari 'kan?" Ningsih berbicara asal ceplas-ceplos di depan Ayu. Ia belum tahu jika Ayu adalah mantan pacar suaminya. "Awas aja ya, Yu. Kalau kamu berani macam-macam sama Mas Ari. Mentang-mentang jasad si Galih belum diketemukan." "Mbak Ningsih kok ngomong kayak gitu, sih. Mas Galih itu belum meninggal. Ayu yakin jika dia akan kembali." "Alah! Bilang aja kamu mau merebut Mas Ari dariku. Karena dia lebih ganteng dari Galih. Kamu 'kan menikah karena hamil duluan. Entah bayi siapa yang kamu lahirkan itu. Wajahnya tidak mirip sama Galih." Ayu hanya terdiam. Sebenarnya ia sakit hati dengan ucapan Ningsih. Tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. "Sebenarnya tujuan Mbak datang ke sini buat apa sih?" Ayu merasa geram. Biasanya Ningsih ke rumahnya untuk meminjam uang. Tapi sekarang ia sudah tidak punya uang lebih semenjak suaminya pergi. "Em, kamu masak apa hari ini? Mbak minta ya?" seloroh Ningsih tidak tahu malu. "Ayu cuma punya sayur daun singkong, Mbak. Emangnya Mbak nggak masak, ya?" balas Ayu memberanikan diri. "Sudah pintar menjawab ya, kamu. Aku adukan sama Mas Ari nanti. Semenjak suamimu meninggal Mas Ari 'kan yang kasih uang ke kamu? Benalu banget kamu." "Sumpah, Mbak. Ayu tidak pernah meminta uang sama Mas Ari." "Alah, alasan! Bibit pelakor sudah kelihatan di wajah kamu." Ningsih membuka kulkas Ayu. Di sana ada ikan asin dan tempe mentah. "Katanya nggak punya apa-apa. Kamu memang pandai berbohong, ya? Aku nggak jadi minta sayur. Aku minta ini saja." Ningsih segera pergi dengan membawa lauk pauk milik Ayu yang masih mentah. Ia mengambilnya tanpa berucap terima kasih sekalipun. "Mbak Ningsih tega banget sih sama aku." Pagi itu Ayu hanya makan nasi lauk saur daun singkong. Tetapi ia sudah merasa bersyukur dan bahagia. "Andai saja Ibu masih ada. Pasti Bapak tidak menikah lagi. Entah ke mana Bapak sekarang. Sudah tidak ada kabar lagi." Di siang hari Ayu pergi ke rumah para warga untuk menawarkan jasa pijat. Tetapi ia hanya memijat para ibu-ibu saja. Ayu senang karena Bu RT selalu langganan minta dipijat olehnya. Wanita itu sering kali memberikan uang tambahan kepada Ayu karena merasa puas. Sore harinya Ayu beristirahat. Ia mencoba menghilangkan kesedihannya dengan menonton televisi. KLING ! Sebuah pesan masuk ke ponsel Ayu. Rupanya chat dari Ningsih. [Yu, ke sini bisa nggak? Tolong bawakan asi yang banyak. Mbak lagi stres ini. Asinya nggak mau ke luar. Cepetan ya?] Ayu menghembuskan napas kesal. Ningsih sangat keterlaluan. Selalu apa-apa harus segera dituruti. Ayu mengeluarkan sepeda bututnya. Tidak mungkin jika ia ke rumah Ningsih dengan berjalan kaki. Setelah tiba di rumah Ari, Ayu segera menepikan sepedanya. Rupanya Ningsih sudah menantinya. "Lama banget, sih! Mana ASI-nya!" ucap Ningsih sewot. Wanita itu segera merebut kantong plastik yang dibawa adiknya. "Kenapa sih Mbak marah-marah gitu? Kasihan Dek Dinda nanti makin nangis." Ayu tidak tega melihat anak Ningsih terus-terusan menangis kencang. "Tolong ini sisanya masukkan ke kulkas di belakang," perintah Ningsih kemudian. "Iya, Mbak." Ayu pun hanya menurut. Ia membawa sisa kantong asi ke dalam kulkas. Wanita itu merasa kehausan. Ia minum minuman yang ada di atas kulkas. "Kok rasanya aneh sekali. Minuman apa ini?" Ayu merasakan hawa tubuhnya naik seketika. Ia merasa kepanasan. "Kok jadi panas begini, sih." Wanita itu segera masuk ke dalam kamar mandi. Ia mencoba mencuci wajahnya agar merasa lebih seger. CEKLEK ! Terdengar pintu kamar mandi dibuka dari luar. Ayu lupa mengunci pintunya. "Mas Ari?" Lidah Ayu menjadi kelu. Ari masuk ke kamar mandi hanya berbalutkan handuk kecil pada pinggangnya. Sedangkan Ayu hendak melepaskan baju atasannya karena kepanasan.Langit siang Desa Kemuning tampak mendung. Seakan ikut menanggung beban berat di dada Ari. Sejak kemarin, pikirannya tidak bisa tenang. Ia berkali-kali mencoba menghubungi nomor Ayu, tapi yang terdengar hanya suara operator. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”“Ayu, kamu di mana sekarang?” gumamnya lirih, matanya memandang kosong layar ponsel.Hatinya digelayuti rasa bersalah yang begitu dalam. “Aku bodoh. Kenapa aku biarin semua orang memperlakukan kamu begitu? Aku harusnya melindungi kamu bukan malah membiarkan mereka menyakitimu.”Ari berdiri di tepi ranjang kamarnya, memukul kepalanya sendiri dengan frustrasi. Bayangan wajah Ayu yang menangis semalam terus menghantui pikirannya. Tatapan Ayu yang ketakutan saat dirinya dibawa polisi, tangan Ayu yang sempat meraih namun gagal ia genggam. Semua itu seperti pisau yang menusuk hati.Beberapa waktu lalu, polisi yang menahannya dadi kemarin akhirnya pergi bersama Ningsih dengan motornya. Ari akhirnya memanfaatkan kesempatan itu.
Gemerlap kota menyambut Ayu tanpa mampu mengusir kesedihan di hatinya. Kota itu terasa begitu asing bagi Ayu. Sejak turun dari bus, ia hanya berjalan tanpa arah di trotoar yang ramai orang.Orang-orang lalu-lalang dengan wajah ketus. Tak seorang pun peduli ada seorang perempuan muda dengan mata sembab, langkah gontai, dan wajah penuh kelelahan.“Di mana aku harus tinggal sekarang?” bisiknya pada diri sendiri.Udara kota terasa berbeda. Pengap, penuh debu, dan dingin sekaligus menusuk. Ia menahan rasa sakit di kakinya karena terlalu lama menenteng koper. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena bawaan, melainkan karena beban hidup yang menghimpit dadanya.Sesekali Ayu berhenti, duduk di kursi halte kosong. Ia menunduk, mengusap wajahnya dengan telapak tangan yang bergetar. Di dalam kepalanya, bayangan warga kampung, tatapan sinis Novia, amarah Om dan Tantenya, semua berputar seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.“Apa aku memang sehina itu? Sampai-sampai mereka tega mengus
BRAK! Suara pintu didobrak membuat Ari dan Ayu terlonjak dari posisi mereka. Pakaian yang berantakan, nafas yang masih memburu, kini berubah menjadi ketegangan mencekam. “Astaga, kalian!” teriak suara perempuan dari luar. Ayu membeku. Matanya melebar melihat sosok Ningsih berdiri di ambang pintu, wajahnya memerah penuh amarah. Di belakangnya, Pak RT, Bu RT, beberapa warga, dan seorang pria berseragam polisi ikut masuk. “Mas, aku takut.” Ayu berbisik panik, tubuhnya masih menempel di dada Ari. Namun mereka tak punya kesempatan untuk menjelaskan. Dalam sekejap, teriakan warga memenuhi ruang tamu sempit itu. “Ketahuan sudah! Perbuatan memalukan di kampung kita!” “Janda nggak tahu diri!” “Astaga, Ari! Kau suami orang, ya Allah!” Ari berdiri cepat, berusaha menutupi Ayu dengan tubuhnya. “Tolong jangan kasar, ini nggak seperti yang kalian lihat!” suaranya parau, mencoba membela. Namun tangan-tangan warga sudah maju, menarik Ari ke samping. Polisi yang rupanya teman lama Ningsih l
“Iya, Mas.” Ayu mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur dengan pelan. “Ah, Mas ....” Kedua tangan Ayu mencengkeram bahu Ari. Kepalanya mendongak. Matanya terpejam, tapi bibirnya tak berhenti mengeluarkan desahan. “Rasanya nikmat sekali, Mas.” Ari menggeram penuh nikmat. Tangannya menurunkan tali tipis di pundak Ayu. Kemudian ia meremas bongkahan payudara besar di hadapannya. “Terus, Yu. Mas suka banget.” Ayu menggigit bibirnya, tak kuasa membalas kata-kata itu. Hanya desah lirih yang lolos, menandakan tubuhnya pun mulai menyerah pada keadaan. Tangannya semakin kuat mencengkeram bahu Ari, merasakan setiap alur otot di balik kemeja tipis itu. Ari mengusap punggungnya dengan lembut, sementara wajahnya semakin dekat. Hembusan napas mereka bertemu, panas dan menggoda. Hingga akhirnya bibir Ari menemukan bibir Ayu. Ciuman itu awalnya lembut, penuh kehati-hatian, namun dengan cepat berubah menjadi dalam dan menuntut. Ayu terhanyut, matanya terpejam rapat, tubuhnya gemetar menerim
Udara siang terasa lengket, meski angin sempat berhembus tipis melalui celah jendela. Ayu baru saja selesai menjemur pakaian di halaman belakang. Rambutnya masih basah, meneteskan air yang jatuh ke kulit bahunya. Hanya handuk yang membalut tubuh mungilnya. Di tangannya, ia membawa ember kosong yang harus dikembalikan ke dapur. Langkahnya ringan, tapi hatinya tidak. Ada rasa risih berjalan hanya dengan balutan handuk di rumah ini, walau ia tahu tak ada orang lain selain dirinya. Namun, baru beberapa detik setelah ia menaruh ember, sebuah pelukan erat datang tiba-tiba dari belakang. Tubuhnya sontak menegang. Tapi begitu aroma parfum maskulin itu menyusup ke hidungnya, Ayu tak perlu menebak lebih jauh. Hatinya sudah tahu. “Mas Ari, kapan sampai sini? Mengagetkan Ayu saja,” ucapnya setengah terkejut, setengah lega. “Baru saja,” jawab Ari tenang, tapi nadanya penuh keyakinan. Wajahnya menunduk ke bahu Ayu, menghirup harum segar kulit wanita itu. “Kamu baru mandi ya, Yu? Wangi banget
Perasaan Ari tiba-tiba tak enak. Ia melangkah perlahan ke belakang rumah. Dari sana, samar-samar ia mendengar suara lirih. Seperti seseorang yang sedang berbicara dengan penuh bisik-bisik.Ari berhenti di dekat pintu dapur. Suaranya semakin jelas. Itu suara Ningsih.“Ya, nanti aku kabari lagi. Jangan telepon terus. Kalau Mas Ari tau, repot.” Suara itu terbawa angin, tidak terlalu jelas, tapi penuh kecemasan.Darah Ari berdesir. Jantungnya berdetak kencang. Ia menahan nafas, menajamkan telinga meski tidak begitu mendengarnya.Ningsih berbalik dan mendapati Ari sedang memperhatikannya.“Sudahlah, aku matiin dulu. Jangan hubungin aku sekarang.”Hening sejenak. Lalu suara klik terdengar, tanda ponsel dimatikan.Dengan cepat Ari melangkah mendekati Ningsih. Wajahnya pucat, tangannya refleks menyembunyikan ponsel ke balik daster.“Eh, Mas Ari. Sudah pulang.”“Ning, kamu teleponan sama siapa? Kok buru-buru dimatikan?” Ari bertanya, suaranya tegas, tatapannya menajam.Ningsih terdiam, matanya