"Cepat katakan!" tegas Aston.
"Kita harus berbicara empat mata, As," balas Gina masih terkatung.
"Apa begitu penting?" tanya Aston sinis.
Gina menarik napas panjang, hatinya seakan terobek sulit mengungkapkan namun harus terpaksa mengatakan kebenaran yang sebenarnya.
Aston menarik keras tangan Gina, teman Aston hanya melihat aneh sambil berbisik tidak tertarik. Mereka kini berada disebuah tempat sedikit sepi.
"Aston, kau menarik tanganku keras!" tukas Gina merasa pergelangan tangannya sakit.
Aston melepaskan cengkraman erat tangannya, ia tampak menggertakan gigi dengan geram menatap Gina seakan ia adalah tumbal sasaran empuknya yang siap dimakan.
"Cepat, katakan!"
Gina berusaha untuk tetap kuat, ia tidak bisa menutupi jika dirinya begitu kalut bahkan tidak tahu harus berbuat apalagi sekarang.
"Aku, hamil."
Spontan Aston menatap Gina, ia tampak menatap wanita yang dihadapannya saat ini dengan tatapan kilat penuh amarah. Aston tidak salah dengarkan?
Gina merogoh tas selempang kecilnya, lalu memberikan sebuah alat test kehamilan yang telah ia pakai tadi.
"Ini," ucap Gina serak, menahan tangisan.
Aston menatap alat itu, ia raih perlahan berusaha memastikan jika semuanya tidak benar.
"Kau hamil?" tanya Aston meyakinkan lagi.
"Iya, aku hamil."
Gina tidak mampu membendung air matanya lagi, ia menumpahkan semua kesesakan hati. Seakan pernapasannya terhimpit ribuan batu kerikil kecil, ia masih menunggu jawaban Aston. Masih berusaha untuk berpikir tenang.
"Kau yakin, kalau anak yang kau kandung adalah anakku? kau tidak tidur dengan pria asing selain aku?" tanya Aston pelan tapi mematikan.
Syok, kaget itulah yang tengah dirasakan Gina. Ungkapan Aston membuatnya seakan kehabisan kata-kata.
"Kau yakin?" tanya Aston lagi.
"As, aku hanya tidur denganmu. Bagaimana mungkin aku tidur bersama pria asing?!" tegas Gina, merasa Aston membuatnya tidak berdaya.
"Kalau begitu, gugurkan kandunganmu!" seru Aston memasang wajah tidak tertarik.
Gina menggeleng, ia tidak menyangka Aston malah menolak kehamilan yang ia janjikan jika terjadi sesuatu dengan Gina.
"Kau sudah berjanji untuk bertanggung jawab, Aston."
Plak!
Aston menampar keras pipi Gina, membuat wanita itu sedikit tersungkur hampir jatuh ke jalanan.
Darah segar yang mengalir dari sudut bibir Gina mengalir perlahan, kekerasan pria itu memang kerap ia dapatkan namun kali ini begitu menyakiti hingga relung hati. Ia tidak tahu harus apa jika memang pria itu menolak. Gina akan merasa frustasi juga stress berat.
"Aku tidak mau, Aston," tolak Gina menggeleng.
"Lalu, kau mau apa? kau tahu 'kan jika Mamaku tidak menyukai kau!? Mamaku membenci semua tentangmu," ucap pria itu sepele.
"Kau sudah berjanji untuk menikah denganku," lirih Gina.
"Mama tidak akan setuju, jika kau adalah menantunya."
"Aku akan mengatakan pada Tante Fitri, tentang keadaanku saat ini."
"Kau yakin?" tanya Aston tidak tertarik.
"Aku akan mencobanya," balas Gina lirih.
"Sialan kau!"
Gina menangis, ia menatap lirih wajah pria yang begitu ia cintai itu. "Ayolah, kumohon kita harus menemui Mama dan mengatakan jika aku telah hamil," mohon Gina.
Aston mengepalkan tangan, ia terlihat ingin menampar Gina lagi tapi ia urungkan dan menatap tajam wanita yang terlihat memprihatinkan.
"Baiklah, kita akan pergi kerumhku dan mengatakan pada Mama jika kau hamil anakku. Akan aku katakan, aku akan menikahimu. Tapi ingat! jangan pernah mengeluh jika suatu saat kehidupanmu terasa berat juga tersiksa!" tegas Aston mengancam.
Ia memang lega, mencoba menghentikan tangisan perihnya namun ia mulai takut menghadapi wanita yang teramat membencinya itu.
Mereka pun memutuskan pergi kerumah Aston, menemui Fitri dan mengungkapkan semuanya.
Sesampainya, Gina tampak meremati tangan sambil meredam tangisa pecah juga takutnya. Setelah menunggu beberapa saat, Fitri telah selesai mandi dan menghampiri Gina juga Aston yang tengah duduk di sofa.
Ia tatap sekilas, Aston tengah sibuk memainkan ponselnya tidak memerdulikan Gina yang berjuang melawan takut, tangan yang mulai membasah akibat perasaan letih tidak berujung tersebut.
"Ada apa?' tanya suara wanita, terdengar melengking.
Gina menatap Fitri, mencoba tetap tersenyum natural.
"Tante, aku ingin mengatakan sesuatu."
"Kenapa harus kau lagi dan kau lagi yang datang? kau tahu jika aku begitu anti denganmu! sampai kapanpun, aku tidak akan pernah bisa menerima kau," telak Fitri.
"Ma," akhirnya Aston berbicara.
Fitri menatap Aston juga Gina bergantian, tatapan kasar juga tidak tertarik apapun tentang mereka terkhusus pada Gina.
"Bisakah Mama mendengarku?" tanya Aston mengingatkan Fitri.
Fitri pun mulai meredam, "Apa yang terjadi?" tanya Fitri kali ini, nadanya terlihat merendah.
"Gina hamil, ia sedang mengandung anakku."
Fitri syok, ia menganga atas kenyataan itu.
"APA???!!!" Fitri sungguh kaget.
Gina takut, ia menundukan kepalanya smabil menahan gejolak tangisan air mata.
Menarik napas panjang, Fitri mendekap menuju Gina duduk.
Plak! Plak! Plak!
Tiga kali tamparan keras mendarat di pipi Gina, hingga membuat pipinya memerah. Ia menyentuh pipinya, sambil terisak menangis.
"Kau memang perempuan jalang!" bentak Fitri.
Sofa yang empuk itu bahkan tidak mampu menutupi perasaan sesak juga sedih hati, Gina menggetarkan tubuh bahkan masih menunduk kalut. Gina sudah tidak punya pilihan, selain merelakan hati untuk disakiti berkali-kali oleh pria juga wanita yang begitu membencinya.
Mengungkapkan perasaan kecewa, sedih juga memberontak pun ia tidak bisa. Bahkan, perasaan sakit tidak berdarah itu seolah tidak berguna bagi ia saat ini.
Gina tatap Aston, mengharapkan perlindungan atau sekadar pemebelaan atas kekasaran Fitri padanya. Tamparan keras dari mamanya juga tidak mampu membuat ia merasa iba ataupun ingin membela Gina.
Fitri menarik napas panjang, menatap Gina kembali.
"Baiklah, aku marah juga kau akan tetap kekeh mempertahankan anakku untuk bertanggung jawab."
"Aku akan menikahkan kalian, tapi dengan satu syarat. Jika anak itu nanti sudah lahir silakan bawa ia dan bercerailah dengan Aston. Kau tidak boleh menolak, ini konsekuensi yang harus kau terima. Aston tidak boleh milikmu, aku tidak rela."
Ya, Tuhan!
Gina harus mengiyakannya bukan? ia pun tidak punya pilihan, ia menatap Fitri nanar sambil menahan tangisan menyakitkan itu.
"T-terimakasih Tante, terimakasih karena telah berusaha menerimaku. Terimakasih," ucap Gina lirih.
"Ingat! kalian harus bercerai setelah anak itu lahir," balas Fitri.
Gina mengangguk berat, ia mencintai Aston.
Fitri berlalu dari hadapan mereka, Gina tampak mengusap air matanya lalu ia menatap Aston.
"Kau tetap kekeh! lihat, kau tersakiti. Aku tidak akan pernah membelamu, dan aku tidak akan pernah membuat hidupmu aman ataupun nyaman."
"Kau tidak mencintaiku?" tanya Gina menahan tangisan.
"Lalu, selama ini aku mempertahankan hubungan apa namanya? kau meragukan itu?"
Gina tidak menjawab, ia menyerahkan hidupnya. Siap ataupun tidak, ia harus siap membahterai rumah tangga bersama Aston.
"Aku akan pergi lagi, silakan kau pulang sendiri!" tegas Aston berdiri.
Gina menatap sendu.
Tanpa menunggu jawaban Gina, ia langsung pergi bergegas meninggalkan Gina begitu saja. Seperginya Aston ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, meratapi nasib sakit hingga ia menangis sesunggukan. Setidaknya, ia akan segera menikah dengan Aston pada akhirnya.
Bagaimana rumah tangga yang akan ia jalani? sepertinya, tidak akan ada kebhagiaan untuk Gina.
Bersambung...
Pernikahan digelar.Apakah pernikahan itu membuat ia merasa bahagia juga bangga? tentu saja ia merasa banyak tanda tanya. Salah satunya, dari menyewa kebaya pengantin padahal mereka keluarga terpandang namun kembali lagi Gina harus menelan rasa pahit itu.Ia tidak membangkang, ia terima dengan lapang hati.Impiannya sejak dulu bersama Aston kini terkabulkan, dalam kenyataan menyakitkan juga keadaan yang penuh luka. Ketika ia berharap Aston akan melindungi atau sekadar memberikan ia kebahagiaan malah tangisan dan rasa perih ia dapatkan.Pernikahan tanpa resepsi, hanya pernikahan sekadar berlangsung dirmahu namun membuat ia setidaknya mendapat status.Alya memilih tidak menghadiri, ia sejak awal sudah mengatakan tidak akan pernah setuju atas pernikahan mereka. Menolak keras Aston juga menentang pernikahan mereka namun Gina tetap kekeh mempertahankannya.Hati Gina?
Bandara Soekarno-Hatta, pesawat kelas bisnis telah mendarat dengan sempurna.Sosok tangan kekar, guratan halus di area tangan terlihat jelas. Ia menundukan kepalanya dengan elegan menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Bibir memerah tanda tidak mengisap rokok terlihat jelas.Penampilan begitu memesona dan yang lebih tepat, ia sangat tampan maksimal sehingga seisi pesawat tidak menghentikan pandangan dari pria tinggi, rahang tegas menunjukan kekuasaan sebagai pria terhormat dan mapan.Tatapan begitu memukau, siapa yang tidak langsung terpesona? apalagi jika sudah melihat manik matanya yang mencolok berwarna biru.Ya, pria tampan itu ialah Revan Alexander Djayaningrat, memiliki tinggi 180 cm, rambut sedikit keemasan membuat ia semakin terlihat sexy.Revan berusia 30 tahun, meski idak lagi dikatakan muda namun wajahnya awet bak formalin dan digilai semua wanita termasuk nega
Revan tak henti menatap kecantikan Vero sepanjang mereka berjalan menuju Toko Roti, Vero bercerita panjang lebar pada Revan."Konsep apa untuk pertunangan kita nanti?" tanya Vero sumringah."Sederhana saja," jawab Revan."Baiklah, aku memiliki langganan tempat kue. Kita akan kesana, lalu ke butik untuk pakaian yang akan aku kenakan.""Baiklah, sesuai yang kamu mau saja sayang ...," balas Revan.Vero tersenyum dan bersikap manja, Revan pun menyetir dengan kecepatan standartd.Akhirnya mereka sampai tepat di depan Toko Roti tersebut. Vero menatap dengan mata binar, bangga ia akan memesan kue ditempat langganannya apalagi sudah cukup lama tidak kemari sehingga ia merindukan kedua wanita yang sudah menjadi temannya."Nah, itu dia."Revan mengangguk, "Baiklah, kamu lebih dulu masuk. Aku akan memarkirkan mobil," perintah Revan lembut.
Malam pun menyambut, malam gelap itu membuat Gina semakin menggelap. Ia menunggu sang suami dengan perasaan hitam. Ia sudah tahu jika Aston tidak akan pernah mau datang menemuinya, ia saja yang terlalu percaya diri besar untuk berharap Aston-mencintainya.Aston pria keras, sampai kapanpun ia tidak akan mau meluluhkan hatinya termasuk menjemout atau sekadar memberikan perhatian lebih pada Gina."Menunggu Aston?" tanya Alya tidak berselera, sambil memasang jacketnya bergegas pulang."Iya, Al ... aku menunggu Aston menjemputku.""Dia bilang mau jemput kamu?"Tumben."Nggak, aku hanya berharap dia datang menjemputku. Itu saja," jawab Gina sekenanya."Gina?!" panggil seorang pria dibelakang mereka.Gina dan Alya kompak melirik, setelah melihat sosok siapa yang datang Alya membuang wajahnya. Sampai kapanpun, ia tidak akan menyukai semua sifat Aston, ia me
Bisakah ia sejenak dengan pria bermata biru ini?"Mari kubantu," tawar Revan.Revan membantunya berdiri, ia dapat merasakan wewangian tubuh Revan menguar di hidungnya. Sentuhan itu terasa membuat Gina semu juga merasakan sesuatu hal berbeda sedang tersentuh disekujur tubuhnya."M-maaf Pak!? Maaf jika aku membuat Bapak merasa terancam.""Nggak apa, kamu baik saja?" Revan masih membantu Gina.Revan membantunya duduk di kursi luar Toko roti, Gina mengelus perutnya smabil meringis menahan sakit."Dia suamimu?" tanya Revan pelan.Gina terdiam sejenak lalu mengangguk mengiyakan, "Ya, dia suamiku."Revan mengangguk paham, tanpa sengaja ia memperhatikan ada darah dari sudut bibir Gina. Ia terlihat sangat tenang menanggapi namun terlihat meremang karena ingin mengobati luka itu."Ada darah di sudut bibirmu, apa kau ti
Pertunangan Revan dan Vero.Sesuai yang mereka rencanakan, Revan dan Vero melangsungkan pertunangan mereka hari ini. Malam yang dipenuhi terang bulan bahkan terlihat bintang gemerlap begitu indah. Para tamu undangan dari berbagai pengusaha telah berdatangan untuk menyaksikan langsung pertunangan Revan dan Vero yang tergolong dari keluarga sama-sama mapan.Pertunangan mereka memang terkesan sederhana, betapa bahagia menyelimuti Vero hingga ia selalu menebarkan senyum kepada setia tamu menyalamnya.Pertunangan mereka pun terlaksana, tawa bahagia dari berbagai kalangan begitu menyemarakan mereka. Revan mencium kilat bibir Vero tanda mereka resmi bertunangan setelah bertukar cincin emas putih. Tak hentinya Vero memandangi cincin berlapis swarovki yang kini melekat di jemari tangannya.Bangga dan terharu pada akhirnya Revan meminangnya untuk menjadi teman hidup.Di kejauhan tapi tetap
(Noah - Kala Cinta Menggoda)Memulai aktivitas kembali, Alya berketepatan pemegang kunci Toko. Ia mendekat ke arah pintu kaca, tanpa sengaja ia melirik sebuah bucket bunga terletak di bangku luar Toko. Alya mendekap bucket bunga tersebut sambil mengernyit bingung.Buket bunga?Dari siapa ini?Alya memendarkan pandangannya sesekali menghirup wewangian bunga segar tersebut. Tidak ada seorang pun di sekitar Toko, ia hanya melihat orang yang sedang lalu lalang berjalan tanpa ada yang terlihat mencurigakan.Ia mencari tahu siapa pengirim buket bunga ini, ada kart ucapan di dalamnya. Alya membuka ragu-ragu sambil membaca ditujukan pada siapa."For Gina, selamat pagi Gina?! Semoga harimu tetap berbahagia dan tetap tangguh. Aku hanya berharap ketika kau mencium aroma wewangian bunga ini, maka kau harus tersenyum. Dari pria yang mengagumimu. -R-."
Dengan sigap Revan memboyong tubuh Gina keluar dari supermarket. Ia membaringkan tubuh Gina di kursi tengah mobil hitam garangnya. Untuk pertama kali, Revan merasa khawatir berlebihan pada Gina. Ia berusaha cepat menuju rumah sakit, memasuki mobilnya secara cepat dan sigap. Selama perjalanan menuju rumah sakit siapapun yang mencoba menghalangi perjalanannya ia maki bahkan tak segan membentak tidak perduli siapapun itu. Ia hanya ingin Gina sampai di rumah sakit secepatnya. Berusaha melakukan semua secara cepat, seolah saat ini ia mulai membiasakan diri dengan kehadiran Gina. Seolah wanita itu adalah napas kehidupannya. Sesampai di rumah sakit, para suster dengan sigap menolong ketika Revan berkoar teriak meminta agar segera membawa Gina untuk diperiksa. Ia memasang wajah bingung, khawatir apalagi dengan kondisi Gina yang tengah berbadan dua. Setelah pemeriksaan, dokter k