Ari menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak tahu jika sang adik ipar yang cantik menawan dan seksi itu sedang berada di rumahnya.
"Yu, kamu kok bisa ada di sini?" Ari semakin mendekati Ayu. Wanita itu hendak berteriak. Tetapi mulutnya segera dibungkam oleh tangan kekar milik Ari. "Jangan berteriak, Yu. Nanti kamu akan menyesal." "Tolong jangan apa-apain Ayu, Mas." Wanita itu menunduk pilu. Di pelupuk matanya sudah menggenang air mata yang sekejap saja bisa jatuh jika ia berkedip. "Lihatlah, Ayu. Ia sudah menegang gara-gara melihatmu seperti ini. Kamu harus menidurkannya kembali." Ayu mendongakkan kepalanya. Ia menggeleng cepat. Sembari terus memohon kepada kakak iparnya agar melepaskannya. "Apa kamu tidak ingat Mas, perbuatan kamu dulu. Kamu tidak mau bertanggung jawab kepadaku. Kamu tega!" Ayu terisak. Ia berusaha menutupi mulutnya agar tidak ketahuan oleh Ningsih. Pasti dirinya akan dianggap sebagai penggoda suami orang. "Apa maksud kamu, Yu? Apa benar bayi yang telah kamu lahirkan itu adalah darah dagingku? Kenapa kamu tidak pernah mengatakannya, Yu? Kenapa kamu lebih memilih menikah dengan Galih?" Ari mengusap wajahnya dengan kasar. Kemudian mencoba mengatur ritme napasnya yang sudah tidak beraturan. "Aku harus pergi!" Dengan cepat ayu keluar dari kamar mandi itu sambil membetulkan pakaiannya. "Tunggu dulu, Yu!" Ari merasa frustrasi. Ia kepikiran dengan semua ucapan Ayu. Dulu mereka pernah pacaran sampai melewati batas. Dan satu bulan setelahnya, sikap Ayu mulai berubah. Wanita itu terus menghindar dan akhirnya minta putus. Ari benar-benar kecewa saat pulang dari merantau melihat Ayu menikah dengan adiknya sendiri. Bahkan ia mendengar gosip jika wanita itu hamil di luar nikah. Ari berusaha melupakan Ayu. Ia memilih untuk menerima perjodohan dari kedua orangtuanya. Lelaki itu menikahi Ningsih yang telah hamil anak orang lain. Dan sekarang mereka dikarunia seorang anak perempuan. Meski begitu Ari masih belum bisa melupakan Ayu. Apalagi Galih yang dianggap saingannya baru saja kecelakaan dan belum ditemukan jasadnya. "Apakah benar Yuri adalah anakku? Bahkan aku belum sempat memeluk dan menciumnya." Ari berusaha untuk melupakan segala kegelisahan di hatinya. Ia segera menyambar bajunya dan mengenakannya kembali. Sementara Ayu bergegas untuk pulang. Namun ia berpapasan dengan Dimas adik Galih dan Ari yang masih kecil. "Mbak Ayu? Mbak ada di sini?" ucap anak menggemaskan itu. "Di–Dimas? Kamu belum tidur?" Tergagap Ayu mengatakannya. Ia takut jika Dimas melihat wanita itu sedang berduaan dengan Ari di dalam kamar mandi. "Dimas kangen sama Mbak Ayu. Mbak menginap di sini saja ya?" pinta Dimas memohon. Ayu tidak tahu harus menjawab apa. Sesungguhnya ia ingin segera pulang dan beristirahat di rumahnya. "Mbak Ayu harus pulang, Dim. Rumahnya sepi nggak ada orang," timpal Ari yang datang dari kamar mandi. "Tapi Dimas kangen sama Mbak Ayu. Dimas mau tidur sama Mbak Ayu." Dimas masih saja merengek. Membuat Ayu tidak sampai hati untuk meninggalkannya. Mendengar rengekan Dimas, Ningsih menghampiri Ayu. "Kamu menginap aja di sini satu malam. Sekalian susui bayiku ini. Dia nggak bisa tenang sejak tadi." Ningsih menyerahkan anaknya kepada Ayu agar disusui. Setelah itu ia masuk ke kamarnya sendiri. Ayu melihat sekilas ke arah Ari. Kemudian memilih untuk masuk ke kamar Dimas dan menemaninya. Ari yang tidak ingin mengganggu Ayu segera melanjutkan untuk mandi. Sebenarnya ia kasihan kepada mantan kekasihnya tersebut. Malam hari setelah makan malam, Ari baru hendak ke dalam kamarnya. Ia melihat Ningsih yang tertidur sangat lelap di ranjang milik mereka. "Ningsih benar-benar keterlaluan. Aku harus melihat kondisi Ayu sekarang." Lelaki tampan beralis tebal itu berjalan mengendap-endap menuju kamar Dimas. Ia mengintip di balik pintu yang tidak terkunci. Dimas pun telah tertidur lelap sama seperti Ningsih. Sementara Ayu masih sibuk menyusui Dinda. Ari berinisiatif membuatkan teh hangat untuk Ayu. Kemudian membawanya ke kamar Dimas. Seketika Ayu terkejut saat Ari memasuki kamar di saat ia masih sibuk memberikan asi kepada anak kakak iparnya. "Mas Ari?" Ayu berusaha menutupi bagian atas tubuhnya. Tetapi Dinda malah menangis. "Em, maaf Yu. Aku hanya ingin memberikan ini untukmu," ungkap Ari sambil meletakkan segelas teh hangat di atas meja nakas. "Untuk apa Mas Ari ke sini! Mas tidak perlu berpura-pura peduli sama Ayu. Ayu benci sama Mas!" Ayu merubah posisinya membelakangi Ari. Ia benar-benar tidak ingin dianggap sebagai wanita murahan. Tangan Ari menyentuh bahu Ayu. Ia berusaha meyakinkan wanita itu bahwa dirinya tulus meminta maaf. "Aku minta maaf, Yu. Aku benar-benar khilaf." "Pergi dari sini!" usir Ayu kemudian. Dinda semakin menangis histeris. Hal itu membuat Ayu semakin kesal dengan sikap Ari. "Lihatlah, Yu. Dinda menangis. Kamu jangan marah-marah ya? Aku akan di sini ikut menjaganya. Kamu minum dulu, ya? Biar aku yang menggendongnya." Ari segera mengambil Dinda dari gendongan Ayu. Ia berusaha menenangkan bayi mungil itu. Dinda pun menjadi diam setelah digendong oleh Ari. Selama ini memang lelaki itu yang selalu menenangkan bayi Ningsih saat istrinya tersebut marah-marah. Ayu tidak punya pilihan lain. Ia memang sedang haus dan tidak sempat pergi ke dapur untuk mengambil air. Setelah menghabiskan minuman itu, Ayu justru tertidur. Sepertinya ia kecapekan malam itu. Sementara Ari meletakkan Dinda pada kotak tempat tidur khusus bayi. Sejenak Ari memandangi wajah lelah Ayu. Jemarinya tanpa sadar membelai bibir wanita itu hingga akhirnya Ayu merasakan sentuhan tangan dari kakak iparnya. "Mas Galih, jangan tinggalkan aku." Ayu merintih memanggil nama suaminya yang telah meninggal. Ia menarik tangan Ari agar tidak pergi. "Tetaplah di sisiku, Mas Galih. Aku merindukanmu." Ari terdiam kaku di tepi ranjang. Ia tidak pernah menyangka jika Ayu begitu rindu dengan adiknya. 'Apakah kamu secinta itu kepada Galih, Yu? Apakah kamu sudah benar-benar melupakan aku, Yu? Apa salahku hingga kau pergi meninggalkanku setelah peristiwa malam itu?' batin Ari risau. Ari merasakan kesedihan yang teramat dalam. Sungguh ia masih sangat mencintai Ayu sampai detik itu juga. "Iya, Mas akan tetap di sini menemanimu, Sayang." Ari mengatakan kalimat itu kepada Ayu. Tangannya dengan leluasa meraba tubuh wanita itu. "Ahh, Mas. Jangan nakal," protes Ayu dengan kedua mata yang masih terpejam. Ari hanya diam mendengarkan lenguhan manis dari bibir Ayu. Hatinya bergejolak hebat. Namun ia tidak boleh menuruti nafsunya sendiri. Ari tertidur dengan posisi duduk di tepi ranjang sambil tangannya menggenggam tangan Ayu. Wanita itu terbangun tengah malam saat mendengar tangisan Dinda yang kehausan. Ayu merasakan kehangatan dari genggaman tangan Ari. Sejujurnya ia pun masih mencintai mantan kekasihnya tersebut. "Mas Ari? Kamu benar-benar tidur di sini untuk menjaga Dinda?"Ayu menggeleng cepat. Ia tidak mungkin memberikan asi yang sudah basi. "Itu tidak benar, Bu. Saya selalu memberikan asi yang segar kepada pembeli." "Alah, bohong kamu, Yu. Pokoknya saya akan melaporkan kamu ke polisi." Ari tidak tinggal diam. Ia tetap berusaha untuk membela Ayu. "Jangan, Bu. Kita bisa selesaikan hal ini dengan cara baik-baik. Aku yakin Ayu tidak mungkin melakukan hal itu." "Kalau begitu Ayu harus ganti rugi tiga kali lipat!" "Baik, Ayu pasti akan memberikan uang itu." Ayu memegang lengan tangan Ari. Ia tidak mungkin menuruti kemauan Bu Ita karena wanita itu tidak salah. "Sudahlah, Yu. Daripada nanti kamu masuk penjara." "Ayu sedang tidak ada uang, Mas." Bu Ita masih menatap sinis kepada mereka. Sebenarnya ia hanya menggertak saja. "Baiklah. Aku yang akan membayarnya." Lelaki itu mengeluarkan dompetnya dan memberikan sejumlah uang sesuai permintaan Bu Ita. "Nah gini, dong. Ini sih baru biaya ganti rugi. Belum biaya tutup mulut atas perselingkuhan kalian."
"Ningsih?" Ari tampak kebingungan. Ia segera mencari alasan agar Ningsih percaya kepadanya."Aku hanya berusaha menenangkan Ayu, Ning. Dia teringat akan Galih dan anaknya."Ari terpaksa berbohong kepada istrinya. Ia tidak mau Ayu dimusuhi dan semakin ditindas oleh Ningsih."Dimas kecelakaan, Mas. Kalian malah asyik berduaan di sini."Ari terkejut dan sangat merasa bersalah. Ia segera mengajak Ningsih dan Ayu untuk melihat kondisi adiknya."Sebaiknya kita segera ke rumah sakit."Ari bergegas keluar dari rumah Ayu. Ia benar-benar khawatir dengan keadaan Dimas.Ningsih memandangi Ayu dengan penuh kebencian. "Benar-benar tidak tahu malu kamu, Ayu.""Bagaimana bisa Dimas sampai kecelakaan Mbak?" tanya Ayu lemah."Dia jadi korban tabrak lari. Dan ini semua gara-gara kamu, Ayu. Jangan pernah muncul di hadapan Dimas lagi!" ancam Ningsih yang terlanjur kesal."Tapi Mbak?" Ayu sayang dengan Dimas. Tidak mungkin ia membiarkan Dimas di rumah sakit tanpa kehadirannya.Ningsih segera menyusul keper
Ayu melepaskan genggaman Ari dengan perlahan. Kemudian ia mulai menyusui Dinda hingga bayi mungil itu tertidur kembali.Ayu memberanikan diri untuk membangunkan Ari. Ia tidak tega melihat lelaki itu tidur dengan posisi yang tidak nyaman."Mas Ari, bangun Mas!"Ari membuka perlahan kedua matanya. Ia merasa bersalah karena ketiduran. Harusnya lelaki itu tetap menjaga Dinda."Ayu? Maaf aku ketiduran.""Sebaiknya Mas tidur di kamar, Mas. Aku bisa kok menjaga Dinda sendirian. Dia sangat pengertian malam ini.""Kamu serius, Yu?"Ayu mengangguk dengan pasti. Ia tidak nyaman jika satu kamar dengan kakak iparnya sendiri.Ari pun menurut saja. Ia pergi ke kamarnya sendiri untuk tidur. Selama ini Ari dan Ningsih selalu tidur dengan posisi saling membelakangi.Ari memang kecewa kepada Ningsih. Wanita itu telah membohonginya. Mengatakan jika Dinda adalah putrinya. Namun kenyataannya tidak seperti itu. Ada seorang lelaki yang mengaku sebagai ayah dari anak yang dilahirkan oleh Ningsih.Pagi-pagi se
Ari menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak tahu jika sang adik ipar yang cantik menawan dan seksi itu sedang berada di rumahnya."Yu, kamu kok bisa ada di sini?" Ari semakin mendekati Ayu.Wanita itu hendak berteriak. Tetapi mulutnya segera dibungkam oleh tangan kekar milik Ari."Jangan berteriak, Yu. Nanti kamu akan menyesal.""Tolong jangan apa-apain Ayu, Mas." Wanita itu menunduk pilu. Di pelupuk matanya sudah menggenang air mata yang sekejap saja bisa jatuh jika ia berkedip."Lihatlah, Ayu. Ia sudah menegang gara-gara melihatmu seperti ini. Kamu harus menidurkannya kembali."Ayu mendongakkan kepalanya. Ia menggeleng cepat. Sembari terus memohon kepada kakak iparnya agar melepaskannya."Apa kamu tidak ingat Mas, perbuatan kamu dulu. Kamu tidak mau bertanggung jawab kepadaku. Kamu tega!"Ayu terisak. Ia berusaha menutupi mulutnya agar tidak ketahuan oleh Ningsih. Pasti dirinya akan dianggap sebagai penggoda suami orang."Apa maksud kamu, Yu? Apa benar bayi yang telah kamu lahirkan itu
Lelaki itu hendak memasukkan jemarinya. Namun tiba-tiba ponselnya berdering terus-menerus."Sial! Siapa yang mengganggu, sih!"Ari mengangkat telepon itu. Rupanya panggilan dari Ningsih. Istrinya tersebut marah-marah karena Ari belum juga pulang. Padahal anaknya sudah menangis sejak tadi."Iya, iya, Mas segera pulang. Mas sudah dapat kok, ASI-nya."Ari segera menyambar dua kantong asi dari kulkas Ayu yang masih terbuka sejak tadi."Aku akan datang kembali, Yu. Tunggu saja, nanti malam!" ucap Ari dan berlalu pergi meninggalkan Ayu yang masih terdiam di tempatnya.Wanita itu kemudian menangis sejadi-jadinya. Ia mencoba membetulkan dasternya yang berantakan dan telah sobek."Aku harus segera mandi dan berganti pakaian. Mas Ari benar-benar jahat."Dengan tertatih Ayu beranjak dari tempatnya. Ia berjalan menuju kamar untuk mengambil handuk.Di saat mandi Ayu banyak melamun. Ia takut jika kakak iparnya datang kembali. Ingin sekali wanita itu pergi jauh, tetapi ia tidak tahu harus pergi ke m
"Aku tidak pernah menyangka. Kalian meninggalkan aku secepat ini."Ayu memandangi foto kebersamaannya dengan bayi mungil dan sang suami tercinta.Dua bulan yang lalu mereka mangalami kecelakaan dan jasad keduanya belum ditemukan. Hanya Ayu yang masih selamat karena segera dibawa ke rumah sakit oleh seorang lelaki yang menemukannya.Ayu selalu merasa sedih dan kesepian. Setiap malam ia harus tidur sendirian. Tiada pengobat rindu yang menemani hadirnya. Wanita itu masih yakin jika suami dan anaknya masih hidup."Auh! Sakit sekali."Tiba-tiba Ayu merasakan dadanya yang begitu sesak dan nyeri. Tangannya meraba daster bagian atas yang sudah basah karena ASI-nya masih mengalir deras.Hampir setiap dua jam sekali Ayu harus mengosongkan air susu tersebut dan memasukkannya ke dalam wadah untuk ia jual kepada tetangga yang membutuhkan. Dengan begitu Ayu bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari meski uang yang dimiliki hanya sedikit.Kadang Ayu juga pergi ke sawah untuk memetik sayur-sayuran