Share

BAB 3

Penulis: Rich Mama
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-18 16:45:13

Ari menaikkan sebelah alisnya. Ia tidak tahu jika sang adik ipar yang cantik menawan dan seksi itu sedang berada di rumahnya.

"Yu, kamu kok bisa ada di sini?" Ari semakin mendekati Ayu.

Wanita itu hendak berteriak. Tetapi mulutnya segera dibungkam oleh tangan kekar milik Ari.

"Jangan berteriak, Yu. Nanti kamu akan menyesal."

"Tolong jangan apa-apain Ayu, Mas." Wanita itu menunduk pilu. Di pelupuk matanya sudah menggenang air mata yang sekejap saja bisa jatuh jika ia berkedip.

"Lihatlah, Ayu. Ia sudah menegang gara-gara melihatmu seperti ini. Kamu harus menidurkannya kembali."

Ayu mendongakkan kepalanya. Ia menggeleng cepat. Sembari terus memohon kepada kakak iparnya agar melepaskannya.

"Apa kamu tidak ingat Mas, perbuatan kamu dulu. Kamu tidak mau bertanggung jawab kepadaku. Kamu tega!"

Ayu terisak. Ia berusaha menutupi mulutnya agar tidak ketahuan oleh Ningsih. Pasti dirinya akan dianggap sebagai penggoda suami orang.

"Apa maksud kamu, Yu? Apa benar bayi yang telah kamu lahirkan itu adalah darah dagingku? Kenapa kamu tidak pernah mengatakannya, Yu? Kenapa kamu lebih memilih menikah dengan Galih?"

Ari mengusap wajahnya dengan kasar. Kemudian mencoba mengatur ritme napasnya yang sudah tidak beraturan.

"Aku harus pergi!"

Dengan cepat ayu keluar dari kamar mandi itu sambil membetulkan pakaiannya.

"Tunggu dulu, Yu!"

Ari merasa frustrasi. Ia kepikiran dengan semua ucapan Ayu. Dulu mereka pernah pacaran sampai melewati batas. Dan satu bulan setelahnya, sikap Ayu mulai berubah. Wanita itu terus menghindar dan akhirnya minta putus.

Ari benar-benar kecewa saat pulang dari merantau melihat Ayu menikah dengan adiknya sendiri. Bahkan ia mendengar gosip jika wanita itu hamil di luar nikah.

Ari berusaha melupakan Ayu. Ia memilih untuk menerima perjodohan dari kedua orangtuanya.

Lelaki itu menikahi Ningsih yang telah hamil anak orang lain. Dan sekarang mereka dikarunia seorang anak perempuan. Meski begitu Ari masih belum bisa melupakan Ayu. Apalagi Galih yang dianggap saingannya baru saja kecelakaan dan belum ditemukan jasadnya.

"Apakah benar Yuri adalah anakku? Bahkan aku belum sempat memeluk dan menciumnya."

Ari berusaha untuk melupakan segala kegelisahan di hatinya. Ia segera menyambar bajunya dan mengenakannya kembali.

Sementara Ayu bergegas untuk pulang. Namun ia berpapasan dengan Dimas adik Galih dan Ari yang masih kecil.

"Mbak Ayu? Mbak ada di sini?" ucap anak menggemaskan itu.

"Di–Dimas? Kamu belum tidur?" Tergagap Ayu mengatakannya. Ia takut jika Dimas melihat wanita itu sedang berduaan dengan Ari di dalam kamar mandi.

"Dimas kangen sama Mbak Ayu. Mbak menginap di sini saja ya?" pinta Dimas memohon.

Ayu tidak tahu harus menjawab apa. Sesungguhnya ia ingin segera pulang dan beristirahat di rumahnya.

"Mbak Ayu harus pulang, Dim. Rumahnya sepi nggak ada orang," timpal Ari yang datang dari kamar mandi.

"Tapi Dimas kangen sama Mbak Ayu. Dimas mau tidur sama Mbak Ayu."

Dimas masih saja merengek. Membuat Ayu tidak sampai hati untuk meninggalkannya.

Mendengar rengekan Dimas, Ningsih menghampiri Ayu.

"Kamu menginap aja di sini satu malam. Sekalian susui bayiku ini. Dia nggak bisa tenang sejak tadi."

Ningsih menyerahkan anaknya kepada Ayu agar disusui. Setelah itu ia masuk ke kamarnya sendiri.

Ayu melihat sekilas ke arah Ari. Kemudian memilih untuk masuk ke kamar Dimas dan menemaninya.

Ari yang tidak ingin mengganggu Ayu segera melanjutkan untuk mandi. Sebenarnya ia kasihan kepada mantan kekasihnya tersebut.

Malam hari setelah makan malam, Ari baru hendak ke dalam kamarnya. Ia melihat Ningsih yang tertidur sangat lelap di ranjang milik mereka.

"Ningsih benar-benar keterlaluan. Aku harus melihat kondisi Ayu sekarang."

Lelaki tampan beralis tebal itu berjalan mengendap-endap menuju kamar Dimas. Ia mengintip di balik pintu yang tidak terkunci.

Dimas pun telah tertidur lelap sama seperti Ningsih. Sementara Ayu masih sibuk menyusui Dinda.

Ari berinisiatif membuatkan teh hangat untuk Ayu. Kemudian membawanya ke kamar Dimas.

Seketika Ayu terkejut saat Ari memasuki kamar di saat ia masih sibuk memberikan asi kepada anak kakak iparnya.

"Mas Ari?" Ayu berusaha menutupi bagian atas tubuhnya. Tetapi Dinda malah menangis.

"Em, maaf Yu. Aku hanya ingin memberikan ini untukmu," ungkap Ari sambil meletakkan segelas teh hangat di atas meja nakas.

"Untuk apa Mas Ari ke sini! Mas tidak perlu berpura-pura peduli sama Ayu. Ayu benci sama Mas!"

Ayu merubah posisinya membelakangi Ari. Ia benar-benar tidak ingin dianggap sebagai wanita murahan.

Tangan Ari menyentuh bahu Ayu. Ia berusaha meyakinkan wanita itu bahwa dirinya tulus meminta maaf.

"Aku minta maaf, Yu. Aku benar-benar khilaf."

"Pergi dari sini!" usir Ayu kemudian.

Dinda semakin menangis histeris. Hal itu membuat Ayu semakin kesal dengan sikap Ari.

"Lihatlah, Yu. Dinda menangis. Kamu jangan marah-marah ya? Aku akan di sini ikut menjaganya. Kamu minum dulu, ya? Biar aku yang menggendongnya."

Ari segera mengambil Dinda dari gendongan Ayu. Ia berusaha menenangkan bayi mungil itu.

Dinda pun menjadi diam setelah digendong oleh Ari. Selama ini memang lelaki itu yang selalu menenangkan bayi Ningsih saat istrinya tersebut marah-marah.

Ayu tidak punya pilihan lain. Ia memang sedang haus dan tidak sempat pergi ke dapur untuk mengambil air.

Setelah menghabiskan minuman itu, Ayu justru tertidur. Sepertinya ia kecapekan malam itu.

Sementara Ari meletakkan Dinda pada kotak tempat tidur khusus bayi. Sejenak Ari memandangi wajah lelah Ayu. Jemarinya tanpa sadar membelai bibir wanita itu hingga akhirnya Ayu merasakan sentuhan tangan dari kakak iparnya.

"Mas Galih, jangan tinggalkan aku."

Ayu merintih memanggil nama suaminya yang telah meninggal. Ia menarik tangan Ari agar tidak pergi.

"Tetaplah di sisiku, Mas Galih. Aku merindukanmu."

Ari terdiam kaku di tepi ranjang. Ia tidak pernah menyangka jika Ayu begitu rindu dengan adiknya.

'Apakah kamu secinta itu kepada Galih, Yu? Apakah kamu sudah benar-benar melupakan aku, Yu? Apa salahku hingga kau pergi meninggalkanku setelah peristiwa malam itu?' batin Ari risau.

Ari merasakan kesedihan yang teramat dalam. Sungguh ia masih sangat mencintai Ayu sampai detik itu juga.

"Iya, Mas akan tetap di sini menemanimu, Sayang."

Ari mengatakan kalimat itu kepada Ayu. Tangannya dengan leluasa meraba tubuh wanita itu.

"Ahh, Mas. Jangan nakal," protes Ayu dengan kedua mata yang masih terpejam.

Ari hanya diam mendengarkan lenguhan manis dari bibir Ayu. Hatinya bergejolak hebat. Namun ia tidak boleh menuruti nafsunya sendiri.

Ari tertidur dengan posisi duduk di tepi ranjang sambil tangannya menggenggam tangan Ayu.

Wanita itu terbangun tengah malam saat mendengar tangisan Dinda yang kehausan. Ayu merasakan kehangatan dari genggaman tangan Ari. Sejujurnya ia pun masih mencintai mantan kekasihnya tersebut.

"Mas Ari? Kamu benar-benar tidur di sini untuk menjaga Dinda?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 35

    Langit siang Desa Kemuning tampak mendung. Seakan ikut menanggung beban berat di dada Ari. Sejak kemarin, pikirannya tidak bisa tenang. Ia berkali-kali mencoba menghubungi nomor Ayu, tapi yang terdengar hanya suara operator. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”“Ayu, kamu di mana sekarang?” gumamnya lirih, matanya memandang kosong layar ponsel.Hatinya digelayuti rasa bersalah yang begitu dalam. “Aku bodoh. Kenapa aku biarin semua orang memperlakukan kamu begitu? Aku harusnya melindungi kamu bukan malah membiarkan mereka menyakitimu.”Ari berdiri di tepi ranjang kamarnya, memukul kepalanya sendiri dengan frustrasi. Bayangan wajah Ayu yang menangis semalam terus menghantui pikirannya. Tatapan Ayu yang ketakutan saat dirinya dibawa polisi, tangan Ayu yang sempat meraih namun gagal ia genggam. Semua itu seperti pisau yang menusuk hati.Beberapa waktu lalu, polisi yang menahannya dadi kemarin akhirnya pergi bersama Ningsih dengan motornya. Ari akhirnya memanfaatkan kesempatan itu.

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 34

    Gemerlap kota menyambut Ayu tanpa mampu mengusir kesedihan di hatinya. Kota itu terasa begitu asing bagi Ayu. Sejak turun dari bus, ia hanya berjalan tanpa arah di trotoar yang ramai orang.Orang-orang lalu-lalang dengan wajah ketus. Tak seorang pun peduli ada seorang perempuan muda dengan mata sembab, langkah gontai, dan wajah penuh kelelahan.“Di mana aku harus tinggal sekarang?” bisiknya pada diri sendiri.Udara kota terasa berbeda. Pengap, penuh debu, dan dingin sekaligus menusuk. Ia menahan rasa sakit di kakinya karena terlalu lama menenteng koper. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena bawaan, melainkan karena beban hidup yang menghimpit dadanya.Sesekali Ayu berhenti, duduk di kursi halte kosong. Ia menunduk, mengusap wajahnya dengan telapak tangan yang bergetar. Di dalam kepalanya, bayangan warga kampung, tatapan sinis Novia, amarah Om dan Tantenya, semua berputar seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.“Apa aku memang sehina itu? Sampai-sampai mereka tega mengus

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 33

    BRAK! Suara pintu didobrak membuat Ari dan Ayu terlonjak dari posisi mereka. Pakaian yang berantakan, nafas yang masih memburu, kini berubah menjadi ketegangan mencekam. “Astaga, kalian!” teriak suara perempuan dari luar. Ayu membeku. Matanya melebar melihat sosok Ningsih berdiri di ambang pintu, wajahnya memerah penuh amarah. Di belakangnya, Pak RT, Bu RT, beberapa warga, dan seorang pria berseragam polisi ikut masuk. “Mas, aku takut.” Ayu berbisik panik, tubuhnya masih menempel di dada Ari. Namun mereka tak punya kesempatan untuk menjelaskan. Dalam sekejap, teriakan warga memenuhi ruang tamu sempit itu. “Ketahuan sudah! Perbuatan memalukan di kampung kita!” “Janda nggak tahu diri!” “Astaga, Ari! Kau suami orang, ya Allah!” Ari berdiri cepat, berusaha menutupi Ayu dengan tubuhnya. “Tolong jangan kasar, ini nggak seperti yang kalian lihat!” suaranya parau, mencoba membela. Namun tangan-tangan warga sudah maju, menarik Ari ke samping. Polisi yang rupanya teman lama Ningsih l

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 32

    “Iya, Mas.” Ayu mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur dengan pelan. “Ah, Mas ....” Kedua tangan Ayu mencengkeram bahu Ari. Kepalanya mendongak. Matanya terpejam, tapi bibirnya tak berhenti mengeluarkan desahan. “Rasanya nikmat sekali, Mas.” Ari menggeram penuh nikmat. Tangannya menurunkan tali tipis di pundak Ayu. Kemudian ia meremas bongkahan payudara besar di hadapannya. “Terus, Yu. Mas suka banget.” Ayu menggigit bibirnya, tak kuasa membalas kata-kata itu. Hanya desah lirih yang lolos, menandakan tubuhnya pun mulai menyerah pada keadaan. Tangannya semakin kuat mencengkeram bahu Ari, merasakan setiap alur otot di balik kemeja tipis itu. Ari mengusap punggungnya dengan lembut, sementara wajahnya semakin dekat. Hembusan napas mereka bertemu, panas dan menggoda. Hingga akhirnya bibir Ari menemukan bibir Ayu. Ciuman itu awalnya lembut, penuh kehati-hatian, namun dengan cepat berubah menjadi dalam dan menuntut. Ayu terhanyut, matanya terpejam rapat, tubuhnya gemetar menerim

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 31

    Udara siang terasa lengket, meski angin sempat berhembus tipis melalui celah jendela. Ayu baru saja selesai menjemur pakaian di halaman belakang. Rambutnya masih basah, meneteskan air yang jatuh ke kulit bahunya. Hanya handuk yang membalut tubuh mungilnya. Di tangannya, ia membawa ember kosong yang harus dikembalikan ke dapur. Langkahnya ringan, tapi hatinya tidak. Ada rasa risih berjalan hanya dengan balutan handuk di rumah ini, walau ia tahu tak ada orang lain selain dirinya. Namun, baru beberapa detik setelah ia menaruh ember, sebuah pelukan erat datang tiba-tiba dari belakang. Tubuhnya sontak menegang. Tapi begitu aroma parfum maskulin itu menyusup ke hidungnya, Ayu tak perlu menebak lebih jauh. Hatinya sudah tahu. “Mas Ari, kapan sampai sini? Mengagetkan Ayu saja,” ucapnya setengah terkejut, setengah lega. “Baru saja,” jawab Ari tenang, tapi nadanya penuh keyakinan. Wajahnya menunduk ke bahu Ayu, menghirup harum segar kulit wanita itu. “Kamu baru mandi ya, Yu? Wangi banget

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 30

    Perasaan Ari tiba-tiba tak enak. Ia melangkah perlahan ke belakang rumah. Dari sana, samar-samar ia mendengar suara lirih. Seperti seseorang yang sedang berbicara dengan penuh bisik-bisik.Ari berhenti di dekat pintu dapur. Suaranya semakin jelas. Itu suara Ningsih.“Ya, nanti aku kabari lagi. Jangan telepon terus. Kalau Mas Ari tau, repot.” Suara itu terbawa angin, tidak terlalu jelas, tapi penuh kecemasan.Darah Ari berdesir. Jantungnya berdetak kencang. Ia menahan nafas, menajamkan telinga meski tidak begitu mendengarnya.Ningsih berbalik dan mendapati Ari sedang memperhatikannya.“Sudahlah, aku matiin dulu. Jangan hubungin aku sekarang.”Hening sejenak. Lalu suara klik terdengar, tanda ponsel dimatikan.Dengan cepat Ari melangkah mendekati Ningsih. Wajahnya pucat, tangannya refleks menyembunyikan ponsel ke balik daster.“Eh, Mas Ari. Sudah pulang.”“Ning, kamu teleponan sama siapa? Kok buru-buru dimatikan?” Ari bertanya, suaranya tegas, tatapannya menajam.Ningsih terdiam, matanya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status