Share

Aku Memang PELAKOR

Author: Nona Lee
last update Last Updated: 2025-11-19 19:44:11

"Sri, bawa ksdie eta cucianna!"

"Enya, sakedap Bi Minah."

Di dapur belakang, aroma sabun cuci bercampur dengan kehangatan uap dari air panas. Sri dan Bi Minah bekerja berdampingan, menyiapkan cucian untuk dijemur. Mereka berasal dari desa yang sama di Jawa Barat, sehingga saat hanya berdua, percakapan mereka mengalir santai dalam dialek kampung halaman.

Bi Minah, dengan wajahnya yang serius, mengulurkan pakaian basah kepada Sri. Ada beban pikiran yang tak bisa ia sembunyikan setelah melihat keintiman yang tidak wajar antara tuannya dan pembantu baru itu di meja makan.

"Sri, ulah caket teing sareng Tuan Andra. Engke lamun Nyonya tahu, bisi jadi masalah," tegur Bi Minah, suaranya pelan dan penuh kekhawatiran seorang ibu. (Sri, jangan terlalu dekat dengan Tuan Andra. Nanti kalau Nyonya tahu, bisa jadi masalah).

Sri yang sedang mengambil piring cucian, memutar matanya seolah kesal dengan tuduhan yang tak beralasan itu. Ekspresi yang ia tampilkan adalah rasa tidak suka yang wajar dari seorang gadis lugu yang difitnah.

"Ih Bi Minah sok sembarangan. Tadi mah cuma ngobrol biasa," bantah Sri. Tangannya meraih pakaian basah di keranjang, melemparnya ke dalam wadah bilasan dengan sedikit gerakan kesal yang dibuat-buat.

Bi Minah hanya mendesah. Ia tahu Sri adalah gadis yang ia bawa ke sini, dan ia merasa bertanggung jawab atas nasib gadis itu. Ia melipat pakaian yang sudah kering, matanya menatap tajam ke arah Sri di sampingnya.

"Bibi mah cuma ngingetin, Neng kan masih muda, cantik. Banyak kok laki-laki yang pasti mau sama Sri. Jangan sampai tergoda sama suami orang. Engke disebut pelakor," lanjut Bi Minah, kalimat terakhirnya terdengar seperti peringatan yang tegas. (Nanti disebut perebut laki orang).

Di dalam hati Sri, terjadi ledakan tawa kemenangan. Kata 'Pelakor' yang diucapkan Bi Minah justru terasa seperti pujian atas keberhasilannya. Ya, ia memang Pelakor, dan memang itu tujuannya. Ia datang ke rumah ini dengan dendam yang membara, mengorbankan diri, kehormatan, dan mahkotanya semalam, semua demi menjerat Andra ke dalam pesonanya yang mematikan.

Namun, di luar, Sri mempertahankan air mukanya. Ia memalingkan wajah dari Bi Minah, tersenyum sinis, seolah tuduhan itu tidak masuk akal.

"Ngaco Bi Minah mah ih," balas Sri, pura-pura merendahkan diri. "Tuan Andra mah mana mau atuh ka saya. Sri mah cuma orang kampung, Bi. Lagi pula, Tuan Andra itu sayang sama Nyonya Sarah, kok."

Sri berhasil. Ekspresi ngawur dan tidak percaya diri yang ia tunjukkan cukup untuk menenangkan Bi Minah. Wanita tua itu tidak ingin berpikir buruk pada gadis yang ia percayai.

Bi Minah menghela napas, mengangguk, dan kembali fokus pada jemurannya. Ia memilih untuk memercayai Sri.

"Ya sudah. Bibi percaya neng orang baik, Sri. Jangan macam-macam, ya. Kalau ada apa-apa bilang sama Bibi," tutup Bi Minah, memberikan Sri kesempatan emas untuk terus melancarkan aksinya tanpa pengawasan ketat.

Di dalam hati Sri, dendam itu berbisik nyaring. Andra sudah tergoda dan Sarah sudah mulai terasing. Lalu Bi Minah sudah tertipu. Rencana Sri untuk menghancurkan rumah tangga Andra Pratama kini sudah berjalan sempurna, dimulai dari sebuah meja berdebu di gudang tua.

"Cucian nu garing, simpen. Bibi mau lanjut nyuci."

"Siap, Bi."

Setelah perbincangan singkat dengan Bi Minah di dapur, Sri segera menjalankan tugas berikutnya. Ia membawa tumpukan pakaian bersih yang sudah dilipat Bi Minah ke kamar utama. Kamar yang luas itu terasa asing, penuh dengan aroma parfum mahal Sarah dan wibawa Andra.

Dengan gerakan hati-hati, Sri mulai merapikan pakaian-pakaian itu ke dalam lemari besar. Pikirannya melayang, menghitung langkah balas dendamnya. Namun tiba-tiba, sepasang lengan kekar melingkari pinggangnya dari belakang. Bersamaan dengan itu, kecupan hangat mendarat di lehernya yang mulus.

Sri terkejut, namun bukan karena takut, melainkan karena timing-nya yang terlalu cepat. Dari pantulan pintu lemari yang mengilap, ia bisa melihat bayangan Andra yang hanya mengenakan handuk yang melilit longgar di pinggangnya. Ia baru saja selesai mandi, bersiap untuk berangkat ke kantor.

"Tuan… jangan begini," bisik Sri, berpura-pura menolak. "Nanti ada yang lihat."

Andra mengabaikannya. Keintiman semalam di gudang telah merusak semua batas. Ia kini haus, dan kamar pribadinya terasa seperti wilayah bebas bagi hasratnya.

Tepat saat Andra hendak mencium lehernya lagi, Sri seolah sengaja membalikkan badan. Gerakan itu membuat jarak mereka makin tipis. Sri meletakkan telapak tangannya di dada bidang sang majikan yang polos tanpa tertutup apapun. Sentuhan singkat itu membuat Andra makin tergila-gila.

Tanpa aba-aba, Andra pun meraup bibir wanita itu. Ciuman itu dalam, mendesak, dan penuh hasrat terlarang. Untuk sesaat, keduanya hanyut dalam pusaran gairah. Sri membalas ciumannya dengan intensitas yang sama, menggunakan kesempatan ini untuk mengukuhkan kekuasaannya atas Andra. Tangan besar itu meremas dada Sri, lalu turun ke bawah menyelinap masuk ke dalam roknya.

"Mmmhhh... Tuan... jangan!"

DUK! DUK! DUK!

Suara langkah kaki yang tergesa-gesa di lantai marmer lorong mengejutkan mereka. Sarah!

Secara refleks, Andra melepaskan Sri dan berlari ke kamar mandi. Sementara Sri, dengan cepat membenahi pakaiannya yang sedikit berantakan, dan melanjutkan tugasnya merapikan pakaian di lemari, berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa. Jantungnya berdebar kencang bukan karena takut, melainkan karena tantangan yang mendebarkan.

Sarah masuk ke kamar, wajahnya cemberut dan kesal karena harus menunggu. Ia menatap Sri dengan pandangan sekilas yang angkuh.

"Sri, di mana suamiku?" tanya Sarah, nadanya dingin dan tidak sabar.

Sri berbalik, wajahnya menampilkan ketenangan yang sempurna. "Saya tidak tahu, Nyonya. Mungkin masih di kamar mandi," jawab Sri, merujuk pada pintu tertutup yang baru saja dimasuki Andra.

Sarah mendesah kesal. Ia lalu berteriak memanggil suaminya, menuntut Andra segera keluar karena mereka sudah terlambat untuk rapat pagi.

"Andra cepatlah! Kita ada rapat penting hari ini."

Sementara suara teriakan Sarah menggema di kamar itu, Sri hanya bisa tersenyum puas. Ia menunduk, pura-pura fokus pada lipatan kemeja, tetapi di balik matanya, ia tahu ia baru saja memenangkan satu ronde lagi. Kekuasaan Sri atas Andra semakin kuat, dan ketidakharmonisan antara Andra dan Sarah semakin tajam.

Setelah Sarah pergi, Andra kembali lagi ke kamar itu. Mendekap pelayan cantik itu di tubuhnya yang masih telanjang dada. Bisikan-bisikan cabul menyerbu telinga Sri, membuatnya tertawa menahan perasaan jijik. Dia mendorong Andra menjauh, "Tuan... kita akan bertemu lagi nanti malam. Jadi cepat bersiap, sebelum Nyonya marah."

Andra tertawa pelan, "Baiklah. Kau harus menungguku malam ini, Sri. Jangan sampai tertidur, atau aku akan mengganggu tidurmu."

Sri berjalan mendekat, namun melewatinya begitu saja. Lengan mungilnya menarik handuk yang membelit di pinggang Andra, jatuh begitu saja ke laintai. Sri hanya tertawa pelan, namun tatapannya benar-benar membuat Andra tersenyum kecil.

"Ah, maaf Tuan... saya tidak sengaja. Sampai jumpa nanti malam."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terlarang Sang Pelakor   Kecemburuan Andra

    Tepat pukul tujuh malam, suasana pinggir jalan di pusat kota dipenuhi hiruk pikuk penjual makanan dan lampu-lampu neon yang berwarna-warni. Sri dan Bambang sedang asyik menikmati bakso di sebuah warung sederhana. Sri sengaja tampil berbeda malam ini. Rambutnya tidak lagi dikepang dua, melainkan terurai indah dengan sedikit gelombang. Wajahnya dipoles make-up tipis yang menonjolkan kecantikan alaminya, dan ia mengenakan pakaian yang lebih modis dari biasanya. Di sampingnya, Bambang terlihat bahagia. Ia menikmati tawa renyah Sri dan keakraban yang sederhana. Tiba-tiba, ponsel Bambang bergetar hebat. Nama Tuan Andra Pratama terpampang di layar. "Iya, Tuan?" jawab Bambang sigap. Suara Andra dari seberang terdengar panik dan marah. "Bambang, di mana kau?! Mobil yang aku bawa mati! Jemput aku sekarang juga di pertigaan dekat Monumen Kuda!" Sri yang duduk di seberang Bambang, sudah mendengarkan setiap kata. Ia tersenyum kecil, senyum penuh kemenangan. Sebab ia tahu, panggilan mendadak i

  • Hasrat Terlarang Sang Pelakor   Kecurigaan Sarah

    Rumah megah itu terasa dingin dan sunyi bagi Sarah. Pagi telah berganti sore, dan Sarah menghabiskan waktunya dalam kamar, gelisah. Pikirannya dipenuhi adegan slow motion suaminya tersenyum pada Sri saat menerima bekal, dan rasa perih dari bekas cakaran yang ia lihat di punggung Andra. Ia mencoba menepis semua pikiran itu. Tidak mungkin. Ia adalah Sarah, wanita sempurna dengan latar belakang terpandang, yang dinikahi Andra untuk menjaga citra bisnis keluarga. "Tidak mungkin Andra berselingkuh dengan wanita rendahan itu. Sri hanyalah pembantu, dengan bau minyak kayu putih dan bumbu dapur," batin Sarah, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Mungkin Andra tidur dengan karyawan kantor? Atau mungkin teman masa lalunya yang dulu kulaporkan pada Ibu mertua?! Sarah mondar-mandir di ruang makan. Ia mengacak-acak makan siangnya di atas piring. Nafsu makannya hilang digantikan oleh api kecurigaan. Bi Minah, yang sedang merapikan meja, memperhatikan kegelisahan majikannya. Wanita paruh baya itu

  • Hasrat Terlarang Sang Pelakor   Dilema Di Tengah Malam

    Setelah meninggalkan kamar kecil Sri dengan napas memburu dan hasrat yang sedikit terpuaskan, Andra kembali ke kamar utamanya. Ia menyelinap di bawah selimut, berbaring di samping Sarah yang sudah terlelap. Namun, tidurnya jauh dari ketenangan. Kalimat Sri masih terngiang-ngiang di telinganya: "Tuan... saya tidak mau hanya dijadikan pelampiasan hasrat saja, loh." Andra memiringkan tubuhnya, menatap Sarah. Wajah istrinya terlihat tenang dalam tidur, tetapi bagi Andra, wajah itu terasa dingin, mewakili sebuah kewajiban dan penjara yang tak bisa ia tinggalkan. Sri menuntut kepastian. Wanita itu, yang baru dua kali ia sentuh, telah berhasil merenggut seluruh fokus dan kendalinya. Andra memang menginginkan Sri seutuhnya. Kecantikannya yang seksi alami, kelembutannya, dan gairah tak terduga yang ia berikan. Andra ingin memiliki gadis itu sebagai selirnya, atau bahkan sebagai istrinya jika ia bisa. Tetapi, itu tidak mungkin. Ia terikat oleh nama keluarga, bisnis, dan janji pada ibuny

  • Hasrat Terlarang Sang Pelakor   Hukuman

    "Aa bade kalebeut moal?" tanyanya. "Nanti ngobrolna di dalem we. Hayu!" Sri menatap dengan ekspresi yang membuat lelaki muda itu menehan ludah. Namun, Bambang tersenyum canggung dan menggeleng. Ia memegang pinggiran topinya. ​"Tidak usah, Sri. Sudah malam. Aku cuma mau bilang," ujar Bambang, suaranya pelan dan jujur. "Aku mau ngajak Sri keluar besok. Jajan jalan ka pusat kota. Nanti Aa yang traktir deh." ​Jantung Sri berdetak kencang, bukan karena tawaran Bambang, melainkan karena ia tahu Andra yang terperangkap di dalam lemari kecil itu, sedang mendengarkan setiap kata. Sri tahu persis apa yang harus ia lakukan. ​"Jalan-jalan?" Sri memiringkan kepala, memasang ekspresi malu-malu. "Iya deh, nanti Sri pikir-pikir lagi. Takutnya banyak kerjaan besok." ​"Oh... Jadi malu nih, Aa asa ditolak mentah-mentah," balas Bambang, tersenyum kecut. ​Sri tertawa pelan, tawa yang renyah dan tulus, suara yang sangat ingin didengar Andra. Ia lantas maju selangkah, menepuk pundak Bambang denga

  • Hasrat Terlarang Sang Pelakor   Obsesi dan Cemburu

    "Kau itu lambat sekali akhir-akhir ini. Awas saja jika kau sampai membuat masalah di eapat penting kita!" Pagi itu, mobil mewah Andra melaju membelah padatnya jalanan ibu kota. Di sampingnya, Sarah terus mengomel tentang keterlambatan mereka dan jadwal rapat yang harus direvisi."Hei, Andra! Bantu aku merevisi semuanya!" Namun, pikiran Andra Pratama sama sekali tidak berada di jalanan, atau di ruang rapat. Obsesinya terpaku pada bayangan seorang pelayan dengan rambut dikepang dua. Ia terus-menerus mengingat sentuhan singkat di kamar utama tadi. Kehangatan, gairah, dan bahaya yang ia rasakan dalam pelukan Sri di pagi hari jauh lebih nyata daripada angka-angka dan proyek yang akan ia bahas di kantor. Di tengah rapat penting, Andra terlihat lesu dan tidak fokus. Ia menjawab pertanyaan rekan kerjanya dengan jawaban yang melantur, matanya sering kali menatap kosong ke arah jendela. "Andra, fokus!" tegur Sarah, suaranya tajam dan penuh ketidaksenangan. Ia menendang kaki Andra di bawah m

  • Hasrat Terlarang Sang Pelakor   Aku Memang PELAKOR

    "Sri, bawa ksdie eta cucianna!" "Enya, sakedap Bi Minah." Di dapur belakang, aroma sabun cuci bercampur dengan kehangatan uap dari air panas. Sri dan Bi Minah bekerja berdampingan, menyiapkan cucian untuk dijemur. Mereka berasal dari desa yang sama di Jawa Barat, sehingga saat hanya berdua, percakapan mereka mengalir santai dalam dialek kampung halaman. Bi Minah, dengan wajahnya yang serius, mengulurkan pakaian basah kepada Sri. Ada beban pikiran yang tak bisa ia sembunyikan setelah melihat keintiman yang tidak wajar antara tuannya dan pembantu baru itu di meja makan. "Sri, ulah caket teing sareng Tuan Andra. Engke lamun Nyonya tahu, bisi jadi masalah," tegur Bi Minah, suaranya pelan dan penuh kekhawatiran seorang ibu. (Sri, jangan terlalu dekat dengan Tuan Andra. Nanti kalau Nyonya tahu, bisa jadi masalah). Sri yang sedang mengambil piring cucian, memutar matanya seolah kesal dengan tuduhan yang tak beralasan itu. Ekspresi yang ia tampilkan adalah rasa tidak suka yang wajar dari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status