Share

BAB 5

Penulis: Rich Mama
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-18 16:46:05

"Ningsih?" Ari tampak kebingungan. Ia segera mencari alasan agar Ningsih percaya kepadanya.

"Aku hanya berusaha menenangkan Ayu, Ning. Dia teringat akan Galih dan anaknya."

Ari terpaksa berbohong kepada istrinya. Ia tidak mau Ayu dimusuhi dan semakin ditindas oleh Ningsih.

"Dimas kecelakaan, Mas. Kalian malah asyik berduaan di sini."

Ari terkejut dan sangat merasa bersalah. Ia segera mengajak Ningsih dan Ayu untuk melihat kondisi adiknya.

"Sebaiknya kita segera ke rumah sakit."

Ari bergegas keluar dari rumah Ayu. Ia benar-benar khawatir dengan keadaan Dimas.

Ningsih memandangi Ayu dengan penuh kebencian. "Benar-benar tidak tahu malu kamu, Ayu."

"Bagaimana bisa Dimas sampai kecelakaan Mbak?" tanya Ayu lemah.

"Dia jadi korban tabrak lari. Dan ini semua gara-gara kamu, Ayu. Jangan pernah muncul di hadapan Dimas lagi!" ancam Ningsih yang terlanjur kesal.

"Tapi Mbak?" Ayu sayang dengan Dimas. Tidak mungkin ia membiarkan Dimas di rumah sakit tanpa kehadirannya.

Ningsih segera menyusul kepergian suaminya. Ia membawa bayinya menuju rumah sakit.

Setibanya di rumah sakit, mereka segera mencari ruangan Dimas. Melihat bagaimana keadaan anak menggemaskan itu.

Dan tak lama kemudian seorang dokter keluar dari ruangan Dimas. Sepertinya ia sudah selesai memeriksanya.

Ari dan Ningsih segera menanyakan tentang adik mereka.

"Bagaimana keadaan adik saya, Dok?" tanya Ari khawatir.

"Kondisinya masih lemah. Tetapi beruntung, tidak ada cidera serius pada kaki dan tangannya. Em ... Dimas sejak tadi selalu memanggil nama Ayu. Apakah Anda yang bernama Ayu?" tanya Pak Dokter kepada Ningsih.

"Em, bukan, Dok. Ayu masih di rumah."

Ningsih merasa kesal. Mengapa justru Dimas menanyakan wanita murahan itu. Jelas-jelas selama ini dia yang tinggal satu rumah dengan Dimas.

"Saran saya, pertemukanlah mereka. Agar Dimas lebih cepat sembuh. Saya permisi dulu."

Ningsih semakin kesal. Di saat ia sedang muak dengan wajah Ayu, justru dokter menyuruhnya untuk datang.

"Aku harus pergi!" ucap Ari kemudian.

"Mas, mau ke mana?" tahan Ningsih pada suaminya.

"Aku akan menjemput Ayu. Aku ingin Dimas cepat sembuh."

"Tapi, Mas?"

Ari tidak peduli lagi dengan istrinya. Ia segera menuju tempat parkir dan melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.

Tak butuh waktu lama Ari sudah tiba di rumah Ayu. Wanita itu tengah gelisah memikirkannya Dimas.

Ari langsung masuk ke rumah Ayu karena pintu tidak dikunci.

"Mas Ari?" ucap Ayu terkejut.

"Yu, ayo ikut aku."

"Ke mana, Mas?" tanya Ayu penasaran.

"Dimas membutuhkan kamu, Yu. Dia manggil nama kamu terus."

Ari segera menarik tangan Ayu agar ikut bersamanya.

"Tunggu sebentar, Mas. Mbak Ningsih sudah melarangku."

Ari menghentikan langkahnya. Kemudian menatap Ayu dengan tatapan yang sulit diartikan. Entah mengapa lelaki itu justru sangat menginginkan sang adik ipar lebih dari sebelumnya.

"Kamu tidak perlu pedulikan dia, Yu. Yang penting keselamatan Dimas. Aku sangat menyayanginya seperti anak kandungku sendiri."

"Maksud Mas apa, sih?" Ayu penasaran dengan ucapan Ari. Jelas-jelas Dimas adalah adiknya sendiri.

"Oh, tidak apa-apa, Yu. Ayo kita segera ke rumah sakit."

"Ayu ganti baju dulu ya, Mas."

Bergegas Ayu masuk ke dalam kamar. Ia mencari pakaian yang tepat. Kemudian menyisir rambutnya yang panjang dan hendak ia ikat.

Namun tak sengaja ada rambut yang tersangkut pada resleting atasannya di belakang. Wanita itu cukup kesulitan melepaskannya hingga memakan waktu yang begitu lama.

"Yu, kamu lama sekali?" Ari yang tidak sabaran langsung masuk ke kamar Ayu. Ia bisa melihat Ayu yang sibuk di depan cermin riasnya.

"Mas Ari? Maaf, Ayu lama. Ini ada rambut Ayu yang tersangkut."

"Aku akan menolongmu, Yu."

Dengan perlahan Ari mencoba untuk melepaskan rambut Ayu yang tersangkut. Ia terpaksa membuka resleting hingga bawah dan akhirnya lelaki itu terpesona oleh punggung mulus milik Ayu. Tanpa sadar jemari tangannya membelai lembut punggung itu.

Ayu merasa kegelian. Tiba-tiba bibirnya mengeluarkan suara yang lembut nan indah.

Ari melepaskan ikatan rambut Ayu. Kemudian memutar tubuh wanita itu hingga menatapnya.

"Mas ...." Ayu menggeleng perlahan.

Kedua mata Ari sudah berkabut. Tangannya masuk ke ceruk leher milik adik iparnya. Dan bibirnya mulai menempel di bibir Ayu.

"Aku mencintaimu, Yu."

Tiada penolakan dari Ayu. Keduanya saling bertukar saliva begitu lama. Lidah lelaki itu menjelajahi seluruh rongga mulut sang adik ipar tanpa terkecuali. Sesekali juga menggigit bibir bawah Ayu yang begitu menggoda.

Ayu hanya bisa pasrah. Menikmati sentuhan Ari yang membuatnya merasa ketagihan. Meski dari awal ia berusaha untuk menolak, tetapi kini begitu lemah tak berdaya di hadapan mantan kekasihnya tersebut.

Bibir Ari turun ke leher dan meninggalkan jejak merah di sana. Membuat Ayu kembali mengeluarkan suara terindahnya.

Ari mengangkat tubuh Ayu dan membaringkannya di atas ranjang kamar wanita itu. Lelaki itu mulai melepaskan pakaian Ayu.

"Mas Ari, ini tidak benar, Mas?" tahan Ayu agar Ari menghentikan aksinya.

"Sudah lama kita tidak melakukannya, Yu. Aku sangat merindukanmu. Kamu juga rindu aku 'kan? Kamu masih mencintaiku bukan?"

Ayu berada di bawah kungkungan Ari. Lelaki tampan itu menatapnya begitu lekat dan masih menantikan sebuah jawaban darinya.

"A—aku ... aku masih mencintaimu, Mas. Aku sangat mencintaimu."

Ayu tidak bisa lagi membohongi perasaannya. Ia menunduk malu di hadapan Ari.

Lelaki itu tersenyum smirk. Ia sangat bahagia mendengar pernyataan cinta dari wanita yang telah membawa pergi seluruh hatinya sejak dulu.

"Aku akan memberikan kenikmatan untukmu, Yu."

Ari mulai melanjutkannya aksinya. Memberikan sentuhan demi sentuhan pada seluruh tubuh milik Ayu.

"Ahh, Mas. Aku tidak kuat lagi."

Ayu mengerang penuh kenikmatan. Sudah lama ia tidak merasakan sensasi menggairahkan seperti itu.

"Aku akan membawamu hingga hingga ke langit tujuh, Yu."

Ari telah bersiap melakukan penyatuan dengan Ayu. Dan wanita itu juga telah siap meski hatinya merasa takut.

"Ayu!!! Ke luar kamu!!!"

Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari luar. Membuat Ayu dan Ari merasa kaget. Wanita itu segera beranjak dan membetulkan pakaiannya.

Rupanya Bu Ita yang datang ke rumah Ayu. Dia adalah salah satu pelanggan yang sering membeli asi.

"Sedang apa kalian berdua? Dasar tidak tahu malu. Pasti kamu menggoda kakak iparmu sendiri 'kan, Yu. Sudah kuduga."

Bu Ita berucap dengan sinis. Saat itu adalah kesempatan yang bagus untuk menyebarkan gosip baru mengenai Ayu.

"Bukan seperti itu, Bu. Saya ke sini menjemput Ayu untuk ke rumah sakit karena Dimas kecelakaan," terang Ari mencoba membela Ayu.

"Saya tidak peduli, ya! Saya ke sini karena anak saya muntah-muntah setelah minum asi dari Ayu." Wanita paruh baya itu mengacungkan jari telunjuknya kepada Ayu. "Kamu memberikan ASI basi, ya? Jahat sekali kamu, Yu!" ucap Bu Ita lantang di depan Ayu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 35

    Langit siang Desa Kemuning tampak mendung. Seakan ikut menanggung beban berat di dada Ari. Sejak kemarin, pikirannya tidak bisa tenang. Ia berkali-kali mencoba menghubungi nomor Ayu, tapi yang terdengar hanya suara operator. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”“Ayu, kamu di mana sekarang?” gumamnya lirih, matanya memandang kosong layar ponsel.Hatinya digelayuti rasa bersalah yang begitu dalam. “Aku bodoh. Kenapa aku biarin semua orang memperlakukan kamu begitu? Aku harusnya melindungi kamu bukan malah membiarkan mereka menyakitimu.”Ari berdiri di tepi ranjang kamarnya, memukul kepalanya sendiri dengan frustrasi. Bayangan wajah Ayu yang menangis semalam terus menghantui pikirannya. Tatapan Ayu yang ketakutan saat dirinya dibawa polisi, tangan Ayu yang sempat meraih namun gagal ia genggam. Semua itu seperti pisau yang menusuk hati.Beberapa waktu lalu, polisi yang menahannya dadi kemarin akhirnya pergi bersama Ningsih dengan motornya. Ari akhirnya memanfaatkan kesempatan itu.

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 34

    Gemerlap kota menyambut Ayu tanpa mampu mengusir kesedihan di hatinya. Kota itu terasa begitu asing bagi Ayu. Sejak turun dari bus, ia hanya berjalan tanpa arah di trotoar yang ramai orang.Orang-orang lalu-lalang dengan wajah ketus. Tak seorang pun peduli ada seorang perempuan muda dengan mata sembab, langkah gontai, dan wajah penuh kelelahan.“Di mana aku harus tinggal sekarang?” bisiknya pada diri sendiri.Udara kota terasa berbeda. Pengap, penuh debu, dan dingin sekaligus menusuk. Ia menahan rasa sakit di kakinya karena terlalu lama menenteng koper. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena bawaan, melainkan karena beban hidup yang menghimpit dadanya.Sesekali Ayu berhenti, duduk di kursi halte kosong. Ia menunduk, mengusap wajahnya dengan telapak tangan yang bergetar. Di dalam kepalanya, bayangan warga kampung, tatapan sinis Novia, amarah Om dan Tantenya, semua berputar seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.“Apa aku memang sehina itu? Sampai-sampai mereka tega mengus

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 33

    BRAK! Suara pintu didobrak membuat Ari dan Ayu terlonjak dari posisi mereka. Pakaian yang berantakan, nafas yang masih memburu, kini berubah menjadi ketegangan mencekam. “Astaga, kalian!” teriak suara perempuan dari luar. Ayu membeku. Matanya melebar melihat sosok Ningsih berdiri di ambang pintu, wajahnya memerah penuh amarah. Di belakangnya, Pak RT, Bu RT, beberapa warga, dan seorang pria berseragam polisi ikut masuk. “Mas, aku takut.” Ayu berbisik panik, tubuhnya masih menempel di dada Ari. Namun mereka tak punya kesempatan untuk menjelaskan. Dalam sekejap, teriakan warga memenuhi ruang tamu sempit itu. “Ketahuan sudah! Perbuatan memalukan di kampung kita!” “Janda nggak tahu diri!” “Astaga, Ari! Kau suami orang, ya Allah!” Ari berdiri cepat, berusaha menutupi Ayu dengan tubuhnya. “Tolong jangan kasar, ini nggak seperti yang kalian lihat!” suaranya parau, mencoba membela. Namun tangan-tangan warga sudah maju, menarik Ari ke samping. Polisi yang rupanya teman lama Ningsih l

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 32

    “Iya, Mas.” Ayu mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur dengan pelan. “Ah, Mas ....” Kedua tangan Ayu mencengkeram bahu Ari. Kepalanya mendongak. Matanya terpejam, tapi bibirnya tak berhenti mengeluarkan desahan. “Rasanya nikmat sekali, Mas.” Ari menggeram penuh nikmat. Tangannya menurunkan tali tipis di pundak Ayu. Kemudian ia meremas bongkahan payudara besar di hadapannya. “Terus, Yu. Mas suka banget.” Ayu menggigit bibirnya, tak kuasa membalas kata-kata itu. Hanya desah lirih yang lolos, menandakan tubuhnya pun mulai menyerah pada keadaan. Tangannya semakin kuat mencengkeram bahu Ari, merasakan setiap alur otot di balik kemeja tipis itu. Ari mengusap punggungnya dengan lembut, sementara wajahnya semakin dekat. Hembusan napas mereka bertemu, panas dan menggoda. Hingga akhirnya bibir Ari menemukan bibir Ayu. Ciuman itu awalnya lembut, penuh kehati-hatian, namun dengan cepat berubah menjadi dalam dan menuntut. Ayu terhanyut, matanya terpejam rapat, tubuhnya gemetar menerim

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 31

    Udara siang terasa lengket, meski angin sempat berhembus tipis melalui celah jendela. Ayu baru saja selesai menjemur pakaian di halaman belakang. Rambutnya masih basah, meneteskan air yang jatuh ke kulit bahunya. Hanya handuk yang membalut tubuh mungilnya. Di tangannya, ia membawa ember kosong yang harus dikembalikan ke dapur. Langkahnya ringan, tapi hatinya tidak. Ada rasa risih berjalan hanya dengan balutan handuk di rumah ini, walau ia tahu tak ada orang lain selain dirinya. Namun, baru beberapa detik setelah ia menaruh ember, sebuah pelukan erat datang tiba-tiba dari belakang. Tubuhnya sontak menegang. Tapi begitu aroma parfum maskulin itu menyusup ke hidungnya, Ayu tak perlu menebak lebih jauh. Hatinya sudah tahu. “Mas Ari, kapan sampai sini? Mengagetkan Ayu saja,” ucapnya setengah terkejut, setengah lega. “Baru saja,” jawab Ari tenang, tapi nadanya penuh keyakinan. Wajahnya menunduk ke bahu Ayu, menghirup harum segar kulit wanita itu. “Kamu baru mandi ya, Yu? Wangi banget

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 30

    Perasaan Ari tiba-tiba tak enak. Ia melangkah perlahan ke belakang rumah. Dari sana, samar-samar ia mendengar suara lirih. Seperti seseorang yang sedang berbicara dengan penuh bisik-bisik.Ari berhenti di dekat pintu dapur. Suaranya semakin jelas. Itu suara Ningsih.“Ya, nanti aku kabari lagi. Jangan telepon terus. Kalau Mas Ari tau, repot.” Suara itu terbawa angin, tidak terlalu jelas, tapi penuh kecemasan.Darah Ari berdesir. Jantungnya berdetak kencang. Ia menahan nafas, menajamkan telinga meski tidak begitu mendengarnya.Ningsih berbalik dan mendapati Ari sedang memperhatikannya.“Sudahlah, aku matiin dulu. Jangan hubungin aku sekarang.”Hening sejenak. Lalu suara klik terdengar, tanda ponsel dimatikan.Dengan cepat Ari melangkah mendekati Ningsih. Wajahnya pucat, tangannya refleks menyembunyikan ponsel ke balik daster.“Eh, Mas Ari. Sudah pulang.”“Ning, kamu teleponan sama siapa? Kok buru-buru dimatikan?” Ari bertanya, suaranya tegas, tatapannya menajam.Ningsih terdiam, matanya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status