Ayu melepaskan genggaman Ari dengan perlahan. Kemudian ia mulai menyusui Dinda hingga bayi mungil itu tertidur kembali.
Ayu memberanikan diri untuk membangunkan Ari. Ia tidak tega melihat lelaki itu tidur dengan posisi yang tidak nyaman. "Mas Ari, bangun Mas!" Ari membuka perlahan kedua matanya. Ia merasa bersalah karena ketiduran. Harusnya lelaki itu tetap menjaga Dinda. "Ayu? Maaf aku ketiduran." "Sebaiknya Mas tidur di kamar, Mas. Aku bisa kok menjaga Dinda sendirian. Dia sangat pengertian malam ini." "Kamu serius, Yu?" Ayu mengangguk dengan pasti. Ia tidak nyaman jika satu kamar dengan kakak iparnya sendiri. Ari pun menurut saja. Ia pergi ke kamarnya sendiri untuk tidur. Selama ini Ari dan Ningsih selalu tidur dengan posisi saling membelakangi. Ari memang kecewa kepada Ningsih. Wanita itu telah membohonginya. Mengatakan jika Dinda adalah putrinya. Namun kenyataannya tidak seperti itu. Ada seorang lelaki yang mengaku sebagai ayah dari anak yang dilahirkan oleh Ningsih. Pagi-pagi sekali Ayu telah terjaga. Ia memang tidak tidur lagi setelah menyusui Dinda pukul empat pagi. Karena melihat ada sisa nasi yang masih banyak, wanita itu memilih untuk memasak nasi goreng. Ia sengaja membuatkan nasi goreng yang tidak pedas untuk Dimas. Dan super pedas untuk yang lainnya. "Wanginya enak sekali, Yu. Mau aku bantu?" ucap Ari yang tiba-tiba muncul di belakang Ayu. "Mas Ari sudah bangun. Ayu sudah mau selesai kok." "Yu, aku ingin bicara penting sama kamu." Kedua tangan Ari meraih tangan Ayu. Ia berbicara dengan sangat yakin. Sudah pasti Ayu merasa tidak enak hati. Ia berusaha melepaskan genggaman tangan Ari kepadanya. "Aku serius, Yu." Ari masih berusaha meyakinkan Ayu. Ia ingin menanyakan tentang anak Ayu yang hilang. "Mas Ari, kamu di mana?" Sebuah teriakan dari Ningsih membuat Ari segera melepaskan genggaman tangannya. Lelaki itu pun menemui sang istri di kamarnya. Ayu bisa bernafas lega. Ia segera menyiapkan menu sarapan buatannya di meja makan. Setelah siap semuanya, Ayu membangunkan Dimas agar segera mandi dan berganti pakaian. Dimas sangat bersemangat berjalan menuju meja makan. Ia menghampiri Ayu yang sudah duduk di kursi. "Horee, Mbak Ayu masak nasi goreng kesukaan Dimas." Anak manis itu bahagia bisa makan pagi bersama Ayu. Bahkan pagi itu ia disuapi oleh kakak kesayangannya tersebut. "Makan yang banyak ya, biar cepat besar." Dengan sabar dan penuh kasih sayang Ayu menyuapi Dimas hingga makanannya habis tak tersisa. "Mbak Ayu anterin Dimas sekolah ya? Dimas masih kangen sama Mbak Ayu." "Pagi ini Mas Ari yang akan antar Dimas ke sekolah. Kasihan Mbak Ayu. Dia harus segera pulang dan beristirahat." Ari mengatakan kalimat itu sambil melirik ke arah Ningsih. Wanita yang tidak bertanggung jawab terhadap anak perempuannya. Lebih memilih tidur nyenyak daripada menyusui Dinda. "Kenapa sih, Mas. 'Kan cuma sekali aja aku minta bantuan Ayu. Biasanya juga nggak gitu kok." Ningsih dengan santai menghabiskan makanannya. Bahkan ia sempat nambah. "Sering-seringlah menginap di sini, Yu. Dan masakin makanan buat kita. Masakan kamu enak, Yu. Pantas saja jualan sayur selalu laris manis." Ayu hanya tersenyum saja. Ia sudah hafal dengan perangai wanita itu. Di depan kadang memuji, tetapi di belakang selalu menjelek-jelekkannya. "Ayu, pulang dulu ya, Mbak. Badan Ayu pegal-pegal." "Ya udah, hati-hati. Kamu bisa pulang sendiri 'kan?" tanya Ningsih bernada ketus. "Iya Mbak. Ayu bisa pulang sendiri kok. Ayu 'kan bawa sepeda sendiri kemarin." Wanita itu pun bergegas untuk pulang. Sementara Ari mengantarkan Dimas ke sekolah. Namun sebelum Ayu benar-benar pergi, Ningsih menghampiri wanita itu. "Yu, tolong cuciin dulu ya piring-piring yang kotor. Mbak mau mandi dulu. Mumpung Dinda belum bangun." Ningsih langsung nyelonong pergi tanpa menunggu jawaban dari Ayu. Istri Ari tersebut segera menyambar handuk di kamarnya untuk mandi. Ayu hanya mampu geleng-geleng kepala. "Apakah Mas Ari tidak pernah memarahinya? Ia bahkan malas untuk masak dan bersih-bersih rumah." Ayu segera melaksanakan apa yang diminta oleh Ningsih. Setelah itu ia pulang tanpa berpamitan lagi. Tiba di rumah, Ayu membersihkan rumahnya sendiri. Halaman rumahnya sudah kotor dengan dedaunan kering dari pohon rambutan milik tetangga yang rumahnya kosong tidak berpenghuni. Ayu berangkat ke sawah agak siang. Ia memetik beberapa sayuran dan diolah menjadi sayur matang. Demi mendapatkan pemasukan, Ayu rela berkeliling ke rumah warga untuk menjual sayur buatannya. "Senang sekali. Tinggal dua bungkus saja sudah habis. Aku harus bersemangat." Setelah melakukan perjalanan kembali, semua dagangan Ayu telah habis. Ia kembali berjalan kaki karena saat akan berangkat tadi, tiba-tiba sepeda bututnya rusak. Ari yang hendak menjemput Dimas tak sengaja melihat Ayu. Ia merasa kasihan dengannya. "Ayu, kamu kok jalan kaki?" "Mas Ari?" Tanpa menghiraukan pertanyaan dari sang kakak ipar, Ayu mempercepat langkahnya. Ari meninggalkan motornya dan berusaha mengejar Ayu. "Yu, tunggu Yu. Kamu masih marah?" Lelaki itu sudah berhasil mencekal lengan Ayu. "Pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Jangan ganggu Ayu lagi, Mas." "Aku benar-benar tulus meminta maaf kepadamu, Yu. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan kepadamu. Ayo, aku akan mengantarkanmu pulang." "Lepaskan, Mas!" "Tidak, Yu. Aku ingin ngomong serius sama kamu. Ini penting." Ari meletakkan kedua tangan Ayu di pinggangnya. Lelaki itu menyuruh adik iparnya agar berpegangan yang erat. Sesampainya di rumah Ayu, Ari tetap mengikuti wanita itu meski diusir berkali-kali. "Mas Ari mau tanya apa sih?" ucap Ayu yang sudah merasa lelah dengan sikap Ari. Ari meraih kedua tangan Ayu. Ia bisa merasakan jika wanita itu masih mencintainya. "Tolong katakan dengan jujur, Yu. Apa benar Yuri adalah anak kita? Kenapa kamu tidak bilang, Yu. Kenapa kamu memilih untuk meninggalkan aku waktu itu?" "Aku memang pernah hamil anakmu, Mas. Tapi bayi kita meninggal saat aku melahirkannya. Kalaupun dia masih hidup, pasti sekarang sudah sebesar Dimas." "Tapi kenapa kamu memutuskan aku, Yu? Kenapa kamu memilih menikah dengan Galih?" Ayu meraih ponsel dalam sakunya. Ia memperlihatkan foto saat Ari bersama Ningsih. "Kamu selingkuh dengan Ningsih, Mas. Bahkan di saat aku sedang hamil anak kamu." "Aku tidak pernah selingkuh, Yu. Apa Galih yang menunjukkan gambar itu? Dia yang memintaku untuk menjemput Ningsih waktu itu. Galih itu mantan pacar Ningsih, Yu. Aku tidak punya hubungan apa-apa dengannya." Ari segera membawa Ayu ke dalam pelukannya. Ia memeluk wanita itu begitu erat. "Aku masih sangat mencintaimu, Yu. Katakan jika kamu juga masih mencintaiku. Asal kamu tahu saja. Ningsih itu mengandung anak orang lain. Aku tidak pernah melakukan hal itu kepadanya." Tidak dapat dipungkiri jika Ayu memang masih mencintai kakak iparnya tersebut. Tetapi ia tidak mungkin merebut Ari dari Ningsih. Bahkan ia baru saja kehilangan suami dan bayinya. Ayu menangis di pelukan Ari. Ia tidak mampu untuk menolaknya lagi. Hatinya kini benar-benar merasa kesepian dan butuh seseorang sebagai penyemangat hidupnya. Di saat mereka sedang berpelukan, tiba-tiba pintu rumah dibuka dengan sangat keras dari luar. "Mas Ari! Apa-apaan kamu!" teriak Ningsih yang datang dengan bayi perempuannya. Seketika Ayu melepaskan diri dari pelukan Ari. Tangannya gemetaran. Ia merasa ketakutan.Langit siang Desa Kemuning tampak mendung. Seakan ikut menanggung beban berat di dada Ari. Sejak kemarin, pikirannya tidak bisa tenang. Ia berkali-kali mencoba menghubungi nomor Ayu, tapi yang terdengar hanya suara operator. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”“Ayu, kamu di mana sekarang?” gumamnya lirih, matanya memandang kosong layar ponsel.Hatinya digelayuti rasa bersalah yang begitu dalam. “Aku bodoh. Kenapa aku biarin semua orang memperlakukan kamu begitu? Aku harusnya melindungi kamu bukan malah membiarkan mereka menyakitimu.”Ari berdiri di tepi ranjang kamarnya, memukul kepalanya sendiri dengan frustrasi. Bayangan wajah Ayu yang menangis semalam terus menghantui pikirannya. Tatapan Ayu yang ketakutan saat dirinya dibawa polisi, tangan Ayu yang sempat meraih namun gagal ia genggam. Semua itu seperti pisau yang menusuk hati.Beberapa waktu lalu, polisi yang menahannya dadi kemarin akhirnya pergi bersama Ningsih dengan motornya. Ari akhirnya memanfaatkan kesempatan itu.
Gemerlap kota menyambut Ayu tanpa mampu mengusir kesedihan di hatinya. Kota itu terasa begitu asing bagi Ayu. Sejak turun dari bus, ia hanya berjalan tanpa arah di trotoar yang ramai orang.Orang-orang lalu-lalang dengan wajah ketus. Tak seorang pun peduli ada seorang perempuan muda dengan mata sembab, langkah gontai, dan wajah penuh kelelahan.“Di mana aku harus tinggal sekarang?” bisiknya pada diri sendiri.Udara kota terasa berbeda. Pengap, penuh debu, dan dingin sekaligus menusuk. Ia menahan rasa sakit di kakinya karena terlalu lama menenteng koper. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena bawaan, melainkan karena beban hidup yang menghimpit dadanya.Sesekali Ayu berhenti, duduk di kursi halte kosong. Ia menunduk, mengusap wajahnya dengan telapak tangan yang bergetar. Di dalam kepalanya, bayangan warga kampung, tatapan sinis Novia, amarah Om dan Tantenya, semua berputar seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.“Apa aku memang sehina itu? Sampai-sampai mereka tega mengus
BRAK! Suara pintu didobrak membuat Ari dan Ayu terlonjak dari posisi mereka. Pakaian yang berantakan, nafas yang masih memburu, kini berubah menjadi ketegangan mencekam. “Astaga, kalian!” teriak suara perempuan dari luar. Ayu membeku. Matanya melebar melihat sosok Ningsih berdiri di ambang pintu, wajahnya memerah penuh amarah. Di belakangnya, Pak RT, Bu RT, beberapa warga, dan seorang pria berseragam polisi ikut masuk. “Mas, aku takut.” Ayu berbisik panik, tubuhnya masih menempel di dada Ari. Namun mereka tak punya kesempatan untuk menjelaskan. Dalam sekejap, teriakan warga memenuhi ruang tamu sempit itu. “Ketahuan sudah! Perbuatan memalukan di kampung kita!” “Janda nggak tahu diri!” “Astaga, Ari! Kau suami orang, ya Allah!” Ari berdiri cepat, berusaha menutupi Ayu dengan tubuhnya. “Tolong jangan kasar, ini nggak seperti yang kalian lihat!” suaranya parau, mencoba membela. Namun tangan-tangan warga sudah maju, menarik Ari ke samping. Polisi yang rupanya teman lama Ningsih l
“Iya, Mas.” Ayu mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur dengan pelan. “Ah, Mas ....” Kedua tangan Ayu mencengkeram bahu Ari. Kepalanya mendongak. Matanya terpejam, tapi bibirnya tak berhenti mengeluarkan desahan. “Rasanya nikmat sekali, Mas.” Ari menggeram penuh nikmat. Tangannya menurunkan tali tipis di pundak Ayu. Kemudian ia meremas bongkahan payudara besar di hadapannya. “Terus, Yu. Mas suka banget.” Ayu menggigit bibirnya, tak kuasa membalas kata-kata itu. Hanya desah lirih yang lolos, menandakan tubuhnya pun mulai menyerah pada keadaan. Tangannya semakin kuat mencengkeram bahu Ari, merasakan setiap alur otot di balik kemeja tipis itu. Ari mengusap punggungnya dengan lembut, sementara wajahnya semakin dekat. Hembusan napas mereka bertemu, panas dan menggoda. Hingga akhirnya bibir Ari menemukan bibir Ayu. Ciuman itu awalnya lembut, penuh kehati-hatian, namun dengan cepat berubah menjadi dalam dan menuntut. Ayu terhanyut, matanya terpejam rapat, tubuhnya gemetar menerim
Udara siang terasa lengket, meski angin sempat berhembus tipis melalui celah jendela. Ayu baru saja selesai menjemur pakaian di halaman belakang. Rambutnya masih basah, meneteskan air yang jatuh ke kulit bahunya. Hanya handuk yang membalut tubuh mungilnya. Di tangannya, ia membawa ember kosong yang harus dikembalikan ke dapur. Langkahnya ringan, tapi hatinya tidak. Ada rasa risih berjalan hanya dengan balutan handuk di rumah ini, walau ia tahu tak ada orang lain selain dirinya. Namun, baru beberapa detik setelah ia menaruh ember, sebuah pelukan erat datang tiba-tiba dari belakang. Tubuhnya sontak menegang. Tapi begitu aroma parfum maskulin itu menyusup ke hidungnya, Ayu tak perlu menebak lebih jauh. Hatinya sudah tahu. “Mas Ari, kapan sampai sini? Mengagetkan Ayu saja,” ucapnya setengah terkejut, setengah lega. “Baru saja,” jawab Ari tenang, tapi nadanya penuh keyakinan. Wajahnya menunduk ke bahu Ayu, menghirup harum segar kulit wanita itu. “Kamu baru mandi ya, Yu? Wangi banget
Perasaan Ari tiba-tiba tak enak. Ia melangkah perlahan ke belakang rumah. Dari sana, samar-samar ia mendengar suara lirih. Seperti seseorang yang sedang berbicara dengan penuh bisik-bisik.Ari berhenti di dekat pintu dapur. Suaranya semakin jelas. Itu suara Ningsih.“Ya, nanti aku kabari lagi. Jangan telepon terus. Kalau Mas Ari tau, repot.” Suara itu terbawa angin, tidak terlalu jelas, tapi penuh kecemasan.Darah Ari berdesir. Jantungnya berdetak kencang. Ia menahan nafas, menajamkan telinga meski tidak begitu mendengarnya.Ningsih berbalik dan mendapati Ari sedang memperhatikannya.“Sudahlah, aku matiin dulu. Jangan hubungin aku sekarang.”Hening sejenak. Lalu suara klik terdengar, tanda ponsel dimatikan.Dengan cepat Ari melangkah mendekati Ningsih. Wajahnya pucat, tangannya refleks menyembunyikan ponsel ke balik daster.“Eh, Mas Ari. Sudah pulang.”“Ning, kamu teleponan sama siapa? Kok buru-buru dimatikan?” Ari bertanya, suaranya tegas, tatapannya menajam.Ningsih terdiam, matanya