เข้าสู่ระบบ"Kau itu lambat sekali akhir-akhir ini. Awas saja jika kau sampai membuat masalah di eapat penting kita!"
Pagi itu, mobil mewah Andra melaju membelah padatnya jalanan ibu kota. Di sampingnya, Sarah terus mengomel tentang keterlambatan mereka dan jadwal rapat yang harus direvisi. "Hei, Andra! Bantu aku merevisi semuanya!" Namun, pikiran Andra Pratama sama sekali tidak berada di jalanan, atau di ruang rapat. Obsesinya terpaku pada bayangan seorang pelayan dengan rambut dikepang dua. Ia terus-menerus mengingat sentuhan singkat di kamar utama tadi. Kehangatan, gairah, dan bahaya yang ia rasakan dalam pelukan Sri di pagi hari jauh lebih nyata daripada angka-angka dan proyek yang akan ia bahas di kantor. Di tengah rapat penting, Andra terlihat lesu dan tidak fokus. Ia menjawab pertanyaan rekan kerjanya dengan jawaban yang melantur, matanya sering kali menatap kosong ke arah jendela. "Andra, fokus!" tegur Sarah, suaranya tajam dan penuh ketidaksenangan. Ia menendang kaki Andra di bawah meja, mencoba mengembalikannya ke realitas. Andra tersentak. Ia menatap Sarah dengan sorot mata yang tajam, penuh amarah yang menumpuk. "Bisakah kau diam, Sarah?! Aku tahu apa yang kulakukan!" balas Andra dengan suara rendah yang mengancam, memarahi istrinya di depan rekan-rekan mereka. Sarah terkejut dan malu, tetapi ia memilih bungkam, mencatat kekesalan ini untuk dibalas di rumah. Andra tahu ia bersalah karena memarahi Sarah di depan umum, tetapi hasratnya untuk segera pulang dan bertemu Sri jauh lebih kuat daripada rasa bersalah itu. Sri telah menjadi kompas utamanya. Malam tiba dengan kelelahan yang menggantung di udara, tetapi pikiran Andra terasa segar. Ia dan Sarah tiba di rumah dalam keheningan yang dingin. Setelah makan malam yang tegang, Sarah mencoba memperbaiki suasana. Di kamar, saat Andra berbaring di ranjang, Sarah mendekat, menggodanya dengan sentuhan sensual. "Kau marah padaku?" tanya Sarah lembut, mencoba meyakinkan Andra bahwa ia tetap menarik. "Aku bisa membayarnya sekarang, Sayang." Namun, Andra merasa tidak bernafsu. Tubuh Sarah, yang seharusnya menjadi pelepas hasratnya, kini terasa hambar dan asing setelah ia merasakan kepuasan murni dari Sri. Ia beralasan lelah, memejamkan mata erat-erat, dan mendengkur palsu. "Aku lelah sekali, Sarah. Ada rapat besok pagi," bohong Andra. Sarah mendesah frustrasi, menjauh. Tak lama kemudian, ia tertidur, didominasi oleh kekesalan. Begitu ia yakin Sarah sudah terlelap, Andra membuka matanya. Ia bangkit dari ranjang, lalu keluar kamar dengan langkah kaki seringan mungkin. Misi malam ini jelas, ia harus bertemu Sri. Menagih janji wanita itu tadi pagi untuk bertemu dengannya. Ia menyelinap melewati lorong gelap, jantungnya berdebar kencang, bukan karena takut ketahuan, tetapi karena antisipasi gairah. Ia berjalan menuju area kamar pelayan di belakang. Saat Andra mendekati area belakang, ia tidak langsung menuju kamar Sri. Ia berhenti di sudut koridor, mengamati sekitar. Namun, pemandangan yang menyambutnya bukan Sri yang sedang menunggu di balik pintu kamar. Melainkan Sri yang sedang berdiri di dekat garasi, asyik mengobrol dengan Bambang, supir pribadi keluarga mereka. Rambut Sri tidak lagi dikepang dua, melainkan diikat ekor kuda longgar. Ia tampak lebih santai, tawanya terdengar renyah, tqwa yang tidak pernah ia berikan kepada Andra. Bambang, yang terkenal muda dan ramah, terlihat tersipu malu sembari membetulkan letak topi kerjanya. Mereka berdua terlihat terlalu akrab. "Serius neng Sri masih sendiri? Masa sih? Aa mah teu percaya da." "Asli Aa ih, mana ada cowok yang mau sama Sri." Sekelebat bayangan buruk menyambar pikiran Andra. Apakah Sri sering melakukan ini? Apakah aku bukan yang pertama seperti yang ia katakan? Apakah Bambang juga sudah mencicipi manisnya gadis desa itu? Kemarahan, yang merupakan campuran antara obsesi, kebanggaan yang terluka, dan cemburu langsung membakar dada Andra. Ia merasakan darahnya mendidih. Ia tidak bisa membiarkan supir rendahan itu mendekati wanita yang baru saja ia klaim sebagai miliknya. "Sialan!" Andra mengepalkan tangannya. Ia membatalkan niatnya untuk menyentuh Sri malam ini. Sebagai gantinya, ia mundur perlahan, matanya menyala dalam kegelapan. Ia harus menemukan cara untuk memastikan Sri tidak akan pernah berbicara dengan laki-laki lain di rumah ini lagi. "A Bambang, saya pamit tidur ya. Sudah malam," ucap Sri sembari menunduk sopan. Bambang tersenyum kecil, "Iya Neng, silahkan." Sri meninggalkan Bambang di sana. Senyum yang manis itu lenyap. Entah mengapa sandiwaranya menjadi berkali-kali lipat akhir-akhir ini. Sementar itu, Andra tidak pergi. Ia membatalkan niatnya untuk kembali ke kamar utama, memilih untuk menunggu Sri di kamar kecilnya. Ia menyelinap masuk, menutup pintu tanpa suara, lalu duduk di kursi kayu sempit di sudut ruangan, membiarkan kemarahan dan cemburu memakan dirinya. Tak lama kemudian, pintu di buka perlahan, dan Sri masuk. Gadis itu terkejut setengah mati. "Tuan? Anda sedang apa di sini?" bisik Sri, matanya membesar karena terkejut melihat majikannya duduk dalam gelap. Sri buru-buru menutup pintu kamar. Ia berjalan ke tepi ranjang dan duduk. Sebenarnya, ia tahu Andra telah melihatnya bersama sang supir tadi. Ia jiga memang sengaja membuat Andra melihatnya mengobrol akrab dengan Bambang di luar, mengira kecemburuan adalah umpan terbaik. Dan dugaannya benar, wajah Andra tampak begitu kesal, diselimuti bayangan dan amarah. "Ada hubungan apa kau dengan Bambang?" tanya Andra, suaranya rendah dan penuh tuntutan. Sri memasang senyum paling polos yang ia miliki, seolah-olah Andra menanyakan hal yang tidak masuk akal. "Aa Bambang? Tidak ada, Tuan. Kami hanya teman biasa." Andra tertawa pelan, tawa sinis yang membuat bulu kuduk Sri merinding. Ia bangkit, melangkah cepat ke arah Sri. Dengan gerakan kasar, ia mendorong tubuh wanita itu hingga terbaring di ranjang sempit. Andra menahan tubuhnya di atas Sri, mengunci pergerakan gadis itu. Sri hanya terdiam pasrah, menatap majikannya dengan mata yang penuh misteri. "Tuan... jangan begini," bisik Sri, napasnya terasa tertahan di antara tubuh mereka. Andra mendekatkan wajahnya, matanya menyala. Gairah bercampur kecemburuan membuat suaranya menjadi perintah yang mutlak. "Aku tidak suka kau dekat dengan lelaki lain, termasuk supir rendahan itu. Kau hanya milikku, ingat itu." Andra tidak memberi kesempatan Sri untuk menjawab. Sebuah ciuman tiba-tiba mendarat di bibir Sri, ciuman kasar, penuh api cemburu, dan klaim kepemilikan. Ia mencium Sri dengan paksa, menuntut, seolah ingin menghapus setiap jejak percakapan Sri dengan Bambang. Di dalam hati, Sri merasakan gelombang kemenangan dan kebanggaan yang dingin. Ya, Andra. Kau sudah jatuh. Kau adalah milikku sekarang, batinnya keji. Keduanya segera larut dalam pusaran gairah. Pakaian mereka mulai tersingkap, napas mereka menderu, dan kamar kecil itu dipenuhi hasrat terlarang untuk kedua kalinya. TUK! TUK! Tiba-tiba, sebuah ketukan pintu yang teratur mengejutkan Andra. Jantung mereka serasa berhenti berdetak. "Sri, sudah tidur?" Itu suara Bambang. Suara itu terdengar ramah, tetapi bagi Andra, itu adalah suara peringatan yang mematikan. Sri, yang paling cepat kembali sadar, mendorong dada Andra menjauh. Matanya panik. "Cepat, Tuan! Sembunyi di lemari!" perintah Sri dengan desis pelan. Andra, yang masih dipenuhi gairah dan amarah, terpaksa beringsut. Ia menyelinap masuk ke dalam lemari kecil Sri, menutup pintunya hanya dengan celah tipis. "Sri?" panggil Bambang kembali. "Iya, sebentar!" seru Sri ke arah pintu, suaranya berusaha terdengar normal. Sri melompat dari ranjang, buru-buru membenahi pakaiannya yang sudah berantakan, dan mengusap bibirnya yang basab. Ia mengatur napasnya di depan cermin kecil. Begitu ia merasa sudah rapi, Sri membuka pintu. Di depannya, Bambang berdiri, wajahnya terlihat khawatir dan sedikit cemas. Bambang menatap ekspresi Sri yang sedikit aneh, seperti baru saja melalukan sesuatu. "Ada apa A?" tanya Sri dengan wajah bingungnya. Lelaki itu nampak begitu gelisah, seolah sedang memikirkan sesuatu. Entah bagaimana, Sri menyadari sesuatu. Tanpa berpikir panjang, dia mempunyai sebuah ide gila. "Aa bade kalebeut moal?" tanyanya. "Nanti ngobrolna di dalem we. Hayu!"Tepat pukul tujuh malam, suasana pinggir jalan di pusat kota dipenuhi hiruk pikuk penjual makanan dan lampu-lampu neon yang berwarna-warni. Sri dan Bambang sedang asyik menikmati bakso di sebuah warung sederhana. Sri sengaja tampil berbeda malam ini. Rambutnya tidak lagi dikepang dua, melainkan terurai indah dengan sedikit gelombang. Wajahnya dipoles make-up tipis yang menonjolkan kecantikan alaminya, dan ia mengenakan pakaian yang lebih modis dari biasanya. Di sampingnya, Bambang terlihat bahagia. Ia menikmati tawa renyah Sri dan keakraban yang sederhana. Tiba-tiba, ponsel Bambang bergetar hebat. Nama Tuan Andra Pratama terpampang di layar. "Iya, Tuan?" jawab Bambang sigap. Suara Andra dari seberang terdengar panik dan marah. "Bambang, di mana kau?! Mobil yang aku bawa mati! Jemput aku sekarang juga di pertigaan dekat Monumen Kuda!" Sri yang duduk di seberang Bambang, sudah mendengarkan setiap kata. Ia tersenyum kecil, senyum penuh kemenangan. Sebab ia tahu, panggilan mendadak i
Rumah megah itu terasa dingin dan sunyi bagi Sarah. Pagi telah berganti sore, dan Sarah menghabiskan waktunya dalam kamar, gelisah. Pikirannya dipenuhi adegan slow motion suaminya tersenyum pada Sri saat menerima bekal, dan rasa perih dari bekas cakaran yang ia lihat di punggung Andra. Ia mencoba menepis semua pikiran itu. Tidak mungkin. Ia adalah Sarah, wanita sempurna dengan latar belakang terpandang, yang dinikahi Andra untuk menjaga citra bisnis keluarga. "Tidak mungkin Andra berselingkuh dengan wanita rendahan itu. Sri hanyalah pembantu, dengan bau minyak kayu putih dan bumbu dapur," batin Sarah, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Mungkin Andra tidur dengan karyawan kantor? Atau mungkin teman masa lalunya yang dulu kulaporkan pada Ibu mertua?! Sarah mondar-mandir di ruang makan. Ia mengacak-acak makan siangnya di atas piring. Nafsu makannya hilang digantikan oleh api kecurigaan. Bi Minah, yang sedang merapikan meja, memperhatikan kegelisahan majikannya. Wanita paruh baya itu
Setelah meninggalkan kamar kecil Sri dengan napas memburu dan hasrat yang sedikit terpuaskan, Andra kembali ke kamar utamanya. Ia menyelinap di bawah selimut, berbaring di samping Sarah yang sudah terlelap. Namun, tidurnya jauh dari ketenangan. Kalimat Sri masih terngiang-ngiang di telinganya: "Tuan... saya tidak mau hanya dijadikan pelampiasan hasrat saja, loh." Andra memiringkan tubuhnya, menatap Sarah. Wajah istrinya terlihat tenang dalam tidur, tetapi bagi Andra, wajah itu terasa dingin, mewakili sebuah kewajiban dan penjara yang tak bisa ia tinggalkan. Sri menuntut kepastian. Wanita itu, yang baru dua kali ia sentuh, telah berhasil merenggut seluruh fokus dan kendalinya. Andra memang menginginkan Sri seutuhnya. Kecantikannya yang seksi alami, kelembutannya, dan gairah tak terduga yang ia berikan. Andra ingin memiliki gadis itu sebagai selirnya, atau bahkan sebagai istrinya jika ia bisa. Tetapi, itu tidak mungkin. Ia terikat oleh nama keluarga, bisnis, dan janji pada ibuny
"Aa bade kalebeut moal?" tanyanya. "Nanti ngobrolna di dalem we. Hayu!" Sri menatap dengan ekspresi yang membuat lelaki muda itu menehan ludah. Namun, Bambang tersenyum canggung dan menggeleng. Ia memegang pinggiran topinya. "Tidak usah, Sri. Sudah malam. Aku cuma mau bilang," ujar Bambang, suaranya pelan dan jujur. "Aku mau ngajak Sri keluar besok. Jajan jalan ka pusat kota. Nanti Aa yang traktir deh." Jantung Sri berdetak kencang, bukan karena tawaran Bambang, melainkan karena ia tahu Andra yang terperangkap di dalam lemari kecil itu, sedang mendengarkan setiap kata. Sri tahu persis apa yang harus ia lakukan. "Jalan-jalan?" Sri memiringkan kepala, memasang ekspresi malu-malu. "Iya deh, nanti Sri pikir-pikir lagi. Takutnya banyak kerjaan besok." "Oh... Jadi malu nih, Aa asa ditolak mentah-mentah," balas Bambang, tersenyum kecut. Sri tertawa pelan, tawa yang renyah dan tulus, suara yang sangat ingin didengar Andra. Ia lantas maju selangkah, menepuk pundak Bambang denga
"Kau itu lambat sekali akhir-akhir ini. Awas saja jika kau sampai membuat masalah di eapat penting kita!" Pagi itu, mobil mewah Andra melaju membelah padatnya jalanan ibu kota. Di sampingnya, Sarah terus mengomel tentang keterlambatan mereka dan jadwal rapat yang harus direvisi."Hei, Andra! Bantu aku merevisi semuanya!" Namun, pikiran Andra Pratama sama sekali tidak berada di jalanan, atau di ruang rapat. Obsesinya terpaku pada bayangan seorang pelayan dengan rambut dikepang dua. Ia terus-menerus mengingat sentuhan singkat di kamar utama tadi. Kehangatan, gairah, dan bahaya yang ia rasakan dalam pelukan Sri di pagi hari jauh lebih nyata daripada angka-angka dan proyek yang akan ia bahas di kantor. Di tengah rapat penting, Andra terlihat lesu dan tidak fokus. Ia menjawab pertanyaan rekan kerjanya dengan jawaban yang melantur, matanya sering kali menatap kosong ke arah jendela. "Andra, fokus!" tegur Sarah, suaranya tajam dan penuh ketidaksenangan. Ia menendang kaki Andra di bawah m
"Sri, bawa ksdie eta cucianna!" "Enya, sakedap Bi Minah." Di dapur belakang, aroma sabun cuci bercampur dengan kehangatan uap dari air panas. Sri dan Bi Minah bekerja berdampingan, menyiapkan cucian untuk dijemur. Mereka berasal dari desa yang sama di Jawa Barat, sehingga saat hanya berdua, percakapan mereka mengalir santai dalam dialek kampung halaman. Bi Minah, dengan wajahnya yang serius, mengulurkan pakaian basah kepada Sri. Ada beban pikiran yang tak bisa ia sembunyikan setelah melihat keintiman yang tidak wajar antara tuannya dan pembantu baru itu di meja makan. "Sri, ulah caket teing sareng Tuan Andra. Engke lamun Nyonya tahu, bisi jadi masalah," tegur Bi Minah, suaranya pelan dan penuh kekhawatiran seorang ibu. (Sri, jangan terlalu dekat dengan Tuan Andra. Nanti kalau Nyonya tahu, bisa jadi masalah). Sri yang sedang mengambil piring cucian, memutar matanya seolah kesal dengan tuduhan yang tak beralasan itu. Ekspresi yang ia tampilkan adalah rasa tidak suka yang wajar dari







